Lima Syarat Wajib Haji
Lima Syarat Wajib Haji
Segala
puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan
Allah semata yang tidak ada sekutu bagiNya, dan aku juga bersaksai bahwa
Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam adalah
seorang hamba dan utusanNya. Amma ba'du:
Sesungguhnya ibadah haji
merupakan salah satu pilar dari pilar-pilar agama Islam, satu kewajiban dari
kewajiban-kewajiban Islam yang agung. Adapun fadhilah haji sangatlah banyak
sekali, sedangkan hukumnya adalah wajib bagi tiap muslim sekali dalam seumur
hidupnya.
Dan para ulama telah
menetapkan kalau ibadah haji wajib dengan lima syarat:
Syarat pertama: Islam.
Sehingga dalam syarat ini,
mengeluarkan orang kafir dan musyrik. Jadi, ibadah haji yang mereka lakukan
tidak akan diterima.
Demikian pula tidak boleh
memberi kelonggaran bagi mereka untuk masuk ke dalam masjidil Haram.
Berdasarkan firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿
إِنَّمَا ٱلۡمُشۡرِكُونَ نَجَسٞ فَلَا يَقۡرَبُواْ ٱلۡمَسۡجِدَ ٱلۡحَرَامَ
بَعۡدَ عَامِهِمۡ هَٰذَاۚ ٢٨ ﴾ [التوبة: 28]
"Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis,
maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini". (QS at-Taubah: 28).
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu, beliau mengabarkan: "Bahwa Abu Bakar ash-Shidiq pernah di utus
pada suatu urusan yang membawa pesan dari Rasulallah shalallahu 'alaihi wa
sallam sebelum haji wada', pada saat hari haji besar untuk menyeru manusia
yang ada disitu, isi pesannya yaitu:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَلِا لَا يَحُجَّ بَعْدَ الْعَامِ
مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ »
[أخرجه البخاري و مسلم]
"Jangan engkau ijinkan orang musyrik untuk
berhaji setelah tahun ini, dan jangan (kalian) melakukan thawaf di Ka'bah dalam
keadaan telanjang". HR Bukhari no: 1622. Muslim no: 1347.
Syarat Kedua: Berakal.
Maka
orang gila tidak disuruh untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan jika
seandainya dia melakukan, maka ibadah haji dan umrahnya tidak sah, disebabkan
karena hilang akalnya.
Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Dawud dari Ali radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنْ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَعَنْ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنْ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ » [أخرجه أبو داود]
"Catatan pena diangkat terhadap tiga golongan.
Orang yang tertidur sampai dirinya terbangun, anak kecil hingga dirinya dewasa,
dan orang gila sampai dirinya sadar". HR Abu Dawud no: 4403.
Dinyatakan shahih oleh al-Albani dalam Irwa'ul ghalil 2/4 no: 297.
Syarat Ketiga: Dewasa.
Sehingga
tidak wajib ibadah ini atas anak kecil hingga dirinya dewasa, berdasarkan
hadits yang terdahulu. Namun, jika seandainya dia melakukan ibadah haji maka
hajinya sah, akan tetapi, belum mencukupi kewajiban hajinya dalam Islam.
Berdasarkan haditsnya Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa ada seorang wanita
yang mengangkat anaknya kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam sembari
bertanya: "Apakah anak ini mendapatkan ibadah haji? Maka Nabi shalallahu
'alaihi wa sallam menjawab: "Ia, dan untukmu pahala". HR Muslim no:
1336.
Demikian
pula berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma yang lainnya. Beliau
mengatakan: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَيُّمَا صَبِيٍّ حَجَّ ثُمَّ بَلَغَ الْحِنْثَ فَعَلَيْهِ الْحَجُّ
حَجَّةً أُخْرَى, وَأَيُّمَا عَبْدٍ حَجِّ ثُمَّ أُعْتِقَ
فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى
» [أخرجه ابن خزيمة والحاكم]
"Siapa saja anak kecil yang berhaji kemudian
dirinya telah dewasa, maka wajib baginya untuk melakukan ibadah haji kembali.
Dan budak mana saja yang berhaji kemudian dirinya dibebaskan maka wajib bagi
dirinya untuk melakukan ibadah haji kembali". HR Ibnu Khuzaimah 4/349.
al-Hakim dalam Mustadrak 2/144 no: 1812. dinyatakan shahih oleh al-Hafidh Ibnu
Hajar dalam Fathul Bari 4/71.
Imam
Tirmidzi menjelaskan: "Para ulama telah bersepakat bahwa anak kecil apabila berhaji sebelum dirinya berakal maka
wajib bagi dirinya untuk melakukan ibadah haji kembali jika dirinya telah
dewasa, disebabkan haji yang pertama dilakukan belum mencukupi dari haji
Islamnya.
Demikian
pula budak yang berhaji tatkala masih dikuasai oleh tuannya kemudian dirinya
dibebaskan maka wajib untuk mengerjakan ibadah haji kembali bila mempunyai
sarana untuk melakukan perjalanan ke Makkah. Dan tidak cukup haji yang pertama
dahulu dilakukan manakala masih dalam keadaan menjadi budak. Ini merupakan
pendapatnya Sufyan ats-Tsauri, Syafi'i, Ahmad dan Ishaq". [1]
Syarat Keempat: Sempurna dalam kebebasannya.
