Berani dan Optimis Melalui Tawakal
Berani dan Optimis Melalui Tawakal
Segala
puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi
Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
Orang
yang paling minim tingkat ilmunya tidak meragukan keluasan rahmat Allah Subhanahuwata’ala di dunia ini. Setiap
makhluk merasakan dan mendapatkannya. Namun, semua itu tidaklah sebanding
dengan keluasan rahmat -Nya di akhirat kelak.
Di
dunia, Allah Subhanahuwata’ala
menurunkan satu dari seratus rahmat -Nya dan 99 rahmat dipersiapkan bagi orang
yang beriman kelak di hari kiamat. Tentu merugi dan celaka jika seseorang
terlalaikan oleh satu rahmat dan melupakan rahmat yang akan didapatkan kelak di
akhirat.
Seseorang
dengan mudah bisa mendapatkan keluasan rahmat Allah Subhanahuwata’ala di dunia, akan tetapi untuk mendapatkan yang 99
tersebut membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Dengan
mengetahui luasnya rahmat Allah Subhanahuwata’ala
di dunia ataupun di akhirat, menjadikan seseorang berani sekaligus berharap
(raja’) di dalam hidup. Berani untuk menghadapi segala risiko dalam usaha meraih
rahmat yang luas tersebut dan berharap hanya ke pada –Nya karena Allah Yang
Maha Pemurah akan mencurahkan rahmat -Nya kepada siapa pun.
Di
sinilah letak keistimewaan hidup orang-orang yang beriman kepada Allah Subhanahuwata’ala, kala menjalani hidup, dadanya
senantiasa lapang dan luas, karena dia mengetahui rahasia hidup ini dan
rahasia kebahagiaan di atasnya. Mereka berani dalam menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi dalam menjalankan roda ketaatan dan berharap
dalam keluasan rahmat, pengampunan, dan kedermawanan
Allah Subhanahuwata’ala.
Namun
orang-orang yang beriman tersebut sebelum menjadi orang yang berani dan
berharap, mereka telah berkarya besar sembari menyandarkan diri kepada
Allah Subhanahuwata’ala dalam
segala usahanya.
Yang Menjadikan Dada Lapang
1.
Tauhid
Al-Imam
Ibnu Qayyim rahimahumullah mengatakan, “Hal terbesar yang akan menjadikan
dada lapang adalah ketauhidan. Berdasarkan kesempurnaannya, kekuatannya, dan
bertambahnya, kelapangan dada akan mengalami hal yang serupa. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِ فَهُوَ
عَلَىٰ نُورٖ مِّن رَّبِّهِۦۚ فَوَيۡلٞ لِّلۡقَٰسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكۡرِ ٱللَّهِۚ
أُوْلَٰٓئِكَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٍ ٢٢ ﴾ [الزمر:22]
“Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya
untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan
orang yang membatu hatinya)?” (az-Zumar: 22)
قال الله تعالى: ﴿ فَمَن يُرِدِ ٱللَّهُ أَن يَهۡدِيَهُۥ يَشۡرَحۡ صَدۡرَهُۥ لِلۡإِسۡلَٰمِۖ وَمَن
يُرِدۡ أَن يُضِلَّهُۥ يَجۡعَلۡ صَدۡرَهُۥ ضَيِّقًا حَرَجٗا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ
فِي ٱلسَّمَآءِۚ كَذَٰلِكَ يَجۡعَلُ ٱللَّهُ ٱلرِّجۡسَ عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ
١٢٥ ﴾ [الأنعام : 125]
“Barang siapa yang Allah kehendaki akan
memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk
agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah Subhanahuwata’ala
kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah
ia sedang mendaki langit.” (al-An’am 125)
Petunjuk
dan tauhid adalah sebab yang paling besar bagi lapangnya dada, sebagaimana
syirik dan kesesatan sebagai sebab terbesar dada menjadi sempit dan sulit.
2.
