Imam Ahmad Sosok Ulama Yang Teguh Diatas Kebenaran
Imam Ahmad Sosok
Ulama Yang Teguh Diatas Kebenaran
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu bagi -Nya, dan aku juga bersaksai
bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi wa
sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Berikut
ini adalah rangkaian dari kisah perjalanan hidupnya seorang ulama besar dari
para Imam umat ini, Imamnya para imam pembawa petunjuk, dengan melalui
perantara beliau Allah Shubhanahu wa
ta’alla menolong agama ini dan menjaga sunah Nabi -Nya. Beliau
lahir pada tahun 164 H, dan tumbuh dalam keadaan yatim. Ayahnya meninggal
tatkala dirinya masih kecil, kemudaian beliau mulai menuntut ilmu dikala
usianya masih lima belas tahun, bertubuh sedikit jangkung dengan warna kulit
sawo matang, dan menikah pada umurnya yang ke empat puluh tahun.
Abu
Zur'ah ar-Razi menuturkan, “Beliau
memiliki hafalan satu juta hadits”.
Tatkala beliau ditanya akan hal itu, beliau mengatakan, "Aku belajar
padanya dan mengambil hadits dengan jumlah yang banyak darinya'. Imam
adz-Dzahabi menjelaskan, "Dan kisah ini adalah benar, yang menunjukan akan
keluasan ilmu yang dimiliki oleh Abu Abdillah (Imam Ahmad). Dan mereka didalam
menghitung jumlah hafalan yang dimiliki oleh beliau, karena ada yang sifatnya
berulang-ulang, ada yang hanya atsar dari sahabat, fatwanya para Tabi'in, dan
tafsiran beliau dan yang semisal dengan itu semua. Karena kalau dijumlah
seluruh matan hadits shahih yang ada, tentu tidak akan sampai pada angka
bilangan satu juta hadits".[1]
Beliau
adalah imamnya Ahlu Sunah wal Jama'ah, syaikhul Islam Ahmad bin Muhammad bin
Hanbal adz-Dzahli asy-Syaibani al-Marwazi kemudian al-Baghdadi, beliau
mempunyai kun'yah Abu Abdillah. Imam Syafi'i menyatakan, "Aku pergi
meninggalkan negeri Baghdad dan tidaklah aku tinggalkan disana seorang yang
lebih mulia, lebih berilmu dan bertakwa dari pada Ahmad bin Hanbal". Berkata
Ishaq bin Rahawaih tentang beliau, "Ahmad bin Hanbal adalah hujah yang
Allah Shubhanahu wa ta’alla turunkan
kepada hamba dan Diri -Nya".
Adz-Dzahabi
melanjutkan tentang sirahnya, "Adalah Ahmad bin Hanbal sangat agung
urusannya, pemimpin dalam ilmu hadits, ilmu fikih, serta ilmu ibadah. Beliau
telah mendapat pengakuan dari lawan-lawannya, sehingga tidak bisa di bedakan
mana saudara dan kerabatnya? Beliau sangat disegani ketika berbicara tentang
Dzat nya Allah azza wa jalla, sampai sekiranya Abu Ubaid mengatakan tentangnya,
"Tidak ada seorangpun yang lebih disegani ucapannya dalam masalah Dzat
Allah Shubhanahu wa ta’alla melebihi
ucapannya Ahmad bin Hanbal".
Konon,
dikisahkan bahwa para penuntut ilmu yang hadir dimajelisnya Imam Ahmad kurang
lebih lima ribu orang, diceritakan sekitar lima ratus orang yang mencatat
hadits darinya, sedang sisanya hanya melihat dan mempelajari adab dan etikanya
beliau. Pernah suatu ketika sahabatnya bertanya pada beliau, "Sampai kapan
engkau akan terus menuntut ilmu, sedangkan sekarang engkau adalah seorang
imamnya kaum muslimin? Beliau menjawab, "Mulai dari buaian sampai ke liang
lahat".
