Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, Saat Kritis, Beliau Tetap Melakukan Nahi Mungkar
Umar bin
Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu, Saat Kritis, Beliau Tetap Melakukan Nahi
Mungkar
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya. Siapa yang tak mengenal
Amirul-Mukminin 'Umar Al-Faruq? Sebuah nama yang menciutkan nyali kaum
musyrikin Quraisy setelah beliau menyatakan memeluk Islam. Sejarah hidupnya
sarat dengan peristiwa yang amat berkesan. Kisah-kisahnya menggoreskan kesan
mendalam. Alangkah baiknya, bila para orang tua mengajarkan sejarah salah
seorang sahabat terdekat Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam ke generasi penerus, putra-putrinya, sehingga kaum Muslimin dapat mereguk
pelajaran dan nilai-nilai luhur dari sifat dan etikanya dalam menegakkan
keadilan, rahmat, wara' dan khasy-yah (rasa takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla), dan kasih sayangnya kepada umat.
Betapa banyak momentum
menarik dan sisi keteladanan dari perjalanan hidup Abu Hafsh 'Umar bin
Khaththab Radhiyallahu anhu. Salah satu momentum terakhir dari perjalanan hidup
beliau, yakni saat ajal menjemputnya pada tahun 23 H.
Marilah kita baca kisah
kematian beliau dari kitab Shahîh Bukhari yang dikisahkan oleh 'Amr bin Maimun [1] . 'Amr bin Maimun memulai kisahnya dengan berkata: "Empat hari sebelum
ditikam, aku melihat 'Umar bin Khaththab di Madinah menghampiri Hudzaifah bin
Al-Yaman dan 'Utsman bin Hunaif. Beliau bertanya,"Bagaimana pekerjaan kalian?
Apakah kalian berdua takut membebani bumi dengan apa yang tidak dapat
dipikulnya?"
Mereka menjawab,"Kami telah
membebaninya sebuah urusan yang dapat diselesaikan. Tidak banyak yang
tersisa."
Perlu diketahui, 'Umar telah
mendelegasikan mereka untuk memungut jiz-yah atas penduduk yang wajib
membayarnya. Kemudian 'Umar berkata lagi: "Bila Allah Shubhanahu wa ta’ala masih memberiku keselamatan, niscaya tidak akan aku biarkan
para janda di Irak membutuhkan seorang lelaki (pelindung) setelahku
nanti." 'Amr melanjutkan: “Tidaklah empat hari berlalu setelah itu, kecuali
beliau terkena tikaman. Aku berdiri di dekat beliau (dalam shalat) yang
dipisahkan Ibnu 'Abbas Radhiyallahu anhuma pada hari penikaman. Setiap saat
melewati antara shaf, beliau berseru: "Luruskan!", hingga ketika
sudah tidak terlihat adanya celah, maka beliau ke depan dan bertakbir untuk
shalat Subuh. Kadang beliau membaca surat Yusuf atau An-Nahl atau yang sejenis
di rakaat pertama, sampai orang-orang banyak berdatangan. Saat beliau ingin
bertakbir, terjadilah penikaman. Ketika ditikam, beliau mengatakan:
"Seekor anjing telah membunuhku (atau memakanku)". Kemudian orang kafir (si
penikam) itu membabi buta dengan pisau yang bermata dua. Dia tidak melewati
orang di kanan kirinya, kecuali dengan menikamnya. Sampai berjumlah tiga belas
orang. Tujuh di antaranya meninggal. Ketika melihat pemandangan itu, seorang
lelaki melemparkan mantel orang itu. Maka, (tatkala) si penikam yakin akan
tertangkap, akhirnya ia bunuh diri.
'Umar Radhiyallahu anhu
meraih tangan 'Abdur-Rahman Radhiyallahu anhu yang berada di dekatnya (agar
meneruskan shalat bersama jama'ah). Ia melihat semua kejadian itu. Sedangkan
orang yang berada di belakang, tidak mengetahui apa-apa, hanya saja mereka
sudah tidak lagi mendengar suara 'Umar Radhiyallahu anhu.
Mereka mengatakan:
"Subhanallah!".
Maka 'Abdur-Rahman bin 'Auf
meneruskan shalat yang pendek. Ketika orang-orang telah pulang, 'Umar bertanya
kepada Ibnu 'Abbas: "Coba lihat siapa yang membunuhku! Ia berkeliling
sejenak dan kembali dengan menjawab: "Ia budak Mughirah". 'Umar
berkata: "Semoga Allah Shubhanahu wa
ta’alla memeranginya.
Aku telah berbuat baik kepadanya. Segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla yang menjadikan kematianku tidak di
tangan orang yang mengaku Islam.
Kemudian kami membawanya ke
rumah. Seolah-olah orang-orang tidak pernah tertimpa musibah sebelumnya dengan
penikaman 'Umar ini. Beliau diminumi susu, tetapi air susunya keluar melalui
luka tusuknya. Maka orang-orang mengetahui, bahwa beliau akan meninggal. Kami menemui beliau,
orang-orang pun mulai menyanjungnya. Ada seorang lelaki muda datang dan
berkata: "Bergembiralah, wahai Amirul-Mukminin dengan kabar gembira dari
Allah Shubhanahu wa ta’alla, karena menjadi sahabat
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan jasa baik dalam Islam
yang telah engkau ketahui. Kemudian engkau memegang kepemimpinan, dan engkau
berbuat adil dan meraih mati syahid".
