Amalan Pasca Ramadhan
Amalan Pasca Ramadhan
Kita hanya bisa
memanjatkan puji syukur kepada Allah atas nikmat yang tak terhingga ini. Allah
Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan kesempatan untuk merasakan sejuknya
beribadah puasa. Sungguh suatu kebanggaan, kita bisa melaksanakan ibadah yang
mulia ini. Janji yang pasti diperoleh oleh orang yang berpuasa jika dia
menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah dan mengharapkan ganjarannya
telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut,
(( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ )) [ رواه البخاري ومسلم ]
“Barangsiapa
yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah
maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no.
760)
Sungguh sangat
menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan yang mulia ini. Begitu
sering kami melihat orang yang mengaku muslim namun di siang hari bulan
Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia mengganggu saudaranya dengan asap
rokok. Sungguh sangat merugi sekali orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal
amalan ini adalah bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam
dan para ulama sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam yang satu ini.
Setelah kita melalui bulan
Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai bekal kita nanti
sebelum dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini, kami akan sedikit
mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan seorang muslim setelah
menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.
Tetap Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat
Jama’ah
Bulan Ramadhan sungguh
sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang yang dulu malas ke masjid atau
sering bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan Ramadhan begitu terlihat
bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di antara tanda dibukanya
pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
(( إِذَا جَاءَ
رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ
وَصُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ )) [ رواه مسلم ]
“Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu
neraka ditutup, dan setan pun dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)
Namun, amalan shalat ini
hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau memang di bulan Ramadhan, kita
rutin menjaga shalat lima waktu maka hendaklah amalan tersebut tetap dijaga di
luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama’ah di masjid khusus untuk kaum
pria.
Lihatlah salah satu keutamaan
orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
(( قَالَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِى
عَهْدًا أَنَّهُ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ
وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلاَ عَهْدَ لَهُ عِنْدِى )) [ رواه ابن ماجة ]
“Allah ‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan
bagi umatmu shalat lima waktu. Aku berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang
menjaganya pada waktunya, Aku akan memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang
yang tidak menjaganya, maka aku tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu
Majah no. 1403. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah
mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Shalat jama’ah di masjid
juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat sendirian.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
(( صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ
وَعِشْرِينَ دَرَجَةً )) [ رواه البخاري ومسلم ]
“Shalat jama’ah lebih utama dari shalat sendirian
sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari no. 645 dan Muslim no. 650)
Namun yang sangat kami
sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kaum muslimin.
Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1 Syawal) saja, sebagian orang sudah mulai
meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi. Begitu juga
seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun kesiangan,
dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh inilah yang
paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
(( لَيْسَ
صَلاَةٌ أَثْقَلَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ
حَبْوًا )) [
رواه البخاري ومسلم ]
“Tidak ada shalat yang paling berat dilakukan
oleh orang munafik kecuali shalat Shubuh dan shalat Isya’. Seandainya mereka
mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun
sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651)
Saudaraku, ingatlah ada
ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang
meninggalkan shalat. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
(( بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ
فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ )) [ رواه الطبراني ]
“Pemisah antara seorang hamba dengan kekufuran
dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia telah
melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566)
Buraidah bin Al Hushoib Al
Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
(( الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) [ رواه أحمد و الترمذي وابن ماجة ]
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir)
adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad,
Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul
Mashobih no. 574)
Begitu pula shalat jama’ah
di masjid, seharusnya setiap muslim –khususnya kaum pria- menjaga amalan ini.
Shalat jama’ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan saja. Namun, ketika
bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan sepi seperti sedia kala. Memang
dalam masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau sunnah mu’akkad terjadi
perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan dalil yang kuat, shalat
jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil yang menunjukkan
hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau radhiyallahu ‘anhu
berkata,
أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه
وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى قَائِدٌ
يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى
بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَال : » هَلْ
تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ نَعَمْ. قَالَ :
» فَأَجِبْ ». [ رواه مسلم ]
“Seorang laki-laki buta
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke masjid’. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
agar diberi keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau berpaling,
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan berkata,
‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut menjawab,
‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penuhilah panggilan
tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)
Lihatlah pria buta ini
memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di masjid, namun Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memberikannya keringanan, dia tetap diwajibkan untuk
shalat jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta, tidak ada penuntun
yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak hewan buas dan
banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun, lihatlah walaupun
dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar adzan, dia tetap wajib
jama’ah di masjid.