Iman
Termasuk
perkara yang akan menjadikan dada itu lapang adalah cahaya iman yang diletakkan
oleh Allah Subhanahuwata’ala di
dalam hati. Dengannya dada menjadi lapang, menjadikan hati selalu dalam
kebahagiaan. Jika cahaya iman tersebut sirna, dadanya akan menjadi sempit dan
sulit, berada dalam kungkungan yang paling sempit dan sulit. Seorang hamba akan
mendapatkan kelapangan dada sesuai dengan bagian yang dia dapatkan dari cahaya
tersebut, sebagaimana halnya cahaya yang bisa diraba serta kegelapan yang bisa
di rasakan oleh panca indra akan menentukan sempit dan lapang nya dada
3.
Ilmu
Ilmu
akan menjadikan dada lapang dan menjadikannya luas, bahkan melebihi luasnya
dunia. Sementara itu, kejahilan akan mewariskan dada yang sempit, kerdil, dan
tertutup. Di saat ilmu seorang hamba bertambah luas, maka bertambah lapang
dadanya.
Tentu
saja, hal ini tidak mencakup semua ilmu, tetapi hanya ilmu yang diwariskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yaitu ilmu yang bermanfaat. Pemilik ilmu yang
bermanfaat adalah orang yang paling lapang dadanya, paling luas hatinya, paling
baik akhlaknya, dan paling bagus kehidupannya.
4.
Bertobat kepada Allah Subhanahuwata’ala
Bertobat
kepada Allah Subhanahuwata’ala,
mencintai -Nya setulus hati, memasrahkan diri kepad -Nya, dan menikmati beribadah kepad -Nya, akan menjadikan dada
lapang. Sebagian mereka terkadang mengucapkan, “Jika saya di dalam surga dalam
kondisi ini, niscaya saya berada dalam kehidupan yang baik.”
5.
Cinta kepada Allah Subhanahuwata’ala
Sungguh,
cinta kepada Allah Subhanahuwata’ala
memiliki pengaruh menakjubkan bagi lapangnya dada, baiknya jiwa, dan lezatnya
hati. Tidak ada yang mengetahuinya selain orang yang bisa merasakannya. Saat
cinta itu kuat dan keras, niscaya dada itu akan menjadi lapang dan luas.
Tidaklah dada menjadi sempit kecuali tatkala melihat orang-orang yang telanjang
dari semuanya ini. Memandang mereka akan menjadikan mata kita penuh kotoran dan
bergaul dengan mereka menjadikan ruh kita panas.
Termasuk
perkara besar yang akan menyebabkan dada sesak adalah berpaling dari Allah Subhanahuwata’ala, bergantungnya hati
kepada selain Allah Subhanahuwata’ala,
lalai dari mengingat Allah Subhanahuwata’ala,
dan mencintai selain Allah Subhanahuwata’ala.
Barang siapa mencintai sesuatu selain Allah Subhanahuwata’ala,
niscaya Allah Subhanahuwata’ala akan memberi
nya azab dengan
sesuatu (selain Allah) tersebut, yang akibatnya hatinya terbelenggu dalam
mencintai selain Allah Subhanahuwata’ala.
Akhirnya, tidak ada orang yang paling celaka di muka bumi ini daripada dirinya,
tidak ada yang paling tertutup akalnya, yang paling jelek kehidupannya, dan
yang paling lelah hati daripada dirinya.
6.
Zikir kepada Allah Subhanahuwata’ala
Zikir
kepada Allah Subhanahuwata’ala
dalam segala kondisi dan di setiap tempat. Maka dari itu, zikir itu memiliki
pengaruh menakjubkan terhadap lapangnya dada dan nikmatnya hati. Tentunya,
sikap lalai memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menyempitkan, terbelenggu
dan tersiksanya dada.
7.
Berbuat Baik kepada Makhluk
Berbuat
baik kepada setiap makhluk dan memberikan manfaat kepada mereka dengan segala
yang memungkinkan seperti dengan harta, kedudukan, dan yang bermanfaat untuk
badan (jasmani), serta berbagai bentuk kebaikan lainnya. Seorang yang dermawan
dan senang berbuat baik adalah orang yang paling lapang dadanya, yang paling
baik jiwanya, dan yang paling tenteram hatinya.
