Sahabat Nabi dalam Pandangan Syiah dan Ahlussunnah
Sahabat Nabi
dalam Pandangan Syiah dan Ahlussunnah
A.
Pendahuluan
Salah satu perbedaan fundamental antara Syi'ah([2])
dan Ahlussunnah([3])
adalah pandangan mereka terhadap para sahabat.([4])
Dalam perspektif Syiah, sahabat bisa saja dicela dan
dicerca, seperti didalam buku utama mereka Uṣūl al-Kāfì karangan al-Kulaini. Adapun menurut Ahlussunnah, sahabat tidak boleh
dicela. Hal ini berdasarkan hadits Nabi e : "Janganlah kamu mencela sahabat-sahabatku, andaikan kalian
bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka hal demikian tidak dapat
mengimbangi sedekah yang dikeluarkan para sahabat satu mud (satu genggam) saja
atau separuhnya".([5])
Namun demikian, bukan berarti sahabat merupakan sosok yang steril dari
kesalahan dan dosa atau maʻsūm.
Namun, hal tersebut juga tidak menjatuhkan reputasinya sebagai orang-orang yang
baik, adil dan jujur, terutama dalam meriwayatkan segala sesuatu yang
disampaikan Rasulullah e. Oleh karena itu, para
sahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah e atau menyandarkan sesuatu yang tidak sah dari
beliau. ([6]) Hal ini berangkat dari hadits bahwa
sebaik-baik generasi adalah generasi ketika Rasul masih hidup kemudian generasi
setelahnya kemudian setelah-setelahnya.([7])
Oleh karenanya, dalam pandangan mainstream Sunni, seluruh sahabat bersifat 'ādil,([8]) berdasarkan pujian yang diberikan oleh Allah Subhānahu wa Ta’āla kepada mereka di dalam al-Qur’an (Q.S. al-Fath:29).
Sejatinya, pengetahuan kita
terhadap agama yang diwariskan Nabi Allah ini tidak lah bisa dilepaskan
dari peran para sahabat. Sahabat Nabi e sangat berperan penting dalam Islam. Para
sahabat generasi yang berjumpa serta belajar agama langsung dengan Rasulullah
ketika beliau masih hidup. Merekalah yang meneruskan risalah Nabi setelah
beliau wafat. Dengan demikian, para sahabat menjadi perantara pada saat Islam
diwariskan kepada generasi berikutnya.
Berangkat dari analisa singkat diatas, maka makalah ini akan mencoba
memaparkan lebih jauh tentang sahabat Nabi dalam perspektif Syiah dan
Ahlussunnah, agar bisa
menjawab perbedaan sudut pandang antara kedua kelompok tersebut. Sehingga
kedudukan tersebut bisa kita jaga, dan terjaga pula ajaran Islam yang telah
sempurna.([9])
B. Sahabat dalam Perspektif Syi'ah
Pada hakikatnya, Syiah
menggunakan buku-buku bahan rujukan mereka tersendiri yang terkenal untuk menegakkan akidah, menjalankan
syari'at serta perilaku mereka terhadap Nabi, sahabat dan lainnya. Ada
empat rujukan utama Syi’ah untuk
membangun madzhabnya: Pertama, al-Kāfi. Pengarangnya
Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq Al-Kulaini,
ulama Syi’ah terbesar di zamannya. Dalam
kitab tersebut terdapat 16199 hadits, buku ini oleh kalangan Syi’ah yang paling
terpercaya dari buku-buku yang lainnya.
Kedua, “Man
Lā
Yahdhuruhul Faqīh”, dikarang oleh Muhammad bin Babawaih Al-Qum, terdapat
didalamnya 3913 hadits musnad dan 1050 hadits mursal.
Ketiga, “at-Tahdzīb”. Kitab
fiqih ini dikarang oleh Muhammad At-Tūsi yang
dijuluki Lautan Ilmu.
Keempat, “al-Istibshār”, oleh
pengarang yang sama, mencakup 5001 hadits,([10])
dan ada banyak buku rujukan lainnya yang belum dicantumkan selain buku-buku di
atas. Dengan demikian, perlu ada kritikan terhadap mereka sehingga umat Islam tahu perbandingan dan perbedaan serta
dapat mengambil inti sari bahkan bisa mengkritik konsep ini dengan dalil dan
data yang telah ada.
Demikianlah buku-buku
Syiah yang mengandung berbagai macam hadits-hadits yang tidak sesuai dengan
hadits yang shahih menurut Sunni. Buku Syiah menyangkut akidah dan syari'at
yang mereka pegang erat-erat, sehingga mereka buta dengan kebenaran yang nyata.
Terdapat banyak buku lainnya selain buku yang telah dicantumkan di atas, namun
buku-buku diatas adalah merupakan buku pokok mereka yang terkenal dan popular
di masyarakat jaman sekarang.
a)
Konsep 'Adalah Sahabat menurut Syiah
Menurut kelompok syi'ah, sahabat
adalah manusia biasa. Ungkapan tersebut disampaikan oleh Al-Musawi dalam
kitabnya Syī’ah fi tārīkh.([11])
At-Tastary Asy-Syī’i juga membenarkannya dan menyatakannya bahwa Sahabat radhiyallahu'anhum,
sama dengan manusia yang lain, tidak ada perbedaan sama sekali. Pandangan
yang menyatakan Sahabat adalah manusia biasa juga mempengaruhi seorang tokoh
Syi’ah Indonesia yaitu Jalaluddin Rakhmat yang mengatakan bahwa Sahabat tidak 'ādil dan tidak jujur.([12])
Masih banyak lagi ungkapan-ungakapan ulama' syiah lainnya, yang sesuai
dengan penyataan Muhammad Jawād Al-Mughni’ah bahwa Sahabat ada yang baik dan ada yang
buruk, ada yang adil dan ada yang fasiq,([13])
bahkan kebanyakan mereka adalah tidak 'ādil.
Nasruddin At- Tusi mengutarakan bahwa yang memerangi Saidina Ali adalah kafir
dan yang menentangnya adalah fasik.([14]) Cara pandang inilah yang menjadi salah satu penyebab
kaum Syi’ah mengingkari konsep 'adālah (keadilan) para Sahabat Radhiyallahu’anhum.
Ulama'
syiah tidak saja memandang sahabat dengan pandangan negatif, bahkan memandang
sahabat dengan keburukan dan kehinaan.
Dalam
menafsirkan ayat: 2-3 Surat al-Anfāl
al-Kulaini menyebutkan dalam bukunya Uṣūl al-Kāfì yang
diriwayatkan dari Ja'far, bahwa semua orang pada zaman Rasulullah murtad
(keluar dari islam) sepeninggal Rasulullah e, kecuali beberapa orang saja, Ali bin Abi Thālib, al-Miqdād bin al-Aswad, Abu Dzār al- Ghifāri, Salmān al-Fārisi([15])
dan seorang yang belum pasti yaitu Ammār([16]).
Sementara al-Kisysyi menambahkan tiga nama lagi dalam daftar nama sahabat yang
tidak murtad pasca meninggalnya Rasulullah e, yaitu: Abu Syāsyan
al-Anshari, Abu Amrah, dan Syatirah, sehingga jumlahnya menjadi 7 orang.([17])
Menurut
Syiah, para sahabat bukan hanya murtad, bahkan mereka berani merubah syari'at
agama([18])
dan suka membantah perintah Nabi e pada masa beliau masih
hidup.([19])
Tidak hanya sampai disitu, Syiah juga mengkafirkan kaum muslimin secara
keseluruhan tanpa terkecuali, karena mereka (Ahlussunnah) menolak kepemimpinan
imam-imam mereka. Padahal, penolakan kepemimpinan imam adalah perbuatan kufur
layaknya penolakan kenabian.([20])Al-Kulaini
juga menukil sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa orang-orang yang mengaku
berhak atas imamah padahal mereka tidak berhak atas imamah tersebut (Abu Bakar,
Umar dan Utsman), seluruh orang-orang yang mengingkari imamah, dan setiap orang
yang mengaku dirinya muslim sementara kenyataannya tidak, hal demikian bukan
golongan Syiah, mereka tidak akan dilihat oleh Allah, tidak akan ditazkiyah,
dan bagi mereka azab yang sangat pedih.([21])
Menurut syiah, para sahabat Nabi adalah orang biasa yang dapat berbuat dosa
atau maksiat bahkan nifaq dan bisa juga murtad.
Demikian
apa yang di utarakan Syiah mengenai sifat 'ādil dan kejujuran
para sahabat dalam menyampaikan suatu periwayatan dari Nabi e. Mereka mengatakan bahwa
sahabat adalah manusia biasa dan
sebahagian mereka tidak bisa dipegang perkataannya dalam menyampaikan
periwayatan Nabi kecuali sahabat yang mereka puji seperti imam-imam mereka.
Mereka juga sampai menjatuhkan martabat dan sifat terpuji sahabat sehingga
mereka buta akan kebenaran. Hal tersebut harus kita ketahui bahwa sahabat Nabi tidak
seperti apa yang mereka katakan prihal sahabat Nabi e.
b) Tuduhan
Syiah Terhadap Para Sahabat
Mayoritas
ulama klasik Syiah tidak saja memandang sahabat dengan pandangan negatif,
bahkan lebih dari itu para sahabat dihina, dilaknat, serta sepakat dikafirkan,([22])
terkhusus dengan tiga Khulafa'ur Rasyidin ([23])
sebelum Ali bin Abi Thalib, dan secara umum semua para sahabat sesudah wafatnya
Rasulullah e, adalah kafir kecuali beberapa orang saja.([24])
Kelompok Syiah mengkritik dan memfitnah para sahabat Nabi e dengan menggunakan potongan-potongan ayat Qur'an dan hadits
Nabi e untuk kepentingan mereka,
dan meninggalkan ayat-ayat al-Quran dan hadits Nabi e yang shahih yang memuji keadilan sahabat.
