Hadirkan Hatimu, Saat Membaca Kitab
Rabbmu |
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu
seorang shahabat yang mulia, berkisah: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda kepadaku: ‘Bacakanlah Al-Qur`an untukku.’ Aku bertanya heran: ‘Wahai
Rasulullah, apakah aku membacakan untukmu sementara Al-Qur`an itu diturunkan
kepadamu?’ Beliau menjawab: ‘Iya, bacalah.’ Aku pun membaca surat An-Nisa`
hingga sampai pada ayat: فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيْدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلىَ هَؤُلاَءِ شَهِيْدًا “Maka bagaimanakah jika Kami mendatangkan seorang saksi bagi setiap umat dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka itu.” (An-Nisa’: 41) Beliau bersabda: ‘Cukuplah.’ Aku menengok ke arah beliau, ternyata aku dapati kedua mata beliau basah berlinang air mata.”1 Saudariku muslimah, semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu! Demikianlah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika membaca Al-Qur`an dan mendengarkannya. Sementara beliau adalah orang yang paling tahu kandungan Al-Qur`an serta paling paham maknanya. Beliau juga adalah orang yang telah diampuni dosa-dosanya. Namun bersamaan dengan itu, beliau tetap tersentuh hatinya kala mendengarkan bacaan Al-Qur`an. Bahkan, beliau pernah shalat dalam keadaan dada beliau bergemuruh karena isak tangis saat membaca surat Al-Qur`an2. Allah Subhanahu wa Ta'ala memang telah menyebutkan kandungan Al-Qur`an berupa janji dan ancaman, kisah surga dan kenikmatannya berikut neraka dengan azabnya. Yang kesemua itu mestinya menggugah ambisi untuk menggapai surga-Nya dan menangis karena takut akan neraka beserta azabnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: اللهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَقُلُوْبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللهِ ذلِكَ هُدَى اللهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُضْلِلِ اللهُ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu Al-Qur`an yang serupa ayat-ayatnya lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Rabb mereka, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu berzikir (mengingat) Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu, Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya.” (Az-Zumar: 23) Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji suatu kaum dalam firman-Nya: قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لاَ تُؤْمِنُوا إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُوْلُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً. وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Berimanlah kalian kepadanya atau tidak usah beriman. Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi.’ Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu.” (Al-Isra`: 107-109) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri telah menganjurkan umatnya untuk khusyuk, menghinakan diri, dan menangis saat membaca Al-Qur`an karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Beliau bersabda: عَيْنَانِ لاَ تَمُسُّهُمَا النَّارُ: عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِي سَبِيْلِ اللهِ “Dua mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: (pertama) mata yang menangis karena takut kepada Allah, (kedua) mata yang bermalam dalam keadaan berjaga di jalan Allah.”3 Bahkan beliau menerangkan, seseorang yang menangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala akan masuk ke dalam surga-Nya: لاَ يَلِجُ النَّارَ رَجُلٌ بَكَى مِنْ خَشْيَةِ اللهِ حَتَّى يَعُوْدَ اللَّبَنُ فِي الضَّرْعِ ... “Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai susu (yang diperah) bisa kembali ke kantung susu (kambing) ….”4 Para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al-Qur`an dengan menghadirkan hati, merenungi dan mengambil pelajaran dari ayat-ayatnya, hingga mengalirlah air mata mereka dan khusyuk hati mereka. Mereka mengangkat tangan mereka kepada Rabb mereka dengan menghinakan diri memohon kepada-Nya agar amal-amal mereka diterima dan berharap ampunan dari ketergelinciran mereka. Mereka merindukan kenikmatan nan abadi yang ada di sisi-Nya. Diriwayatkan bahwasanya Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu ketika masih di Makkah, membangun tempat shalat di halaman rumahnya. Beliau shalat di tempat tersebut dan membaca Al-Qur`an, hingga membuat wanita-wanita musyrikin dan anak-anak mereka berkumpul di sekitarnya karena heran dan takjub melihat apa yang dilakukan Abu Bakr. Sementara Abu Bakr radhiyallahu 'anhu adalah sosok insan yang sering menangis, tidak dapat menahan air matanya saat membaca Al-Qur`an5. ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu pun punya kisah. Beliau shalat mengimami manusia dan menangis saat membaca Al-Qur`an dalam shalatnya, hingga bacaannya terhenti dan isaknya terdengar sampai shaf ketiga di belakangnya. Beliau membaca ayat: وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ “Celakalah orang-orang yang berbuat curang.” Ketika sampai pada ayat: يَوْمَ يَقُوْمُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِيْنَ “Pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb semesta alam.” Beliau menangis hingga terhenti bacaannya. