Apa Dan Kemana Pendidikan Islam ?
Apa Dan Kemana Pendidikan Islam ?
Prakata
Kata pendidikan dalam bahasa Arab lazim disebut tarbiyah. Untuk memahami apa tujuan
pendidikan atau tarbiyah, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dan hakikat
tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh pemeluknya melalui proses tarbiyah.
Pertama, tarbiyah dari Allah yang besifat khusus, yaitu taufiq serta pemeliharaan Allah yang
diberikan kepada para wali-Nya hingga mereka menjadi semakin sempurna dalam keimanan dan
terjaga dari penghalang-penghalang keimanan.
Allah adalah Rabbul-‟Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah, Allah pentarbiyah dan
murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.[1]
Kedua, tarbiyah dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Sehingga dengan penyampaianpenyampaian yang jelas serta bimbingan-bimbingan beliau, seseorang menjadi semakin
memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab mengamalkannya.
Begitulah umat Islam generasi pertama menjadi umat pilihan karena merupakan hasil didikan
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Orang-orang menjadi muslim yang baik pun melalui proses
pendidikan.
Tarbiyah menurut Syaikh Abdurrahman Albani yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali bin
Abdul Hamid al-Halabi,[2] adalah sebagai berikut:
Kata tarbiyah kembali pada tiga asal kata, yaitu:
Pertama, (Rabâ – Yarbû) yang artinya: tumbuh.
Kedua, (Rabiya – Yarbâ) yang artinya: berkembang
Ketiga, (Rabba – Yarubbu) yang artinya: memperbaiki, mengurusi, mengatur dan
memelihara.
Dalam Lisân al-Arab, karya Ibnu Manzhûr dikemukakan penjelasan berikut (tentang asal kata
yang pertama): Rabâsy-Syai‟u Yarbû Rabwan wa Ribâ‟an; artinya: sesuatu itu bertambah dan tumbuh.
Arbaituhu, artinya: aku menumbuhkannya.
Dalam Alquran al-Kariim, Allah berfirman,
Allah menumbuh suburkan (pahala) sedekah. (Qs. al-Baqarah: 276).
Dari makna inilah diambil pengertian riba yang haram. Allah berfirman,
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia tumbuh pada harta manusia, maka
riba itu tidak tumbuh (bertambah) pada sisi Allah. (Qs. ar-Rûm/30:39)
Sementara itu dalam kitab Mufradât ar-Râghib al-Ashfahâniy dikemukakan penjelasan berikut:
Ar-Rabbu berasal dari kata tarbiyah. Maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap
hingga mencapai kesempurnaan. Jadi kata Ar-Rabbu merupakan mashdar (kata dasar) yang
dipinjam untuk digunakan sebagai fa‟il (pelaku perbuatan).
Sedangkan dalam Al-Qâmûs al-Muhîth karya Fairuz Abadi dijelaskan: Rabba al-Amra, artinya
memperbaiki urusan. Rabba ash-Shabiyya, artinya memelihara seorang anak hingga dewasa.
Rabautu fî Hijrihi – Rabwan – wa Rubuwwan; demikian pula Rabaitu Ribâ`an wa Rubiyyan,
artinya aku terbentuk pada asuhannya.
Dari beberapa makna di atas, ada makna yang mendekatkan kata tarbiyah menuju pengertian
secara istilah, yaitu perkataan Imam al-Baidhâwiy dalam Kitab Tafsir-nya yang bernama Anwâr
at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‟wîl:
Ar-Rabbu asalnya bemakna tarbiyah. Yaitu menjadikan sesuatu sampai pada kesempurnaannya
sedikit demi sedikit. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta‟ala disifati dengan kata Rabb ini untuk
menunjukkan mubalaghah (sangat sempurna dalam meningkatkan makhluk-Nya menjadi
sempurna, pen.).
