Sifat Haji Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
Sifat Haji Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu
bagi -Nya, dan
aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Telah
sampai pada kita hadits-hadits shahih yang menjelaskan akan keutamaan ibadah
haji, disebutkan diantaranya sebagai penghapus dosa. Salah satunya sabda Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
yang mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ
جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ» [أخرجه البخاري و مسلم]
"Haji
yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga". HR Bukhari no:
1773. Muslim no: 1349.
Adapun
yang dinamakan dengan haji mabrur ialah haji yang terkumpul didalamnya tiga
kriteria:
Pertama : Ikhlas
karena Allah azza wa jalla.
Kedua : Dikerjakan sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan
sabda beliau:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ
أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ » [أخرجه مسلم]
"Hendaknya kalian mengambil manasik kalian (dariku),
karena aku tidak mengetahui, barangkali aku tidak melakukan ibadah haji kembali
setelah hajiku ini". HR Muslim
no: 1297.
Adapun
yang
ketiga: Terbebas dari
perkara-perkara yang dapat merusak atau pun mengurangi ibadah hajinya.
Sedangkan tata cara pelaksanaan ibadah haji secara ringkas, sebagai
berikut:
1.
Hari Tarwiyah (8 Dzul Hijjah).
Apabila masuk
pada hari tarwiyah yaitu hari kedelapan pada bulan Dzul Hijjah, dianjurkan bagi
orang-orang yang telah bertahalul dari umrahnya, sedang mereka berniat haji
Tama'tu maka hendaknya dia mengenakan ihram kembali serta berniat haji dikala
waktu dhuha dari tempatnya masing-masing. Begitu pula bagi orang yang ingin
berhaji dari jama'ah penduduk asil Makkah. Sedang
jama'ah haji yang berniat haji Qiran dan Ifrad, dimana mereka belum tahalul
dari ihramnya maka mereka masih dalam keadaan niat ihramnya yang pertama
dahulu.
Adapun para
jama'ah haji yang baru datang ke kota Makkah pada hari kedelapan, maka mereka
harus memulai ihramnya dari miqatnya masing-masing. Dan ini merupakan kewajiban
dari kewajiban-kewajiban haji yang tidak boleh ditinggal, berdasarkan sabda
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ
مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Dari
sana orang memulai ihram, bagi orang yang
ingin melakukan haji dan umrah, dan bagi siapa saja yang bukan ahlinya lalu
datang melewatinya". HR Bukhari
no: 1524. Muslim no: 1181.
Catatan: Yang dimaksud dengan berihram ialah berniat untuk masuk dalam
rangkaian manasik, dan ini merupakan rukun dari rukun-rukun haji yang ada.
Sehingga siapapun yang meninggalkan niat ini maka hajinya tidak sah.
Berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى
»
[أخرجه البخاري و مسلم]
"Hanyalah
amalan tersebut sesuai dengan niat-niatnya, dan bagi setiap orang (akan
mendapat pahala) selaras dengan apa yang dia niati". HR Bukhari no: 1.
Muslim no: 1907.
Dan miqat ini berlaku bagi
setiap orang yang ingin berhaji atau umrah, sama saja baik dia melewatinya
melalui jalur udara, laut atau pun jalur darat. Sedangkan orang yang sudah berada didalam jarak miqat maka dirinya
berihram dari tempat tinggalnya, seperti penduduk Jeddah, Bahrah ataupun
lainnya.
Bagi
jama'ah haji yang melintasi miqat dari jalur udara dan dirinya khawatir akan
terlewat miqatnya, maka hendaknya dia berihram sebelumnya sesuai dengan waktu
yang tepat agar dirinya bisa merasa yakin telah berihram dari miqat atau
memajukan sedikit sebelumnya. Dan disunahkan baginya untuk mandi sebagaimana
halnya dia mandi untuk hadats besar, lalu memakai minyak wangi yang ia miliki
dan kalau bisa yang paling harum, dengan diusapkan pada rambut dan jenggotnya.