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memuji orang-orang yang menangis karena membaca/mendengar bacaan Al-Qur`an ketika mengabarkan tentang para nabi dan para wali-Nya: إِنَّ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ يَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ سُجَّدًا. وَيَقُولُوْنَ سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنْ كَانَ وَعْدُ رَبِّنَا لَمَفْعُوْلاً “Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al-Qur`an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur di atas wajah mereka sujud kepada Allah, seraya berkata: ‘Maha suci Rabb kami, sesungguhnya janji Rabb kami pasti dipenuhi’.” (Al-Isra`: 107-108) إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Ar-Rahman, mereka tersungkur dalam keadaan sujud dan menangis.” (Maryam: 58) وَيَخِرُّوْنَ لِلأَذْقَانِ يَبْكُوْنَ وَيَزِيْدُهُمْ خُشُوْعًا “Dan mereka menyungkur di atas wajah mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Al-Isra`: 109) Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa tangisan karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala itu menambah kekhusyukan mereka. Sementara hanya orang-orang berilmulah yang memiliki rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana dalam firman-Nya: إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ “Hanyalah yang takut kepada Allah dari kalangan hamba-hamba-Nya adalah para ulama.” (Fathir: 28) Dengan demikian orang yang paling kenal dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dialah yang paling takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: أَمَا وَاللهِ، إِنِّي لأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ “Demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan paling bertakwa kepada-Nya….” 6 Abu Raja` berkata: “Aku pernah melihat Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma, di bawah kedua matanya ada garis semisal tali sandal yang usang karena sering dialiri air mata.”7 Saudariku… Demikianlah keadaan salaful ummah, orang-orang shalih dan orang-orang terbaik dari kalangan umat ini. Bila salah seorang mereka melewati penyebutan tentang neraka, terasa lepas hatinya karena takut dari neraka dan ngeri akan siksanya. Bila melewatinya sebutan surga dan kenikmatannya, serasa gemetar persendian mereka karena khawatir diharamkan dari merasakan kenikmatannya yang kekal. Dua keadaan ini demikian memberi pengaruh, hingga meneteslah air matanya dan khusyuk hatinya. Ia pun berusaha menyembunyikan tangisan itu dari orang-orang di sekitarnya. Namun tak jarang tangis itu terdengar dan mereka pun tahu keadaannya. Demikianlah tangis karena takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan amal yang ikhlas karena mengharap wajah-Nya. Apa yang dilakukan orang-orang belakangan dengan mengeraskan suara dan isakan ketika menangis dalam shalat bukanlah kebiasaan salaf. Karena hal itu justru akan mengganggu orang-orang yang shalat di sekitarnya, dan dikhawatirkan akan jatuh ke dalam perbuatan riya‘ serta menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semestinya seseorang menyembunyikannya dari manusia semampunya, karena hal itu lebih baik dan lebih utama. Termasuk perkara yang perlu menjadi perhatian sehubungan dengan pembacaan Al-Qur`an adalah beradab terhadap Al-Qur`an dengan diam mendengarkannya, dalam rangka mengamalkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ “Apabila dibacakan Al-Qur`an maka dengarkanlah dan diamlah, mudah-mudahan kalian dirahmati.” (Al-A’raf: 204) Sepantasnya bagi seorang muslim untuk menjaga apa yang telah dihapalnya dari Al-Qur`an dan terus menerus membacanya agar tetap tersimpan di dadanya. Karena Al-Qur`an begitu cepat lepasnya (hilang dari ingatan) apabila tidak dijaga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: تَعَاهَدُوْا هَذَا الْقُرْآنَ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ اْلإِبِلِ فِي عُقُلِهَا “Biasakanlah untuk terus menerus membaca Al-Qur`an karena demi Zat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya sungguh dia (bacaan/hafalan Al-Qur`an) itu lebih cepat lepas/hilangnya daripada unta dari tali pengikat kakinya.”8 Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah berkata: “Orang-orang sebelum kalian memandang Al-Qur`an sebagai surat-surat dari Rabb mereka. Mereka pun mentadabburinya pada waktu malam dan merealisasikannya di waktu siang.” Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Pembawa Al-Qur`an adalah pembawa bendera Islam. Tidak pantas baginya bermain-main bersama orang yang main-main, dan tidak pula lalai bersama orang yang lalai, tidak berbuat laghwi (sia-sia) bersama orang yang berbuat laghwi, dalam rangka mengagungkan hak Al-Qur`an.” (At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an, hal. 44) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. (Diringkas dengan sedikit tambahan oleh Ummu Ishaq Al-Atsariyyah dari kitab Al-Mukhtar lil Hadits fi Syahri Ramadhan Yastafidu Minhul Wa’izh wal Khathib, hal. 118-125) 1 HR. Al-Bukhari no. 5050 2 Sebagaimana dalam hadits dari Mutharrif dari ayahnya Abdullah bin Asy-Syikhir bin ‘Auf radhiyallahu 'anhu, ia berkata: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيْزٌ كَأَزِيْزِ الرَّحَى مِنَ الْبُكَاءِ “Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat dalam keadaan dada beliau berbunyi keras seperti suara periuk yang mendidih karena tangisan beliau.” (HR. Abu Dawud no. 904, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud) 3 HR. At-Tirmidzi no. 1639, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3829 4 HR. At-Tirmidzi no. 1633, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no. 3828 5 HR. Al-Bukhari no. 3905 6 HR. Al-Bukhari no. 5063 7 Siyar A’lamin Nubala`, 3/352 8 HR. Al-Bukhari dan Muslim |
Kamis, 05 Desember 2013
Hadirkan Hatimu, Saat Membaca Kitab Rabbmu

Asep Hidayat,S.Ag
Alumnus :
IAIN Raden Intan Lampung Jur. Dakwah 1995
Pondok Pesantren Al-Ihya
Lembaga Pendidikan Wartawan Islam UMMUL QURO
SMAN 2 Bandar Lampung
Khawatir Dari Sifat Ujub
Khawatir Dari Sifat Ujub
Segala puji hanya
untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh
sahabatnya.