Sebelumnya juga telah dijelaskan perkataan Ar-Râghib al-Ashfahâniy, bahwa Ar-Rabb asalnya
dari kata tarbiyah, yang maknanya membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai
kesempurnaan.
Dengan demikian, dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Murabbi/pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah Subhanahu wa Ta‟ala, karena
Dia-lah Al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia pula
yang yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang, dan bekerjanya fitrah serta
bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan syariat agar fitrahfitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus, dan menjadi berbahagia.
2. Maka tarbiyah/pendidikan harus dilakukan sejalan dengan cahaya syariat Ilahi dan
selaras dengan hukum-hukum syariat Ilahi.
3. Tarbiyah juga harus dijalankan secara terencana dan bertahap dimana tahap yang satu
berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi dasar bagi persiapan
tahap berikutnya.
4. Aktifitas seorang murabbi/pendidik harus mengikuti fitrah yang ditetapkan Allah, dan
harus mengikuti syariat serta hukum-hukum Allah. Demikian secara ringkas apa yang
dinukil oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi dari Syaikh Abdurrahman al-Albani dalam
bukunya Madkhal Ila at-Tarbiyah fî Dhau`i al-Islam, Hal. 7-13.
Jadi makna dan hakikat tarbiyah secara istilah ialah: “Kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, dengan
maksud memelihara serta membentuk seseorang menjadi pemimpin di muka bumi dengan
kepemimpinan yang diatur berdasarkan peribadatan hanya kepada Allah saja secara sempurna.
Sudah barang tentu kegiatan ini harus dilakukan berbarengan dengan upaya terus-menerus
menjaga manhaj ilmiah secara teliti agar secara mengakar dapat memahami persoalan-persoalan
yang tidak ada contohnya dari syariat, kemudian selalu memperhatikan tata cara penerapannya,
apakah sudah terhindar dari hal-hal yang diada-adakan atau belum?” [7]
Sementara itu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan, “Asas-asas tarbiyah dalam
masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang
mulia, dan adab-adab yang tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan antara anak didik dengan
Rabb-nya, dengan pendidiknya, dengan kawannya, dengan kantor lembaga pendidikannya, dan
kemudian dengan lingkungan keluarganya.”[8]
Dari sini, dapat diketahui bahwa hakikat tarbiyah yang benar bertumpu pada tiga hal penting:
Pertama, tarbiyah harus memusatkan perhatiannya untuk membangkitkan aqidah tauhid serta
membersihkan kehidupan umat dari berbagai bid‟ah dan penyimpangan sebagai pendahuluan
agar umat kelak mampu memikul Islam kembali.
Kedua, parameter tarbiyah yang benar ialah bila tarbiyah tersebut berdiri pada landasan Alquran
dan sunah, terjalin dengan praktik keseharian para salaf, serta terbangun kembali semangat
generasi umat untuk menggali Alquran dan sunah hingga mampu memahami dan mengambil
istinbath hukum. Tentu saja dengan mengambil petunjuk secara utuh pada pemahaman salafush
shalih dan terus berkonsultasi dengan para ulama rabbani yang benar-benar menguasai Alquran
dan sunah.
Ketiga, tarbiyah tidak dapat dipisahkan dari upaya terus menerus dalam memberi pengarahan
kepada masyarakat secara umum. Sebab hakikat tarbiyah serta hasilnya selalu berkaitan erat
dengan kehidupan keseharian masyarakat, baik yang menyangkut keyakinan, norma, tadisi,
hubungan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain.”
Kesimpulannya, jika makna dan hakikat tarbiyah sudah jelas, maka tujuan tarbiyah pun menjadi
jelas, yaitu membentuk umat, baik secara individu maupun secara bersama-sama menjadi umat
yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak Allah, memenuhi hak-hak makhluk sesuai dengan
ketentuan Allah, menjauhi segala macam bid‟ah, khurafat, kemaksiatan, serta penyimpanganpenyimpangan lain, sehingga berbahagialah hidupnya, tidak saja di dunia, tetapi yang lebih
penting di akhirat. Intinya menjadi umat yang beribadah hanya kepada Allah saja, sesuai dengan
tujuan diciptakannya jin dan manusia. Umat yang lebih mementingkan kehidupan akhirat
daripada dunia. Umat yang selalu memikirkan bagaimana selamat dan sukses di akhirat.