§ Khulafaur-Rasyidin([25])
dalam Pandangan Syiah
Dalam aqidah Syiah terdapat keyakinan bahwa
mereka berlepas diri dari orang yang memerangi Amirul mukminin (Ali bin Abi
Thalib). Seperti teks di dalam buku mereka di bawah ini: "Di antara
pokok ajaran agama Imamiyah adalah halalnya nikah mut'ah, haji tamattu', dan
berlepas diri dari tiga, yaitu Mu'awiyah, Yazid bin Mu'awiyah, dan orang yang
memerangi Amirul mukminin) ". Tercantum dalam keterangan footnote:
yang dimaksud dengan tiga adalah Abu Bakar, Umar, dan Utsman.([26])
Dalam keyakinan mereka, Abu Bakar dan Umar kafir, keduanya meninggal dalam
keadaan kafir dan musyrik kepada Allah yang Maha Agung,([27])
demikian juga orang yang mencintai mereka juga kafir.([28])
Barangsiapa mengikuti Ahlussunnah, maka mereka adalah makhluk Allah yang paling
buruk di muka bumi, dan iman seseorang tidak akan sempurna hingga dia berlepas
diri dari mereka.([29])
Menurut syiah, sebahagian sahabat layak dilaknat, terkhusus Abu Bakar dan Umar
seperti dalam buku do'a mereka :
"Ya Allah laknatilah dua patung
Quraisy, dua thoghut dan jibtnya dua pendusta dan pembohongnya
dan kedua anak perempuannya (Aisyah dan Hafsah), karena mereka telah
mengingkari perintahMu, mendustakan wahyuMu, tidak mensyukuri nikmat-nikmatMu,
bermaksiat kepada utusanMu, memutar balik agamaMu, merubah kitabMu, mencintai
musuh-musuhMu mengingkari nikmat-nikmatMu, meninggalkan hukum-hukumMu,
membatalkan dan melalaikan kewajiban-kewajibanMu, mengkufuri ayat-ayatMu,
memusuhi kekasihMu, berwala' dan berloyalitas kepada musuhMu, memerangi
negeri-negeriMu, dan membinasakan hamba-hambaMu….."([30])
Do'a di atas diyakini mereka memiliki
derajat yang tinggi dan merupakan zikir yang sangat mulia. Bahkan disebutkan
pahalanya, jika dibaca saat sujud syukur, seperti para pemanah yang menyertai
Nabi e pada perang Badar, Uhud dan
Hunain dengan satu juta anak panah.([31])
Lebih dari itu, Syiah juga mengklaim ketiga khalifah yaitu Abu Bakar,
Umar dan Utsman sebagai orang yang tidak menonjol secara keilmuan, tidak pernah
punya prestasi dalam jihad, tidak mempunyai akhlak yang lebih baik (moral),
tidak konsisten pada prinsip, tidak giat dalam ibadah, tidak profesional dalam
pekerjaan, dan tidak memiliki keikhlasan dalam perbuatan.([32])
Mereka juga menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai Iblis,([33])
mereka tidak mematuhi perintah Rasul dan tidak pernah beriman kepada
Rasulullhah e sampai akhir hayatnya.([34])
Mereka juga yang menyebut Abu Bakar dan Umar sebagai Thoghut yang sesat.([35])
Syiah
menuduh serta menyifati Abu Bakar dengan keburukan. Mereka menjelaskan bahwa
Nabi e tidak mengajak Abu Bakar
untuk berhijrah bersamanya dan bersembunyi di Gua Hira, melainkan karena beliau
takut jika Abu Bakar menunjukkan keberadaannya kepada kaum kafir Quraisy.([36])
Abu bakar juga shalat di belakang Rasulullah sementara dia masih
mengalungkan patung di lehernya dan sujud kepadanya.([37])
Mereka menyamakan Abu Bakar dengan paulus yang telah merubah teologi Kristen.([38])
Dalam tafsir al-Qummi, ketika menafsirkan firman Allah surat an-Nahl ayat-90: al-Fahsyā' (perbuatan keji) adalah Abu
Bakar.([39])
Abu Bakar salah satu orang yang berada dalam peti-peti api neraka (ujar
mereka).([40])
Dan banyak lagi isu-isu buruk yang
dilontarkan kepada Amirul Mukminin Abu Bakar. Padahal, Ahlussunnah
meyakini bahwa Abu bakar adalah orang yang paling baik setelah Nabi e, orang yang pertama kali
beriman dari kalangan laki-laki pada masa dakwah Rasulullah e, sehingga Abu Bakar
diangkat menjadi khalifah pertama setelah Rasulullah e. Demikianlah Abu Bakar diberi gelar as-Siddiq (orang
yang jujur ).
Begitu juga halnya dengan Umar bin Khattab, disamping
dikafirkan dan dilaknat, Syiah juga menyematkan hal-hal
negatif terhadap Umar bin Khattab. Dalam tafsir al-Qummi, saat mendafsirkan
firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 90: "al-Mungkar"
(kemungkaran) adalah Umar.([41])
Syiah mengatakan bahwa Umar menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan
kecuali dengan air mani lelaki dan neneknya yakni anak hasil zina.([42]) Pada 10 Muharrom mereka membawa anjing yang
diberi nama Umar, kemudian mereka beramai-ramai memukulinya dengan tongkat dan
melemparinya dengan batu sampai mati.([43])
Mereka juga merayakan pesta hari kematian Umar (hari Nairūz) dan
memberikan penghargaan kepada pembunuhnya : Abu Lu'lu'ah seorang majusi dengan
gelar "Pahlawan Agama".([44])
Mereka juga meyakini Umar tidak pernah beriman kepada Rasulullha e sampai akhir hayatnya([45])
dan mati dalam keadaan kafir sampai ia masuk neraka.([46])
Begitu juga
dengan Khalifah ketiga Utsman bin Affan. Syiah memandang hal-hal negatif
terhadap Utsman. Selain mereka mengkafirkan dan menghinanya([47]),
mereka juga memberi tuduhan dan fitnah kepadanya. Diantaranya; Utsman
digambarkan sebagai pezina, banci, dan pecinta music.([48])
Dalam tafsir al-Qummi, saat menafsirkan firman Allah dalam surat an-Nahl ayat
90: mereka menafsirkan "al-Baghy" (permusuhan) adalah Utsman
bin Affan.([49])
Begitu juga dengan Jalaluddin Rakhmat, ia
mengatakan bahwa Ruqoyyah dan Ummu Kulsum bukan istri Utsman dan bukan juga putri Nabi Muhammad e,([50])
ia membenci julukan Dzu Nuroin (pemilik dua cahaya) karena Utsman
menikah dengan kedua putri Nabi e, ia berpendapat julukan itu harus dimansyukh.([51])
Akan tetapi, Syiah memposisikan kedudukan Ali bin Abi Thalib sangat tinggi
dan lebih mulia dari sahabat lainnya. Mereka menganggap Ali bin Abi Thalib
sebagai manusia yang paling istimewa dari pada sahabat lainnya. Dalam
kepercayaan mereka bahwa Allah berbicara dengan
Rasulullah pada malam Mi'raj dengan suara dan bahasa Ali bin Abi Tholib,([52])
Allah juga berbisik dengan Ali di Thāif, dan saat itu ada Jibril 'alaihissalam([53])
telah datang kepada Rasul dan berkata: " Wahai Muhammad, Rabbmu
telah memerintahkanku untuk mencintai Ali dan menjadikannya sebagai
pemimpin".([54])
Sampai-sampai Keledai pun bersaksi bahwa Ali adalah wali Allah dan penerima
wasiat khilafah Rasulullah.([55])
Dan siapa yang menyelisihi Ali maka ia kafir dan siapa saja mengutamakan orang
lain di atas Ali maka ia murtad.([56])
Dalam
keyakinan Syiah, sesungguhnya Allah menghiasi Malaikat dengan Ali bin Abi Thalib.([57])
Ali adalah rahasia tersembunyi para Nabi. Karena itu Allah berfirman: "Wahai
Muhammad aku utus Ali bersama para Nabi secara tersembunyi dan bersamamu secara
nyata".([58])
Ali adalah bukti kenabian Muhammad, karena itu Nabi e mangajak untuk mengakui dan menetapkan wilayah (kekuasaan) Ali.([59])
Surat wilayah yang dimulai dengan ayat :
[ يا أيها الذين آمنوا آمنوا بالنورين
]
"Wahai orang yang
beriman, berimanlah kepada dua cahaya".
Namun, menurut mereka Utsman bin Affan telah menghilangkan ayat ini.([60])
Allah tidak mengutus Nabi e kecuali telah memintanya agar menetapkan dan mengakui wilayah
(kepemimpinan dan kekuasaan) Ali baik dengan patuh atau terpaksa.([61])
Para Nabi dan Rasul diutus untuk menetapkan wilayah Ali.([62])
Agama tidak akan sempurna hingga mengakui wilayah Ali.([63])
Syiah juga mengatakan bahwa Ali masuk
surga sebelum Nabi e([64]) Dan
tidak seorangpun yang masuk surga tanpa rekomendasi dari Ali.([65])
Ali bin Abi Tholib penanggung jawab surga dan neraka. Dialah yang punya
otoritas penuh untuk memasukkan penduduk surga ke dalam neraka dan penduduk
neraka ke surga.([66])
Sesungguhnya Allah akan memasukkan siapa saja yang ta'at kepada Ali ke dalam
surga, meski ia bermaksiat kepada Allah. Sebaliknya Allah akan memasukkan siapa
saja yang menentang Ali ke dalam neraka meski dia ta'at kepada Allah.([67])
Ali juga dapat menghidupkan orang mati, memudahkan kesulitan orang susah.([68])
Datangnya petir karena perintah Ali.([69])
Ini semua, apa yang telah diutarakan oleh kelompok Syiah terhadap sayyidina Ali
bin Abi Thalib. Mereka menjunjung tinggi Ali, dan berlebihan dalam memujinya.
Sedangkan Ali sendiri berlepas diri dari mereka.([70])
Dari
pemaparan di atas, mereka memandang sahabat dengan pandangan negatif, sehingga
mereka menghina, melaknat, serta sepakat mengkafirkan seluruh para sahabat
sesudah wafatnya Rasulullah e, kecuali beberapa orang saja. Termasuk orang yang dikafirkan
mereka ialah ketiga khalifah yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman. Akan tetapi mereka
memandang lain dalam menyikapi khalifah keempat yaitu Ali bin Abi Thalib.
Mereka memujinya dan menjunjung tinggi kedudukannya sebagai khalifah. Hal ini
tidak sesuai dengan kenyataan dan realita yang telah disampaikan para
sahabat-sahabat lainnya dan para tabi'in mengenai sahnya kekhalifahan setelah
Rasulullah e.
§ Pandangan
Syiah terhadap Ummahatul Mukminin (Istri Nabi SAW.)