Tsabit al-Bunany rahimahullah berkata: ‘Abu Ubaidah radhiyallahu
‘anhu berkata: ‘Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah seseorang
dari Quraisy dan tidak ada seseorang darimu dari yang berkulit merah dan tidak
pula yang berkulit hitam yang melebihi aku dengan taqwa kecuali aku ingin
berada di kulitnya.[1]
Dari
Ma’mar, dari Ayyub, dari Nafi’ atau dari yang lain, bahwa seorang laki-laki
berkata kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: ‘Wahai sebaik-baik
manusia atau wahai sebaik-baik anak manusia.’ Maka ia (Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu) berkata: ‘Aku bukan sebaik-baik manusia dan bukan pula sebaik-baik
anak manusia, akan tetapi aku adalah seorang hamba dari hamba-hamba Allah Shubhanahu
wa ta’ala. Aku mengharap dan takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’ala,
demi Allah, kamu senantiasa dengan laki-laki itu sehingga kalian membinasakannya.’[2]
Di
dalam al-Hilyah[3]: Abul Asyhab
meriwayatkan dari seorang laki laki, Mutharrif bin Abdullah rahimahullah
berkata: ‘Sungguh aku tidur di malam hari dan menyesal di pagi hari lebih
kusukai dari pada shalat di malam hari dan pagi hari merasa ‘ujub.’ Adz-Dzhaby rahimahullah
berkata: ‘Tidaklah beruntung, demi Allah, orang yang menganggap dirinya bersih
atau merasa ‘ujub.’[4]
Dari
Wahab bin Munabbih rahimahullah, ia berkata: ‘Ingatlah dariku tiga
perkara: Hindarilah hawa nafsu yang dituruti, teman yang jahat dan seseorang
merasa ujub dengan dirinya.’[5] Abu Wahab
al-Marwazi rahimahullah berkata: ‘Aku bertanya kepada Ibnu Mubarak rahimahullah:
‘Apakah takabur itu? Ia menjawab: ‘Engkau merendahkan manusia (orang lain).’
Lalu aku bertanya: ‘Apakah ‘ujub itu? Ia menjawab: ‘Bahwa engkau merasa bahwa
engkau memiliki sesuatu yang tidak ada di sisi orang lain dan aku tidak melihat
sesuatu pada orang orang yang shalat yang lebih buruk dari sifat ‘ujub.’[6]
Ahmad
bin Abi Hawary berkata: ‘Abu Abdullah al-Anthaky menceritakan kepada kami, ia
berkata: ‘Fudhail dan at-Tsaury rahimahumallah bertemu dan melakukan mudzakarah,
lalu Sufyan menjadi sedih dan menangis. Kemudian ia berkata: ‘Aku mengharapkan
majelis ini menjadi rahmat dan berkah untuk kita.’ Fudhail berkata kepadanya: ‘Akan
tetapi aku –wahai Abu Abdillah- khawatir bahwa ia
lebih berbahaya terhadap kita. Bukankah engkau sampai kepada
pembicaraanmu yang terbaik dan aku sampai kepada pembicaraanku yang terbaik,
maka engkau memperindah ucapan untukku dan aku memperindah ucapan untukmu? Maka
Sufyan menangis dan berkata: ‘Engkau mencintai aku semoga Allah Shubhanahu
wa ta’ala mencintaimu.’[7]
Imam
Syafi’i rahimahullah berkata: ‘Apabila engkau merasa khawatir sifat
‘ujub terhadap amal ibadahmu maka ingatlah ridha yang engkau tuntut, kenikmatan
apakah yang engkau inginkan, dari siksaan apakah yang engkau takutkan. Maka
siapa yang memikirkan hal itu niscaya menjadi kecil amal ibadahnya di sisi
-Nya.’[8] Risydin bin
Sa’ad berkata: ‘Hajjaj bin Syaddad menceritakan kepada kami, ia mendengar
Ubaidullah bin Abu Ja’far berkata –ia seorang yang bijaksana-: ‘Apabila
seseorang berbicara di satu majelis, lalu pembicaraan itu membuat ia ‘ujub maka
hendaklah ia berhenti. Dan apabila ia diam, lalu diam itu membuatnya ‘ujub maka
hendaklah ia berbicara.’[9]
Dari
Sa’id bin Abdurrahman, dari Abu Hazim rahimahullah, ia berkata:
‘Sesungguhnya seorang hamba melakukan kebaikan yang membuatnya senang saat
melakukannya dan Allah Shubhanahu wa ta’ala tidak menjadikan keburukan yang lebih berbahaya terhadapnya dan sesungguhnya
seorang hamba melakukan kejahatan kemudian ia merasa bersalah telah
melakukannya, dan Allah Shubhanahu wa ta’ala tidak menjadikan kebaikan