Beliau
–semoga Allah Shubhanahu wa
ta’alla merahmatinya- adalah seorang yang sangat fakih dan
zuhud dalam urusan dunia. Imam an-Nasa'i menuturkan, "Telah terkumpul
dalam diri Ahmad bin Hanbal ilmu yang berkaitan tentang hadits, fikih, wara',
zuhud, dan kesabaran". Sedang
Abu Dawud mensifati beliau dengan mengatakan, "Majelisnya Ahmad bin Hanbal
adalah majelis yang menggambarkan tentang akhirat, tidak pernah sedikitpun
disebut dalam majelis beliau perkara dunia. Aku tidak pernah beliau
menyebut-yebut urusan dunia sedikitpun".
Ahmad
bin Sanan menjelaskan, "Telah sampai berita kepadaku kalau Ahmad bin
Hanbal menggadaikan sendalnya kepada tukang roti di Yaman, dan dirinya
menangguhkan dengan menambah dua ekor onta tatkala keluar dari negeri Yaman,
kemudian Abdurrazaq menawarkan padanya uang dua dirham untuknya, namun dirinya
enggan menerimanya". Berkata al-Marwadzi
mengkisahkan beliau, "Adalah Abu Abdillah, apabila disebut tentang
kematian disisinya, maka beliau menangis tersedu-sedu khawatir akan hal itu.
Dan beliau pernah mengatakan, "Ketakutanku menjadikan diriku segan untuk
makan dan minum, jika aku mengingat kematian, menjadiku mudah melupakan semua
problematika dunia, makananku hanya cukup untuk menegakkan punggungku,
pakaianku sebatas menutup semua auratku. Sungguh dunia adalah bagian dari
hari-hari yang sangat pendek, yang aku tidak khawatirkan tentang kefakiran
sedikit pun, kalau seandainya ada jalan yang aku bisa keluar dari kesibukan
dunia tentu aku sudah keluar darinya sampai kiranya tidak ada lagi yang
mengenangku".
Beliau
juga pernah memberi petuah, "Aku ingin kiranya aku berada dilembah Makah
sampai kiranya tidak ada orang yang mengenalku, sungguh aku merasa tertimpa
musibah dengan ketenaran". Imam
Ahmad adalah seorang yang sangat bertakwa, wara' dan rendah diri. Hal itu
seperti yang dikatakan oleh Yahya bin Ma'in, "Tidak pernah aku melihat
yang semisal dengan Ahmad bin Hanbal, aku telah menjalin persahabatan dengannya
selama lebih dari lima puluh tahun, beliau tidak pernah membanggakan diri atas
kami dengan sesuatu kebajikan yang beliau lakukan". Al-Marwadzi
menambahkan, "Aku pernah mengatakan pada Abu Abdillah, "Betapa banyak
orang yang mendo'akanmu". Beliau menjawab, "Aku khawatir ini termasuk
istidraj (fitnah), apa alasanya? Aku katakan padanya, "Ada seseorang
datang dari negeri Thurthus lalu menceritakan, "Kami berada dinegeri
Romawi dalam sebuah peperangan. Tatkala malam membawa kesunyian para pasukan
mulai mengangkat suaranya dengan do'a, sembari mengingatkan, "Berdo'alah
untuk Abu Abdillah". Lantas kami membentangkan senjata, lalu kami lempar
setelahnya kepada musuh yang sedang naik kuda dengan baju perang dan perisainya
kemudian diapun mati lalu dipenggallah kepala dan diambil baju perisainya.
Al-Marwadzi
melanjutkan, "Maka seketika itu wajah beliau berubah, dan berkata,
"Aku berharap semoga ini bukan istidraj". Aku katakan padanya,
"Sungguh sekali-kali tidak”. Lalu ada
seorang lagi yang masuk pada beliau, lantas dirinya menyanjung dan memuji
beliau sambil mengatakan, "Semoga Allah Shubhanahu
wa ta’alla memberi balasan kepadamu atas jasamu terhadap Islam
dengan sebaik-baik balasan". Maka beliau sangat bersedih hati dan
mengatakan, "Bahkan, semoga Allah Shubhanahu
wa ta’alla memberi balasan kepada Islam atas kebaikan yang
diberikan padaku, siapa saya, apa artinya saya dibanding Islam".