Bagaimanakah kondisi kita
yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk berjama’ah di
masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan wajibnya shalat jama’ah di masjid.
Jika seseorang meninggalkan shalat jama’ah dan shalat sendirian, dia berarti
telah berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun shalat sendirian yang
dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan kesepakatan kaum
muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan lebih utama bagi
wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.
Memperbanyak Puasa Sunnah
Selain kita melakukan
puasa wajib di bulan Ramadhan, hendaklah kita menyempurnakannya pula
dengan melakukan amalan puasa sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan
dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,
(( أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ )) [ رواه الترمذي ]
“Maukah kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?;
Puasa adalah perisai, …” (HR. Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan
dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud bahwa hadits ini shohih)
Puasa dalam hadits ini
merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di
dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di
akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Keutaman lain dari puasa sunah
terdapat dalam hadits Qudsi berikut.
(( وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى
أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ
الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى
بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ
اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ )) [ رواه البخاري ]
“Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri
kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah
mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan
untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk
melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang,
memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon
sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan,
pasti Aku akan melindunginya.” (HR. Bukhari no. 2506)
Itulah di antara keutamaan
seseorang melakukan amalan sunnah. Dia akan mendapatkan kecintaan Allah, lalu
Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya.
Allah juga akan memberikan orang seperti ini keutamaan dengan mustajabnya do’a.
(Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad,
www.islamspirit.com)
Banyak puasa sunnah yang
dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah Ramadhan. Di bulan Syawal, kita
dapat menunaikan puasa enam hari Syawal. Juga setiap bulan Hijriyah kita dapat
berpuasa tiga hari dan lebih utama jika dilakukan pada ayyamul bid yaitu pada
tanggal 13, 14, dan 15. Kita juga dapat melakukan puasa Senin-Kamis, puasa
Arofah (pada tanggal 9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada tanggal 10 Muharram), dan
banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya kemampuan boleh juga melakukan puasa
Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak. Semoga Allah memudahkan kita
melakukan amalan puasa sunnah ini.
Berpuasa Enam Hari di Bulan Syawal
Hendaklah di bulan Syawal
ini, setiap muslim berusaha untuk menunaikan amalan yang satu ini yaitu
berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat
istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
(( مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ
كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ )) [ رواه مسلم ]
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian
berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”
(HR. Muslim no. 1164)
Pada hadits ini terdapat
dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal dan pendapat
inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta yang
sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Bagaimana cara melakukan
puasa ini? An Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para ulama madzhab
Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat
‘Idul Fithri. Namun jika tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal
maka seseorang tetap mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya
melakukan puasa Ramadhan.”
Apa faedah melakukan puasa enam hari di bulan
Syawal?
Ibnu Rojab rahimahullah
menyebutkan beberapa faedah di antaranya:
1. Berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah
Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran berpuasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya
shalat rawatib qobliyah dan ba’diyah. Amalan sunnah seperti ini akan
menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada dalam amalan wajib. Setiap orang
pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib. Amalan sunnah inilah yang nanti
akan menyempurnakannya.
3. Membiasakan berpuasa setelah puasa Ramadhan
adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan. Karena Allah Ta’ala jika
menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik pada amalan sholih
selanjutnya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan dari amalan
kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan
lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka itu adalah tanda
diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan kebaikan
lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya
atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”
4. Karena Allah telah memberi taufik dan menolong
kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan serta berjanji mengampuni dosa kita yang
telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan melaksanakan
puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah malam harinya
melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa sebagai rasa syukur
pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan dari Latho’if Al Ma’arif,
244, Asy Syamilah)
Sungguh sangat beruntung
sekali jika kita dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Ini
sungguh keutamaan yang luar biasa, saudaraku. Marilah kita melaksanakan puasa
tersebut demi mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.
Penjelasan penting yang
harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki qodho’
(tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa
Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada
perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi apabila
puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa, maka
tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan pahala
semisal puasa setahun penuh.