Kemudian
memakai kain ihram yang berwarna putih, adapun wanita maka dibolehkan baginya
untuk memakai pakaian yang ia kehendaki, dengan catatan tidak mengumbar tubuh
serta auratnya. Selanjutnya mengerjakan sholat wajib, jika pas bertepatan
dengan datangnya waktu sholat agar dirinya bisa niat masuk ibadah haji setelah
sholat tersebut, dan apabila diluar waktu sholat, namun, ada diwaktu yang
dibolehkan untuk mengerjakan sholat sunah maka tidak mengapa dirinya sholat
sunah terlebih dahulu, baru setelah selesai sholat dirinya niat masuk ibadah
haji.
2.
kemudian dia mengucapkan:
« لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ, لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ, إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ
وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ, لبيك اللهم حَجًا »
"Aku sambut panggilan
-Mu, ya Allah, aku sambut panggilan
-Mu. Aku sambut panggilan -Mu,
tiada sekutu bagi -Mu,
aku sambut panggilan -Mu.
Sesungguhnya segala
puji, kenikamatan serta kerajaan adalah milik -Mu,
tiada sekutu bagi -Mu.
Aku sambut panggilan -Mu
untuk menunaikan ibadah haji".
Bagi laki-laki mengucapkannya
dengan suara keras, sedang perempuan dengan lirih. Dan disunahkan untuk terus
membaca bacaan talbiyah ini, tidak memutusnya, baru ketika akan melempar jumrah
Aqabah pada hari raya maka talbiyah ini terputus.
3.
Selanjutnya:
Dirinya pergi menuju Mina,
menetap disitu dengan sholat dhuhur, ashar, maghrib, isya dan shubuh disana.
Mengerjakan sholat yang empat raka'at dengan cara diqashar (diringkas),
namun, tidak boleh dijama' (gabungkan). Sedangkan hukum berdiam diri (mabit) di Mina
pada hari kedelapan adalah sunah.
4.
Apabila terbit matahari para
hari kesembilan:
Maka para jama'ah haji
bergerak pergi menuju ke Arafah, kalau bisa dirinya beristirahat sejenak di
Namirah sampai matahari tergelincir, jika tidak memungkinkan maka dirinya
langsung menuju ke Arafah. Jika matahari tergelincir dirinya sholat dhuhur dan ashar dengan cara di
jama' (gabung) dan di qashar (ringkas).
Seusai
sholat, ia pergunakan waktu serta mengoptimalkannya untuk berdzikir kepada
Allah Shubhanahu wa ta’alla serta
berdo'a dengan menghadap ke kiblat, walaupun gunung berada di belakangnya, dan
hal itu dia lakukan sampai matahari terbenam. Adapun hukum wukuf (berdiam diri)
di Arafah adalah rukun dari rukun-rukun haji yang ada, karena Allah Shubhanahu wa ta’alla telah mengatakan
dalam firman -Nya:
﴿ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ ١٩٨﴾ [ البقرة: 198]
"Maka apabila kamu telah
bertolak dari Arafath". (QS
al-Baqarah: 198).
Maka bertolak dari Arafah baru
bisa dikatakan demikian setelah berhenti di sana, dan berdiam di Arafah adalah
rukun haji yang adabila ketinggalan maka tidak mendapati haji, berdasarkan
haditsnya Abdurahman bin Ya'mar radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَهُوَ وَاقِفٌ بِعَرَفَةَ. وَأَتَاهُ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ,
فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ الْحَجُّ . فَقَالَ: الْحَجُّ عَرَفَةُ
فَمَنْ جَاءَ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Aku
menjumpai Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sedang wukuf di Arafah, lalu
ada sekelompok orang mendatangi beliau dari ahli Nejed, kemudian mereka
mengatakan: "Ya Rasulallah, bagaimana cara haji? Beliau menjawab:
"Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang (untuk wukuf) sebelum sholat
shubuh pada malam Muzdalifah (dilaksanakan), maka hajinya telah sempurna".
HR Ibnu Majah no: 3015.
