Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan
Puasa di bulan Ramadhan
termasuk rukun Islam. Hukumnya adalah wajib. Puasa di bulan Ramadhan memiliki
banyak keutamaan di dalam hadits Qudsiy, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
(( كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي
وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ
فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ فَإِنْ شَاتَمَهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ : إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ
بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ
فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ
فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [رواه أحمد ومسلم
والنسائي]
“Semua
amal anak Adam untuknya selain puasa, puasa itu untuk-Ku[1] dan Aku-lah yang
akan membalasanya[2].” Puasa itu perisai[3], maka jika kamu sedang berpuasa,
janganlah berkata rafats[4], berteriak-teriak dan bersikap bodoh. Jika ada yang
memaki atau mengajak bertengkar, katakanlah, “Saya sedang puasa” 2 x, kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi (Allah) yang nyawa
Muhammad di Tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di
sisi Allah pada hari kiamat daripada bau kesturi. Bagi orang yang berpuasa itu
ada dua kegembiraan; kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu
Tuhannya dengan puasanya itu.” (HR. Ahmad,
Muslim dan Nasa’i)
Di bulan Ramadhan pintu
surga dibuka dan pintu neraka ditutup serta di belenggu setan-setan. Di bulan
itu ada malaikat yang memanggil, “Wahai orang yang ingin kebaikan,
bergembiralah!” dan “Wahai orang yang ingin keburukan, berhentilah!”. Di
dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan, itulah malam
lailatul qadr. Dan keutamaan lainnya seperti doa orang yang berpuasa ketika
berbuka mustajab, puasa akan memberikan syafa’at kepada pelakunya pada hari
kiamat dan dosa-dosa akan dihapuskan.
Ada beberapa hal yang
perlu kita ketahui tentang bulan Ramadhan,
-
Untuk
mengetahui awal dan akhir bulan Ramadhan dengan dua cara: Pertama, terlihatnya
hilal (bulan sabit yang menunjukkan tanggal satu Ramadhan) oleh orang, meskipun
yang melihatnya hanya seorang (yakni orang yang adil)[5], jika belum nampak
maka dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
-
Kita
dilarang melakukan puasa di hari yang masih meragukan karena khawatir bulan
Ramadhan sudah tiba, Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu berkata:
(( مَنْ صَامَ
الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ )) [ رواه الترمذي وأبو داود و ابن ماجة ]
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang manusia masih ragu-ragu
terhadapnya, maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Abul. Qaasim (Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam).” (HR.
Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam
Shahih Ibnu Majah 1645)
Hari yang masih meragukan adalah hari yang masih belum terlihat hilal
di malam harinya seperti karena mendung dsb, hari tersebut adalah hari yang
berkemungkinan masih bulan Sya’ban dan berkemungkinan sudah masuk awal
Ramadhan. Jika ternyata sudah masuk awal Ramadhan, maka hari yang meragukan
tersebut diqadha’ setelah bulan Ramadhan.
-
Hendaknya
kita melakukan puasa tidak sendiri tetapi bersama dengan orang-orang, demikian
juga jika berbuka (di akhir Ramadhan), maka hendaknya berbuka/berhari raya
(baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adh-ha) berjama’ah dengan orang-orang. Hal ini
untuk menjaga persatuan umat, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Tirmidzi setelah
ia menyebutkan hadits “Ash Shaumu yauma tashuumuun…dst.
Lajnah Daa’imah pernah ditanya tentang sikap yang harus dilakukan
ketika terjadi khilaf dalam penentuan awal puasa dan berakhirnya, sedangkan
masing-masing pihak memiliki dalil, maka dijawabnya bahwa hal tersebut termasuk
masalah yang diperselisihkan juga di zaman dahulu, dan bahwa hal itu tidak
membawa dampak buruk selama masing-masing pihak memiliki niat baik dan
menghormati mujtahid yang lain, akan tetapi sikap yang harus dilakukan adalah
menyelesaikan masalah tersebut kepada waliyyul amri, karena hukmul haakim
yarfa’ul khilaf (ketetapan hakim dapat menyelesaikan masalah), hal ini untuk
menjaga persatuan.
