Apa Dan Kemana Pendidikan Islam ?

Apa Dan Kemana Pendidikan Islam ?
Prakata
Kata  pendidikan  dalam  bahasa  Arab  lazim  disebut  tarbiyah.  Untuk  memahami  apa  tujuan
pendidikan  atau  tarbiyah,  maka  harus  mengetahui  terlebih  dahulu  apa  pengertian  dan  hakikat
tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh pemeluknya melalui proses tarbiyah.
Pertama,  tarbiyah  dari  Allah  yang  besifat  khusus,  yaitu  taufiq  serta  pemeliharaan  Allah  yang
diberikan kepada para wali-Nya hingga mereka menjadi semakin sempurna dalam keimanan dan
terjaga dari penghalang-penghalang keimanan.
Allah  adalah  Rabbul-‟Alamin,  yang  salah  satu  pengertiannya  ialah,  Allah  pentarbiyah  dan
murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.[1]
Kedua,  tarbiyah  dari  Nabi  shallallahu  „alaihi  wa  sallam.  Sehingga  dengan  penyampaianpenyampaian  yang  jelas  serta  bimbingan-bimbingan  beliau,  seseorang  menjadi  semakin
memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab mengamalkannya.
Begitulah  umat  Islam  generasi  pertama  menjadi  umat  pilihan  karena  merupakan  hasil  didikan
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Orang-orang menjadi muslim yang baik  pun melalui proses
pendidikan.
Tarbiyah  menurut Syaikh Abdurrahman Albani yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan bin  Ali bin
Abdul Hamid al-Halabi,[2] adalah sebagai berikut:
Kata tarbiyah kembali pada tiga asal kata, yaitu:
Pertama, (Rabâ – Yarbû) yang artinya: tumbuh.
Kedua, (Rabiya – Yarbâ) yang artinya: berkembang
Ketiga,  (Rabba  –  Yarubbu)  yang  artinya:  memperbaiki,  mengurusi,  mengatur  dan
memelihara.
Dalam  Lisân  al-Arab,  karya  Ibnu  Manzhûr  dikemukakan  penjelasan  berikut  (tentang  asal  kata
yang pertama): Rabâsy-Syai‟u Yarbû Rabwan wa Ribâ‟an; artinya: sesuatu itu bertambah dan tumbuh.
Arbaituhu, artinya: aku menumbuhkannya.
Dalam Alquran al-Kariim, Allah berfirman,
Allah menumbuh suburkan (pahala) sedekah. (Qs. al-Baqarah: 276).
Dari makna inilah diambil pengertian riba yang haram. Allah berfirman,
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia tumbuh pada harta manusia, maka
riba itu tidak tumbuh (bertambah) pada sisi Allah. (Qs. ar-Rûm/30:39)
Sementara itu dalam kitab  Mufradât ar-Râghib al-Ashfahâniy  dikemukakan penjelasan berikut:
Ar-Rabbu  berasal  dari  kata  tarbiyah.  Maknanya,  membentuk  sesuatu  setahap  demi  setahap
hingga  mencapai  kesempurnaan.  Jadi  kata  Ar-Rabbu  merupakan  mashdar  (kata  dasar)  yang
dipinjam untuk digunakan sebagai fa‟il (pelaku perbuatan).
 Sedangkan dalam  Al-Qâmûs al-Muhîth  karya Fairuz Abadi dijelaskan:  Rabba al-Amra,  artinya
memperbaiki urusan. Rabba ash-Shabiyya, artinya memelihara seorang anak hingga dewasa.
Rabautu  fî  Hijrihi  –  Rabwan  –  wa  Rubuwwan;  demikian  pula  Rabaitu  Ribâ`an  wa  Rubiyyan,
artinya aku terbentuk pada asuhannya.
Dari  beberapa  makna  di  atas,  ada  makna  yang  mendekatkan  kata  tarbiyah  menuju  pengertian
secara istilah, yaitu perkataan Imam al-Baidhâwiy dalam Kitab Tafsir-nya yang bernama  Anwâr
at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‟wîl:
Ar-Rabbu  asalnya bemakna  tarbiyah. Yaitu menjadikan sesuatu sampai pada kesempurnaannya
sedikit demi sedikit. Kemudian Allah  Subhanahu wa Ta‟ala  disifati dengan kata  Rabb ini untuk
menunjukkan  mubalaghah  (sangat  sempurna  dalam  meningkatkan  makhluk-Nya  menjadi
sempurna, pen.).