Mundzir menjelaskan:
"Para ulama telah bersepakat bahwa wukuf di Arafah adalah wajib, yang
tidak sah ibadah haji seseorang melainkan harus wukuf di Arafah".[1] Dijelaskan oleh para ulama bagi orang yang ketinggalan wukuf di Arafah
pada hari ke sembilan dan malam ied, maka orang tersebut tidak memperoleh
ibadah haji, adapun kewajiban dia adalah menjadikan manasiknya menjadi umrah
kemudian dia wajib mengqadha hajinya pada tahun berikutnya.
Adapun wukuf di Arafah sampai
tenggelam matahari bagi jama'ah haji yang telah wukuf pada siang harinya, maka
hukumnya adalah wajib dari kewajiban-kewajiban haji, berdasarkan haditsnya
Jabir radhiyallahu 'anhu, ketika mensifati hajinya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Dijelaskan
dalam hadits tersebut: "Maka beliau terus wukuf
(di Arafah) sampai matahari tenggelam. Hingga warna kekuning-kuningannya hilang
dan bola matahari betul-betul tenggelam". HR Muslim no: 1218.
Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ
أَدْرِى لَعَلِّى لاَ أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ » [أخرجه مسلم]
"Hendaknya
kalian mengambil manasik kalian (dariku), karena aku tidak mengetahui,
barangkali aku tidak melakukan ibadah haji kembali setelah hajiku ini". HR Muslim no: 1297.
5.
Setelah matahari telah
tenggelam maka:
Dirinya pergi
menuju Muzdalifah dan mengerjakan sholat maghrib tiga raka'at dan Isya dua
raka'at di sana. Seusai sholat
shubuh pada keesokan harinya, maka waktunya disibukan untuk berdzikir kepada
Allah Shubhanahu wa ta’alla serta
berdo'a kepada -Nya sampai matahari terbit. Adapun hukum bermalam di Muzdalifah
adalah wajib dari kewajiban-kewajiban haji, karena Allah ta'ala mengatakan
dalam firman -Nya:
﴿ فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ
عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ ٱلۡحَرَامِۖ ١٩٨﴾ [البقرة: 198]
"Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah
kepada Allah di Masy'arilharam". (QS al-Baqarah: 198).
Sedang yang dimaksud dengan
Masy'arilharam dalam ayat ialah Muzdalifah. Demikian pula berdasarkan perbuatan Rasulallah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam
karena beliau bermalam di Muzdalifah
sampai pagi, dan beliau memberi keringanan bagi orang-orang yang lemah dari
kalangan wanita dan anak kecil untuk bertolak dari Muzdilafah setelah tengah
malam menuju Mina. Maka dispensasi (keringanan) beliau terhadap mereka
menunjukan bahwa bermalam di Muzdalifah adalah wajib hukumnya, karena jika
sekiranya tidak wajib tentu tidak perlu adanya dispensasi.
6.
Apabila mentari sudah sangat
kuning, maka:
Dirinya pergi
menuju Mina, dan bila telah sampai disana, pertama kali ibadah yang dia lakukan
ialah melempar jumrah Aqabah yang tempatnya paling dekat berada dengan
perbatasan Makah. Melemparnya
dengan tujuh butir kerikil secara bergantian, dan batu kerikil yang digunakan
tak lebih dari seujung jari. Pada setiap lemparan dibarengi dengan takbir, hal
tersebut dilakukan secara khusyu' dan mengagungkan Allah tabaraka wa ta'ala. Sedang waktu melempar yaitu pada hari besar
haji, dilakukan sebelum tergelincirnya matahari atau sebelumnya sampai malam
hari. Hal tersebut berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma,
beliau mengatakan: "Adalah
Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
ketika hari Nahr (menyembelih) tatkala berada di Mina, beliau ditanya (tentang
manasik) maka beliau menjawabnya: "Tidak mengapa".
Ada seorang
yang bertanya pada beliau: "Aku telah memotong rambut sebelum
menyembelih". Beliau menjawab: "Sembelihlah, tidak mengapa". Ada
seorang lagi yang bertanya: "Aku melempar Jumrah setelah sore
berlalu". Beliau menjawab: "Tidak mengapa". HR Bukhari no: 1735.
Muslim no: 1306.
7.