yang lebih bermanfaat baginya. Dan penjelasan hal itu bahwa seorang
hamba ketika melakukan kebaikan ia merasa bangga padanya dan merasa bahwa ia
mempunyai kelebihan terhadap orang lain, dan bisa jadi Allah Shubhanahu wa
ta’ala menggugurkan amal ibadahnya dan mengugurkan bersamanya amal ibadah
yang sangat banyak. Sesungguhnya seorang hamba melakukan keburukan yang membuat
ia merasa bersalah, bisa jadi Allah Shubhanahu wa ta’ala memberikan
baginya rasa takut pada -Nya, lalu ia bertemu Allah Shubhanahu wa ta’ala dan
sesungguhnya rasa takutnya tetap berada di dalam rongganya.[10]
Adz-Dzahaby
rahimahullah memberi komentar dalam biografi Ibnu Hazm rahimahullah
terhadap perkataannya (Saya mengikuti kebenaran dan berijtihad serta tidak
terikat dengan mazhab), ia berkata: ‘Saya katakan: ‘Ya, siapa yang mencapai derajat ijtihad dan beberapa imam bersaksi untuk hal itu, ia
tidak boleh bertaqlid. Sebagaimana seorang faqih yang masih pemula dan
seorang awam yang hapal al-Qur`an atau sebagian besar darinya, ia sama sekali
tidak boleh berijtihad. Bagaimana mungkin ia bisa berijtihad, apa yang dia
baca? Atas dasar apa ia membangun? Bagaimana ia bisa terbang saat belum
mempunyai bulu?
Bagian
ketiga: Seorang faqih yang sudah mencapai puncak, cerdas, paham, ahli hadits,
yang hapal kitab-kitab ringkas (singkat) dalam cabang ilmu, kitab dalam
kaidah-kaidah ushul, membaca nahwu, serta hapal terhadap kitabullah
(al-Qur`an), mempelajari tafsirnya dan mampu berdialog. Ini adalah martabat
orang yang sudah mencapai derajat ijtihad muqayad (terikat), sudah mampu
mempelajari dalil-dalil para imam. Maka siapa yang sudah jelas kebenaran baginya
dalam satu masalah, nash sudah kuat padanya, dan diamalkan oleh salah seorang
imam yang dikenal seperti Abu Hanifah misalnya, atau seperti Malik atau Tsaury,
atau Auza’i, atau Syafi’i, Abu Ubaid, Ahmad, dan Ishaq rahimahumullah
jami’an, maka hendaklah ia mengikuti kebenaran padanya dan tidak mengambil
jalan rukhshah (keringanan) padanya, hendaklah ia bersikap wara’ dan
setelah berdiri hujjah atasnya ia tidak boleh lagi melakukan taqlid.
Jika
ia khawatir hasutan dari para fuqaha maka hendaklah ia menyembunyikannya dan
tidak menampakkan perbuatannya. Maka bisa jadi muncul sikap ‘ujub dalam jiwanya
dan ingin menampakkan nya, maka ia akan dihukum
dengan penyakit hati yang tercela. Berapa banyak orang yang menuturkan
kebenaran dan menyuruh yang ma’ruf lalu Allah Shubhanahu wa ta’ala menguasakan
para fuqaha atasnya. Sebagaimana ia merupakan penyakit yang berjalan di dalam
jiwa orang-orang yang berinfak dari orang-orang kaya, pemilik waqaf dan tanah
yang indah. Ia adalah penyakit tersembunyi yang menjalar di jiwa para tentara,
pemimpin dan orang yang berjihad. Maka engkau melihat mereka bertemu musuh dan
bertemu kedua pasukan, sedangkan di dalam jiwa para mujahid ada yang
tersembunyi dari sikap sombong dan menampakkan keberanian agar dikatakan[11] dan sikap
‘ujub, memakai pakaian berwarna keemasan, topi tentara yang indah, perbekalan
yang dihiasi terhadap jiwa orang-orang yang sombong, dan kuda-kuda yang
tangguh. Ditambah lagi melalaikan shalat, zhalim terhadap rakyat, minum arak,
maka bagaimana mungkin mereka mendapat pertolongan? Bagaimana mungkin mereka
tidak terhinakan? Ya Allah, tolonglah agama -Mu dan berilah taufiq kepada hamba
hamba -Mu.
Maka
siapa yang menuntut ilmu untuk diamalkan niscaya ilmu akan mematahkannya dan ia
menangis terhadap dirinya. Dan siapa yang menuntut ilmu untuk mengajar,
berfatwa, membanggakan diri dan riya`, niscaya ia menjadi sombong, merendahkan
orang lain, dibinasakan sifat ‘ujub dan semua jiwa akan membencinya.