Sebelumnya juga telah dijelaskan perkataan Ar-Râghib al-Ashfahâniy, bahwa  Ar-Rabb  asalnya
dari kata  tarbiyah, yang maknanya  membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai
kesempurnaan.
Dengan demikian, dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Murabbi/pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah  Subhanahu wa Ta‟ala, karena
Dia-lah  Al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia pula
yang yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang, dan bekerjanya fitrah serta
bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan  syariat  agar fitrahfitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus, dan menjadi berbahagia.
2.  Maka  tarbiyah/pendidikan  harus  dilakukan  sejalan  dengan  cahaya  syariat  Ilahi  dan
selaras dengan hukum-hukum syariat Ilahi.
3.  Tarbiyah  juga  harus  dijalankan  secara  terencana  dan  bertahap  dimana  tahap  yang  satu
berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi dasar bagi persiapan
tahap berikutnya.
4.  Aktifitas  seorang  murabbi/pendidik  harus  mengikuti  fitrah  yang  ditetapkan  Allah,  dan
harus  mengikuti  syariat  serta  hukum-hukum  Allah.  Demikian  secara  ringkas  apa  yang
dinukil  oleh  Syaikh  Ali  Hasan  al-Halabi  dari  Syaikh  Abdurrahman  al-Albani  dalam
bukunya Madkhal Ila at-Tarbiyah fî Dhau`i al-Islam, Hal. 7-13.
Jadi  makna  dan  hakikat  tarbiyah  secara  istilah  ialah:  “Kegiatan  yang  dilakukan  dengan
menggunakan cara-cara  dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan  syariat  Islam, dengan
maksud  memelihara  serta  membentuk  seseorang  menjadi  pemimpin  di  muka  bumi  dengan
kepemimpinan  yang diatur berdasarkan peribadatan hanya kepada Allah  saja secara sempurna.
Sudah  barang  tentu  kegiatan  ini  harus  dilakukan  berbarengan  dengan  upaya  terus-menerus
menjaga manhaj ilmiah secara teliti agar secara mengakar dapat memahami persoalan-persoalan
yang tidak ada contohnya dari syariat, kemudian selalu memperhatikan tata cara penerapannya,
apakah sudah terhindar dari hal-hal yang diada-adakan atau belum?” [7]
Sementara  itu  Syaikh  Muhammad  bin  Jamil  Zainu  mengatakan,  “Asas-asas  tarbiyah  dalam
masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang
mulia,  dan  adab-adab  yang  tinggi.  Hal  ini  tercermin  pada  hubungan  antara  anak  didik  dengan
Rabb-nya, dengan pendidiknya, dengan kawannya, dengan kantor lembaga pendidikannya,  dan
kemudian dengan lingkungan keluarganya.”[8]
Dari sini, dapat diketahui bahwa hakikat tarbiyah yang benar bertumpu pada tiga hal penting:
Pertama,  tarbiyah  harus  memusatkan  perhatiannya   untuk  membangkitkan  aqidah  tauhid  serta
membersihkan  kehidupan  umat  dari  berbagai  bid‟ah  dan  penyimpangan  sebagai  pendahuluan
agar umat kelak mampu memikul Islam kembali.
Kedua, parameter tarbiyah yang benar ialah bila tarbiyah tersebut berdiri pada landasan  Alquran
dan  sunah,  terjalin  dengan  praktik  keseharian  para  salaf,  serta  terbangun  kembali  semangat
generasi  umat  untuk  menggali  Alquran  dan  sunah  hingga  mampu  memahami  dan  mengambil
istinbath  hukum. Tentu saja dengan mengambil petunjuk secara utuh pada pemahaman  salafush
shalih  dan terus berkonsultasi dengan para ulama rabbani yang benar-benar menguasai  Alquran
dan sunah.
Ketiga,  tarbiyah  tidak  dapat  dipisahkan  dari  upaya  terus  menerus  dalam  memberi  pengarahan
kepada  masyarakat  secara  umum.  Sebab  hakikat  tarbiyah  serta  hasilnya  selalu  berkaitan  erat
dengan  kehidupan  keseharian  masyarakat,  baik  yang  menyangkut  keyakinan,  norma,  tadisi,
hubungan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain.”