Berkata
anaknya, Sholeh tentang ayahnya,
"Ayahku, merupakan tradisi beliau jika dido'akan oleh orang lain beliau
menerangkan padanya, "Sesungguhnya amalan tersebut tergantung pada akhir
penghidupannya". Muridnya al-Marwadzi menceritakan,
"Pada suatu hari aku bertanya pada beliau, "Bagaimana keadaanmu
dipagi hari ini? Beliau berkata, "Bagaimana aku mampu menjawab, dipagi
hari yang seseorang dituntut oleh Rabbnya supaya menunaikan
kewajiban-kewajibannya. Nabinya menuntut agar mengerjakan sunah-sunahnya,
sedang dua malaikat selalu mengawasi agar senantiasa memperbagusi amalannya,
dan dirinya merongrong untuk mengikuti hawa nafsunya, iblis mendorong agar
berbuat kenistaan, sedang malaikat maut mengintainya untuk mencabut nyawanya,
dan keluarganya menuntut untuk dipenuhi nafkahnya".
Beliau
juga bercerita, "Tatkala disebut dihadapan Imam Ahmad tentang akhlaknya
orang-orang yang wara' beliau berkata, "Aku memohon kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semoga tidak
menjadikan kami membencinya. Dimana kami bila dibanding dengan mereka-mereka
itu? Ini menunjukan tentang tawadhunya beliau sedang beliau adalah Imamnya ahli
wara'. Imam Ahmad adalah seorang ulama yang tegar didalam menjelaskan kebenaran
dan bersabar terhadap ujian yang menimpanya disebabkan hal itu. Sebagaimana
diirinya telah diuji oleh karenanya.
Diterangkan oleh adz-Dzahabi, "Penjelas kebenaran sangatlah agung
kedudukannya, dirinya butuh ekstra didalam kemauan
dan keikhlasan. Beliau melanjutkan, "Seseorang yang bisa ikhlas namun
tidak memiliki kekuatan, dirinya akan kandas ditengah perjalanannya. Adapun
kekuatan tanpa dibarengi keikhlasan maka akan menyebabkan dirinya jauh dari
pertolongan. Sehingga barangsiapa yang mampu memadukan antara keduanya secara
sempurna maka dirinya adalah shidiq (jujur). Dan siapa yang lemah maka paling
tidak dirinya akan mengeluh dan hatinya mengingkari, dan tidak ada lagi
keimanan yang tersisa setelah itu, maka tidak ada kekuatan melainkan dari Allah
Shubhanahu wa ta’alla semata".[2]
Berkata
Ali bin al-Madini, "Allah Shubhanahu wa ta’alla telah
memuliakan agama ini dengan dua orang, Abu Bakar Shidiq tatkala beliau
memerangi ahli ridah (yang berpaling keluar dari Islam) sedang yang kedua
adalah Ahmad bin Hanbal ketika terjadi fitnah pemikiran al-Qur'an adalah
makhluk".
Allah
tabaraka wa ta'ala berfirman:
﴿الٓمٓ ١
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ
٢ وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ
صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣﴾[العنكبوت:1-3]
"Alif laam miim. Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah
beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? dan sesungguhnya Kami telah
menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka sesungguhnya Allah mengetahui
orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang
dusta". (QS al-Ankabuut: 1-3).
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam
sunannya dari Sa'ad bin Abi Waqash radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,
"Aku pernah bertanya pada Rasulallah, "Ya Rasulallah, siapakah orang
yang paling berat mendapat ujian? Beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ
فَالْأَمْثَلُ يُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ فَإِنْ كَانَ دِينُهُ
صُلْبًا اشْتَدَّ بَلَاؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى
حَسَبِ دِينِهِ » [أخرجه الترمذي]
"Para nabi
kemudian yang semisal dan yang semisal dengan mereka. Seseorang diuji sesuai dengan
kadar agama yang dia peluk, jika agama yang dipegang
cukup kuat maka ujiannya semakin besar, kalau agamanya sedikit lembek ujian
yang diterimanya pun sesuai dengan kadar tingkat agamanya".
HR at-Tirmidzi no: 2398.