Seusai melempar jumrah:
Amalan
berikutnya adalah menyembelih hewan kurbannya. Yang berupa satu ekor kambing
atau satu ekor onta atau sapi untuk tujuh orang. Dan menyembelih kurban ini hukumnya adalah wajib bagi jama'ah haji yang
berhaji Tamatu' dan Qiran. Berdasarkan firman Allah ta'ala:
﴿ فَمَن تَمَتَّعَ بِٱلۡعُمۡرَةِ
إِلَى ٱلۡحَجِّ فَمَا ٱسۡتَيۡسَرَ مِنَ ٱلۡهَدۡيِۚ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ
أَيَّامٖ فِي ٱلۡحَجِّ وَسَبۡعَةٍ إِذَا رَجَعۡتُمۡۗ تِلۡكَ عَشَرَةٞ كَامِلَةٞۗ
ذَٰلِكَ لِمَن لَّمۡ يَكُنۡ أَهۡلُهُۥ حَاضِرِي ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ ١٩٦ ﴾ [ البقرة: 196]
"Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji
(di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat.
tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban
membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar)
Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah)". (QS
al-Baqarah: 196).
Jika dirinya tidak mampu untuk
berkurban maka kewajibannya ialah berpuasa tiga hari selagi dirinya dalam masa
haji kemudian ditambah tujuh hari lagi tatkala dirinya sudah pulang ke
negerinya. Dan disunahkan supaya dirinya
ikut memakan daging sembelihannya, dihadiahkan dan menyedekahkan pada orang
lain. Berdasarkan firman Allah ta'ala:
﴿ فَكُلُواْ مِنۡهَا وَأَطۡعِمُواْ
ٱلۡبَآئِسَ ٱلۡفَقِيرَ ٢٨ ﴾ [ الحج: 28]
"Maka makanlah sebagian daripadanya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir". (QS al-Hajj: 28).
Adapun waktu menyembelih
sangat panjang, menurut pendapat yang kuat, dimulai dari hari raya sampai
tenggelamnya matahari pada hari ketiga belas dihari-hari tasyriq (hari 10, 11,
12, 13).
Sedangkan tempat menyembelih,
maka dibolehkan untuk menyembelih dimanapun berada, karena seluruh Mina adalah
tempat menyembelih, demikian pula kota Makkah. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « منى كلها منحر . وكل فجاج مكة طريق ومنحر
. وكل عرفة موقف . وكل المزدلفة موفف »
[أخرجه ابن ماجه]
"Mina,
seluruhnya tempat untuk menyembelih. Dan tipa lembah Makah adalah jalan serta
tempat menyembelih. Seluruh Arafah tempat untuk berwukuf, dan seluruh
Muzdilafah juga tempat untuk berwukuf". HR Ibnu Majah no: 3048. Di
nilai shahih oleh al-Albani dalam shahih sunan Ibni Majah 2/180 no: 2473.
8.
Jika telah selesai menyembelih
hewan kurbanya, maka:
Dirinya
bersegera untuk mencukur seluruh rambut (gundul) atau memendekannya. Dan
mencukur seluruh rambut itu lebih utama, kecuali wanita maka dia hanya memotong
rambutnya seujung jari saja. Karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam mendo'akan untuk memperoleh rahmat dan
ampunan bagi orang-orang yang gundul sebanyak tiga kali, sedang bagi orang yang
hanya memendekan cuma satu kali saja. HR Bukhari no: 1727. Muslim no: 1301.
Seusai
melempar jumrah Aqabah, mencukur rambut atau memendekannya, maka dibolehkan
bagi jama'ah haji untuk mengerjakan yang tadinya dilarang ketika berpakaian
ihram, kecuali wanita (bersetubuh). Dan kondisi saat itu dinamakan dengan
tahalul pertama. Apabila
sudah bertahalul yang pertama maka disunahkan baginya supaya memakai minyak
wangi, berdasarkan perkataannya Aisyah radhiyallahu 'anha, yang mengkisahkan:
« كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ
بِالْبَيْتِ » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Adalah
saya memakaikan minyak wangi pada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
ketika pertama kali ihramnya, dan seusai tahalul pertama sebelum melakukan
thawaf di Ka'bah". HR Bukhari no: 1539. Muslim no: 1189.