-
Syarat-syarat
puasa adalah: Muslim, baligh, berakal, sehat dan tidak safar. Bagi wanita
ditambah lagi dengan suci dari haidh dan nifas.
-
Jika
orang yang sakit dan orang yang safar tidak merasakan kepayahan dalam berpuasa,
maka berpuasa lebih utama, namun jika keduanya merasakan kepayahan maka berbuka
lebih utama. (dan orang yang hendak safar boleh berbuka meskipun belum
berangkat safar[6]).
-
Rukun
puasa adalah: Berniat di hati untuk berpuasa sebelum fajar setiap malam (tanpa
perlu diucapkan)[7], menahan diri dari hal yang membatalkan ((yaitu makan dan
minum dengan sengaja[8], muntah dengan sengaja, mengeluarkan mani dengan
sengaja[9], berjima’[10] dan datang haidh atau nifas meskipun datangnya ketika
matahari mau tenggelam)), mulai dari terbit fajar hingga tenggelam matahari.
-
Adab-adab
ketika berpuasa :
1. Makan sahur dan mengakhirkannya, habis waktu
makan sahur adalah dengan terbitnya fajar shadiq, tidak dengan tibanya waktu
yang diistilahkan oleh orang-orang dengan “Imsak”, hal ini adalah bid’ah.
2. Menjaga diri dari perbuatan sia-sia dan berkata
kotor, berkata dusta, berbuat ghibah (gosip) dan namimah (mengadu domba),
demikian juga menjaga diri dari bersikap bodoh dan berteriak-teriak, serta
menghindari maksiat seperti memberikan persaksian palsu. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
((مَنْ لمَ ْيَدَعْ
قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ, فَلَيْس ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ)) [ رواه البخاري ]
“Barang siapa yang tidak mau
meninggalkan kata-kata dusta dan beramal dengannya, maka Allah tidak lagi butuh
ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari)
3. Menundukkan pandangan.
4. Bersikap dermawan.
5. Shalat taraawih, lebih utama dilakukan bersama
imam secara berjama’ah hingga selesai, karena akan dicatat untuknya shalat
seperti semalaman suntuk.
6. Memperbanyak membaca Alquran.
7. Menyegerakan berbuka.
8. Berbuka dengan kurma dalam jumlah ganjil, jika
tidak ada dengan air.
9. Berdoa ketika berbuka seperti dengan doa berikut,
[ ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ اْبتَلَّتِ اْلعُرُوْقُ وَ ثَبَتَ اْلاَ جْرُ
اِنْ شَاء َاللهُ ]
“Telah hilang rasa haus, telah basah tenggorokan dan semoga pahala
tetap didapat Insya Allah.”
Doa ini dibaca setelah berbuka, jangan lupa ketika hendak makan
membaca “Bismillah”. Jika lupa, ucapkanlah “Bismillah fii awwalihi wa aakhirih”
dan makanlah dengan tangan kanan.
Apabila kita berbuka di rumah orang lain dianjurkan mengucapkan,
[ أَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ
اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ ]
“Orang-orang yang berpuasa berbuka di sisimu dan orang-orang yang baik
memakan makananmu, serta semoga malaikat mendoakanmu agar kamu diberi rahmat.”
10. Beri’tikaf, lebih utama I’tikaf dilakukan pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
I’tikaf terlaksana dengan seseorang tinggal di masjid berniat i’tikaf
baik lama atau hanya sebentar, dan ia akan mendapatkan pahala selama berada di
dalam masjid.