Meskipun dunia tidak dilupakannya, tetapi tidak menjadi tergantung padanya.
Alangkah indahnya jika tarbiyah serta pendidikan, baik formal maupun non formal, berorientasi
pada ibadah hanya kepada Allah saja, dengan senantiasa berpedoman pada petunjuk-petunjuk
yang berladaskan Alquran dan sunah dengan pemahaman para salafush-shalih serta senantiasa
berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani. Sebab para Ulama Rabbani adalah pendidik umat
sesungguhnya sesudah nabinya.
Karena itulah, berkaitan dengan hadis :
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.”
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat sesuatu yang
harus diperhatikan oleh para ulama, yaitu hendaknya mereka mendidik umat seperti halnya
seorang ayah mendidik anaknya. Maka hendaknya para ulama mendidik umat secara bertahap
dan meningkat dari ilmu yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Hendaknya mereka
membawa umat secara bertahap menurut kemampuan, seperti yang dilakukan seorang ayah
terhadap anaknya ketika menyuapkan makanan.”[11]
Wallahu A‟lam.
Maraji’:
1. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti‟nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh
Ali bin Hasan al-Halabi, Dâr at-Tauhid, Riyadh, KSA, Cetakan: II, 1414 H (sebagai
rujukan utama).
2. Lisân al-„Arab, Tashîh: Amin Muhammad Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq alAbyadi, Dâr Ihyâ` at-Turâts al-Arabi dan Mu‟assasah at-Târîkh al-„Arabi, Beirut,
Libanon, Cetakan: III, Tahun 1419 H/1999 M.
3. Majalah As-sunah, Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M.
4. Miftâh Dâr as-Sa‟âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-„Ilmi wa al-Irâdah, karya Ibnu alQayyim, Taqdîm: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja‟ah: Syaikh Bakr Abu Zaid,
Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyadh dan Dâr Ibnu „Affân, Kairo, Cetakan: I, Tahun 1425 H/2004
M.
5. Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa
tahun, dari Silsilah at-Taujîhiyyât no. 17.
6. Shahîh Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalîl Ma‟mûn Syiha, Dâr al-Ma‟rifah, Cetakan:
III, Tahun 1417 H/1996 M.
7. Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma‟ârif, Cetakan: II dari
cetakan terbaru, 1421 H/2000 M.
8. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma‟ârif, Cetakan: I dari
cetakan terbaru, 1420 H/2000 M.
9. Shahîh Sunan Ibni Majah, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma‟ârif, Cetakan: I dari
cetakan terbaru, 1417 H/1997 M.
10. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannn, Syaikh Abdur-Rahmân bin
Nashir as-Sa‟di.
Prakata
Kata pendidikan dalam bahasa Arab lazim disebut tarbiyah. Untuk memahami apa tujuan
pendidikan atau tarbiyah, maka harus mengetahui terlebih dahulu apa pengertian dan hakikat
tarbiyah. Islam itu sendiri diimani dan diamalkan oleh pemeluknya melalui proses tarbiyah.
Pertama, tarbiyah dari Allah yang besifat khusus, yaitu taufiq serta pemeliharaan Allah yang
diberikan kepada para wali-Nya hingga mereka menjadi semakin sempurna dalam keimanan dan
terjaga dari penghalang-penghalang keimanan.