9.
Selanjutnya:
Dirinya pergi
menuju Makkah untuk melaksanakan thawaf ifadhah (thawaf untuk haji). Dan
thawaf ini adalah rukun dari rukun-rukun haji, berdasarkan firman Allah
tabaraka wa ta'ala:
﴿ وَلۡيَطَّوَّفُواْ بِٱلۡبَيۡتِ
ٱلۡعَتِيقِ ٢٩ ﴾ [ الحج: 29]
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah
yang tua itu (Baitullah)". (QS al-Hajj: 29).
Demikian pula berdasarkan
sebuah riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha, yang mengkisahkan: "Bahwa
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam, manakala mendapati Shafiyyah haid, beliau berkata: "Apakah dia
akan mencegah kita? Maka Aisyah mengabarkan: "Ya Rasulallah, sesungguhnya
dia telah melakukan thawaf Ifadhah dan tahwaf disekeliling Ka'bah, kemudian dia
baru haid". Beliau mengatakan: "Kalau demikian maka tidak
mengapa". Dalam redaksinya Imam Muslim beliau berkata: "Tidak
mengapa, suruhlah dia berangkat (untuk pulang)". HR Bukhari no: 1757.
Muslim no: 1211.
Hadits diatas menunjukan bahwa
tahwaf ifadhah ini adalah perkara yang harus dikerjakan oleh jama'ah haji, dan
tahwaf ini bisa menjadi penyebab mencegahnya dia untuk berada di Makkah sampai
dirinya melakukan thawaf. Ibnu Qudamah menjelaskan: "Dan thawaf ini adalah
rukun diantara rukun-rukun haji, yang tidak akan sempurna ibadah haji seseorang
melainkan harus melakukankannya, dan kami tidak menjumpai adanya perbedaan
pendapat didalam masalah ini. karena Allah ta'ala mengatakan dalam firman -Nya:
﴿ وَلۡيَطَّوَّفُواْ بِٱلۡبَيۡتِ ٱلۡعَتِيقِ ٢٩ ﴾ [ الحج: 29]
"Dan hendaklah mereka melakukan thawaf sekeliling rumah
yang tua itu (Baitullah)". (QS
al-Hajj: 29). [2]
Dalam thawaf ifadhah ini tidak
disyari'atkan untuk melakukan lari-lari kecil tidak pula idhthiba', kedua
perkara ini hanya disyari'atkan pada thawaf Qudum (ketika pertama kali datang).
Selanjutnya melakukan sa'i dan
sa'i ini adalah untuk ibadah hajinya jika dirinya bertamatu karena sa'inya yang
pertama kali adalah untuk ibadah umrahnya. Dan sa'i haji ini adalah rukun dari
rukun-rukun haji, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ السَّعْيَ» [أخرجه أحمد]
"Bersa'ilah kalian, sesungguhnya Allah telah
mewajibkan atas kalian untuk bersa'i". HR Ahmad 45/367 no: 27368.
Adapun bagi jama'ah haji yang
memilih Qiran dan Ifrad maka tidak ada baginya kewajiban melainkan sa'i sekali,
yang apabila dirinya telah melakukan sa'i seusai thawaf Qudumnya maka sa'i
tersebut sudah mencukupi untuk sa'i haji setelah thawaf ifadhah. Kalau belum
melakukan sa'i ketika itu maka dia harus sa'i setelah thawaf ifadhah. Setelah
selesai thawaf dan sa'i maka dirinya telah bertahalul, yang kedua, dan dirinya
sudah dibolehkan melakukan apapun yang tadinya dilarang ketika berihram, sampai
wanita sekalipun.
Ringkasan
amalan jama'ah haji yang harus dikerjakan tatkala hari raya, yaitu: Melempar jumrah Aqabah, menyembelih hewan
kurban, bercukur atau memendekan, thawaf, dan sa'i. Sunahnya adalah mengerjakan
sesuai urutan tadi, namun, jika tidak memungkinkan lalu dirinya mengerjakan
lebih dahulu satu sama lainnya maka tidak mengapa.