قال الله تعالى: ﴿ قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ﴾ [الشمس: 9-10]
sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu, * dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya. (QS. asy-Syams:9-10)

Asep Hidayat,S.Ag
Alumnus :
IAIN Raden Intan Lampung Jur. Dakwah 1995
Pondok Pesantren Al-Ihya
Lembaga Pendidikan Wartawan Islam UMMUL QURO
SMAN 2 Bandar Lampung
HAKEKAT WISATA DALAM ISLAM, HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA
HAKEKAT WISATA
DALAM ISLAM, HUKUM DAN MACAM-MACAMNYA
Kata Wisata menurut bahasa mengandung arti yang
banyak. Akan tetapi dalam istilah yang dikenal sekarang lebih dikhususkan pada
sebagian makna itu. Yaitu, yang menunjukkan berjalan-jalan ke suatu negara
untuk rekreasi atau untuk melihat-lihat, mencari dan menyaksikan (sesuatu) atau
semisal itu. Bukan untuk mengais (rezki), bekerja dan menetap. Silakan lihat
kitab Al-Mu’jam Al-Wasith, 469.
Berbicara tentang wisata menurut pandangan
Islam, maka harus ada pembagian berikut ini,
Pertama: Pengertian wisata dalam Islam.
Islam datang untuk merubah banyak pemahaman
keliru yang dibawa oleh akal manusia yang pendek, kemudian mengaitkan dengan
nilai-nilai dan akhlak yang mulia. Wisata dalam pemahaman sebagian umat
terdahulu dikaitkan dengan upaya menyiksa diri dan mengharuskannya untuk
berjalan di muka bumi, serta membuat badan letih sebagai hukuman baginya atau
zuhud dalam dunianya. Islam datang untuk menghapuskan pemahaman negatif yang
berlawanan dengan (makna) wisata.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hani dari Ahmad bin
Hanbal, beliau ditanya tentang seseorang yang bepergian atau bermukim di suatu
kota, mana yang lebih anda sukai? Beliau menjawab: "Wisata tidak ada
sedikit pun dalam Islam, tidak juga prilaku para nabi dan orang-orang saleh."
(Talbis Iblis, 340).
Ibnu Rajab mengomentari perkataan Imam Ahmad
dengan mengatakan: "Wisata dengan pemahaman ini telah dilakukan oleh sekelompok orang
yang dikenal suka beribadah dan bersungguh-sungguh tanpa didasari ilmu. Di antara mereka ada
yang kembali ketika mengetahui hal itu." (Fathul-Bari, karangan Ibnu
Rajab, 1/56)
Kamudian Islam datang untuk meninggikan
pemahaman wisata dengan mengaitkannya dengan tujuan-tujuan yang mulia. Di
antaranya
1. Mengaitkan wisata dengan ibadah, sehingga
mengharuskan adanya safar -atau wisata- untuk menunaikan salah satu rukun dalam
agama yaitu haji pada bulan-bulan tertentu. Disyariatkan umrah ke Baitullah
Ta’ala dalam satahun.
Ketika ada seseorang datang kepada Nabi
sallallahu alaihi wa sallam minta izin untuk berwisata dengan pemahaman lama,
yaitu safar dengan makna kerahiban atau
sekedar menyiksa diri, Nabi sallallahu alaihi wa sallam memberi petunjuk kepada
maksud yang lebih mulia dan tinggi dari sekedar berwisata dengan mengatakan
kepadanya, “Sesunguhnya wisatanya umatku adalah berjihad di jalan Allah.” (HR.
Abu Daud, 2486, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud dan
dikuatkan sanadnya oleh Al-Iraqi dalam kitab Takhrij Ihya Ulumuddin, no. 2641).
Perhatikanlah bagaimana Nabi sallallahu alaihi wa sallam mengaitkan wisata yang
dianjurkan dengan tujuan yang agung dan mulia.
2. Demikian pula, dalam pemahaman Islam, wisata
dikaitkan dengan ilmu dan pengetahuan. Pada permulaan Islam, telah ada
perjalanan sangat agung dengan tujuan mencari ilmu dan menyebarkannya. Sampai
Al-Khatib Al-Bagdady menulis kitab yang terkenal ‘Ar-Rihlah Fi Tolabil Hadits’,
di dalamnya beliau mengumpulkan kisah orang yang melakukan perjalanan hanya
untuk mendapatkan dan mencari satu hadits saja.
Di antaranya adalah apa yang diucapkan oleh
sebagian tabiin terkait dengan firman Allah Ta’ala:
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ
السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدونَ الآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ
عَنِ الْمُنكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ (سورة
التوبة: 112)
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat,
beribadah, memuji, melawat, ruku, sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan
gembirakanlah orang-orang mukmin itu." (QS. At-Taubah: 112)
Ikrimah berkata ‘As-Saa'ihuna’ mereka adalah pencari
ilmu. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim
dalam tafsirnya, 7/429. Silakan lihat Fathul Qadir, 2/408. Meskipun
penafsiran yang benar menurut mayoritas ulama salaf bahwa yang dimaksud dengan
‘As-Saaihin’ adalah orang-orang yang
berpuasa.