Aisyah
wanita yang rendah dan hina dalam keyakinan Syiah. Syiah berani melecehkan dan
memfitnah Aisyah dengan mengatakan bahwa Aisyah tidak pantas menjadi Ummul
Mukminin.([71])
Bahkan, Aisyah diklaim sebagai kafir
layaknya istri Nabi Nuh 'alaihissalam dan istri Nabi Luth 'alaihissalam.([72])
Aisyah telah murtad setelah Nabi e wafat.([73])
Seperti tertulis di dalam buku mereka (Kitab al-Arba'īn fī Imāmatil Aimmah,
bab ad-Dalīl al-Arba'ūn (dalil ke empat puluh), hal.615):
"Di
antara bukti yang menunjukkan kepemimpinan Dua Belas imam kita ialah Aisyah
kafir dan berhak masuk ke dalam neraka. Ini adalah konsekuensi madzhab kami,
dan tuntunan Dua Belas imam kami, karena orang-orang yang menganggap sahnya
khilafah tiga orang (Abu Bkar, Umar dan Utsman) pasti meyakini keimanan Aisyah,
mengagungkannya dan memuliakannya". ([74])
Aisyah
juga membagikan dinar kepada para musuh Ali karena pengkhianatannya.([75])
Aisyah memprovokasikan dengan memerintahkan untuk membunuh Utsman bin Affan
karena ia sudah menjadi kafir.( [76])
Al- Khumaini berkata; "bahwa
Aisyah , Tholhah, Zubair, Mu'awiyah dan orang-orang sejenisnya meskipun secara
lahiriyah tidak najis, tapi mereka lebih buruk dan menjijikkan dari pada anjing
dan babi”.([77])
Karena mereka bertiga dan sahabat lainnya yang satu aliran dengan mereka
memerangi imam Ali. Sebelumnya, mereka berkomplot untuk membunuh Utsman. ([78])
Dan Pada 10 Muharrom orang Syiah mendatangkan kambing betina yang diberi nama
Aisyah, lalu mereka mulai mencabuti bulunya dan memukulinya dengan sepatu
sampai mati.([79])
Begitu juga perihalnya dengan Hafsah. Hafsah sangat
buruk dalam pandangan Syiah. Hafsah terlaknat([80])
bahkan kafir, karena ayat: "Siapa
yang memberitahukan hal ini kepadamu" dan tentang Aisyah, Allah
berfirman :"Jika kalian bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati
kamu berdua telah miring".([81])
kalimat Shāghat dalam ayat ini bermakna "Zāghat"
(miring), dan miring disini adalah kafir. Dan menurut Syiah bahwa Aisyah dan
Hafsah juga bersekutu memberi racun ke dalam minuman Nabi e([82]), tatkala Allah memberitahukan
beliau tentang perbuatan mereka berdua, beliau ingin sekali membunuh keduanya,
namun mereka bersumpah tidak pernah melakukan hal itu, hingga Allah menurunkan
ayat : "Wahai orang-orang kafir janganlah kalian beralasan pada hari
ini"([83]).([84])
Demikian golongan Syiah memandang kedua isteri
Rasulullah e. Mereka bukan hanya memberikan kata-kata yang buruk (menghina),
bahkan mereka mengkafirkan keduanya. Hal tersebut, secara tidak langsung,
mereka telah mengingkari Rasulullah e dan menyakitinya. Sesungguhnya Aisyah dan Hafsah adalah salah
satu orang yang dicintai Nabi e.
§ Pandangan
Syiah terhadap Putri Nabi e.
Syiah mendakwakan hal-hal yang tidak benar kepada
putri-putri Nabi e. Mereka beranggapan bahwa Nabi e tidak memilik anak perempuan kecuali Fatimah, adapun Ruqoyyah
dan Ummu Kalsum dan Zainab hanya anak
tiri saja.([85])
Ruqoyyah dan Ummu Kulsum juga bukan istri Usman
dan bukan juga putri Nabi Muhammad.([86])
Demikian yang dilontarkan oleh mereka kepada Ruqoyyah dan Ummu Kulsum. Ada juga
tuduhan yang di lontarkan kepada putri Nabi e Fatimah. Mereka mengatakan bahwa Fatimah ma'sum (terjaga
dari salah dan dosa).([87])
Padahal sifat ma'sum hanya diberlakukan kepada para rasul dan nabi,
bukan pada keluarga Nabi. Syiah berkeyakinan bahwa Fatimah adalah titisan Tuhan
yang kuat yang berjasadkan wanita,([88])
Fatimah juga sudah mampu berbicara kepada ibunya ketika masih dalam kandungan,([89])
dan kalau bukan karena Fatimah, Muhammad dan Ali tidak tercipta.([90])
Demikian
yang di sampaikan oleh ulama' Syiah terdahulu bahwa Fatimah orang yang maʻsūm
dan titisan Tuhan dan lain sebagainya yang mengangkat tinggi kedudukan Fatimah.
Berbeda dengan apa yang disampaikan oleh tokoh syiah Indonesia, seperti
Jalaluddin Rakhmat, ia menjatuhkan reputasi Fatimah sebagai orang yang mulia.
Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa Syiah melaknat Fatimah, Abu bakar dan Umar.([91])
Dari sini, ada perbedaan yang rancu antara ucapan ulama Syiah tentang Fatimah.
Ada yang berkata ulama Syiah melaknati Fatimah dan ada juga yang menjunjung
tinggi kedudukan Fatimah. Hal demikian bertentangan dengan apa yang diucapkan
oleh para ulama mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sudah merubah
kandungan agama (Islam), bahkan merubah sejarah keagamaan dengan berbagai macam
cara untuk mendapatkan apa yang mereka hendaki, bukan karena kebenaran.
C.
Sahabat dalam Perspektif Ahlussunnah wal Jama'ah([92])
a) Kedudukan Para Sahabat dalam
Islam
Sahabat Nabi menempati posisi sangat penting dalam Islam. Para sahabat
orang yang hidup bersama Nabi, merekalah yang paling tahu setelah Nabi tentang
Islam. Nabi mengajari mereka langsung secara berhadapan. Sesungguhnya perbuatan
dan perkataan Nabi merupakan wahyu, dan para sahabatlah yang perperan untuk
meneruskan dalam penyampaiannya. Dengan posisi ini mereka menjadi perantara
atau jembatan pada Islam yang diwariskan pada generasi berikutnya.([93])
Tidak ada seorang muslimpun yang dapat mengungkapkan Islam tanpa bersandar pada
sahabat sebagai otoritas utama. Setelah Nabi wafat, para sahabat menduduki
peran lebih besar dibandingkan sebelum Nabi wafat. Semua fungsi Nabi kecuali
dalam hal menerima wahyu, diambil alih oleh para sahabat. Mereka manjadi figur
sangat penting dalam masyarakat Muslim, menjalankan otoritas politik dan agama.
Maka, apapun yang datang dari mereka yang bisa dibuktikan harus bisa dipercaya
dan dianggap sebagai kebenaran.
Sahabat Nabi e memililki sifat 'Adālah
(keadilan/kejujuran). Secara bahasa, 'Adālah atau 'Adl lawan dari Jaur artinya kejahatan. Rojulun
'Adl maksudnya : seseorang dikatakan adil yakni seseorang itu diridhai dan
diberi kesaksiannya.([94])
Menurut istilah ahli hadist, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : "Yang
dimaksud dengan adil ialah orang yang mempunyai sifat ketaqwaan dan muru'ah".([95])
Maksud 'Adalatus Shahabah ialah bahwa semua sahabat ialah orang-orang
yang bertaqwa dan wara', yakni mereka adalah orang-orang yang selalu menjauhi
maksiat dan perkara-perkara yang syubhat. Keadilan sahabat juga bsia berarti
diterimanya periwayatan mereka tanpa perlu bersusah payah mencari sebab-sebab
keadilan dan kebersihan mereka.([96])
Para sahabat tidak mungkin berdusta atas nama Rasulullah e atau menyandarkan sesuatu yang tidak sah dari
beliau.([97])
Dalam inti permasalahan 'adalah sahabat
terbagi beberapa pandangan. Pertama, Semua sahabat Nabi e
'adil (jujur), dan mereka adalah para mutjahid. Ini
adalah pendapat jumhur Ahlul Sunnah. Kedua, Sahabat seperti orang biasa, ada yang 'adil,
dan ada yang fasiq, karena mereka dinilai berdasarkan perbuatan mereka. Oleh
karena itu, yang berbuat baik diberi ganjaran kerana kebaikannya. Sebaliknya,
yang berbuat jahat dibalas dengan kejahatannya. Ini adalah pendapat Syiah.([98]) Dari sini perlu adanya pemaparan yang lebih
jelas dan serius untuk mengetahui suatu sifat seorang sahabat Rasulullah e.
Al-Khatib Al-Baghdadi mengatakan bahwa semua hadits yang bersambung
sanadnya dari orang-orang yang meriwayatkan sampai kepada Nabi e tidak boleh diamalkan
kecuali kalau sudah diperiksa keadilan rawi-rawinya serta wajib memeriksa
biografi mereka dan dikecualikan dari mereka adalah sahabat Rasulullah e, karena 'Adālah
mereka sudah pasti dan sudah diketahui dengan pujian Allah atas mereka. Allah
memberitakan tentang bersihnya mereka dan Allah memilih mereka (sebagai
penolong RasulNya) berdasarkan nash Al-Qur'an.([99])
Semua sahabat sudah tetap keadilannya dan tidak perlu diragukan serta diperiksa
lagi tentang keadaan mereka.([100])
Justru itu, sahabat Nabi mempunyai peran yang sangat penting dalam perluasan
dan penyebaran agama Islam. Mereka generasi pertama setelah Rasulullah e yang menimba ilmu dari
beliau secara tatap muka. Para sahabat juga mempunyai sifat yang jujur dalam
meriwayatkan suatu hadits dari Nabi e karena mereka tidak mungkin berdusta
mengatasnamakan Nabi. Yang telah dinyatakan oleh Nabi bahwasanya orang yang
telah berdusta atasnya maka diancam dengan api neraka dan azab yang pedih.
Justru dengan demikian sahabat Nabi tidak mungkin berbuat dusta atas apa yang
Nabi sampaikan.
Dalam meriwayatkan dari Rasulullah e
sahabat merupakan orang yang 'ādil (jujur) secara keseluruhan tanpa
terkecuali menurut ijma ulama.([101]) Ini
berdasarkan perkataan para ulama terdahulu yang berdalilkan dari al-Quran dan
Hadits Nabi e.
Tapi, perlu diketahui bahwa sahabat tidaklah maʻsūm atau terlepas dari
kesalahan dan dosa. Sebahagian mereka ada yang berbuat dosa, akan tetapi mereka
tidak pernah berdusta atas nama Nabi e. Justru karena
itulah para sahabat merupakan generasi utama setelah Nabi e.