Allah adalah Rabbul-‟Alamin, yang salah satu pengertiannya ialah, Allah pentarbiyah dan
murabbi segenap makhluk dengan segala nikmat-Nya.[1]
Kedua, tarbiyah dari Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Sehingga dengan penyampaianpenyampaian yang jelas serta bimbingan-bimbingan beliau, seseorang menjadi semakin
memahami akan Islam dan semakin bertanggung jawab mengamalkannya.
Begitulah umat Islam generasi pertama menjadi umat pilihan karena merupakan hasil didikan
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Orang-orang menjadi muslim yang baik pun melalui proses
pendidikan.
Tarbiyah menurut Syaikh Abdurrahman Albani yang dinukil oleh Syaikh Ali Hasan bin Ali bin
Abdul Hamid al-Halabi,[2] adalah sebagai berikut:
Kata tarbiyah kembali pada tiga asal kata, yaitu:
Pertama, (Rabâ – Yarbû) yang artinya: tumbuh.
Kedua, (Rabiya – Yarbâ) yang artinya: berkembang
Ketiga, (Rabba – Yarubbu) yang artinya: memperbaiki, mengurusi, mengatur dan
memelihara.
Dalam Lisân al-Arab, karya Ibnu Manzhûr dikemukakan penjelasan berikut (tentang asal kata
yang pertama): Rabâsy-Syai‟u Yarbû Rabwan wa Ribâ‟an; artinya: sesuatu itu bertambah dan tumbuh.
Arbaituhu, artinya: aku menumbuhkannya.
Dalam Alquran al-Kariim, Allah berfirman,
Allah menumbuh suburkan (pahala) sedekah. (Qs. al-Baqarah: 276).
Dari makna inilah diambil pengertian riba yang haram. Allah berfirman,
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia tumbuh pada harta manusia, maka
riba itu tidak tumbuh (bertambah) pada sisi Allah. (Qs. ar-Rûm/30:39)
Sementara itu dalam kitab Mufradât ar-Râghib al-Ashfahâniy dikemukakan penjelasan berikut:
Ar-Rabbu berasal dari kata tarbiyah. Maknanya, membentuk sesuatu setahap demi setahap
hingga mencapai kesempurnaan. Jadi kata Ar-Rabbu merupakan mashdar (kata dasar) yang
dipinjam untuk digunakan sebagai fa‟il (pelaku perbuatan).
Sedangkan dalam Al-Qâmûs al-Muhîth karya Fairuz Abadi dijelaskan: Rabba al-Amra, artinya
memperbaiki urusan. Rabba ash-Shabiyya, artinya memelihara seorang anak hingga dewasa.
Rabautu fî Hijrihi – Rabwan – wa Rubuwwan; demikian pula Rabaitu Ribâ`an wa Rubiyyan,
artinya aku terbentuk pada asuhannya.
Dari beberapa makna di atas, ada makna yang mendekatkan kata tarbiyah menuju pengertian
secara istilah, yaitu perkataan Imam al-Baidhâwiy dalam Kitab Tafsir-nya yang bernama Anwâr
at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‟wîl:
Ar-Rabbu asalnya bemakna tarbiyah. Yaitu menjadikan sesuatu sampai pada kesempurnaannya
sedikit demi sedikit. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta‟ala disifati dengan kata Rabb ini untuk
menunjukkan mubalaghah (sangat sempurna dalam meningkatkan makhluk-Nya menjadi
sempurna, pen.).
Sebelumnya juga telah dijelaskan perkataan Ar-Râghib al-Ashfahâniy, bahwa Ar-Rabb asalnya
dari kata tarbiyah, yang maknanya membentuk sesuatu setahap demi setahap hingga mencapai
kesempurnaan.
Dengan demikian, dari makna tarbiyah dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Murabbi/pendidik sebenarnya secara mutlak adalah Allah Subhanahu wa Ta‟ala, karena
Dia-lah Al-Khaliq. Pencipta fitrah dan Penganugerah berbagai bakat manusia. Dia pula
yang yang telah menyediakan jalan bagi tumbuh, berkembang, dan bekerjanya fitrah serta
bakat-bakat manusia secara bertahap. Dia-lah yang telah menetapkan syariat agar fitrahfitrah itu tumbuh semakin sempurna, bagus, dan menjadi berbahagia.