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Apabila seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Menjaga Shalat Malam
Inilah penyakit yang
diderita oleh kaum muslimin setelah Ramadhan. Ketika Ramadhan masjid
terlihat penuh pada saat qiyamul lail (shalat tarawih). Namun coba kita
saksikan setelah Ramadhan, amalan shalat malam ini seakan-akan hilang begitu
saja. Orang-orang lebih senang tidur nyenyak di malam hari hingga shubuh atau pagi
tiba, dibanding bangun untuk mengambil air wudhu dan mengerjakan shalat malam.
Seolah-olah amalan shalat malam ini hanya ada pada bulan Ramadhan saja yaitu
ketika melaksanakan shalat tarawih. Seharusnya jika dia betul-betul menjalankan
ibadah shalat tarawih dengan baik pasti akan membuahkan kebaikan selanjutnya.
Sebagian salaf mengatakan,
«إِنَّ
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةَ بَعْدَهَا وَإِنَّ مِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةَ
بَعْدَهَا»
“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)
“Sesungguhnya di antara balasan amalan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya. Dan di antara balasan dari amalan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir pada tafsir surat Al Lail)
Namun, ibadah shalat malam ini mungkin hanya ibadah musiman saja yaitu
dilaksanakan hanya di bulan Ramadhan. Padahal keutamaan shalat malam ini
amatlah banyak, di antaranya:
1.
Shalat
malam adalah sebaik-baik shalat setelah shalat wajib. Dari Abu Hurairah,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ
الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ » [رواه مسلم ]
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan
Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163)
2.
Orang
yang melakukan shalat malam dijamin masuk surga dan selamat dari adzab neraka.
Dari Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« يَا أَيُّهَا اَلنَّاسُ! أَفْشُوا اَلسَّلَام وَصِلُوا اَلْأَرْحَامَ وَأَطْعِمُوا
اَلطَّعَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ
وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا اَلْجَنَّةَ بِسَلَامٍ
» [رواه الترمذي وابن ماجة
]
“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, jalinlah tali
silturahmi (dengan kerabat), berilah makan (kepada istri dan kepada orang
miskin), shalatlah di waktu malam sedangkan manusia yang lain sedang tidur,
tentu kalian akan masuk ke dalam surga dengan penuh keselamatan.”
(HR. Tirmidzi no. 2485 dan Ibnu Majah no.
1334. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 569 mengatakan
bahwa hadits ini shohih)
3.
Orang
yang melakukan shalat malam akan dicatat sebagai orang yang berdzikir kepada
Allah
Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallalahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا اسْتَيْقَظَ الرَّجُلُ مِنَ اللَّيْلِ وَأَيْقَظَ
امْرَأَتَهُ فَصَلَّيَا رَكْعَتَيْنِ كُتِبَا مِنَ الذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا
وَالذَّاكِرَاتِ » [رواه ابن ماجة ]
“Apabila seseorang bangun di waktu malam, lalu
dia membangunkan istrinya, kemudian keduanya mengerjakan shalat dua raka’at,
maka keduanya akan dicatat sebagai pria dan wanita yang banyak berdzikir pada
Allah.” (HR. Ibnu Majah no.
1335. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah
bahwa hadits ini shohih). Hadits ini menunjukkan bahwa suami istri dianjurkan
untuk shalat malam berjama’ah.
4.
Orang
yang bangun di malam hari kemudian berwudhu dan melakukan shalat malam, dia
akan bersemangat di pagi harinya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«
عَقِدَ الشَّيْطَانُ عَلَى
قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلاَثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ
طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنِ اسْتَيْقَظَ
فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ
فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ
فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ
وَإِلاَّ أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلاَنَ »
[رواه البخاري ومسلم ]
“Setan membuat tiga
ikatan di tengkuk (leher bagian belakang) salah seorang dari kalian ketika
tidur. Di setiap ikatan setan akan mengatakan, “Malam masih panjang, tidurlah!”
Jika dia bangun lalu berdzikir pada Allah, lepaslah satu ikatan. Kemudian jika
dia berwudhu, lepas lagi satu ikatan. Kemudian jika dia mengerjakan sholat,
lepaslah ikatan terakhir. Di pagi hari dia akan bersemangat dan bergembira.
Jika tidak melakukan seperti ini, dia tidak ceria dan menjadi malas.” (HR. Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 776)
Sangat disayangkan
sekali, sebagian orang lebih memilih tidur pulas di malam hari daripada bangun
shalat malam. Inilah orang-orang yang mendapat celaan yaitu akan dikencingi
setan sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini.