§ Sahabat dalam Al-Qur'an Dan Sunnah
Di dalam al-Quran banyak keterangan tentang prihal sifat terpuji para
sahabat Rasulullah e. Diantaranya, sahabat
adalah sebaik-baik umat dilahirkan untuk menyeru kepada yang maʻrūf dan
mencegah yang mungkar,([102])
merekalah orang yang adil dan pilihan,([103])
Umat yang menjadi saksi adalah merupakan umat yang adil yang di ridhoi (para
Sahabat dari Muhajirin dan Anshar) oleh Allah ([104])
yang berjanji kepada Rasulullah di bawah pohon([105])
untuk mengakui Allah sebagai Tuhan yang Esa dan Rasul sebagai RasulNya([106])
serta mentaati perintah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad e([107]) Allah
berfirman dalam surat at-Taubah :
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah
dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar". (at-Taubah:100).([108])
Allahpun ridha kepada mereka, orang-orang yang terdahulu yang
pertama-tama masuk Islam dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik, dan merekapun ridha kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyediakan bagi mereka tempat yang penuh kenikmatan yaitu surga-surga
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka akan kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar bagi mereka, yang diberikan oleh
Allah karena mereka orang-orang yang benar-benar beriman([109])
dan bertakwa kepada Allah.([110])
Orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus,([111])
yaitu jalan yang benar,([112])
jalan bersama Nabi Muhammad e, mereka juga orang yang
keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama muslim,
mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya,([113])
itulah mereka, orang-orang yang mendapatkan kemenangan(surga)([114])
dari Allah .
Di dalam hadits Nabi juga menerangkan sifat-sifat dan pujian terhadap
para sahabat. Di antaranya hadits Nabi tentang larangan mencela para sahabat
serta pujian terhadap mereka. Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori, telah
disampaikan kepada kami dari Adam Ibnu Abi Iyas, disampaikan juga kepada kami
dari Syu'bah dari A'masy, ia berkata : saya mendengar Zakwan menyampaikan dari
Abi Sa'id al-Khudri, Nabi e bersabda:
"لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ
ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ "
"Jangan kalian mencaci para sahabatku,
andaikan kalian bersedekah dengan emas sebesar gunung Uhud, maka hal demikian
tidak dapat mengimbangi sedekah yang dikeluarkan para sahabat satu mud saja
atau separuhnya." (H.R. Bukhari)([115])
Nabi juga menjelaskan bahwa para sahabat dan umat Islam yang mengikuti
jejak mereka adalah orang-orang yang Wasath (adil) dan orang pilihan
agar menjadi saksi atas perbuatan manusia setelahnya dan Rasulullah e menjadi saksi atas
(perbuatan) mereka.([116])
Rasul juga mendeklarasikan bahwa sebaik-baik manusia ialah generasi pada zaman
Rasulullah, kemudian orang setelahnya, kemudian setelahnya, dan sumpahnya
mendahului persaksian([117])
merekalah sahabat Nabi e tidak ada satupun di antara
mereka yang tercela dan lemah.([118])
Nabi juga melarang untuk mencaci maki atau menghina para sahabat
Rasulullah e. Sesungguhnya kedudukan
salah seorang dari kalangan sahabat
bersama Rasulullah sesaat (sejam) itu lebih baik dari amal seorang dari orang
setelahnya selama 40 (empat puluh) tahun.([119])
Tidak akan masuk neraka seorang pun dari sahabat yang berba'iat di bawah pohon
(di Hudaibiyyah),([120])
dan tidak akan masuk neraka seseorang yang ikut serta dalam perang Badar dan
Perjanjian Hudaibiyyah.([121])
Demikian ungakapan yang Rasul sampaikan mengenai keadilan dan jaminan para
sahabatnya dengan dasar yang beliau miliki dari sikap dan tingkah laku mereka
selama hidup bersamanya.([122])
Ayat-ayat dan hadits-hadits di atas menunjukkan dengan jelas bahwa
para sahabat ridwānullāhi 'alaihim ajmaīn adalah orang-orang yang telah
mendapat pujian dan sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya, mereka mempunyai jasa
yang besar bagi Islam dan kaum Muslimin. Islam yang diterima oleh kaum Muslimin
sampai hari Kiamat adalah berkaitan dengan pengorbanan para sahabat yang ikut
serta dalam perang Badar dan perang-perang lainnya demi tegaknya agama Islam.
Karena itu, Rasulullah e mengingatkan umat Islam
bahwa apa yang mereka infaq-kan dan belanjakan fī-sabīlillāh belumlah
dapat menyamai derajat para Sahabat, meskipun umat Islam ini berinfaq sebesar
gunung Uhud berupa emas atau barang-barang berharga lainnya. Nabi juga melarang
siapa saja menghina para sahabatnya.
b) Konsep 'Adalah (Sifat Jujur) Sahabat menurut Ijma' Ulama
Para sahabat
adalah orang yang 'ādil menurut Ijma' Ulama. Semua ulama dari Tabi'in
mengutarakan bahwa sahabat adalah orang yang kuat imannya, bersih aqidahnya dan
mereka lebih baik dari semua orang yang 'ādil dan orang yang
mengeluarkan zakat yang datang sesudah mereka selama-lamanya.([123])
Ulama lainnya yang menegaskan pendapat di atas seperti; Ibnu Abdil Barr
(363-463H) berkata : "Para sahabat tidak perlu kita periksa (keadilan)
mereka, karena sudah ijma' Ahlul Haq dari kaum muslimin yaitu Ahlus Sunnah wal
Jama'ah bahwa mereka semua 'Adil".([124])
Ada juga Ibnu Hazm (384-456H) berkata : "Semua sahabat adalah 'ādil,
utama diridhai, maka wajib atas kita memuliakan mereka, menghormati mereka,
memohonkan ampunan untuk mereka dan mencintai mereka".([125])
Dikuatkan lagi oleh Ibnu Katsir (701-774H) berkata :
"Semua
sahabat adalah 'ādil menurut Ahlus Sunnah wal Jamā'ah, karena Allah
Subhānahu wa Ta'āla telah memuji mereka di dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi e -pun memuji prilaku dan
ahklak mereka. Mereka telah mengorbankan harta dan jiwa mereka di hadapan
Rasulullah e, dan mereka mengharap
ganjaran yang baik (dari Allah)".([126])
Sahabat Nabi tidak sama dengan orang biasa. Para sahabat orang yang luar biasa
ketakwaannya. Jika Ali bin Abi Thalib radhiyallāhu 'anhu ditanya tentang
sahabat-sahabat Rasulullah e, maka ia berkata :
"Tidak ada seorangpun dari kalian yang dapat menyamai mereka.
Mereka siang hari bergelimang pasir dan debu (di medan perang), sedang di malam
hari mereka banyak berdiri, ruku' dan sujud (beribadah kepada Allah) silih
berganti, tampak kegesitan dari wajah-wajah mereka, seolah-olah mereka berpijak
di bara api bila mereka ingat akan hari pembalasan (Akhirat), tampak bekas
sujud di dahi mereka, bila mereka Dzikrullāh berlinang air mata mereka
sampai membasahi baju mereka, mereka condong laksana condongnya pohon dihembus
angin yang lembut karena takut akan siksa Allah, serta mereka mengharapkan
pahala dan ganjaran dari Allah".([127])
Kemudian beliau berkata lagi : "Mereka adalah sahabat-sahabatku yang telah pergi,
pantas kita merindukan mereka dan bersedih karena kepergian mereka".([128])
Demikianlah
ijma' ulama tentang sifat 'adālah sahabat di utarakan oleh Ibnu
Abdil Barr dalam kitab al-Isti'ab (jld. 1, hal. 19), Muqoddimah
Ibnu Sholah (hal.294-295), dan lainnya yang telah dipaparkan di atas.
Sebenarnya masih banyak lagi pujian dan sanjungan para Ulama tentang 'adalah
(kejujuran) sahabat seperti imam Nawawi dalam kitab Tadrīb Ar-Rāwi Syarh
Taqrīban-Nawawi (jld. 2, hal.124), tetapi apa yang sudah disebutkan
sebenarnya sudah lebih dari cukup bagi orang yang punya bashirah bahwa para
sahabat Nabi mempunyai sifat 'ādil secara keseluruhan.
§ Para Sahabat Tidak Ma'shum
Para sahabat bukan Malaikat dan juga bukan para Nabi, yang bebas dari
kesalahan dan dosa. Sesungguhnya persaksian Allah dan Rasul-Nya terhadap para
sahabat tentang hakikat iman mereka dan keridhaan Allah dan Rasul-Nya kepada
mereka tidaklah menunjukkan bahwa mereka maʻsūm (terpelihara dari dosa
dan kesalahan) atau mereka bersih dari ketergelinciran, karena mereka bukan
Malaikat dan bukan pula para Nabi. Bahkan pernah diantara sahabat yang berbuat
kesalahan atau maksiat, lantas mereka segera istighfar dan taubat. Karena
setiap anak Adam pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang
bertaubat".([129])
Begitu juga dengan kesalahan (yang dilakukan para sahabat) tidaklah
menggugurkan 'adālah (keadilan), apabila sudah ada taubat".([130])
Dengan
keyakinan yang kuat bahwa para sahabat yang pernah bersalah semuanya bertaubat
kepada Allah dan mereka tidak bisa dikatakan nifaq atau kufur. Semua ulama Ahlus
Sunnah wal Jama'ah telah sepakat bahwa para sahabat yang ikut serta dalam
persengketaan, ikut dalam perang Jamal dan perang Shiffin, mereka
adalah orang-orang yang beriman dan 'ādil. Mencintai mereka adalah
bagian dari agama, iman dan ihsan. Membenci mereka adalah kekafiran,
kemunafikan dan sikap melampaui batas.([131])
Dan kesalahan mereka yang bersifat individu dan berjama'ah tidak menggugurkan
pujian Allah atas mereka. Demikianlah sahabat Nabi yang tidak terlepas dari
kesalahan dan dosa. Dengan taubatnya mereka, kedudukan mereka semakin lebih
tinggi di sisi Allah .
D. Pendapat Ulama Terhadap Orang yang Menghina Para Sahabat
Haram hukumnya tindakan membenci, menghina, dan mencaci maki para sahabat Rasulullah e dalam pandangan Islam.([132])
Hal demikian sangat tercela dan dapat dikecam sebagai berikut: Pertama, dikecam
"Kafir". Perkataan ini yang di sampaikan oleh ulama empat mazhab.
Seperti Imam Malik, ia berkata:
"Barang
siapa yang menghina Nabi e, maka ia layak dibunuh, dan
barang siapa yang menghina sahabat-sahabat Nabi, maka ia layak dihukum. Da ia
berkata juga: "Barang siapa yang menghina salah satu dari sahabat-sahabat
Nabi e seperti Abu Bakar, Umar,
Utsman, Mu'awiyah, atau Amru bin 'Ash, bila mereka demikian, maka mereka
sungguh dalam kesesatan dan kekafiran serta layak di hukum mati (dibunuh), dan
apabila ia menghina selain sahabat Nabi, menghina manusia lainnya, maka ia
layak menerima bencana yang pedih".([133])
Begitu juga dalam Tafsīr Ibnu Katsīr.([134])
Mencintai para sahabat Nabi e merupakan bagian dari agama
bagi seorang muslim. Justru demikian , mereka yang tidak mencintai bahkan
menghina orang yang dicintai Rasul serta yang dideklarasikan olehnya, berarti
mereka meninggalkan bagian dari agama yaitu iman dan ihsan. Hal demikian sama
dengan apa yang dikecam dari ulama Hanafiyah dalam Fatwā al-Hidāyah,
oleh Syekh Nizom.([135])
Begitu juga dengan ulama Syafi'iyah,([136])
dan ulama Hanabilah.([137])
Kedua, dihukum "Ta'ziir".