Sementara
itu, sifat bakhil yang tidak ada padanya kebaikan adalah orang yang paling
sempit dadanya, paling jelek kehidupannya, serta yang paling besar keperihan
dan kesedihan hidupnya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mencontohkan dalam riwayat yang sahih orang yang
bakhil dan rajin bersedekah seperti halnya dua orang yang memiliki dua tameng
besi.
Di
saat orang yang gemar bersedekah mengeluarkan sedekahnya, maka melebarlah
tameng itu dan meluas, hingga menutupi pakaian dan anggota badannya. Adapun
apabila orang bakhil ingin bersedekah, tetaplah setiap lingkara besi pada
posisinya, tidak meluas. Demikianlah permisalan orang yang beriman dan gemar
untuk bersedekah, lapang hatinya. Demikian pula pemisalan orang yang bakhil,
sempit dadanya dan tersekap hatinya.
8.
Keberanian
Seseorang
yang memiliki jiwa pemberani akan memiliki dada yang lapang, luwes perangainya,
dan terbuka hatinya. Sementara itu, seorang yang penakut berada dalam kondisi
dada yang sempit dan yang paling kerdil hatinya. Dia tidak memiliki
kebahagiaan, kesenangan, kelezatan, dan kenikmatan selain sebagaimana halnya
binatang.
Oleh
karena itu, kebahagiaan ruh, kelezatan, kenikmatan, dan kewibawaannya, menjadi
sesuatu yang haram didapatkan orang yang memiliki sifat penakut, sebagaimana
halnya terhalangi bagi orang yang bakhil, orang yang berpaling dari Allah Subhanahuwata’ala, lalai dari berzikir
kepada -Nya, jahil
tentang Allah Subhanahuwata’ala,
nama-nama -Nya, sifat-sifat -Nya, dan tentang agama -Nya, serta menggantungkan hatinya
kepada selain Allah Subhanahuwata’ala.
Semua
bentuk kenikmatan ini akan menjadi kebun dari salah satu kebun surga di dalam
kubur. Demikian halnya kesempitan dada dan kerdilnya hati akan berubah menjadi
azab dan belenggu di dalam kubur. Keberadaan seseorang di alam kubur bagaikan
keberadaan hati di dalam dada, akankah mendapatkan nikmat atau mendapat siksaan,
terbelenggu atau mendapatkan kemerdekaan? Tidak ada yang menjadi penghalang
jika dada tersebut menjadi lapang, sebagaimana tidak ada yang akan menjadikan
dada tersebut sempit, karena semuanya itu akan sirna dengan sirnanya
sebab-sebabnya. Segala sifat yang akan menyentuh dan hinggap di dalam hati,
maka itulah yang akan menjadikan dada tersebut lapang atau sempit. Inilah yang
menjadi barometernya, wallahulmusta’an.”(Zadul Ma’ad 2/23)
Berani dan Berharap, Sebuah Pengorbanan dan Perjuangan
Berani
dan berharap dalam hidup adalah dua senyawa yang jika bertemu dan berbaur, akan
menjadi sebuah akhlak yang sangat terpuji. Sifat berani adalah sifat terpuji
yang mengandung segala akhlak yang terpuji lainnya.
Keberanian
adalah buah dari iman seseorang kepada Allah Subhanahuwata’ala. Terlebih jika dia mengimani adanya hari
kebangkitan dan hari kiamat. Allah Subhanahuwata’ala
telah memuji sifat berani di jalan-Nya sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim dari sahabat Abu Musa radhiyallahu anhu, ia berkata, “Dikatakan,
‘Ya Rasulullah, seseorang berperang dengan keberanian, berperang karena
kebangsaan, berperang dengan landasan riya, siapakah diantara mereka Yang
benar-benar berjuang di jalan Allah Subhanahuwata’ala?’
Beliau
menjawab, “Barangsiapa berperang untuk menegakkan kalimat Allah Subhanahuwata’ala, sesungguhnya dialah
yang berada di atas jalan Allah Subhanahuwata’ala.”
Kesempurnaan sifat keberanian itu ada pada sifat al-hilm yang artinya sabar,
tidak tergesa-gesa, cerdas, dan tangkas, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Bukanlah yang dinamakan kuat
itu adalah orang yang bisa membanting lawan, tetapi yang dikatakan kuat adalah
orang yang bisa menahan diri tatkala marah.”