3. Di antara maksud wisata dalam Islam adalah
mengambil pelajaran dan peringatan. Dalam Al-Qur’anulkarim terdapat perintah
untuk berjalan di muka bumi di beberapa tempat.
Allah berfirman: “Katakanlah:
'Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan itu." (QS. Al-An’am: 11)
Dalam ayat lain, “Katakanlah: 'Berjalanlah kamu
(di muka) bumi, lalu perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.”
(QS. An-Naml: 69)
Al-Qasimi rahimahullah berkata; ”Mereka berjalan
dan pergi ke beberapa tempat untuk melihat berbagai peninggalan sebagai
nasehat, pelajaran dan manfaat lainnya." (Mahasinu At-Ta’wil, 16/225)
4. Mungkin di antara maksud yang paling mulia
dari wisata dalam Islam adalah berdakwah kepada Allah Ta’ala, dan menyampaikan
kepada manusia cahaya yang diturunkan kepada Muhammad sallallahu alaihi wa
sallam. Itulah tugas para Rasul dan para Nabi dan orang-orang setelah mereka
dari kalangan para shahabat semoga, Allah meridhai mereka. Para shabat Nabi
sallallahu alaihi wa sallam telah menyebar ke ujung dunia untuk mengajarkan
kebaikan kepada manusia, mengajak mereka kepada kalimat yang benar. Kami
berharap wisata yang ada sekarang mengikuti wisata yang memiliki tujuan mulia dan agung.
5. Yang terakhir dari pemahaman wisata dalam
Islam adalah safar untuk merenungi keindahan
ciptaan Allah Ta’la, menikmati indahnya alam nan agung sebagai pendorong
jiwa manusia untuk menguatkan keimanan terhadap keesaan Allah dan memotivasi
menunaikan kewajiabn hidup. Karena refresing jiwa perlu untuk memulai semangat
kerja baru. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قُلْ سِيرُوا فِي الأَرْضِ فَانظُرُوا
كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (سورة العنكبوت:
20(
Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi,
maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (QS. Al-Ankabut: 20)
Kedua: Aturan wisata dalam Islam
Dalam ajaran Islam yang bijaksana terdapat hukum
yang mengatur dan mengarahkan agar
wisata tetap menjaga maksud-maksud yang telah disebutkan tadi, jangan
sampai keluar melewati batas, sehingga
wisata menjadi sumber keburukan dan
dampak negatif bagi masyarakat. Di antara hukum-hukum itu adalah:
1. Mengharamkan safar dengan maksud mengagungkan
tempat tertentu kecuali tiga masjid. Dari
Abu Hurairah radhiallahu anhu sesungguhnya Nabi sallallahu’alai wa
sallam bersabda:
لا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلا إِلَى
ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الأَقْصَى (رواه البخاري، رقم 1132 ومسلم،
رقم 1397)
“Tidak dibolehkan melakukan perjalanan kecuali
ke tiga masjid, Masjidil Haram, Masjid Rasulullah sallallahu’alaihi wa saal dan
Masjidil Aqsha." (HR. Bukhari, no. 1132, Muslim, no. 1397)
Hadits ini menunjukkan akan haramnya promosi wisata yang dinamakan Wisata Religi
ke selain tiga masjid, seperti ajakan
mengajak wisata ziarah kubur, menyaksikan tempat-tempat peninggalan kuno, terutama peninggalan yang
diagungkan manusia, sehingga mereka terjerumus dalam berbagai bentuk kesyirikan yang membinasakan.
Dalam ajaran Islam tidak ada pengagungan pada tempat tertentu dengan menunaikan
ibadah di dalamnya sehingga menjadi tempat yang
diagungkan selain tiga tempat tadi.
Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, "Aku
pergi Thur (gunung Tursina di Mesir),
kemudian aku bertemu Ka’b Al-Ahbar,
lalu duduk bersamanya, lau beliau menyebutkan hadits yang panjang, kemudian berkata, "Lalu aku bertemu
Bashrah bin Abi Bashrah Al-Ghifary dan berkata, "Dari mana kamu
datang?" Aku menjawab, "Dari (gunung) Thur." Lalu beliau mengatakan, "Jika aku menemuimu sebelum engkau keluar ke sana, maka
(akan melarang) mu pergi, karena aku mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid, ke
Masjidil Haram, Masjidku ini dan Masjid Iliyya atau Baitul Maqdis." (HR.