Bagi orang yang menghina para sahabat Nabi e, maka ia layak dihukum mati. Ungkapan ini
diutarakan oleh Al-Qadhi 'Iyaadh dalam buku Fathul Bāri.([138])
Ta'ziir yakni harus didera atau dihukum menurut kebijaksanaan hakim Islam. Ketika
pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, ada seorang Yahudi yang berpura-pura
masuk Islam yang bernama Abdullah bin Saba' dari Yaman, karena ia dan
pengikutnya tahu bahwa Islam tidak mungkin dapat diperangi secara berhadapan,
dengan senjata, dan perang dengan fisik. Justru demikian ia ingin menghancurkan
Islam dengan cara menjatuhkan martabat para sahabat Nabi, terutama ketiga
khalifah setelah Nabi. Setelah ia berani menghina mereka, lalu ia dipanggil
oleh Ali bin Abi Thalib untuk dihukum mati. Akan tetapi, ada orang yang tidak
setuju yang dengan tindakannya untuk menghukum Abdullah bin Saba', lalu Ali pun
mengusirnya ke al-Madain.([139])
Demikian, yang harus diterima bagi orang yang menghina sahabat Nabi e yaitu harus dihukum.
Ada pula yang ketiga, pendapat ulama bagi siapa yang menghina
sahabat Nabi, yaitu "Zindiq". Hal ini yang dikeluarkan oleh
Imam Abu Zur'ah Ar-Raazi (wafat th 264H) dalam kitab Al-Awāshim minal
Qawāshim.([140])
Orang yang zindiq dapat dikatakan juga orang kafir. Mereka (orang-orang zindiq)
itu mencela kesaksian orang muslim agar bisa membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah
(yakni agar tidak percaya kepada Al-Qur'an dan Sunnah). Merekalah yang pantas
mendapat celaan itu. Karena Rasulullah e adalah haq(benar/nyata), Al-Qur'an
adalah haq dan apa-apa yang dibawa olehnya adalah haq dan yang
menyampaikan semua itu adalah para sahabat Rasulullah e. Dan apa yang disampaikan mereka adalah haq
dari Allah dan RasulNya. Demikian bagi orang yang mencela sahabat Nabi dikecam
zindik atau kafir.
Dan keempat, keluar dari islam dan telah merusak kaum
muslimin. Hal ini yang disampaikan oleh Imam Al--Hafizh Syamsuddin Muhammad
'Utsman Adz-Dzahabi yang lebih dikenal dengan Imam Adz-Dzahabi (673-747H) dalam
bukunya Abu Khalid Al-husain bin Muhammad as-Sa'idl. Mereka yang mencaci
adalah orang yang dengki dan ingkar kepada pujian Allah yang disebutkan dalam
Al-Qur'an dan juga mengingkari Rasulullah yang memuji mereka dengan keutamaan,
tingkatan dan cinta ... Memaki mereka berarti memaki pokok pembawa syari'at
(yakni Rasulullah). Mencela pembawa Syari'at berarti mencela kepada apa yang
dibawanya (yaitu Al-Qur'an dan Sunnah)".([141])
Kalau sudah mencela al-Quran dan Sunnah bahkan mencela Pembawa syari'at,
berarti ia keluar dari Islam dan bukan dikatakan orang muslim.
Demikianlah perkataan para ulama Ahlussunnah tentang siapa yang
menghina dan membenci para sahabat Rasulullah e, maka ia bukan
termasuk seorang muslim. Merekalah orang Syiah yang membenci dan menghina para
sahabat, bahkan mereka mengkafirkan dan melaknat sahabat. Sesungguhnya apa yang
mereka klaim terhadap para sahabat Nabi e, hal tersebut kembali kepada mereka sendiri.
Yang menuduh sahabat kafir, merekalah yang kafir, yang mengatakan sahabat hina,
merekalah yang hina. Merekalah yang layak mendapatkan hukuman ta'ziir
(dari kesimpulan dari kata para ulama di atas).
E. Penutup
Syi'ah merupakan golongan yang banyak menuduh para Sahabat Rasulullah e dengan beragam keburukan.
Diantara tuduhan tersebut: sebahagian para sahabat tidak 'ādil, sebahagian sesat dan menyesatkan, bahkan
kafir. Sikap konfrontatif ini, jika benar, maka konsekuensinya adalah agama
Islam yang sampai pada jaman ini dipertanyakan keontetikannya, karena genereasi awal periwayatan dari agama ini
adalah para sahabat yang tidak bebas dari tuduhan tersebut. Sedangkan dalam
pandangan Sunni, asumsi maupun tuduhan Syiah terhadap sahabat sebagaimana di
atas tidak dibenarkan. Karena terdapat di dalam al-Quran yang menyatakan pujian
Allah terhadap para sahabat merupakan kunci utama bagi agama Islam, dimana di
tangan merekalah agama ini tegak, dan melalui mereka agama ini sampai ke
seluruh penjuru dunia, maka dengan menjatuhkan martabat sahabat dapat
meruntuhkan ajaran Islam yang benar.
Apa yang
telah diterangkan dari Al-Qur'an dan Sunnah mengenai para sahabat kiranya sudah
jelas, kemudian dikuatkan dengan pendapat Jumhur Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah.
Mereka (sahabat Nabi) sebaik-baik umat. Umat Islam diwajibkan mengikuti jejak
langkah mereka dengan baik, tidak boleh menyimpang dari jalan mereka dan
berpegang kepada Sunnah Rasul dan Khulafaur Rasyidin. Hukum mencaci/menghina
para sahabat adalah haram dan pelakunya akan dilaknat oleh Allah, Malaikat dan
seluruh manusia. Sebagaimana sabda Nabi e: "Barangsiapa mencela sahabatku, maka ia mendapat
laknat dari Allah, malaikat dan seluruh manusia". (H.R.Thabrani).
Semua sahabat adalah 'adil dan tetap
dikatakan orang-orang yang beriman, meskipun mereka berselisih pendapat. Kita
tidak berkeyakinan bahwa para Sahabat maʻsūm, karena tidak seorangpun
yang ma'shum selain Rasulullah e dan para
nabi sebelumnya. Kita ridha kepada mereka, kita mohonkan untuk mereka ampunan
dan kita menahan dari apa yang terjadi di antara mereka.
Daftar Pustaka
Al-Quran
al-Karim
Al- Kaf'ami, Taqiyuddin Ibrahim bin Ali
al-'Amiliy, al- Mishbāh fī al- Adyiāt wa al- Shalawāt wa al- Zirayāt, (Beirut: Dar- al-Qari', 2008).
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, Al-Ishābah fil
Tanyīzis-Shahābah, (Dārul-fikr 1398H).
Al-Azhari, Muhammad bin Ahmad, (w. 370 H), Tahdzīb
al-Lughah,Tahqiq Muhammad 'Iwadh Mura'ib, (Beirut: Dār Ihyā at-Turāts
al-'Arabi, 2001 M).
Al-Baghdadi, Al-Khatib, Al-Kifāyah fi
'Ilmir-Riwāyah, (naskah PDF, Maktabah Waqfea).
Al-Bahrani, Hasyim, al-Burhān fi Tafsīr
al-Qurān, (Beirut : Mu'assasah al-'Alāmi, 2006).
Al-Baqilani, al-Inshāf mā Yajibu I'tiqāduhu
wa lā Yajūzu al-Jahl bih, ed. Imad al-Din Ahmad Haidar
(Beirut:'Alāmul Kutub, 1986).
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih
al-Bukhariy, Kitab al-Syahadat, bab La Yasyhadu 'ala Syahadat al-Jur idza
Asyhada. Tahqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir (Madinah: Dār Thūq
al-Najh, 1422).
Al-Dzahiri, Ibnu Hazm, (wafat th. 456 H), Al-Fishāl
fil Milal wal Ahwā’ wan Nihal, (Beirut: Dārul Jīl, tt).
Al-Jaza’iri,
Ni’matullah, al-Anwār an-Nu'māniyah, (Bairūt: Dār
Al-Kūfah, 2008).
Al-Kisysyi, Muhammad bin Umar, Rijāl
al-Kisysyi, (Tehran: Mu'assasah al-I'lāmi, tt).
Al-Kulaini, Uṣūl al-Kāfì, bab:"Fihi Nuqot wa Nataf min
al-Tanzil fil Wilayah", (Bairūt:
Dar At-Taaruf, 1992).
Al-Majlisi, Muhammad Baqir, Al-‘Aqāid,
ditahqiq oleh Husain Darkahi, (Bairut: Dāru Ihyā Thurās al-Arabi, 1983).
Al-Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār al-Jāmi’ah Lidurur
Akhbār al-Aimmah al-Athar, (Beirut: Muassasah al-Wafā’, 1983 M).
Al-Mughniyah,
Muhammad Jawab, Syī‘ah fil Mizān, (www.alhasanain.com).
Al-Musawi, Abdul
Rusul Musa, Syī’ah fī Tārīkh, (Cairo: Maktabatu Badbuli, 2002).
Al-Musawi, Syarafuddin, Dialog Sunnah
–Syiah, (Bnadung: Mizan, 1983).
Al-Nadwi, Abul Hasan Ali Al-Hasani, Shurtāni
Mutadhodatāni, Aqāidus Syī'ah fī Miīzān, (Qatar: Idārat Ihyā'
al-Turāts al-Islāmi, tt).
Al-Naisaburi, Muslim bin Hajaj. Shahīh Muslim. Tahqiq: Muhammad Fuad Abdu
al-Baqi.
(Beirut: Dār Ihya’ at-Turāts
al-‘Arabi, tt).
Al-Qodhi 'Iyadh, as-Syifā
bi Ta'rīf Huqūq al-Musthafā, (naskah PDF, Maktabah Waqfeya).
Al-Qummi, Ali Ibnu Ibrahim, Tafsīr
al-Qummi, (Qum, Iran: Dar al-Kutub, 1387 H).
Al-Qummi, Saduq Abu Ja’far Muhammad Bin Ali Bin Husain Bin Musa Bin Babawaih, `
ʻIlal Al-Syarāʼi, (Najaf: Al-Maktabah Al-Haidariyah, 1966).
Al-Sahristani, Abu al-Fath Muhammad
bin Abdul Karim, (W. 548 H), al-Milal
wa an-Nihal, (Beirut: Dār al-Fikr, tt).
Al-Syirbini, Al-Khatib, Mughni
al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1997).