Dari Abu Wa’il, dari Abdullah, beliau berkata,
“Ada yang mengatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
sallam bahwa terdapat seseorang yang tidur malam hingga shubuh (maksudnya tidak bangun malam, pen). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan,
« ذَلِكَ الشَّيْطَانُ بَالَ فِى أُذُنَيْهِ » [رواه النسائي و ابن ماجة ]
“Demikianlah setan telah
mengincingi kedua telinganya.” (HR. An
Nasa’i no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1330. Syaikh Al Albani dalam Shohih At
Targib wa At Tarhib no. 640 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Hendaklah kita merutinkan
amalan shalat malam ini di luar ramadhan sebagaimana kita rajin mengerjakannya
di bulan Ramadhan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang
dulu gemar shalat malam, namun sekarang dia meninggalkannya.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr
bin Al ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata padaku,
« يَا عَبْدَ اللَّهِ لاَ
تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ
اللَّيْلِ » [رواه البخاري]
“Wahai ‘Abdullah, janganlah engkau seperti si A.
Dulu dia biasa mengerjakan shalat malam, namun sekarang dia tidak
mengerjakannya lagi.” (HR. Bukhari no. 1152)
Sebaik-baik orang adalah
yang mau mengerjakan shalat malam jika tidak berhalangan karena kecapekan atau
ingin mengulang pelajaran sebagaimana Abu Hurairah.
« نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ » [ رواه
البخاري ومسلم ]
“Sebaik-baik orang adalah
Abdullah bin Umar, seandainya dia biasa mengerjakan shalat malam.” (HR. Bukhari no. 1122 dan Muslim no. 2479)
Padahal shalat malam itu
mudah dikerjakan, bisa dengan hanya mengerjakan shalat tahajud 2 raka’at dan ditutup
witir 1 raka’at, namun sebagian orang enggan mengerjakan shalat yang utama ini.
Amalan yang Kontinu (Ajeg), Amalan yang Paling Dicintai
Kalau memang kita gemar
melakukan shalat malam atau amalan sunnah yang lainnya, maka hendaklah
amalan-amalan tersebut tetap dijaga. Kalau biasa mengerjakan shalat malam 3
raka’at dan dilakukan terus menerus (walaupun jumlah raka’at yang dikerjakan
sedikit), maka itu masih mending daripada tidak shalat malam sama sekali.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اكْلَفُوا
مِنَ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا
وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ » [ رواه أبو داود والنسائي وابن ماجة وابن خزيمة ]
“Bebanilah diri kalian dengan amal sesuai dengan
kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan.
(Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang
kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” (HR. Abu
Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani dalam Shohihul
Jami’ no. 1228 mengatakan hadits ini shohih)
Ingatlah bahwa rajin
ibadah bukanlah hanya di bulan Ramadhan saja. Ulama salaf pernah ditanya
tentang sebagian orang yang rajin beribadah di bulan Ramadhan, namun jika bulan
suci itu berlalu mereka pun meninggalkan ibadah-ibadah tersebut. Dia pun
menjawab,
« بِئْسَ القَوْمُ لاَ يَعْرِفُوْنَ
اللهَ حَقًّا إِلاَّ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ » [لطائف المعارف]
“Alangkah buruknya tingkah
mereka; mereka tidak mengenal Allah melainkan hanya di bulan Ramadhan!” (Lihat Latho’if Ma’arif, 244)
Kenalilah Allah di waktu
lapang, niscaya Allah akan mengingatmu di waktu sempit. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى
الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ » [ رواه الحاكم ]
“Kenalilah Allah di waktu
lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.” (HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash
Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Bid’ah di Bulan Syawal
Ada beberapa bid’ah yang
sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim di bulan Syawal:
1. Beranggapan sial jika menikah pada bulan
Syawal
Mungkin bid’ah semacam ini jarang terjadi di
tempat kita. Malah kebanyakan kaum muslimin di negeri ini melaksanakan hajatan
nikah ketika Syawal karena pada saat itu adalah waktu semua kerabat berkumpul
berlebaran.