'Umar berkomentar: "Aku berharap
itu cukup. Tidak menjadi bebanku atau menjadi milikku."
Dalam riwayat Bukhari
disebutkan: "Aku berharap, seandainya aku bebas dari pemerintahan, tidak
menjadi masalah atau kemudahan buatku". Saat pemuda itu berbalik
untuk keluar dan 'Umar melihat pakaiannya menyentuh tanah, beliau menyuruh: "Panggil
kembali pemuda itu". Ketika pemuda datang, maka 'Umar menasihati:
"Wahai anak saudaraku. Angkatlah pakaianmu. Itu lebih memelihara pakaianmu
dan lebih menunjukkan ketakwaanmu".
Kemudian 'Umar menoleh ke arah anaknya sembari
berkata: "Wahai 'Abdullah bin 'Umar. Hitunglah utang-utangku". Ternyata setelah dihitung,
hutang beliau mencapai delapan puluh enam ribu dinar atau kurang lebih sebesar
itu. 'Umar berkata: "Kalau harta keluarga 'Umar bisa melunasinya, maka
bayarlah dengan hartanya. Jika tidak, mintalah ke Bani 'Adi bin Ka'ab. Jika
tidak mencukupi, mintalah ke suku Quraisy. Setelah itu, jangan minta ke
lainnya. Tolong, lunasi utangku, dan bergegaslah ke 'Aisyah Ummul-Mukminin dan
katakanlah,'Umar mengucapkan salam kepadamu, jangan sebut Amirul-Mukminin. [2]
Hari ini aku bukan lagi
pemimpin mereka'. Katakanlah,'Umar bin Khaththab meminta untuk bisa dimakamkan
bersama dua sahabatnya (maksudnya Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Ash-Shiddiq)”.
Maka 'Abdullah mengucapkan salam dan
minta ijin masuk dan menemui 'Aisyah yang sedang terduduk menangis. Ia berkata,"'Umar bin Khaththab menyampaikan salam
untukmu dan meminta agar bisa dikuburkan bersama dua sahabatnya".
'Aisyah menjawab,"Sebenarnya aku
ingin memakainya sendiri. Tetapi hari ini, aku akan mengutamakan dirinya
daripada diriku". Begitu kembali, maka diberitahukan kalau 'Abdullah bin
'Umar telah datang. 'Umar berkata,"Tolong angkat aku".
Seorang lelaki menyandarkan beliau di
tubuhnya. Beliau bertanya,"Apa yang engkau dapatkan?"
"Yang engkau sukai, wahai
Amirul-Mukminin, ia mengijinkan," jawab 'Abdullah.
"Alhamdulillah. Tidak
ada yang lebih aku pikirkan daripada itu. Kalau aku nanti meninggal, maka
bawalah diriku kepadanya dan ucapkan salam, dan katakanlah 'Umar bin Khaththab
meminta ijin masuk. Bila ia memberi ijin, masukkan tubuhku. Kalau tidak, kuburkan
aku di pemakaman umum".[3]
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menyimpulkan beberapa
pelajaran penting dari kisah di atas. Di antaranya sebagai berikut.
1.
Kekuatan tingkat keagamaan ‘Amirul-Mukminin ‘Umar bin
Al-Khaththab dengan tetap melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, padahal beliau
sedang dalam masa kritis.
2.
Besarnya rasa kasih sayang beliau terhadap kaum Muslimin.
3.
Besarnya perhatian beliau terhadap kaum Muslimin.
4.
Besarnya hasrat beliau untuk menegakkan sunnah di tengah kaum
Muslimin.
5.
Besarnya rasa takut beliau kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.
6.
Besarnya perhatian beliau
terhadap urusan agama dibandingkan urusan pribadi.
7.
Larangan beliau terhadap pujian di hadapan orang yang dipuji,
apalagi yang mengandung unsur yang berlebihan atau kedustaan.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XI/1428H/2007.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8
Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Shahîh Bukhari, kitab Manâqibush-Shahabah. Lihat Fathul-Bari (7/59 no. 3700), secara ringkas.
[2]. Ibnu At-Tin menjelaskan, bahwa 'Umar ingin memberitahukan keinginannya itu hanya merupakan permohonan, dan bukan perintah dari ‘Umar bin Al-Khaththab.
[3]. Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Malik, bahwa 'Umar merasa khawatir jika pemberian ijin 'Aisyah disampaikan sewaktu 'Umar masih hidup dikarenakan rasa segan, sehingga akan berubah pikiran setelah wafatnya. Maka beliau tidak ingin memaksanya.
_______
Footnote
[1]. Shahîh Bukhari, kitab Manâqibush-Shahabah. Lihat Fathul-Bari (7/59 no. 3700), secara ringkas.
[2]. Ibnu At-Tin menjelaskan, bahwa 'Umar ingin memberitahukan keinginannya itu hanya merupakan permohonan, dan bukan perintah dari ‘Umar bin Al-Khaththab.
[3]. Ibnu Sa'ad meriwayatkan dari Malik, bahwa 'Umar merasa khawatir jika pemberian ijin 'Aisyah disampaikan sewaktu 'Umar masih hidup dikarenakan rasa segan, sehingga akan berubah pikiran setelah wafatnya. Maka beliau tidak ingin memaksanya.
Post a Comment