Malik dalam Al-Muwatha, no. 108. Nasa’i, no. 1430, dinyatakan shahih oleh
Al-Albany dalam Shahih An-Nasa’i)
Maka tidak dibolehkan memulai perjalanan menuju
tempat suci selain tiga tempat ini. Hal
itu bukan berarti dilarang
mengunjungi masjid-masjid yang ada di negara muslim, karena kunjungan kesana
dibolehkan, bahkan dianjurkan. Akan tetapi yang dilarang adalah melakukan safar
dengan niat seperti itu. Kalau ada
tujuan lain dalam safar, lalu diikuti dengan berkunjung ke (masjid), maka hal
itu tidak mengapa. Bahkan terkadang diharuskan untuk menunaikan jum’at dan
shalat berjamaah. Yang keharamannya lebih berat adalah apabila kunjungannya ke
tempat-tempat suci agama lain. Seperti pergi mengunjungi Vatikan atau patung
Budha atau lainnya yang serupa.
2. Ada juga dalil yang mengharamkan wisata
seorang muslim ke negara kafir secara umum. Karena berdampak buruk terhadap
agama dan akhlak seorang muslim, akibat bercampur dengan kaum yang tidak
mengindahkan agama dan akhlak. Khususnya apab ila tidak ada keperluan
dalam safar tersebut seperti untuk berobat, berdagang
atau semisalnya, kecuali Cuma sekedar bersenang senang dan rekreasi.
Sesungguhnya Allah telah menjadikan negara muslim memiliki keindahan penciptaan-Nya, sehingga tidak
perlu pergi ke negara orang kafir.
Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah berkata:
“Tidak boleh Safar ke negara kafir, karena ada kekhawatiran terhadap akidah,
akhlak, akibat bercampur dan menetap di tengah
orang kafir di antara mereka.
Akan tetapi kalau ada keperluan mendesak dan tujuan yang benar untuk safar ke
negara mereka seperti safar untuk berobat yang tidak ada di negaranya atau
safar untuk belajar yang tidak didapatkan di negara muslim atau safar untuk
berdagang, kesemuanya ini adalah tujuan yang benar, maka dibolehkan safar ke
negara kafir dengan syarat menjaga syiar keislaman dan memungkinkan
melaksanakan agamanya di negeri mereka. Hendaklah seperlunya, lalu kembali ke
negeri Islam. Adapun kalau safarnya hanya untuk wisata, maka tidak dibolehkan.
Karena seorang muslim tidak membutuhkan hal itu serta tidak ada manfaat yang
sama atau yang lebih kuat dibandingkan dengan bahaya dan kerusakan pada agama
dan keyakinan. (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2 soal no. 221)
Penegasan tentang masalah ini telah diuraikan
dalam situs kami secara terperinci dan
panjang lebar. Silakan lihat soal no. 13342, 8919, 52845.
3. Tidak diragukan lagi bahwa ajaran Islam
melarang wisata ke tempat-tempat rusak yang terdapat minuman keras, perzinaan,
berbagai kemaksiatan seperti di pinggir
pantai yang bebas dan acara-acara bebas dan tempat-tempat kemaksiatan.
Atau juga diharamkan safar untuk mengadakan perayaan bid’ah. Karena seorang
muslim diperintahkan untuk menjauhi kemaksiatan maka jangan terjerumus
(kedalamnya) dan jangan duduk dengan orang yang melakukan itu.
Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah mengatakan:
“Tidak diperkenankan bepergian ke tempat-tempat kerusakan untuk berwisata.
Karena hal itu mengundang bahaya terhadap agama dan akhlak. Karena ajaran Islam
datang untuk menutup peluang yang menjerumuskan kepada keburukan." (Fatawa
Al-Lajnah Ad-Daimah, 26/332)
Bagaimana dengan wisata yang menganjurkan
kemaksiatan dan prilaku tercela, lalu kita ikut
mengatur, mendukung dan menganjurkannya?
Para ulama Al-Lajnah Ad-Daimah juga berkata:
“Kalau wisata tersebut mengandung unsur memudahkan melakukan kemaksiatan dan kemunkaran
serta mengajak kesana, maka tidak boleh bagi seorang muslim yang beriman kepada
Allah dan hari Akhir membantu untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah dan
menyalahi perintahNya. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, maka
Allah akan mengganti yang lebih baik dari itu. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah,
26/224)
4. Adapun berkunjung ke bekas peninggalan umat
terdahulu dan situs-situs kuno , jika itu adalah bekas tempat turunnya azab, atau tempat suatu
kaum dibinasakan sebab kekufurannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka
tidak dibolehkan menjadikan tempat ini sebagai tempat wisata dan hiburan.
Para Ulama dalam Al-Lajnah Ad-Daimah ditanya,
ada di kota Al-Bada di provinsi Tabuk
terdapat peninggalan kuno dan rumah-rumah yang diukir di gunung. Sebagian orang
mengatakan bahwa itu adalah tempat tinggal kaum Nabi Syu’aib alaihis salam.
Pertanyaannya adalah, apakah ada dalil
bahwa ini adalah tempat tinggal kaum Syu’aib –alaihis salam- atau tidak
ada dalil akan hal itu? dan apa hukum mengunjungi tempat purbakala itu bagi
orang yang bermaksuk untuk sekedar melihat-lihat dan bagi yang bermaksud
mengambil pelajaran dan nasehat?