Kesimpulannya, jika makna dan hakikat tarbiyah sudah jelas, maka tujuan tarbiyah pun menjadi
jelas, yaitu membentuk umat, baik secara individu maupun secara  bersama-sama menjadi umat
yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak Allah, memenuhi hak-hak makhluk sesuai dengan
ketentuan  Allah,  menjauhi  segala  macam  bid‟ah,  khurafat,  kemaksiatan,  serta penyimpanganpenyimpangan  lain,  sehingga  berbahagialah  hidupnya,  tidak  saja  di  dunia,  tetapi  yang  lebih
penting di akhirat. Intinya menjadi umat yang beribadah hanya kepada Allah saja, sesuai dengan
tujuan  diciptakannya  jin  dan  manusia.  Umat  yang  lebih  mementingkan  kehidupan  akhirat
daripada  dunia.  Umat  yang  selalu  memikirkan  bagaimana  selamat  dan  sukses  di  akhirat.
Meskipun dunia tidak dilupakannya, tetapi tidak menjadi tergantung padanya.
Alangkah indahnya jika tarbiyah serta pendidikan, baik formal maupun non formal, berorientasi
pada  ibadah  hanya  kepada  Allah  saja,  dengan  senantiasa  berpedoman  pada  petunjuk-petunjuk
yang  berladaskan  Alquran  dan  sunah  dengan  pemahaman  para  salafush-shalih  serta  senantiasa
berkonsultasi  dengan  para  Ulama  Rabbani.  Sebab  para  Ulama  Rabbani  adalah  pendidik  umat
sesungguhnya sesudah nabinya.
Karena itulah, berkaitan dengan hadis :
 “Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.”
 Imam  Ibnu  al-Qayyim  rahimahullah  mengatakan,  “Di  dalam  hadis  ini  terdapat  sesuatu  yang
harus  diperhatikan  oleh  para  ulama,  yaitu  hendaknya  mereka  mendidik  umat  seperti  halnya
seorang  ayah  mendidik  anaknya.  Maka  hendaknya  para  ulama  mendidik  umat  secara  bertahap
dan  meningkat  dari  ilmu  yang  kecil-kecil  hingga  yang  besar-besar.  Hendaknya  mereka
membawa  umat  secara  bertahap  menurut  kemampuan,  seperti  yang  dilakukan  seorang  ayah
terhadap anaknya ketika menyuapkan makanan.”[11]
Wallahu A‟lam.

Maraji’:
1.  At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti‟nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh
Ali  bin  Hasan  al-Halabi,  Dâr  at-Tauhid,  Riyadh,  KSA,  Cetakan:  II,  1414  H  (sebagai
rujukan utama).
2.  Lisân al-„Arab,  Tashîh: Amin Muhammad Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq alAbyadi,  Dâr  Ihyâ`  at-Turâts  al-Arabi  dan  Mu‟assasah  at-Târîkh  al-„Arabi,  Beirut,
Libanon, Cetakan: III, Tahun 1419 H/1999 M.
3.  Majalah As-sunah, Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M.
4.  Miftâh  Dâr as-Sa‟âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-„Ilmi wa al-Irâdah, karya Ibnu alQayyim,  Taqdîm:  Syaikh  Ali  bin  Hasan  al-Halabi,  Muraja‟ah:  Syaikh  Bakr  Abu  Zaid,
Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyadh dan Dâr Ibnu „Affân, Kairo, Cetakan: I, Tahun 1425 H/2004
M.
5.  Nidâ`  Ila  al-Murabbîn  wa  al-Murabbiyât,  Syaikh  Muhammad  bin  Jamil  Zainu,  tanpa
tahun, dari Silsilah at-Taujîhiyyât no. 17.
6.  Shahîh  Muslim Syarh  Nawawi. Tahqîq: Khalîl Ma‟mûn Syiha, Dâr al-Ma‟rifah, Cetakan:
III, Tahun 1417 H/1996 M.
7.  Shahîh  Sunan  Abi  Dawud,  Syaikh  al-Albâni,  Maktabah  al-Ma‟ârif,  Cetakan:  II  dari
cetakan terbaru, 1421 H/2000 M.
8.  Shahîh  Sunan  at-Tirmidzi,  Syaikh  al-Albâni,  Maktabah  al-Ma‟ârif,  Cetakan:  I  dari
cetakan terbaru, 1420 H/2000 M.
9.  Shahîh  Sunan  Ibni  Majah,  Syaikh  al-Albâni,  Maktabah  al-Ma‟ârif,  Cetakan:  I  dari
cetakan terbaru, 1417 H/1997 M.
10.  Taisîr  al-Karîm  ar-Rahmân  fî  Tafsîr  al-Kalâm  al-Mannn,  Syaikh  Abdur-Rahmân  bin
Nashir as-Sa‟di.














Tidak ada komentar