2. Maka tarbiyah/pendidikan harus dilakukan sejalan dengan cahaya syariat Ilahi dan
selaras dengan hukum-hukum syariat Ilahi.
3. Tarbiyah juga harus dijalankan secara terencana dan bertahap dimana tahap yang satu
berpijak pada tahap yang lain, dan tahap yang sebelumnya menjadi dasar bagi persiapan
tahap berikutnya.
4. Aktifitas seorang murabbi/pendidik harus mengikuti fitrah yang ditetapkan Allah, dan
harus mengikuti syariat serta hukum-hukum Allah. Demikian secara ringkas apa yang
dinukil oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi dari Syaikh Abdurrahman al-Albani dalam
bukunya Madkhal Ila at-Tarbiyah fî Dhau`i al-Islam, Hal. 7-13.
Jadi makna dan hakikat tarbiyah secara istilah ialah: “Kegiatan yang dilakukan dengan
menggunakan cara-cara dan sarana-sarana yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, dengan
maksud memelihara serta membentuk seseorang menjadi pemimpin di muka bumi dengan
kepemimpinan yang diatur berdasarkan peribadatan hanya kepada Allah saja secara sempurna.
Sudah barang tentu kegiatan ini harus dilakukan berbarengan dengan upaya terus-menerus
menjaga manhaj ilmiah secara teliti agar secara mengakar dapat memahami persoalan-persoalan
yang tidak ada contohnya dari syariat, kemudian selalu memperhatikan tata cara penerapannya,
apakah sudah terhindar dari hal-hal yang diada-adakan atau belum?” [7]
Sementara itu Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan, “Asas-asas tarbiyah dalam
masyarakat Islam berdiri dalam rangka mewujudkan aqidah yang benar, perasaan-perasaan yang
mulia, dan adab-adab yang tinggi. Hal ini tercermin pada hubungan antara anak didik dengan
Rabb-nya, dengan pendidiknya, dengan kawannya, dengan kantor lembaga pendidikannya, dan
kemudian dengan lingkungan keluarganya.”[8]
Dari sini, dapat diketahui bahwa hakikat tarbiyah yang benar bertumpu pada tiga hal penting:
Pertama, tarbiyah harus memusatkan perhatiannya untuk membangkitkan aqidah tauhid serta
membersihkan kehidupan umat dari berbagai bid‟ah dan penyimpangan sebagai pendahuluan
agar umat kelak mampu memikul Islam kembali.
Kedua, parameter tarbiyah yang benar ialah bila tarbiyah tersebut berdiri pada landasan Alquran
dan sunah, terjalin dengan praktik keseharian para salaf, serta terbangun kembali semangat
generasi umat untuk menggali Alquran dan sunah hingga mampu memahami dan mengambil
istinbath hukum. Tentu saja dengan mengambil petunjuk secara utuh pada pemahaman salafush
shalih dan terus berkonsultasi dengan para ulama rabbani yang benar-benar menguasai Alquran
dan sunah.
Ketiga, tarbiyah tidak dapat dipisahkan dari upaya terus menerus dalam memberi pengarahan
kepada masyarakat secara umum. Sebab hakikat tarbiyah serta hasilnya selalu berkaitan erat
dengan kehidupan keseharian masyarakat, baik yang menyangkut keyakinan, norma, tadisi,
hubungan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain.”