Berharap
adalah buah dari ilmu tentang sifat rahmat Allah Subhanahuwata’ala, seperti pengampunan, kelembutan, maaf, dan
kebaikan. Berharap terhadap pahala yang ada di sisi -Nya termasuk amalan hati
yang paling besar dan pendorong kepada ketaatan yang paling kuat. Kekuatan
berharap di dalam hati tergantung pada kekuatan ilmu kita kepada Allah Subhanahuwata’ala dan sifat-sifat -Nya.
Ibnul
Qayyim rahimahumullah berkata, “Kuatnya berharap itu tergantung pada
kekuatan pengetahuan tentang Allah Subhanahuwata’ala,
nama-nama dan sifat-sifat -Nya, serta pengetahuan bahwa rahmat Allah Subhanahuwata’ala mengalahkan murka -Nya. Tanpa ruh berharap,
niscaya akan lenyaplah ubudiyah hati dan anggota badan. Akan hancur pula
tempat-tempat menyebut nama-nama Allah Subhanahuwata’ala.”
Berharap
itu adalah sebuah ibadah yang tidak boleh lepas dari kehidupan seorang muslim,
baik saat melakukan kebaikan maupun melakukan kejelekan. Saat dia melakukan
kebaikan, dia berharap bahwa amalnya diterima, yang wajib atau yang sunnah.
Adapun saat dia melakukan kejelekan, dia berharap diterima tobatnya dan
dimaafkan kesalahan-kesalahannya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ
ٱللَّهِ أُوْلَٰٓئِكَ يَرۡجُونَ رَحۡمَتَ ٱللَّهِۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٢١٨﴾ [البقرة : 218]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 218)
قال الله تعالى: ﴿۞قُلۡ يَٰعِبَادِيَ ٱلَّذِينَ أَسۡرَفُواْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُواْ
مِن رَّحۡمَةِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ جَمِيعًاۚ إِنَّهُۥ هُوَ
ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ ٥٣﴾ [الزمر : 53]
Katakanlah,“Hai
hamba-hamba -Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Alah mengampuni dosa-dosa
semuanya.” (az-Zumar: 53)
Maksud
ayat ini adalah bagi orang yang bertobat. Oleh karena itu, Allah Subhanahuwata’ala mengumumkan bagi orang
yang berbuat dosa, apa pun perbuatan dosa tersebut. Artinya, Allah Subhanahuwata’ala akan mengampuni dengan
taubat yang baik, bagi siapa pun yang berdosa atas dosa apa pun, dan ini khusus
taubat sebagai sebab pengampunan. Sampai-sampai ulama berselisih pendapat dalam
hal mana yang lebih utama antara dua orang yang berharap tersebut. Sebagian
mereka mengatakan lebih utama berharapnya orang yang berbuat baik, karena
kuatnya sebab-sebab berharap itu pada dirinya.
Sebagian
lagi mengatakan yang lebih utama adalah berharapnya orang yang berbuat salah
untuk bertobat karena berharapnya itu bersih dari amalan yang jelek dan selalu
dibarengi melihat kesalahannya. Namun, yang tampak adalah keutamaan tersebut
tidak ditinjau dari sisi berharap itu, tetapi keutamaan tersebut sangatlah
tergantung pada apa yang terdapat di dalam hati pemiliknya yaitu sifat takwa di
saat dia berharap. Barang siapa lebih bertakwa, tentu berharapnya lebih afdal,
apakah di saat dia berbuat baik ataupun berbuat salah. Allah Subhanahuwata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ﴾ [الحجرات : 13]
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kalian.”
(al-Hujurat: 13)
Dari
penjelasan di atas, tampak jelas tentang berharap yang terpuji berupa bentuk
berharapnya orang yang berbuat amalan agar amalnya diterima, atau berharapnya
orang yang bertaubat agar taubatnya diterima. Adapun berharap yang kosong dari
karya nyata (amal) dan terus dalam kemaksiatan lalu bersandar kepada
pengampunan Allah Subhanahuwata’ala
maka sikap ini adalah maghrur (tertipu) dan merasa aman dari azab Allah Subhanahuwata’ala.”