Tatkala meletus fitnah al-Qur'an adalah makhluk pada
masanya al-Ma'mun, Sholeh anak Imam Ahmad mengkisahkan, "Kemudian
orang-orang (para ulama) pada saat itu mendapat ujian dan dipersiapkan bagi
siapa saja yang menolaknya untuk dijebloskan ke dalam penjara. Maka semuanya
menuruti kemauan mereka kecuali empat orang, Ayahku, Muhammad bin Nuh,
al-Qawariri, dan Hasan bin Hamad. Kemudian diantara empat orang ini dua orang
akhirnya menyerah sehingga tinggal dua yang enggan yaitu Ayahku dan Muhammad
sehingga keduanya ditahan beberapa waktu. Kemudian datang surat perintah dari
Thurthus untuk membawa keduanya dengan tangan terikat. Lantas ditengah
perjalanan Muhammad bin Nuh meninggal dunia sehingga tinggal ayahku sendirian
yang dibawa menghadap mereka.
Abas
ad-Dauri mengatakan, "Aku pernah mendengar Abu Ja'far mengkisahkan,
"Tatkala Imam Ahmad digelendang dibawa menghadap al-Ma'mun, aku kabarkan
beritanya kepada al-Farat, ketika itu aku dapati dirinya sedang duduk
dikedainya lalu aku ucapkan salam padanya. Dia
berkata, "Wahai Abu Ja'far, engkau membawa berita duka". Aku katakan,
"Duhai anda, sekarang engkau adalah ulama panutan, banyak manusia
mengikutimu. Demi Allah, kalau seandainya engkau menuruti mereka dengan mengatakan
al-Qur'an adalah makhluk tentu orang-orang akan menirumu. Dan membuat Ahmad bin
Hanbal menangis dan hanya mampu mengucapkan, "Apa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla kehendaki
pasti terjadi".
Kemudian dia berkata, "Wahai Abu Ja'far, ulangi
lagi nasehatmu". Akupun mengulangi lagi, lalu beliau berkata. "Apa
yang Allah Shubhanahu wa ta’alla kehendaki pasti terjadi". Ibrahim bin Abdillah
menuturkan, "Pernah Ahmad bin Hanbal mengucapkan, "Tidak ada sebuah
ucapan yang menusuk kalbuku semenjak terjadinya fitnah ini dari pada ucapannya
seorang Arab badui yang berkata padaku, "Wahai Ahmad, jika kebenaran yang
membunuhmu maka engkau mati syahid, dan jika engkau selamat, engkau akan hidup
dalam keadaan terpuji". Seketika itu kalimat tersebut menguatkan hatiku.
Muhammad bin Ibrahim mengatakan, "Orang-orang
menyebut-yebut Abu Abdillah (Imam Ahmad) dengan kehalusan budi pekerti dalam
masalah ketakwaan, dan kisah yang berkaitan dengannya. Ada yang bertanya, "Apa yang akan kalian lakukan
dengan haditsnya Khabab? Yaitu hadits yang bunyinya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كَانَ الرَّجُلُ فِيمَنْ قَبْلَكُمْ
يُحْفَرُ لَهُ فِي الْأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيهِ فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ
عَلَى رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَتَيْنِ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُمْشَطُ
بِأَمْشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ لَحْمِهِ مِنْ
عَظْمٍ أَوْ عَصَبٍ وَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ » [أخرجه البخاري]
"Dahulu ada seorang
dari kalangan sebelum kalian yang dibuatkan lubang ditanah untuknya lalu
dirinya dimasukan kedalamnya. Lantas didatangkan padanya gergaji lalu diletakan
diatas kepalanya sehingga kepalanya terbelah menjadi dua. Namun, lelaki tadi
tetap teguh dalam mempertahankan agamanya. Ada lagi seseorang yang disisir
dengan menggunakan sisir dari besi sehingga terpisah daging dan tulangnya, atau
urat sarafnya, namun, itu semua tidak menjadikan dirinya gentar sehingga dia
tetap teguh dalam agamanya". HR Bukhari no: 3612.