Sehingga
tidak wajib ibadah haji bagi seorang budak. Akan tetapi, kalau seandainya dia
berhaji maka hajinya sah. Namun, hajinya tidak mencukupi haji Islam.
Berdasarkan sabda Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam dalam haditsnya Ibnu Abbas
radhiyallahu 'anhuma, yang terdahulu.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَأَيُّمَا عَبْدٍ حَجِّ ثُمَّ أُعْتِقَ
فَعَلَيْهِ حَجَّةٌ أُخْرَى
» [أخرجه ابن خزيمة والحاكم]
"Dan budak mana saja yang berhaji kemudian
dirinya dibebaskan maka wajib bagi dirinya untuk melakukan ibadah haji kembali".
HR Ibnu Khuzaimah 4/349. al-Hakim dalam Mustadrak 2/144 no: 1812. dinyatakan
shahih oleh al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/71.
Syarat Kelima: Mampu.
Maka
ibadah haji hanya diwajibkan bagi orang yang mampu untuk melakukan perjalanan
ke Baitul Haram berdasarkan nash al-Qur'an dan as-Sunah. Dan yang dimaksud
dengan mampu disini ialah mencakup mampu dari sisi badan dan juga materinya.
Berdasarkan firman Allah ta'ala:
﴿
وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلۡبَيۡتِ مَنِ ٱسۡتَطَاعَ إِلَيۡهِ سَبِيلٗاۚ ٩٧ ﴾ [ ال عمران: 97]
"Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia
terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah". (QS al-Imran: 97).
Sehingga
bagi siapa saja yang tidak sanggup untuk menunaikan ibadah haji dan umrah
disebabkan karena sudah sangat tua, atau sakit yang tidak diharapkan lagi
kesembuhannya, atau badannya mampu, namun, dirinya tidak mempunyai harta yang
cukup untuk berhaji dan umrah, maka orang-orang ini tidak wajib melakukan
ibadah haji.
Akan
tetapi, bagi orang yang tidak mampu badannya namun dirinya mempunyai harta
cukup maka dirinya harus mewakilkan pada orang lain supaya menghajikan atau
mengumrahkan dirinya.
Dan mewakilkan ibadah haji dan umrah
merupakan perkara yang disyari'atkan, berdasarkan haditsnya Abu Razin al-Uqaili
radhiyallahu 'anhu, bahwasanya beliau pernah datang kepada Nabi shalallahu
'alahi wa sallam sambil bertanya: "Ya Rasulallah, sesungguhnya bapakku
sudah sangat tua, dan dirinya sudah tidak mampu untuk melakukan haji tidak pula
umrah serta berangkat ke Makkah? Maka Nabi menjawab:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِرْ» [أخرجه الترمذي]
"Berhajilah kamu untuk ayahmu serta
berumrahlah untuknya". HR at-Tirmidzi no: 930.
Demikian
pula berdasarkan haditsnya Fadhl bin Abbas radhiyallahu 'anhuma, yang mana
beliau pernah berkata: "Ada seorang perempuan dari Khats'am yang datang
pada haji wada', sembari berkata: "Wahai Rasulallah, sesungguhnya
kewajiban Allah atas hambaNya dalam ibadah haji telah menjumpai ayahku yang
sudah sangat tua, dirinya sudah tidak mampu untuk berdiri diatas hewan
tunggangannya, apakah cukup baginya jika sekiranya aku menghajikan untuknya?
Beliau menjawab: "Ia". HR Bukhari no: 1513. Muslim no: 1334.
Dan
barangsiapa meninggal lalu meninggalkan harta cukup, sedang dirinya belum menunaikan
ibadah haji. Maka dikeluarkan dari harta peninggalannya untuk membiayai orang
yang menghajikannya. Dan hendaknya ada yang menghajikannya.
Berdasarkan
haditsnya Buraidah bin al-Hushaib radhiyallahu 'anhu, didalamnya diceritakan:
"Ada seorang wanita yang ditinggal meninggal oleh ibunya, maka dia
bertanya kepada Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam: "Sesungguhnya ibuku
belum menunaikan ibadah haji sekalipun, apakah aku hajikan untuknya? Beliau
menjawab: "Hajikanlah untuknya". HR Muslim no: 1149.
Kemudian
syarat diatas bertambah menjadi enam bagi perempuan yaitu adanya mahram yang
menemaninya ketika berhaji. Berdasarkan keterangan dalam sebuah hadits yang
dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma.
Beliau mengatakan: "Bahwa Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ
ذِي مَحْرَمٍ وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ. فَقَالَ
رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ,إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَخْرُجَ فِي جَيْشِ كَذَا
وَكَذَا وَامْرَأَتِي تُرِيدُ الْحَجَّ. فَقَالَ: اخْرُجْ مَعَهَا » [أخرجه البخاري و مسلم]
"Tidak boleh bagi seorang wanita bepergian
kecuali bila ditemani oleh mahramnya, dan janganlah seorang lelaki masuk
kepadanya melainkan bersama mahramnya". Maka ada seorang yang bertanya:
"Ya Rasulalah, sesungguhnya aku ingin pergi bersama pasukan ini dan itu,
sedang istriku ingin berhaji? Maka beliau mengatakan: "Keluarlah, pergi
bersama istrimu". HR Bukhari no: 1862. Muslim no: 1341.
Akhirnya
kita ucapkan segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat serta salam
semoga Allah curahkan kepada Nabi kita Muhammad, kepada keluarga beliau serta
para sahabatnya.
Post a Comment