Namun, inilah bid’ah yang terjadi di masa silam
dulu (masa jahiliyah). Mereka enggan melaksanakan hajatan nikahan ketika bulan
Syawal. Itulah i’tiqod (keyakinan) mereka. Sedangkan di negeri kita, bukan
bulan Syawal yang dianggap sial, tetapi bulan Suro (Muharram). Kedua anggapan
ini adalah anggapan yang salah. Mengenai anggapan sial nikah di bulan Syawal,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah membantah hal ini.
Sebagaimana terdapat riwayat dalam Sunan Ibnu Majah (haditsnya
dishohihkan oleh Syaikh Al Albani) bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam menikahi ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pada bulan Syawal dan
keluarga beliau tetap harmonis.
Menganggap bulan Suro atau bulan Syawal sebagai
bulan sial untuk melaksanakan beberapa hajatan adalah anggapan yang terlarang
dalam agama ini. Beranggapan sial dengan bulan atau waktu sama saja dengan
mencelanya. Dan mencela waktu itu sama saja dengan mencela yang menciptakan
waktu yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
يُؤْذِينِى ابْنُ آدَمَ يَسُبُّ الدَّهْرَ وَأَنَا الدَّهْرُ أُقَلِّبُ اللَّيْلَ
وَالنَّهَارَ » [ رواه البخاري ومسلم ]
“Allah ‘Azza
wa Jalla berfirman, ‘Aku disakiti oleh anak Adam. Dia mencela waktu, padahal
Aku adalah (pengatur) waktu, Akulah yang membolak-balikkan malam dan siang.” (HR. Muslim no. 6000)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
telah menyatakan bahwa beranggapan sial seperti ini termasuk kesyirikan. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« الطِّيَرَةُ شِرْكٌ الطِّيَرَةُ
شِرْكٌ ». ثَلاَثًا « وَمَا مِنَّا إِلاَّ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ
بِالتَّوَكُّلِ » [ رواه أبو داود ]
“Beranggapan sial termasuk kesyirikan, beranggapan sial termasuk kesyirikan. (Beliau menyebutnya tiga kali, lalu beliau bersabda), tidak ada di antara kita yang selamat dari beranggapan sial. Menghilangkan anggapan sial tersebut adalah dengan tawakkal (pada Allah).” (HR. Abu Daud no. 3912. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 429. Lihat penjelasan hadits ini dalam Al Qoulul Mufid – Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
2.
‘Idul
Abror (‘Ied pada tanggal 8 Syawal)
Ini
adalah bid’ah yang terjadi di beberapa daerah di negeri kita. Entah namanya
apa, tetapi maksud dari acara tersebut itu sama.
Sebelumnya
mereka melaksanakan puasa di bulan Ramadhan. Lalu mereka berbuka (tidak
berpuasa) pada tanggal 1 Syawal. Setelah itu –mulai tanggal 2 Syawal-, mereka
melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal. Lalu pada hari kedelepan dari
bulan Syawal, mereka merayakan ‘ied (yang di kalangan Arab dikenal dengan ‘Idul
Abror).
Abror di
sini bermakna orang baik lawan dari orang fajir yang gemar berbuat maksiat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membantah perayaan ied semacam ini dengan
mengatakan,
“Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu
idul fithri dan idul adha, pen) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan
Rabi’ul Awwal (yang disebutkan dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada
sebagian malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau
perayaan hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh)
dengan Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para
salaf (sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak
pernah melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Beliau rahimahullah
juga mengatakan, “Adapun perayaan hari ke-8 Syawal, maka itu bukanlah ‘ied
(yang disyari’atkan). Ini bukanlah ‘ied bagi abror (orang sholih/baik) atau pun
orang fajir (yang gemar bermaksiat). Tidak boleh bagi seorang pun meyakini
perayaan ini sebagai ‘ied. Janganlah membuat ‘ied yang baru selain ‘ied yang
sudah ada dalam agama ini (yaitu Idul Fithri dan Idul Adha).” (Al Ikhtiyarot
Al Fiqhiyyah, 199)
Demikian pembahasan
seputar amalan yang sebaiknya dilakukan setelah Ramadhan dan perkara yang
sebaiknya dijauhi oleh setiap muslim. Semoga kita termasuk orang yang selalu
mendapat taufik Allah dan dimudahkan untuk istiqomah dalam agama ini.
Semoga tulisan ini
bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang
bermanfaat, rizki yang thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya.
Innahu sami’un qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Post a Comment