قال الله تعالى: ﴿ أَفَأَمِنُواْ مَكۡرَ ٱللَّهِۚ فَلَا يَأۡمَنُ مَكۡرَ ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ
ٱلۡخَٰسِرُونَ ٩٩ ﴾ [الأعراف : 99]
“Apakah mereka merasa aman dari azab Allah
(yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali
orang-orang yang merugi.” (al- A’raf: 99)
Sebab,
hukuman orang yang berbuat maksiat adalah istidraj (dibiarkan) atas
kemaksiatannya, pada akhirnya dibinasakan setelahnya.” (Atsar al- Matsalul
al-‘A’la hlm. 25)
Ilmu, Fondasi Akhlak yang Agung
Ibnu
Qayyim rahimahumullah berkata, “Pengetahuan seorang hamba tentang keesaan
Allah Subhanahuwata’ala dalam
hal menolak mudarat, mendatangkan manfaat, memberi, tidak memberi, menciptakan,
memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan akan membuahkan ubudiyah tawakal
batiniah.
Konsekuensi
tawakal dan efeknya jelas sekali. Pengetahuan dia tentang Allah Maha Mendengar,
Melihat, dan tentang ilmu Allah Subhanahuwata’ala
yang tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu pun yang paling kecil, baik di langit
maupun di bumi. Allah Subhanahuwata’ala
mengetahui yang tersembunyi dan yang tampak. Allah Subhanahuwata’ala juga mengetahui mata yang berkhianat dan segala
yang tersembunyi di dalam dada. Semua ini akan membuahkan terjaganya lisan,
anggota badan, dan pikirannya dari segala yang tidak diridhai oleh
-Nya.
Dia
menjadikan semua anggota tubuhnya tergantung kepada apa yang dicintai oleh
Allah Subhanahuwata’ala dan
diridhai -Nya. Semua ini juga akan melahirkan rasa malu di dalam batin yang akan
membuahkan sikap menjauhkan diri dari segala yang diharamkan dan segala yang
jelek. Mengenal Allah Subhanahuwata’ala bahwa dia adalah Dzat yang Mahakaya, dermawan,
mudah memberi, banyak kebaikannya, dan penyayang; akan melahirkan harapan yang
luas lalu membuahkan segala bentuk ubudiyah lahiriah dan batiniah.
Semuanya
tergantung pada pengetahuan dan ilmunya. Demikian pula pengetahuan seorang
hamba tentang keagungan Allah Subhanahuwata’ala,
kemuliaan -Nya akan membuahkan ketundukan, ketenteraman, dan kecintaan
yang akan melahirkan segala bentuk pengabdian lahiriah kepada -Nya dan itulah konsekuensinya.
Demikian
pula tatkala berilmu tentang kesempurnaan dan keindahan, serta ketinggian sifat-sifat -Nya akan melahirkan kecintaan
yang khusus dalam semua bentuk ubudiyah. Oleh karena itu, semua bentuk
pengabdian akan kembali kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahuwata’ala. Semua bentuk peribadahan terikat dengan semua yang di atas, sebagaimana terikatnya
ciptaan dengan -Nya.
Di
alam ini, seluruh ciptaan dan perintah Allah Subhanahuwata’ala adalah konsekuensi dari nama-nama dan sifat-sifat -Nya. Allah Subhanahuwata’ala tidak akan menjadi
mulia karena ketaatan mereka dan tidak akan hina karena kemaksiatan mereka.
Renungilah sabda Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam di dalam Shahih al-Bukhari, yang beliau riwayatkan dari
Rabbnya, “Hai
para hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak mampu berbuat mudarat terhadap-Ku
hingga mencelakai- Ku. Kalian juga tidak dapat berbuat kemanfaatan bagi -Ku hingga memberiku manfaat.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkannya setelahnya, “Hai para hamba -Ku,
sesungguhnya kalian melakukan kesalahan dimalam hari dan sianghari, sementara
Aku adalah pengampun dosa,
maka minta ampunlah kalian kepada -Ku,
niscaya Aku akan mengampuni kalian.”