Mereka menjawab: “Menurut ahli sejarah dikenal
bahwa tempat tinggal bangsa Madyan yang
diutus kepada mereka Nabiyullah Syu’aib alaihis shalatu was salam berada
di arah barat daya Jazirah Arab yang
sekarang dinamakan Al-Bada dan sekitarnya. Wallahu’alam akan kebenarannya. Jika
itu benar, maka tidak diperkenankan berkunjung ke tempat ini dengan tujuan
sekedar melihat-lihat. Karena Nabi
sallallahu’alaihi wa sallam ketika melewati Al-Hijr, yaitu tempat tinggal bangsa Tsamud (yang dibinasakan) beliau
bersabda: “Janganlah kalian memasuki
tempat tinggal orang-orang yang telah menzalimi dirinya, khawatir kalian
tertimpa seperti yang menimpa mereka,
kecuali kalian dalam kondisi manangis. Lalu beliau menundukkan kepala
dan berjalan cepat sampai melewati
sungai." (HR. Bukhari, no. 3200 dan Muslim, no. 2980)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkomentar ketika
menjelaskan manfaat dan hukum yang diambil dari peristiwa perang Tabuk, di
antaranya adalah barangsiapa yang melewati di tempat mereka yang Allah murkai
dan turunkan azab, tidak sepatutnya dia memasukinya dan menetap di dalamnya,
tetapi hendaknya dia mempercepat jalannya dan menutup wajahnya hingga lewat.
Tidak boleh memasukinya kecuali dalam kondisi menangis dan mengambil pelajaran.
Dengan landasan ini, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam menyegerakan jalan di
wadi (sungai) Muhassir antara Mina dan Muzdalifah, karena di tempat itu Allah
membinasakan pasukan gajah dan orang-orangnya." (Zadul Ma’ad, 3/560)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam
menjelaskan hadits tadi, "Hal ini mencakup
negeri Tsamud dan negeri lainnya
yang sifatnya sama meskipun sebabnya terkait dengan mereka." (Fathul Bari,
6/380).
Silakan lihat kumpulan riset Majelis Ulama Saudi
Arabia jilid ketiga, paper dengan judul Hukmu
Ihyai Diyar Tsamud (hukum menghidupkan perkampungan Tsamud). Juga
silahkan lihat soal jawab no. 20894.
5. Tidak dibolehkan juga wanita bepergian tanpa
mahram. Para ulama telah memberikan fatwa haramnya wanita pergi haji atau umrah
tanpa mahram. Bagaimana dengan safar untuk
wisata yang di dalamnya banyak tasahul
(mempermudah masalah) dan campur baur yang diharamkan? Silakan lihat soal jawab
no. 4523, 45917, 69337 dan 3098.
6. Adapun mengatur wisata
untuk orang kafir di negara Islam, asalnya dibolehkan. Wisatawan kafir kalau
diizinkan oleh pemerintahan Islam untuk masuk maka diberi keamanan sampai
keluar. Akan tetapi keberadaannya di negara Islam harus terikat dan menghormati
agama Islam, akhlak umat Islam dan kebudayaannya. Dia pun di larang
mendakwahkan agamanya dan tidak menuduh Islam dengan batil. Mereka juga tidak
boleh keluar kecuali dengan penampilan sopan dan memakai pakaian yang sesuai
untuk negara Islam, bukan dengan pakaian yang biasa dia pakai di negaranya
dengan terbuka dan tanpa baju. Mereka juga bukan sebagai mata-mata atau
spionase untuk negaranya. Yang terakhir tidak diperbolehkan berkunjung ke dua
tempat suci; Mekkah dan Madinah.
Ketiga:Tidak tersembunyi bagi siapa pun bahwa
dunia wisata sekarang lebih dominan dengan kemaksiatan, segala perbuatan buruk
dan melanggar yang diharamkan, baik sengaja bersolek diri, telanjang di
tempat-tempat umum, bercampur baur yang bebas, meminum khamar, memasarkan
kebejatan, menyerupai orang kafir, mengambil kebiasaan dan akhlaknya bahkan
sampai penyakit mereka yang berbahaya. Belum lagi, menghamburkan uang
yang banyak dan waktu serta kesungguhan. Semua itu dibungkus dengan nama
wisata. Maka ingatlah bagi yang mempunyai kecemburuan terhadap agama, akhlak
dan umatnya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, jangan sampai menjadi penolong
untuk mempromosikan wisata fasik
ini. Akan tetapi hendaknya memeranginya dan
memerangi
ajakan mempromosikannya. Hendaknya bangga dengan
agama, wawasan dan akhlaknya. Hal tersebut akan menjadikan negeri kita
terpelihara dari segala keburukan dan mendapatkankan pengganti keindahan
penciptaan Allah ta’ala di negara islam yang terjaga.
Wallahu’alam .

Asep Hidayat,S.Ag
Alumnus :
IAIN Raden Intan Lampung Jur. Dakwah 1995
Pondok Pesantren Al-Ihya
Lembaga Pendidikan Wartawan Islam UMMUL QURO
SMAN 2 Bandar Lampung
Langganan:
Postingan (Atom)