Maka
fitnah itu membikin kami berputus asa. Lantas dia berkata, "Aku tidak
peduli dengan tahanan, tidaklah penjara kecuali sama seperti rumah bagiku,
bukan tebasan pedang yang kutakuti, namun, fitnah cambuk yang kutakuti. Maka
ada sebagian penghuni penjara yang mendengar ucapan beliau, lantas dia berkata,
"Tidak mengapa wahai Abu Abdillah, tidak ada cambuk kecuali dua cambukan
kemudian engkau tidak lagi merasakan sisanya". Seakan-akan dirinya lenyap
setelah itu.
Sholeh bin Ahmad mengkisahkan, "Ayahku berkata,
"Tatkala kami dibawa dan sampai dinegeri perbatasan, kemudian di
pertengahan malam kami tinggalkan tempat tersebut, maka ketika pintunya
dibukakan untuk kami tiba-tiba ada seseorang datang sambil menyeru,
"Kabar gembira, dirinya telah meninggal –Yang dimaksud adalah al-Ma'mun-.
Ayahku berkata, "Dan aku berdo'a kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla agar aku tidak dipertemukan dengannya". Setelah itu Ahmad terus ditahan di
Ruqah sampai diba'iatnya Mu'tashim menjadi Khalifah setelah kematian
saudaranya. Diapun sama dengan saudarnya, memberi titah supaya menyiksa Imam
Ahmad, dengan memberi cambukan sampai dirinya pingsan beberapa kali.
Sholeh
melanjutkan, "Kemudian beliau dibebaskan dan dikembalikan pulang
kerumahnya. Dan beliau tinggal didalam penjara semenjak mulai dimasukan sampai
berlalu, selama dua puluh delapan bulan". Diantara
akhlak mulia beliau, ialah pemaaf dan lapang dada sampai kepada lawan yang
paling membenci serta menyiksanya. Diantara ucapan beliau ialah, "Setiap
orang yang menyebut tentang diriku maka aku halalkan baginya kecuali bagi ahli
bid'ah. Dan telah aku jadikan bagi Abu Ishaq –yakni al-Mu'tashim- halal
kehoramatanku. Karena aku mendapati Allah Shubhanahu
wa ta’alla berfirman dalam ayat -Nya:
﴿وَلۡيَعۡفُواْ
وَلۡيَصۡفَحُوٓاْۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَن يَغۡفِرَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ
رَّحِيمٌ ٢٢﴾[النور: 22]
"Dan hendaklah mereka
mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS an-Nuur: 22).
Dan
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam menyuruh Abu Bakar supaya memaafkan dalam kisahnya Misthah. Abu Abdillah mengatakan,
"Apa manfaatmu dengan menyebabkan saudaramu sesama muslim tersiksa?
Berilah maaf padanya dan berlapang dadalah maka Allah Shubhanahu wa ta’alla akan
mengampunimu sebagaimana yang -Dia
janjikan akan hal itu.
Beliau juga berkata pada ahli bid'ah, "Antara
kita dan kalian ada sholat jenazah". Berkata Abdul Wahab al-Waraq
mengkisahkan kematian beliau, "Belum pernah sampai kepada kita sejarah
dalam masa Jahilayah tidak pula masa Islam sebelumnya akan banyaknya orang yang
berkumpul untuk menyolati jenazah beliau. Sampai kiranya sampai kepada kita,
bahwa tidak ada tempat yang bisa untuk sholat melainkan disitu ada sekumpulan
orang yang ikut menyolati jenazahnya, sehingga terkumpul pada saat itu satu
juta orang. Orang-orang berlomba-lomba membukakan pintu-pintu rumahnya
dijalanan dan pintu gerbang sambil mempersilahkan, 'Siapakah yang ingin
berwudhu".[3] Beliau meninggal dunia pada hari
jum'at tanggal 12 Rabi'ul awal tahun 241 H. semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla merahmati
beliau dengan rahmat -Nya yang luas. Dan semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla membalas
beliau akan jasa-jasanya kepada Islam dan kaum muslimin sebaik-baik balasan.
Dan mengumpulkan kita bersamanya dinegeri kenikmatan bersama para Nabi,
Shidiqin, para syuhada serta orang-orang sholeh. Dan mereka adalah sebaik-baik
teman.
Akhirnya kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla
Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga Allah Shubhanahu wa ta’alla
curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
Post a Comment