1.
Kemudian:
Para jama'ah
haji mabit di Mina pada malam-malam tasyrik selama tiga hari berturut-turut,
ini bagi jam'ah yang mengakhirkan, adapun bagi orang yang ingin ta'ajul maka
cukup dua malam saja. Berdasarkan firman Allah ta'ala:
﴿ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ
أَيَّامٖ مَّعۡدُودَٰتٖۚ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوۡمَيۡنِ
فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلَآ إِثۡمَ عَلَيۡهِۖ لِمَنِ ٱتَّقَىٰۗ
٢٠٣﴾ [ البقرة: 203]
"Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa
hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah
dua hari, maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan
(keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi
orang yang bertakwa". (QS al-Baqarah: 203).
Berdasarkan perbuatannya Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
yang bermalam pada malam-malam tasyrik selama tiga hari di Mina.
Dan hukum bermalam di Mina ini
adalah wajib dari kewajiban-kewajiban haji, kecuali bagi para pemberi minum
jama'ah haji dan para penggembala maka ada keringan untuk mereka tidak mabit
disana. Hal tersebut berdasarkan haditsnya al-Abbas bin Abdul Muthalib
radhiyallahu 'anhu dalam Bukhari dan Muslim, beliau mengatakan:
"Bahwasannya dia meminta izin pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk bermalam di Makkah pada
malam-malam Mina karena ada perkerjaan memberi minum jama'ah haji, maka beliau
mengizinkannya". HR Bukhari no: 1634. Muslim
no: 1315.
Demikian juga berdasarkan
haditsnya Ashim bin Adi radhiyallahu 'anhu, beliau mengabarkan:
"Bahwasannya Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam memberi
keringanan bagi para penggembala untuk bermalam di Mina, melempar pada hari
raya, dan dua hari setelahnya untuk melempar pada salah satu hari dari
keduanya". HR an-Nasa'i no: 3069. Dinyatakan shahih al-Albani dalam sunan
an-Nasa'i 2/642 no: 2874.
Maka adanya keringan ini
menunjukan bahwa mabit di Mina pada malam-malam tersebut adalah wajib selain
untuk para pemberi minum jama'ah haji dan penggembala. Dan yang semisal dengan
mereka yang mengharuskan untuk tetap tinggal diselain Mina.
2.
Kemudian amalan pada hari itu
adalah:
Para jama'ah
haji melempar tiga jumrah pada dua hari berikutnya, yang dilakukan setelah matahari
tergelincir. Dan melempar tiga jumrah pada hari
tersebut adalah wajib dari kewajiban-kewajiban haji, dan tidak boleh baginya
untuk melempar sebelum matahari tergelincir. Karena Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam tidak melempar kecuali setelah tergelincir. Kalau
sekiranya melempar sebelum tergelincir dibolehkan tentu beliau melakukannya
dalam rangka memudahkan bagi umatnya.
Oleh karena
itu Ibnu Umar mengatakan: "Kami menanti waktu yang tepat dan ketika
matahari mulai tergelincir maka kami segera melempar (jumrah)". HR Bukhari
no: 1746. Dalam kesempatan lain
beliau mengatakan: "Janganlah engkau melempar ketiga jumrah pada hari-hari
tasyrik sampai kiranya matahari tergelincir". Muwatha Imam Malik no: 1279.
Dimulai
dengan melempar jumrah sughra (yang kecil), tempatnya diantara ketiga
jumrah adalah yang paling jauh dari Makkah, maka dirinya melempar dengan
sebanyak tujuh kerikil secara berurutan, sambil bertakbir pada setiap lemparan,
dan diharuskan kerikilnya masuk ke dalam lubang, jika tidak masuk maka belum
terhitung. Kemudian setelah selesai
dirinya maju sedikit ke depan dari kumpulan manusia, dengan mengangkat tangan
dan menghadap kiblat, berdo'a kepada Allah ta'ala sesuai dengan apa yang ia
kehendaki.