Kesimpulannya, jika makna dan hakikat tarbiyah sudah jelas, maka tujuan tarbiyah pun menjadi
jelas, yaitu membentuk umat, baik secara individu maupun secara bersama-sama menjadi umat
yang bertanggung jawab memenuhi hak-hak Allah, memenuhi hak-hak makhluk sesuai dengan
ketentuan Allah, menjauhi segala macam bid‟ah, khurafat, kemaksiatan, serta penyimpanganpenyimpangan lain, sehingga berbahagialah hidupnya, tidak saja di dunia, tetapi yang lebih
penting di akhirat. Intinya menjadi umat yang beribadah hanya kepada Allah saja, sesuai dengan
tujuan diciptakannya jin dan manusia. Umat yang lebih mementingkan kehidupan akhirat
daripada dunia. Umat yang selalu memikirkan bagaimana selamat dan sukses di akhirat.
Meskipun dunia tidak dilupakannya, tetapi tidak menjadi tergantung padanya.
Alangkah indahnya jika tarbiyah serta pendidikan, baik formal maupun non formal, berorientasi
pada ibadah hanya kepada Allah saja, dengan senantiasa berpedoman pada petunjuk-petunjuk
yang berladaskan Alquran dan sunah dengan pemahaman para salafush-shalih serta senantiasa
berkonsultasi dengan para Ulama Rabbani. Sebab para Ulama Rabbani adalah pendidik umat
sesungguhnya sesudah nabinya.
Karena itulah, berkaitan dengan hadis :
“Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi.”
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan, “Di dalam hadis ini terdapat sesuatu yang
harus diperhatikan oleh para ulama, yaitu hendaknya mereka mendidik umat seperti halnya
seorang ayah mendidik anaknya. Maka hendaknya para ulama mendidik umat secara bertahap
dan meningkat dari ilmu yang kecil-kecil hingga yang besar-besar. Hendaknya mereka
membawa umat secara bertahap menurut kemampuan, seperti yang dilakukan seorang ayah
terhadap anaknya ketika menyuapkan makanan.”[11]
Wallahu A‟lam.
Maraji’:
1. At-Tashfiyah wa at-Tarbiyah wa Atsaruhuma fî Isti‟nâfi al-Hayâti al-Islamiyati, Syaikh
Ali bin Hasan al-Halabi, Dâr at-Tauhid, Riyadh, KSA, Cetakan: II, 1414 H (sebagai
rujukan utama).
2. Lisân al-„Arab, Tashîh: Amin Muhammad Abdul-Wahab dan Muhammad ash-Shâdiq alAbyadi, Dâr Ihyâ` at-Turâts al-Arabi dan Mu‟assasah at-Târîkh al-„Arabi, Beirut,
Libanon, Cetakan: III, Tahun 1419 H/1999 M.
3. Majalah As-sunah, Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M.
4. Miftâh Dâr as-Sa‟âdah wa Mansyûr Walâyati Ahli al-„Ilmi wa al-Irâdah, karya Ibnu alQayyim, Taqdîm: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi, Muraja‟ah: Syaikh Bakr Abu Zaid,
Dâr Ibnu al-Qayyim, Riyadh dan Dâr Ibnu „Affân, Kairo, Cetakan: I, Tahun 1425 H/2004
M.
5. Nidâ` Ila al-Murabbîn wa al-Murabbiyât, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, tanpa
tahun, dari Silsilah at-Taujîhiyyât no. 17.
6. Shahîh Muslim Syarh Nawawi. Tahqîq: Khalîl Ma‟mûn Syiha, Dâr al-Ma‟rifah, Cetakan:
III, Tahun 1417 H/1996 M.
7. Shahîh Sunan Abi Dawud, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma‟ârif, Cetakan: II dari
cetakan terbaru, 1421 H/2000 M.
8. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma‟ârif, Cetakan: I dari
cetakan terbaru, 1420 H/2000 M.
9. Shahîh Sunan Ibni Majah, Syaikh al-Albâni, Maktabah al-Ma‟ârif, Cetakan: I dari
cetakan terbaru, 1417 H/1997 M.
10. Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr al-Kalâm al-Mannn, Syaikh Abdur-Rahmân bin
Nashir as-Sa‟di.
Post a Comment