Al-Thahawi,
Ibnu Abi al-'Izz Abu Ja'far, Syarah Aqīdah Thahāwiyah , Takhrij Syaikh
Al-Albani (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1988).
Al-Zabidi, Muhammad bin
Muhammad (w. 1205 H), Tājul al-'Arūs min Jawāhir al-Qāmūs, (Dar
al-Hidayah, tt).
An-Naukhbati, Al-Hasan bin Musa, Firoqus
Syī’ah, (Istanbul: Maktabah al-Daulah,
1931).
An-Nawawi, Raudhat at-Thālibin,
(Riyadh: Dār al-A'lām al-Kutub, 2002).
Ash-Shadr, Muhammad Shadiq, Asy-Syī’ah Al-Imāmiyah, (Cairo:
Mathba’atun Najah, th. 1402 H/1982 M).
As-Sa'idl, Abu Khalid Al-husain bin
Muhammad, Al-Khabāir Al-Zdahabi,
(Daarul Fikr, 1408H).
As-Shafar, Muhammad bin al-Hasan,
Bashāir ad-Darajāt,
(Beirut: Mansyurāt
al-A'lāmi, 2010).
Ats-Tsani, Asy-Syahid, ar-Ri’ayah fī ‘ilmi
ad-Dirāyah, tahqiq Abdul Husai Muhammad ‘Ali Baqal, (Iran: Matba’ah Bihmin,
1408).
At-Thabrasi, Al-Ihtijāj, (Beirut:
al-A'lami li al-Matbu'at, 1421 H).
Dzahir, Ihsan Ilahi, "Baina Syī’ah wa Sunnah" terj. Fadhli
Bahri, Syiah merajalela di tengah Ahlussunnah, (Bekasi, Darul Falah, 2013).
Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balāghah,
(Dār ar-Rasyād al-Hadītsah, tt).
Ibnu
Katsir, Abu al-Fida', Al-Bā'itsul Hatsīts Syarah Ikhtisar
'Ulūmil-Hadīts ditahqiq oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir, (Dārut turāts,
1399H/1979M).
Ibnu Katsir, Abu al-Fida', Tafsīr Ibnu
Katsīr, (Riyadh: Dārus Salaām. Tt).
Ibnu
Shalah, Ma'rifat Anwā' 'Ulūm al-Hadīts. Tahqiq: Nuruddin Athar. (Beirut: Dār
al-Fikr al-Mu'āshir, 1406 H).
Ibnu Taimiyah, Mukhtashar as-Sharīm
al-Muslul'ala Syātimi ar-Rasūl, tahqiq 'Ali bin Muhammad al-Umran, (Makkah:
Dār 'Alam al-Fawaid, 1422H).
Ibnul 'Arabi, Abu Bakar, Al-'Awāshin
minal Qawāshim, ditahqiq Syaikh Muhibudin Al-Khatib (Cairo: Dārul Mathba'ah
Salafiyah,tt).
Jabali,
Fuad, Sahabat Nabi: Siapa, ke mana, dan Bagaimana? (Bandung:
Mizan,2010).
Kasban, Khalid, Persfektif Sahabat Dalam Islam,
(Malaysia: Pustaka Ikhwan, 1987).
Rakhmat, Jalaluddin, Sahabat dalam Timbangan Al- Quran, Sunnah dan
Ilmu pengetahuan. (Makassar: PPs UIN Alauddin, 2009).
Suhaimi, Ahmad Haris, Tausyīqus Sunnah baina Imām Isyna 'Asyariyah
wa Ahlus Sunnah,
(Mesir: Dar as-Salam, 2008).
Tim Penulis MUI Pusat, Mengenal dan
Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, (Jakarta: Forum Masjid
Ahlussunnah, 2013).
[1] Peserta Program
Kaderisasi Ulama' (PKU) ke-7 ISID
Gontor, periode 2013, kerja sama dengan MUI pusat dan Yayasan Dana Sosisal
al-Falah (YDSF) Jawa Timur.
[2] Istilah Syi'ah berasal dari bahasa Arab (شيعة) "Syīʻah". Lafadz ini merupakan bentuk
tunggal, sedangkan bentuk pluralnya adalah "Syiya'an". Pengikut Syi'ah
disebut "Syī`ī" (شيعي). Kata "Syi'ah" menurut etimologi bahasa Arab bermakna: Pembela
dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Kaum yang berkumpul atas
suatu perkara. Muhammad bin Ahmad al-Azhari (w. 370 H), Tahdzīb al-Lughah,Tahqiq
Muhammad 'Iwadh Mura'ib, (Beirut: Dār Ihya at-Turats al-'Arabi, 2001 M), jilid.
3, hal. 41. Muhammad bin Muhammad al-Zabidi (w. 1205 H), Tājul al-'Arūs min
Jawāhir al-Qāmūs, (Dar al-Hidāyah, tt), jilid. 21, hal. 301-302.Adapun
menurut terminologi Islam, kata ini bermakna: para pendukung Ali secara khusus.
Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah yang paling utama di
antara para sahabat dan yang berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan atas
kaum Muslim, demikian pula anak cucunya. Dalam pandangan mereka, para imam ini telah ditetapkan melalui nash dan wasiat dari Allah dan
Rasul-Nya. Baik secara tersurat maupun tersirat. Selain itu, mereka meyakini
bahwa perkara kepemimpinan tersebut adalah perkaran ushul (pokok) agama bukan
furu’ (cabang). Syiah terdiri dari berbagai sekte. Induk dari sekte-sekte Syiah
yaitu, Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat dan Ismailiyah. Lihat: Abu al-Fath
Muhammad bin Abdul Karim al-Sahristani (W. 548 H), al-Milal wa an-Nihal,
(Beirut: Dār al-Fikr, tt), jilid. 1, hal. 146.
[3] Ahlussunnah ialah
orang yang berpegang teguh dengan Al-Quran dan Sunnah Nabawiyah baik perbuatan
dan perkataan. (Ahmad Haris Suhaimi, TausyīqusSunnah baina Imām Isyna
'Asyariyah wa Ahlus Sunnah, (Mesir: Dār as-Salām,
2008), Hal.116.)
[4]
Yang dimaksud sahabat ialah :" Orang yang pernah melihat atau berjumpa
dengan Nabi SAW. dalam keadaan beriman dan wafat dalam keadaan Islam, meskipun
pernah murtad" lihat : Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar
'Ulūmil-Hadits Lil-Hafīzh Ibnu Katsīr oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakīr,
cet. Dārut turāts, 1399H/1979M, hal. 151. ; Asy-Syahīd ats-Tsāni, ar-Ri’āyah
fii ‘ilmi ad-Dirāyah, tahqīq Abdul Husai Muhammad ‘Ali Baqal, (Iran: Matba’ah Bihmin,
1408), hal. 339, nama lengkapnya Zainuddin Ibnu ‘Ali ibnu Ahmad al-Jab’i
al-‘Amili, hidup pada tahun 911-965 H., Walaupun ada dari
kalangna ulama menolak untuk memasukkan
orang yang pernah murtad kemudian kembali ke Islam dalam katagori sahabat,
seperti Al-Hafidz al-Iraqi, sebagaimana perkataan Abu Hanifah dan Imam Syafi'I bahwa
kemurtadan telah menggugurkan seluruh amal. Lihat: Jalaluddin as-Suyūthi, Tadrībur
Rāwi, jld.3
hal. 208-209., Demikian juga orang munafik tidak termasuk sahabat Nabi SAW,
meskipun mereka bergaul dengan Rasulullah SAW. Karena Allah dan
Rasul-Nya mencela orang-orang munafik. Lihat: firman Allah (At-Taubah:73),
(At-Tahriim:9), (At-Taubah:84), (At-Taubah:80), (Al-Munafiquun:6),
(Muhammad:19), (Asy-Syu'araa' :215), dan (Al-Fath:29).; Ibnu Hajar, Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah,
(Daarul-fikr 1398H), jld.1, hal. 7-8.
[5] Muhammad bin
Ismaīl al-Bukhāri, Shahih al-Bukhāriy, Kitab al-Syahādāt,
bab Lā Yasyhadu 'ala Syahadat al-Jur idza Asyhada. Tahqīq: Muhammad Zuhair
bin Nashīr al-Nashīr (Madinah: Dar Thuq al-Najh, 1422), jld. 3, hal. 171.:
[6] Al-Naisaburi, Muslim bin Hajaj. Shahīh Muslim. Tahqīq: Muhammad Fuād Abdu al-Bāqi. (Beirut: Dār Ihyā’ at-Turāts al-‘Arabi, tt), jld. 1, hal. 10. Berikut riwayat haditsnya:
قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "من كذب عليّ
معتمدًا فليتبوء مقعده من النار" (صحيح مسلم ج1 ص10.)
[7] Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih
al-Bukhariy, Kitab al-Syahadat, bab La Yasyhadu 'ala Syahadat al-Jur idza
Asyhada. Tahqiq: Muhammad Zuhair bin Nashir al-Nashir (Madinah: Dar Thuq
al-Najh, 1422), jld. 3, hal. 171. Demikian riwayat haditsnya:
قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ النَّاسِ
قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ,...
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
[10] Muhammad Shadiq Ash-Shadr, Asy-Syi’ah
Al-Imamiyah, (Cairo: Mathba’atun Najah, th. 1402 H/1982 M), hal 130-134.
[11] Abdul
Rusul Musa al-Musawi, Syi’āh
fii Tārikh,
(Cairo: Maktabatu Badbuli, 2002), hal. 49, lihat juga, As-Syirazi, Ad-Darajat
Ar-Rafi’ah. Menurut As-Syirozi ‘udul lebih kepada keimanan dan penjagaan
terhadap wasiat Nabi SAW. sebagaimana yang dilakukan Salman, Abu Dzar dan
‘Ammar.
[12] Jalaluddin
Rahmat adalah ketua Ijabi, pernyataan tersebut ditulis dalam pengantar buku
Fuad Jabali, Sahabat Nabi, Siapa, ke Mana dan Bagaimana?, hal. Xviii.
[14] As Sayyid Ali
Khan as-Syirazi, al-Darajat al-Rafi'ah Fi Tabaqat as-Syi'ah, (Beirut:
1973), hlm. 33.
[15] Al- Kulaini, Rauḍah Al-Kāfi, (Bairūt: Mansyūrāt al-Fajr, 2007),
jld. 8, hal. 245, lihat juga ; Artikel dalam Buletin al –Tanwir Yayasan
Muthohhari Edisi Khusus No.298. 10 Muharram 1431 H. hal. 3.
[16] Muhammad bin
Mas'ud Al-Iyasyi, Tafsir al-Iyasyi, (Qum: Maktabah al-I'lamiyah, 1308H),
jld. 1, hal. 199.
