Paksalah Diri Berbuat Taat
Mahasuci Allah, Zat yang memiliki
segalanya. Mahacermat dan Mahasempurna Allah sehingga sama sekali Ia tidak
membutuhkan apapun dari hamba-hamba-Nya. Tidak ada kepentingan dan mamfaat yang
bisa kita berikan, karena Allah secara total dan Mahasempurna telah mencukupi
dirinya sendiri. Ribuan malaikat yang gemuruh bertasbih, bertahmid, dan
bertakbir tiap detik, tiap waktu, tiap kesempatan memuji Allah, itupun hanya
menunjukkan keagungan dan kebesaran-Nya.
Jika Allah menciptakan makhluk jin dan
manusia kemudian diperintahkan untuk taat, bukan karena Allah membutuhkan
ketaatan makhluk-Nya. Sungguh, semua perintah dari Allah adalah karunia agar
kita menjadi terhormat, mulia, dan bisa kembali ke tempat asal mula kita yaitu
surga. Jadi kalau kita masuk neraka, naudzubillaah, sama sekali bukan karena
kurangnya karunia Allah, tapi karena saking gigihnya kita ingin jadi ahli
neraka, yaitu dengan banyaknya maksiat yang kita lakukan.
Allah SWT Mahatahu bahwa kita memiliki
kecenderungan lebih ringan kepada hawa nafsu dan lebih berat kepada taat. Oleh
karena itu, jika kita mendapat perintah dari Allah, dalam bentuk apapun, si
nafsu ada kecenderungan berat melakukannya, bahkan tak segan-segan untuk
menolaknya. Misalnya ibadah shalat cenderung inginnya dilambatkan. Urusan shaf
saja, tidak banyak orang berebutan menempati shaf pertama. Amati saja justru
shaf belakang cenderung lebih banyak diminati. Perintah shalat memang banyak
yang melakukan, tetapi belum tentu semua melakukannya tepat waktu. Begitu juga
dengan tepat waktu, belum tentu juga bersungguh-sungguh khusyu. Bahkan ada –
mungkin salah satunya kita – yang justru menikmati shalat dengan pikiran yang
melantur, melayang-layang tak karuan, sehingga tak jarang banyak program atau
urusan duniawi lainnya yang kita selesaikan dalam shalat. Dan yang lebih parah
lagi, kita tidak merasa bersalah karenanya.
Saat menafkahkan rizki untuk sedekah, maka
si nafsu akan membuat seakan-akan sedekah itu akan mengurangi rizki kita, bahkan
pada lintasan berikutnya sedekah ini akan dianggap membuat kita tifdak punya
apa-apa. Padahal, sungguh sedekah tidak akan mengurangi rizki, bahkan akan
menambah rizki kita. Namun, karena nafsu tidak suka kepada sedekah, maka jajan
justru lebih disukai.
Sungguh, kita telah diperdaya dengan rasa
malas ini. Bahkan saat malas beribadah, otak kita pun dengan kreatif akan
segera berputar untuk mencari dalih ataupun alasan yang dipandang logis dan
rasional. Sehingga apa-apa yang kita lakukan karena malas, seolah-olah mendapat
legitimasi karena alasan kita yang logis dan rasional itu, bukan semata-mata
karena malas. Ah, betapa hawa nafsu begitu pintar mengelabui kita. Lalu,
bagaimana cara kita mengatasi semua kecenderungan negatif diri kita ini?
Cara yang paling baik yang harus kita
lakukan adalah kegigihan kita melawan kemalasan diri. Kecenderungan malas itu
kalau mau diikuti terus menerus akan tidak ada ujungnya, bahkan akan terus
membelit kita menjadi seorang pemalas kelas berat, naudzubillaah. Berangkat ke
mesjid, maunya dilambat-lambat, maka harusnya lawan! Berangkat saja. Ketika
terlintas, nanti saja wudhunya di mesjid, lawan! Di mesjid banyak orang, segera
lakukan wudhu di rumah saja! Itu sunnah. Sungguh, orang yang wudhu di rumah
lalu bergegas melangkahkan kakikya ke mesjid untuk shalat, maka setiap
langkahnya adalah penggugur dosa dan pengangkat derajat.
Sampai di mesjid, paling nikmat duduk di
tempat yang memudahkan dia keluar dari mesjid, bahkan kadangkala tak sungkan
untuk menghalangi orang lewat. Lebih-lebih lagi bila memakai sandal bagus, ia
akan berusaha sedekat mungkin dengan sandalnya, dengan alasan takut dicuri
orang. Begitulah nafsu. Bagi orang yang menginginkan kebaikan, dia akan
berusaha agar duduknya tidak menjadi penghalang bagi orang lain. Maka akan
dicarinyalah shaf yang paling depan, shaf yang paling utama.