Lalu
dirinya melanjutkan melempar jumrah wustha (yang berada ditengah),
lantas diam sejenak untuk berdo'a sebagaimana yang ia lakukan pada jumrah
pertama. Selanjutnya melempar jumrah yang ketiga yaitu jumrah Aqabah yang telah
ia lempar pada hari raya, caranya sama seperti dua jumrah sebelumnya, akan
tetapi, setelah selesai tidak berhenti untuk berdo'a, namun, dirinya terus
berlalu.
Kemudian pada
hari berikutnya, dihari-hari tasyrik, dirinya melempar ketiga jumrah kembali,
setelah matahari tergelincir, dan caranya sama persis seperti yang dilakukan pada
hari pertama. Melakukan pada jumrah pertama dan kedua seperti yang dilakukan
pada hari pertama. Dan kalau dirinya
berkehendak maka boleh dia mengakhirkan untuk tetap di Mina pada hari ketiga
belasnya, dengan melempar ketiga jumrah yang ketiga kalinya, dan ini hukumnya
lebih utama. Karena itulah yang dilakukan
oleh Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam. Begitu pula, akan menambah pahala amal sholeh.
Namun, kalau
dirinya mau, maka boleh baginya untuk bersegera meninggalkan Mina, dengan
catatan dirinya keluar dari Mina pada hari ke dua belasnya sebelum matahari
tenggelam. Dan bagi para jama'ah
yang tidak mampu untuk melempar, seperti halnya orang tua, orang sakit, anak
kecil, wanita hamil, atau yang semisal dengan mereka maka boleh mewakilkan pada
orang lain untuk melemparkan untuknya. Berdasarkan firman Allah ta'ala:
﴿ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ
١٦ ﴾ [ التغابن: 16]
"Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu". (QS at-Taghaabun: 16).
Dan hendaknya dia memperbanyak
takbir dan berdzikir kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla pada
hari dan malam-malam tersebut. berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ فِيٓ
أَيَّامٖ مَّعۡدُودَٰتٖۚ ٢٠٣﴾ [ البقرة: 203]
"Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang". (QS
al-Baqarah: 203).
Demikian pula berdasarkan
sabdanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam yang bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ و ذكر
الله عز وجل
»
[أخرجه مسلم]
"Hari-hari tasyrik adalah hari-hari makan, minum dan
dzikir kepada Allah azza wa jalla". HR Muslim no: 1141.
Apabila
jama'ah haji sudah mengerjakan semua amalan haji yang kita sebutkan diatas dan
ingin segera pulang ke negerinya maka: Dirinya tidak keluar dari Makkah sampai dirinya thawaf disekeliling
Ka'bah yang dinamakan dengan thawaf Wada' (perpisahan), dan menjadikan
thawafnya ini sebagai amalan terakhir sebelum dirinya safar ke negerinya. Dan
hukum thawaf ini adalah wajib dari kewajiban-kewajiban haji yang ada. Karena Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam melakukan thawaf ini sebelum keluar dari Makkah, dan juga
berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, yang mengatakan:
« أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ
بِالْبَيْتِ إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ عَنْ الْحَائِضِ» [أخرجه البخاري و مسلم]
"Manusia
diperintahkan supaya menjadikan amalan terakhir di Ka'bah, kecuali bagi orang
yang sedang haid maka di beri keringanan padanya". HR Bukhari no:
1755. Muslim no: 1328.
Dan rukhsah yang diberikan bagi wanita yang sedang haid untuk tidak
melakukan thawaf wada' maka hal ini menunjukan bahwa thawaf tersebut adalah
wajib hukumnya. Dan yang semisal dengan haid
hukumnya dalah wanita yang sedang nifas. Berdasarkan haditsnya Aisyah
radhiyallahu 'anha, yang mengabarkan: "Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam tatkala
Shafiyyah haid. Maka beliau mengatakan: "Apakah dia akan mencegah kita?
Namun, manakala beliau diberitahu bahwasannya dia sudah melakukan thawaf
ifadhah pada hari raya maka beliau bersabda: "Keluarlah kalian".
Akhirnya
kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga
Allah Shubhanahu wa
ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
Post a Comment