Bagi yang beri’tikaf boleh memutuskan atau membatalkan i’tikafnya
kapan saja ia mau, jika ia sudah keluar dari masjid lalu ia hendak beri’tikaf
lagi, maka ia pasang niat lagi untuk beri’tikaf.
Ia pun hendaknya mencari malam lailatul qadr dalam I’tikafnya di
malam-malam yang ganjil (meskipun mencari lailatul qadr tidak mesti harus
beri’tikaf). Hendaknya orang yang beri’tikaf memanfaatkan waktunya yang ada
dengan sebaik-baiknya seperti memperbanyak dzikr (baik yang mutlak maupun yang
muqayyad), membaca Alquran, mengerjakan shalat-shalat sunnah serta memperbanyak
tafakkur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan yang akan datang
serta memperbanyak merenungi hakikat hidup di dunia dan kehidupan di akhirat
kelak. Dan hendaknya ia hindari perbuatan yang sia-sia seperti banyak bercanda,
ngobrol dsb. Tidak mengapa bagi orang yang beri’tikaf keluar jika tidak dapat
tidak harus keluar (seperti buang air, makan dan minum ketika tidak ada yang
mengantarkan makan untuknya, pergi berobat, mandi dsb).
Aisyah berkata, “Sunnahnya bagi yang beri’tikaf adalah tidak menjenguk
orang yang sakit, tidak menyentuh wanita, memeluknya, tidak keluar kecuali jika
diperlukan, dan i’tikaf hanya bisa dilakukan dalam keadaan puasa, juga tidak
dilakukan kecuali di masjid jaami’ (masjid yang di sana dilakukan shalat Jum’at
dan jama’ah).”
Lebih sempurna lagi bila dilakukan di salah satu dari tiga masjid yang
memiliki keistimewaan dibanding masjid-masjid yang lain (Masjidil Haram, Masjid
Nabawi, dan Masjidil Aqsha). Dan I’tikaf menjadi batal ketika seseorang keluar
dari masjid tanpa suatu keperluan serta karena berjima’.
Doa ketika mengetahui lailatul qadr adalah,
[ اَللّهُمَّ
اِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ ]
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, maka
ma’afkanlah aku.”
Sedangkan waktu I’tikaf yang utama dimulai setelah shalat Subuh hari
pertama dari sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan berakhir sampai matahari
tenggelam akhir bulan Ramadhan.
11. Ber’umrah, keutamaannya adalah seperti berhajji
bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
12. Dan memperbanyak ibadah-ibadah sunnah dan amal
shalih lainnya. Termasuk di antaranya memberi makan untuk berbuka orang yang
berpuasa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((مَنْ فَطَّرَ صَائِماً كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ
لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئاً)) [ رواه أحمد و الترميذ ]
“Barangsiapa yang memberi makan untuk berbuka
orang yang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang
berpuasa tanpa dikurangi sedikitpun.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, Shahihul Jaami’ 6415)
-
Bagi
yang berjima’ dengan istri di bulan Ramadhan, wajib membayar kaffarat (ini
khusus bagi suami), di samping wajib mengqadha’ puasanya. Kaffaratnya adalah
dengan memerdekakan seorang budak, jika tidak mampu, berpuasa dua bulan
berturut-turut (yakni pada selain bulan Ramdahan, bulan yang terdapat ‘dua hari
raya (Idul Fitri dan Idul Adh-ha) dan hari tasyriq/11,12,13 Dzulhijjah). Jika
tidak mampu, maka dengan memberi makan 60 orang miskin (masing-masing orang
miskin mendapatkan satu mud/satu kaupan tangan orang dewasa).