Sesudah shalat, ketika mau zikir, kadang
terlintas urusan pekerjaan yang harus diselesaikan. Maka bagi yang tekadnya
kurang kuat ia akan segera ngeloyor pergi, padahal zikir tidak lebih dari
sepuluh menit, ngobrol saja lima belas menit masih dianggap ringan. Atau ada
juga yang sampai pada tahap zikir, diucapnya berulang-ulang, subhanallaah –
subhanallah, tapi pikiran melayang kemana saja. Anehnya lagi kalau memikirkan
dia si jantung hati konsentrasinya sungguh luar biasa. Kenapa, misalnya,
mengucap subhanallaah tiga puluh tiga kali, yang sadar mengucapkannya cuma satu
kali? Atau ingatlah saat kita akan berdo’a. Walaupun dilakukan, akan dengan
seringkas mungkin. Padahal demi Allah, zikir-zikir yang kita ucapkan akan
kembali pada diri kita juga.
Oleh karena itu, bila muncul rasa malas
untuk beribadah, itu berarti hawa nafsu berupa malas sedang merasuk menguasai
hati. Segeralah lawan dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dengan cara
segera melakukan ibadah yang dimalaskan tersebut. Sekali lagi, bangun dan
lawan! Insya Allah itu akan lebih dekat kepada ketaatan. Janganlah karena
kemalasan beribadah yang kita lakukan, menjadikan kita tergolong orang-orang
munafik, naudzubillaah.
Firman Allah,
"Sesungguhnya orang-orang munafik itu
hendak menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka
berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan
shalat) dihadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah, kecuali sedikit
sekali." (QS. An Nisa [4] : 142)
Ingatlah bahwa kalau kita tergoda oleh
bisikan hawa nafsu berupa kemalasan dalam beribadah, maka kita ini sebenarnya
sedang menyusahkan diri sendiri, karena semua perintah itu adalah karunia Allah
buat kemaslahatan diri kita juga. Coba, Allah menyuruh kita berzikir, siapa
yang dapat pahala? Kita. Allah menyuruh kita berdo’a, lalu do’a itu diijabah.
Buat siapa? Buat kita. Allah sedikit pun tidak ada kepentingan mamfaat atau
madharat terhadap apa-apa yang kita lakukan. Tepatlah ungkapan Ibnu Atho’illah
dalam kitabnya, Hikam, "Allah mewajibkan kepadamu berbuat taat, padahal
yang sebenarnya hanya mewajibkan kepadamu masuk ke dalam surga-Nya (dan tidak
mewajibkan apa-apa kepadamu hanya semata-mata supaya masuk ke dalam
surga-Nya)". Maka Abul Hasan Ashadilly menasehatkan bahwa, "Hendaknya
engkau mempunyai satu wirid, yang tidak engkau lupakan selamanya, yaitu
mengalahkan hawa nafsu dengan lebih mencintai Allah SWT".
Maka kalau kita sengsara, kita susah, kita
menderita, itu bukan karena siapa-siapa, itu semua kita yang buat. Padahal
sungguh, setiap desah nafas yang kita hembuskan adalah amanah dari Allah SWT,
dan sebagai titipan wadah yang harus kita isi dengan amal-amal kebaikan.
Sedangkan hak ketuhanan tetap berlaku pada tiap detik yang dilalui oleh seorang
hamba. Abul Hasan lebih lanjut mengatakan, "Pada tiap waktu ada bagian
yang mewajibkan kepadamu terhadap Allah SWT (yaitu beribadah)".
Jadi, sungguh sangat aneh jika kita
bercita-cita ingin bahagia, ingin dimudahkan urusan, ingin dimuliakan, tapi
justru amal-amal yang kita lakukan ternyata menyiapkan diri kita untuk hidup
susah. Seperti orang yang bercita-cita masuk surga tapi amalan-amalan yang
dipilih amalan-amalan ahli maksiat. Maka, sahabat-sahabat sekalian
sederhanakanlah hidup kita, paksakan diri untuk taat kepada perintah Allah
kalau belum bisa ikhlas dan ringan dalam beribadah. Mudah-mudahan Allah yang
melihat kegigihan diri kita memaksa diri ini, nanti dibuat jadi tidak terpaksa
karena Dia-lah yang Maha Menguasai diri ini. Insya Allah.
Post a Comment