[17] Muhammad bin Umar
al-Kisysyi, Rijal al-Kisysyi, (Tehran: Mu'assasah al-I'lami, tt), hal.
11-12.
[18] Artikel dalam
Buletin al –Tanwir Yayasan Muthohhari Edisi Khusus No.298. 10 Muharram
1431 H. hal.3.
[19] Jalaluddin
Rahmat, Sahabat dalam Timbangan Al- Quran, Sunnah dan Ilmu pengetahuan.
(Makassar: PPs UIN Alauddin, 2009), hal. 7.
[20] Muhammad Baqir
al-Majlisi, Al-‘Aqaid, ditahqiq oleh Husain Darkahi, (Bairut: Daru Ihya
Thuros al-Arabi, 1983), hal. 58.
[21] Al-Kulaini,
al-Kafi, bab:"Fihi Nuqot wa Nataf min al-Tanzil fil Wilayah",
(Bairūt: Dar At-Taaruf, 1992),
jld.12, hal. 323.
[22] Al-Kulaini, ar-Raudhah
min al-Kafi, jld. 8, hal, 245.
[23] Al-Kulaini,
Al-Furu'ul Kaafi, fatsal Kitabur Raudhah, jld. 3, hal. 115.
[24] Abul Hasan Ali
Al-Hasani Al-Nadwi, Shurtani Mutadhodataani, Aqaidus Syi'ah fii
Miizan, (Qatar: Idarat Ihya' al-Turats al-Islami, tt), hal. 85.
[26] Muhammad Baqir
al-Majlisi, Rauḍah Al-Kāfi, (Bairūt: Mansurat al-Fajr, 2007), hal. 58. :
وممّا عدّمن ضروريّات دين
الإمامية, استحلال المتعة و حج التمتّع, و البراءة من الثلاثة (و معا وية و يزيد
بن معاوية و كلّ...(أبي بكر و عمر و عثمان) بدل ((الثلاثة)).
[27] Muhammad bin
al-Hasan As-Shafar, Bashoir ad-Darojat, (Beirut: Mansyurat al-A'lami,
2010), jld. 8, hal. 245.
[28] Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihār al-Anwār al-Jāmi’ah
Lidurur Akhbār al-Aimmah al-Athar, (Beirut: Muassasah al-Wafa’, 1983 M), jld. 69,
hal. 137-138.
[29] ibid, hal.519.
اللهم صل على محمد وعلى ال محمد, اللهم العن صنمي
قريش و جبيسهما, و طاغوتيهما, و إفكيهما, وابنتيهما الذين خالفا أمرك و أنكرا وحيك
و جحدا إنعامك وعصا رسولك, وقلبا دينك, وحرفا كتابك, وأحبا أعداءك, جحدا ألائك,
وعطلا أحكامك, و ألحدا فى أياتك, و عاديا أوليائك, وواليا أعدائك, و خربا بلادك و
أفسدا عبادك.....
[31] Taqiyuddin
Ibrahim bin Ali al-'Amiliy al- Kaf'ami, al- Mishbah fi al- Adyiat wa al-
Shalawat wa al- Ziroyat, (Beirut: Dar- al-Qari', 2008), hal.658-662.
[32] Husein Al-
Hurasani, Islam fi dahui at-tasyayyu', t.t. hal. 88.
[33] Abbas Rais
Kermani, Al-Huda, 2009, hal.155-156. Lihat buku Tim Penulis MUI Pusat, Mengenal
dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia, (Jakarta: Forum Masjid
Ahlussunnah, 2013), hal.55.
[34] Ni’matullah Al-Jaza’iri, al-Anwār
an-Nu'māniyah, Al-Anwar al- Nu'maniyyah, (Bairūt: Dār Al-Kūfah, 2008), jld. 1, hal. 53.
[35] Al-Mar'asyi, Ihqaaqul
Haq, jld. 1, hal. 337. Lihat buku "Siapa Syiah Itu?",
Abdullah bin Muhammad, hal.26
[36] Hasyim al-Bahrani,
al-Burhan fi Tafsir al-Quran, (Beirut : Mu'assasah al-'Alami, 2006), jld. 2, hal. 127.
[37] Ni'matullah
Al-Jaza'iri, Al-Anwar an-Nu'maniyah, jld. 1, hal. 53.
[38] Antologi Islam;
Risalah Islam Tematis dari Keluarga Nabi SAW., (Al-Huda , 2012), hal. 648-649.
[39] Ali Ibnu Ibrahim
al-Qummi, Tafsir al-Qummi, (Qum, Iran: Dar al-Kutub, 1387 H), jld. 1,
hal. 390.
[40] Al-Mjlisi, Biharul
Anwar, 30, hal. 236.
[42] Ni'matullah
Al-Jaza'iri, Al-Anwar an-Nu'maniyah, jdl. 1, hal. 63.
[43] Ibrahom Jabban, Tabdhiduzh
Zhalam wa Tanbihun Niyaam, hal.27.
[44] Abbas al-Qummi, al-Kuna
wal Alqob, jld. 2, hal. 55. ; Yasin as-Shawwaf, Aqdu ad-Darar fi Bathni
Umar, hal.120.
[45] Al- Kulaini, ar-Raudhah
min al-Kafi, jld. 8, hal. 245.
[46] Al-Mjlisi,
Biharul Anwar, jld. 30, Hal.236.
[47] Syarafuddin
al-Musawi, Dialog Sunnah –Syiah, (Bnadung: Mizan, 1983), hal. 357.
[48] Zainuddin
al-Bayadhi, as-Sirot Mustaqim, jld. 3, hal. 30.
[49] Tafsir al-Qummi,
jld. 1, hal. 390. Lihat buku "Inilah Kesesatan Aqidah Syiah",
Syekh Muhammad Abdullah as-Salafi, hal25.
[50] Jalaluddin
Rahmat, al-Musthafa, Manusia Pilihan yang disucikan, (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2008), hal.164.
[51] Ibid,
hal.165-166.
[52] Hasan bin Yusuf
bin Al- Muthohhar al-Hulli, Kasyful Yaqin fi Fadhoil Amiril Mukminin,
hal. 229.
[53] As-Shafar, Bashoir
ad-Darojat, jld. 8, hal. 230.
[54] Ibid, hal.92.
[55] Al-Majlisi, Biharul
Anwar, jld. 41, hal.247 dan jld. 17, hal. 306.
[57] Ibid, jld.
1, hal. 66.
[58] Muhammad
al-Mas'ud, Al-Asror al-Wilayah, hal.181.
[59] As-Sahafar, Bashoir
ad-Darajat, hal.91.
[60] Nuri at-Thabarsi,
Fashlul Kitab fi Tahrifi Kitab Rabbiil 'Arbab, hal.18.
[61] Muhammad
al-Mas'ud, Al-Asror al-Wilayah, hal.190.
[62] Syekh Hasyim
Al-Bahrani, Al- Ma'alim Zulfa, hal.303.
[63] At-Thabrasi, Al-Ihtijaj,
(Beirut: al-A'lami li al-Matbu'at, 1421 H), jld. 1, hal. 57.
[64] Saduq Abu Ja’far Muhammad Bin Ali Bin Husain
Bin Musa Bin Babawaih al-Qummi,
` ʻIlal Al-Syarāʼi, (Najaf: Al-Maktabah Al-Haidariyah, 1966),
hal. 205.
[65] Ali bin
Al-Maghzali, Manaqib Amirul Mukminin, hal.93.
[66] As-Sahafar, Bashoir
ad-Darajat, jld. 8, hal. 235.
[67] Hasan bin Yusuf
al-Muthohhar al-Hulli, Ksyful Yaqin di Fadhoil Amiril Mukminin, hal.8.
[68] Husain Abdul
Wahab, Uyuun al-Mukjizat, hal.150.; Risalah "Hulul Masykil"
dan cerita Abdullah al-Khattab yang khurofat.
[69] Al-Mufid, Al-ikhtishos,
hal.327.
[70] Al-Hasan bin Musa
An-Naukhbati, Firoqus Syiah, (Istanbul: Maktabah al-Daulah, 1931), hal.22.;
At-Thausi, Ikhtiyar Makrifat ar-Rijal, hal.107.
[71] Antologi Islam;
Risalah Islam Tematis dari Keluarga Nabi SAW., (Al-Huda , 2012), hal.59-60,
67-69.
[72] Ja'far Murtadha, Al-Kafi,
hal.17.
[73] Yusuf al-Bahrani,
Asy-Syihab ats-Ssaqib fi Bayani Makna An-Nasib , hal.236.
[74] "ممّا يدلّ علىإمامة أئمّتنا الثني عشر,
أنّ عائشة كافرة مستحقّة للنار, و هو مستلزم لحقّيّة مذهبنا و حقّيّة أئمّتنا
الثني عشر, لأنّ كلّ من قال بخلافة الثلاثة اعتقد ايمانها و تعظيمها و
تكريمها"
[75] Rajab al-Barasi, Masyariq
Anwar al-Yakin, hal.86.
[76] Syarafuddin
al-Musawi, Dialog Sunnah –Syiah, (Bandung: Mizan 1983), hal.357.
[77] Al –Khumaini, Thaharah,
jld. Jld. 3, hal. 457.
[78] Emelia Renita dan
Jalaluddin Rakhmat, 40 Masalah Syiah, (IJABI, 2009), hal.83.
[79] Ibrahim Jabban, Tabdhiduzh
Zhalam wa Tanbihun Niyaam, hal.27.
[80]
Syiah mengatakan: "Ya Allah berikan lah salawat kepada Muhammad dan
keluarganya. Laknatilah kedua patung Quraisy, kedua jibt (jibt adalah sihir,
sebutan yang digunakan untuk sihir, tukang sihir, tukang ramal, dukun, berhala
dan sejenisnya), dan Thoghutnya dan kedua anak perempuan mereka"
(maksud: Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafsah). Taqiyuddin Ibrahim bin Ali
al-'Amiliy al- Kaf'ami, al- Mishbah fi al- Adyiat wa al- Shalawat wa al-
Ziroyat, hal.658-662.
[81] (At-Tahrim:4)
[82] Tafsir al-'Iyasyi,
jld.1, hal. 342.; Biharul Anwar, jld. 22, hal. 516, jld. 28, hal. 20.; Hayat
Al-Qulub lil Majlisi, bab 2 hal.700.
[83] (At-Tahrim:7)
[84] Zainuddin
an-Nabathi al-Bayadi, As-Shirot al-Mustaqim, (jld. 3, hal. 168)
[85] Dairotul
Ma'arif al-Islamiyah, jld. 1, hal. 27.
[86] Jalaluddin
Rahmad, al –Musthofa, hal.164
[87] Muhammad Ridha
Muzhaffar, Aqoid al-Imamiyah, hal. 89 dan 98.
[88] Muhammad
al-Mas'udi, Al-Asrar al-Fatimiyah, hal.355.