Jika berpuasa hukumnya sunat baginya misalnya bagi musafir, lalu ia
berjima’ dengan isterinya ketika sedang berpuasa, maka cukup mengqadha’ saja
tanpa perlu membayar kaffarat (Fushuul fish shiyaam wat taraawih waz zakaah
oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
-
Orang
yang sakit, jika ia mampu berpuasa tanpa ada kepayahan yang sangat maka
hendaknya ia berpuasa, jika tidak mampu puasa maka berbuka. Lalu jika dilihat
dirinya segera sembuh maka ia mengqadha’ puasanya, namun jika dilihatnya
ternyata tidak sembuh-sembuh, maka ia membayar fidyah yaitu dengan memberi
makanan kepada orang miskin sesuai jumlah hari ia tidak berpuasa. (ukuran dan
jenis fidyah tidak disebutkan dalam Alquran dan As Suannah, maka dikembalikan
kepada ‘urf/kebiasaan yang berlaku). Anas bin Mailk pernah merasakan kelemahan
(yang sangat) selama setahun sehingga tidak kuat untuk berpuasa, maka ia
membuat makanan dalam jolang besar yang berisi tsarid (roti yang diremukkan dan
direndam dalam kuah), ia pun mengundang 30 orang miskin untuk makan sehingga
mereka semua kenyang.
-
Orang
yang sudah tua, apabila ia tidak kuat berpuasa maka ia wajib membayar fidyah.
-
Bagi
wanita yang hamil, apabila ia mengkhawatirkan keadaan dirinya atau janinnya
maka ia boleh berbuka dan membayar fidyah tanpa perlu mengqadha’, begitu pula
orang yang menyusui (pendapat ini dipegang Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma).
-
Bagi
yang berpuasa dibolehkan: mandi untuk mendinginkan badan, berkumur-kumur dan
beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan tidak berlebihan, mencium istri
dan memeluknya jika ia merasa mampu untuk menahan syahwatnya, bersiwak, memakai
minyak wangi, memakai minyak rambut, bercelak, meneteskan obat mata dan infus
yang tidak berfungsi sebagai pengganti makanan, menelan ludah dan riak,
tertelan sesuatu yang sulit dihindari seperti debu-debu jalan, sisa-sisa tepung
dsb.
Semoga Allah membimbing kita ke jalan yang
diridhai-Nya.
Sumber: Artikel www.Yufidia.comKeterangan:
[1] Dihubungkan kepada Allah adalah idhafat
tasyrif yakni menunjukkan kemuliaan puasa di atas amalan yang lain..
[2] Sampai di sinilah hadits qudsiynya,
selebihnya hadits nabawi.
[3] Yakni penghalangnya dari maksiat dan dari api
neraka.
[4] kata-kata jorok yang menjurus ke jima’ atau
berkata-kata kotor.
[5] Lain dengan tanggal satu Syawwal maka tidak
bisa diterima berita kecuali dari dua orang yang adil.
Untuk menerima kesaksiannya disyaratkan harus sudah baligh, berakal, muslim dan dapat dipercaya atas amanat dan penglihatannya.
Untuk menerima kesaksiannya disyaratkan harus sudah baligh, berakal, muslim dan dapat dipercaya atas amanat dan penglihatannya.
[6] Sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi, bahwa
Anas bin Malik pernah melakukannya dan mengatakan bahwa yang demikian Sunnah
(yakni Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
[7] Jika tidak memasang niat di hati sebelum
fajar, maka puasanya batal, kecuali jika puasa sunat. Perlu diketahui, bahwa
cukup bagi orang yang berpuasa Ramadhan berniat sebulan penuh ketika telah
masuk bulan Ramadhan, tanpa perlu memperbarui niatnya setiap malam Ramadhan.
[8] Demikian juga yang semakna dengan makanan dan
minuman, seperti infus makanan.
[9] Berdasarkan hadits Bukhari dan Ahmad “Yatruku
tha’aamahu wa syaraabahuwa syahwatahu min ajliy” (ia tinggalkan makan, minum
dan syahwatnya karena-Ku).
[10] Semua ini akan akan membatalkan puasa jika
dilakukan dalam keadaan sengaja, ingat dan tahu hukumnya bahwa hal itu tidak
boleh.
Post a Comment