Ini
mengandung makna bahwa apa yang diperbuat oleh Allah Subhanahuwata’ala terhadap mereka dalam hal mengampuni kesalahan-kesalahan mereka,
dikabulkannya permintaan mereka, dan dilepaskannya mereka dari segala bentuk
malapetaka, tidak berarti Allah mengambil manfaat dari mereka.(Madarijus Salikin
2/90)
Koreksilah Berharapmu dan Perbaruilah Cintamu
Berharap
itu sumbernya adalah menyaksikan janji-janji Allah Subhanahuwata’ala dan berbaik sangka kepada Allah Subhanahuwata’ala, serta menyaksikan
segala apa yang dipersiapkan oleh Allah Subhanahuwata’ala
bagi orang yang mengutamakan -Nya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan negeri akhirat.
Berharap menjadikan petunjuk sebagai hakim terhadap hawa nafsunya, dan wahyu
atas ra’yu -nya (pendapatnya), sunnah atas bid’ah, dan menjadikan hakim segala apa
yang telah dilalui oleh para sahabat atas adat istiadat yang berlaku.
Sementara
itu, cinta itu sumbernya adalah menyaksikan nama-nama Allah Subhanahuwata’ala dan sifat-sifat -Nya sebagaimana menyaksikan
segala nikmat dan pemberian -Nya. Apabila mengingat dosa-dosanya, ia berbalut rasa
takut; apabila mengingat rahmat Allah Subhanahuwata’ala,
luas pengampuan, dan maaf -Nya, dia berbalut rasa berharap; dan apabila mengingat
keindahan dan keagungan -Nya, kesempurnaan -Nya, kebaikan dan nikmat -Nya, ia akan berbalut rasa
cinta.
Oleh
karena itu, hendaklah setiap hamba menimbang imannya dengan tiga hal ini
(takut, berharap, dan cinta) agar dia mengetahui kadar iman yang dimilikinya.
Sesungguhnya, hati itu terfitrah dengan Ramah Lingkungan cinta kepada keindahan
dan cinta kepada Pemberi Keindahan, dan Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat Yang Maha indah, keindahan yang
sempurna dari segala sisi.
Indah
pada Dzat -Nya, indah pada sifat -Nya, indah pada perbuatan-perbuatan -Nya, dan indah pada
nama-nama -Nya. Jika berkumpul keindahan seluruh makhluk pada seseorang, lalu dibandingkan dengan
keindahan Allah Subhanahuwata’ala,
perbandingannya lebih lemah daripada pancaran cahaya lentera yang paling lemah
di hadapan pancaran sinar matahari. (Madarijus Salikin 3/288)
Sifat
berharap yang penuh kejujuran memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
kehidupan seorang muslim. Berharap akan membangkitkan dan mendorong untuk
bertobat dengan benar, mendorong untuk beramal saleh berharap keberuntungan
dengan surga Allah Subhanahuwata’ala,
melihat -Nya, dan mendengar pembicaraan -Nya. Berharap yang jujur akan
menjaga akidah seorang muslim dari bergantung kepada makhluk mengharapkan
keberkahan dari mereka, atau syafaat, atau jalan keluar dari malapetaka. Oleh
karena itu, pada kehidupan seorang muslim yang jujur, Anda tidak menjumpai
penampilan-penampilan syirik dalam harapan, seperti mencari berkah melalui
kedudukan para nabi, dengan para wali, dan melalui kuburan-kuburan mereka; atau
mencari berkah di sumber mata air, gua, atau tempat sejenisnya.
Sebab,
seorang muslim mengetahui dengan keyakinan yang benar bahwa Allah Subhanahuwata’ala adalah Dzat yang
tunggal dalam hal mendatangkan manfaat dan menolak mudarat. Dia mengimani bahwa
Allah Subhanahuwata’ala adalah
satu-satunya Dzat tempat menggantungkan harapan segala yang dicita-citakannya
berupa kebaikan dunia dan akhirat. (Atsaral-Matsalulal-A’la hlm. 25)
Post a Comment