[89] Muhammad
al-Kuzwaini, Fatimah az-Zahra minal Mahdi Ilal Lhadi, hal.38.
[90] Muhammad al-Mas'udi,
Al-Asrar al-Fatimiyah, hal.98.
[91]
Emelia Renita AZ, 40 Masalah Syiah, editor Jalaluddin Rahmat, (Bandung;
IJABI. 2009), Hal.90.
[92] Ahlus Sunnah
adalah ahlul haqq, sedangkan selain mereka adalah Ahlul Bid’ah. Karena
sesungguhnya Ahlus Sunnah itu adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum dan
setiap orang yang mengikuti manhaj mereka dari para Tabi’in yang
terpilih, kemudian Ashhaabul hadits dan yang mengikuti mereka dari Ahli
fiqih dari setiap generasi sampai pada masa kita ini serta orang-orang awam
yang mengikuti mereka baik di timur maupun di barat. Mereka yang menempuh
seperti apa yang pernah ditempuh oleh Rasulullah SAW. dan para sahabatnya
radhiyallahu anhum. Disebut Ahlus Sunnah, karena kuatnya (mereka) berpegang dan
berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi SAW. dan para Sahabatnya Radhiyallahu
anhum. (Ibnu Hazm azh-Zhahiri (wafat th. 456 H), Al-Fishal fil Milal wal
Ahwaa’ wan Nihal, (Beirut: Daarul Jiil, tt), jld. 2, hal. 271.
[93] Al-Baqilani, al-Inshaf
ma Yajibu I'tiqaduhu wa la Yajuzu al-Jahl bih, ed. Imad al-Din Ahmad
Haidar (Beirut:'Alamul Kutub, 1986), hal.107.
[94] Kamus Muktarus-Shihah,
Darul Fikr, hal. 417.
[95] Nuzhatun
Nazhar Syarah Nukhbatul-Fikar (Maktabat Thayibah tahun 1404H), hal. 29.
[96] Al-Hafiz
as-Syakawi, Fathul Mughits bi Syarh Alfiyat al-Hadits, jld.4, hal.40.
lihat ; buku panduan MUI, "Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah
di Indonesia", hal. 62.
[97] Jalaluddin
as-Suyuthi, Tadribur-Rawi, jld.2 hal. 215.
[99] Al-Khatib
al-Baghdadi, Al-Kifayah fi 'Ilmir-Riwayah, (naskah PDF, Maktabah
Waqfea), hal.93.
[100] Ibnu Shalah, 'Umul
Hadits, hal. 329. Pendapat ini senada dengan Imam Syairaji dalam Tabshirah
fi Ushulil-Fiqh hal. 329.
[101]
Ziyab bin Sa'din Ali Hamdan al-Ghomidi, Tasdid al-Ishobah Fima Syajara Baina
as-shohabah, hal. 96.
[102] Allah berfirman
dalam surat Ali-Imran, ayat. 110, yang berbunyi :
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3
öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz
Nßg©9
4 ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$#
"Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik."
[103] (Al-Baqarah :
143)
[104]
(Al- Taubah: 100)
[105] (Al-Fath : 18)
"Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu'min ketika
mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon".
[106]
(Al-Fath. 18)
[107]
(Al-Anfal: 64)
[108] cqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB
tûïÌÉf»ygßJø9$#
Í$|ÁRF{$#ur
tûïÏ%©!$#ur Nèdqãèt7¨?$#
9`»|¡ômÎ*Î/ Å̧
ª!$#
öNåk÷]tã
(#qàÊuur çm÷Ztã
£tãr&ur
öNçlm;
;M»¨Zy_ Ìôfs? $ygtFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz
!$pkÏù #Yt/r& 4 y7Ï9ºs ãöqxÿø9$#
ãLìÏàyèø9$# .
[109] (Al-Anfaal : 74)
[110] (Al-Fath : 26)
[111] (Al-Hujuraat : 7)
[112] (At-Taubah : 119)
[113] (Al-Fath : 29)
[114] (At-Taubah : 20)
[115] Isma'il Abu
Abdillah Ismail al-Bukhari, Mukhtasar Jami' Musnad Shahih, no.
3673.
[116] Hadits Shahih
Riwayat Bukhari/Fathul Bari, no. 4487, jld. 8, hal. 171-172.
[117] Hadits Shahih
Riwayat Bukhari 4:189.; Muslim 7:184-185.; Ahmad 1:378,417,434,442 dan
lain-lain.
[118] Abi Lubabah Ibnu
Hibban, Al-Jarh wat Ta'dil, jld.
1, hal. 123.
[119] Hadits Riwayat
Ibnu Batthah dengan sanad yang shahih
[120] Hadits Shahih
Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Muslim
[121] Hadits Shahih
Riwayat Ahmad, III:396 dari Jabir
[122] Ibnu Abi al-'Izz
Abu Ja'far al-Thahawi, Syarah Aqidah Thahawiyah , Takhrij Syaikh
Al-Albani (Beirut: al-Maktabah al-Islami, 1988), hal. 469.
[123] Qurasy bin Umar
bin Ahmad, Tanbih Dzawin Najabahilla 'Adaalatis Shahabah, hal. 23.;
Perkataan Al-Khatib Al-Baghdadi (beliau lahir thn. 392 wafat th 463)/ Al-Kifayah
fi 'Ilmir-Riwayah hal. 49
[124] Ibnu Abdil Barr, Al-Iti'ab
fi Ma'rifati Ashab, (Daarul Fikr, 1398H), jld. I, hal. 9
[126] Ibnu Katsir,
Al-Baitsul-Hatsits fi Ikhtishar Ulumil Hadits, hal.154
[127] Nahjul
Balaghah yang di tahqiq oleh Dr. Shubhi Shaleh (Beirut :Daarul Kutub
Al-Lubnani), hal. 143,177,178. dinukil dari Shuratani Mutadhatani,
Tarjamah Bey Arifin hal. 16-17.
[128] Ibid
[129] (Hadits Hasan
Riwayat Ahmad 3: 198, Tirmidzi, Ibnu Majah, Hakim 4:244. Shahih Jami'us
Shagir 4391, Takhrijul Misykat No. 2431)
[130] Perkataan Abu
Bakar Ibnul 'Arabi. Dalam Al-'Awashin minal Qawashim tahqiq Syaikh
Muhibudin Al-Khatib (Cairo: Daarul Mathba'ah Salafiyah,tt), hal. 94.
[132] Ziyab bin Sa'din Ali Hamdan al-Ghomidi, Tasdid
al-Ishobah Fima Syajara Baina as-shohabah, hal.99.
[133] Al-Qodhi 'Iyadh, as-Syifa
bi Ta'rif Huquq al-Musthafa, (naskah PDF, Maktabah Waqfeya), jld. 2, hal. 1108.
"من شتم النبي
صلّى الله عليه و سلم قُتِل ومن شتم أصحابه أُدِّب, و قال أيضا : من شتم أحدا من
أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم أبا بكر أو عمر أو عثمان أو معاوية أو عمرو بن
العاص فإن قال كانوا على ضلال و كفر قتل وإن شتمهم بغير هذا من مشامة الناس نُكِّل
نكالا شديدا"
[134] Abu al-Fida' Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Riyadh: Daarus Salam. tt), jld. 5, hal. 367-368 atau jld. 4, hal. 216. :
"Orang-orang yang membenci para Sahabat Rasulullah adalah orang-orang
kafir"
[135] Syekh Nizom,
Fatwa al-Hidayah, jld. 2, hal. 286.
Berikut teks aslinya:
الرافضيّ إذا كان يسبّ الشيحين و يلعنهما و
العياذ بالله فهو كافر و إن كان يفضّل عليّا كرّم الله وجهه على أبي بكر رضي الله
تعالى عنه لا يكون كافرا إلّا أنه مبتدع.....(الفتاوى الهندية, ج 2. ص.682)
[136] An-Nawawi, Raudhat
at-Thalibin, (Riyadh: Dar al-A'lam al-Kutub, 2002), jld. 7, hal. 290.; al-Khatib al-Syirbini, Mughni
al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1997), jld. 4, hal. 176. Berikut teks
aslinya:
يكفر من نسب الأمة إلى الضّلال أو الصّحابة إلى
الكفر أو أنكر إعجاز القرآن أو غير شيئا منه......(مغني المحتاج, ج 4, ص.671) و
كذا يقطع قائل قولا يتوصل به إلى تضليل الأمة أو تكفير الصّحابة....(روضة
الطالبين, ج.7 ص.092)
[137] Ibnu Taimiyah, Mukhtashar
as-Sharim al-Muslul'ala Syatimi ar-Rasul, tahqiq 'Ali bin Muhammad
al-Umran, (Makkah: Dar 'Alam al-Fawaid, 1422H),
hal.128. berikut teks aslinya:
و
أمّا من جاوز ذلك (أي اللعن و التقبيح) إلى أن زعم إرتدّوا بعد رسول الله إلّا
نفرا لا يبلغون بضعة عشر أو أنهم فسقوا فلا ريب أيضا فى كفر قائل ذلك, بل من شكّ
فى كفره فهو كافر (مختصر الصارم المسلول على شاتم الرسول, ص.821)
[138] Al-Qodhi 'Iyadh, as-Syifa
bi Ta'rif Huquq al-Musthafa, jld. 7,
hal. 36. : "Jumhur Ulama berpendapat bahwa orang yang menghina/mencaci
maki para sahabat Rasulullah SAW. harus dihukum ta'ziir (yakni harus didera
menurut kebijaksanaan hakim Islam)"
[139] Ihsan Ilahi
Dzahir, "Baina Syiah wa Sunnah" terj. Fadhli Bahri, Syiah
merajalela di tengah Ahlussunnah, (Bekasi, Darul Falah, 2013) hal. 38-40.
[140] Imam Abu Zur'ah
Ar-Raazi, Al-Awashim minal Qawashim hal. 34. : "Apabila engkau
melihat seseorang mencaci maki/menghina seseorang dari sahabat Rasulullah SAW.
maka ketahuilah bahwa orang itu adalah Zindiq (kafir). Yang demikian karena
Rasulullah SAW. adalah haq, Al-Qur'an adalah haq dan apa-apa yang dibawa adalah
haq dan yang menyampaikan semua itu kepada kita adalah para sahabat Rasulullah
SAW.. Mereka (orang-orang zindiq) itu mencela kesaksian kita agar bisa
membatalkan Al-Qur'an dan Sunnah (yakni agar kita tidak percaya kepada
Al-Qur'an dan Sunnah). Merekalah yang pantas mendapat celaan"
[141] Abu Khalid
Al-husain bin Muhammad as-Sa'idl, Al-Khabair Adz-Dahabi, (Daarul Fikr,
1408H), Hal. 352-353.
Post a Comment