Berinfak dengan Harta yang Disukai
Berinfak
dengan Harta yang Disukai
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta
keluarga dan seluruh sahabatnya.
قال الله تعالى: ﴿
قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ إِبۡرَٰهِيمَ
حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ
٩٥ ﴾ [ آل عمران: 92]
“Kalian
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kalian
menafkahkan sebagian harta yang kalian cintai. Apa saja yang kalian nafkahkan,
maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali
Imran: 92)
Penjelasan
Beberapa Mufradat Ayat
“Kebajikan (yang sempurna)”. Banyak ahli tafsir yang menerangkan bahwa al-birr yang dimaksud oleh ayat ini adalah surga. Penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Amr bin Maimun, dan as-Suddi (Tafsir ath-Thabari dan al-Qurthubi). Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa al-birr yang dimaksud adalah amalan saleh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Kebajikan (yang sempurna)”. Banyak ahli tafsir yang menerangkan bahwa al-birr yang dimaksud oleh ayat ini adalah surga. Penafsiran ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Atha’, Mujahid, Amr bin Maimun, dan as-Suddi (Tafsir ath-Thabari dan al-Qurthubi). Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa al-birr yang dimaksud adalah amalan saleh. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ
الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ » [ رواه البخاري ]
“Sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada al-birr (amalan saleh), dan al-birr akan
mengantarkan kepada surga.” (HR. al-Bukhari no. 5743 dari Abdullah bin Mas’ud)
Ada
pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-birr adalah ketaatan dan
ketakwaan. Dengan demikian, maknanya adalah kalian tidak akan meraih kemuliaan
agama dan ketakwaan hingga kalian bersedekah dalam keadaan kalian sehat dan
butuh akan harta/materi, kalian berangan-angan kehidupan yang lebih panjang dan
takut akan kemiskinan.” (Tafsir al-Qurthubi)
Yang
jelas, semua penafsiran ini tidak saling bertentangan karena al-birr adalah
sebuah nama yang mengumpulkan seluruh makna kebaikan, yang mana balasan dari seluruh kebaikan
itu adalah surga. (Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman). Kata ﭕ bermakna “Kalian menafkahkan”, Sebagian ulama memahami bahwa
yang dimaksud nafkah di sini adalah zakat yang diwajibkan. Mujahid berkata,
“Ayat ini telah di-mansukh (dihapus) dengan ayat zakat.”
Ada
pula yang berpendapat bahwa yang dimaksud adalah sedekah atau berbagai bentuk
amalan ketaatan yang lainnya. Al-Qurthubi berkata, “Ini lebih mencakup.”
(Tafsir al-Qurthubi), Lalu beliau menyebutkan riwayat Sha’sha’ah bin Mu’awiyah yang
mengatakan bahwa dia bertemu Abu Dzar lalu berkata, “Sampaikanlah kepadaku sebuah
hadits.”
Beliau menjawab, “Ya. Rasulullah bersabda:
Beliau menjawab, “Ya. Rasulullah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَا مِنْ
عَبْدٍ مُسْلِمٍ يُنْفِقُ مِنْ كُلِّ مَالٍ لَهُ زَوْجَيْنِ فِي سَبِيلِ اللهِ
إِلاَّ اسْتَقْبَلَتْهُ حَجَبَةُ الْجَنَّةِ كُلُّهُمْ يَدْعُوهُ إِلَى مَا
عِنْدَهُ. قُلْتُ: وَكَيْفَ ذَلِكَ ؟ قَالَ: إِنْ كَانَتْ إِبِلًا
فَبَعِيْرَيْنِ، وَإِنْ كَانَتْ بَقَرًا فَبَقَرَتَيْنِ » [ رواه أحمد والنسائي ]
‘Tidaklah seorang hamba muslim menginfakkan dari setiap harta
yang dimilikinya dua harta yang sepasang di jalan Allah, melainkan akan
diterima oleh para penjaga pintu surga. Setiap mereka mengajak untuk masuk
melalui pintunya.’ Aku kemudian bertanya, “Bagaimana caranya?” Beliau menjawab,
“Jika berupa unta, sepasang unta, dan jika berupa sapi, sepasang sapi.” (HR.
Ahmad 5/151, an-Nasai no. 3185, dan yang lainnya, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 5774).
Al-Baidhawi berkata, “(Yakni)
nafkah berupa harta atau yang bersifat umum lainnya, seperti menggunakan
kedudukan untuk menolong manusia, menggunakan jasmani untuk taat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, dan menggunakan
hatinya untuk senantiasa berada di jalan-Nya”. Asy-Syaikh Ubaid al-Jabiri
hafizhahullah menambahkan, “Termasuk pula mengajarkan ilmu.” (Imdadul Qari,
1/294)
Tafsir
Ayat Asy-Syaikh
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di menerangkan, “Ayat ini adalah anjuran dari
Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada
para hamba -Nya untuk berinfak di berbagai jalan kebaikan. Allah Shubhanahu wa ta’alla menyatakan ‘kalian
tidak akan meraih al-birr’, yaitu setiap kebaikan berupa berbagai ketaatan dan
ganjaran yang mengantarkan pelakunya ke dalam surga. “Hingga kalian menginfakkan
apa yang kalian cintai,” yaitu harta-harta kalian yang berharga, yang disenangi
oleh jiwa-jiwa kalian.
Jika
kalian lebih mendahulukan kecintaan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla daripada kecintaan kepada harta, lalu kalian
mengeluarkannya dengan tujuan menggapai keridhaan -Nya, hal itu menunjukkan keimanan yang jujur,
ketaatan hati, dan juga kebenaran takwa kalian. Termasuk dalam hal ini adalah menginfakkan harta yang bernilai, berinfak
dalam keadaan orang yang berinfak tersebut membutuhkan apa yang diinfakkannya,
dan berinfak dalam keadaan sehat. Ayat ini menunjukkan bahwa seorang hamba
dinilai ketaatannya berdasarkan harta yang disenanginya yang dia infakkan, dan
semakin berkurang pula ketaatannya jika infaknya semakin berkurang. ” (Taisir
al-Karim ar-Rahman).
Ath-Thabari menjelaskan dalam Tafsir-nya,
“Wahai kaum mukminin, kalian tidak akan mencapai al-birr, al-birr adalah pemberian dari
Allah Shubhanahu wa ta’alla yang
dikehendaki oleh para hamba dengan amalan ketaatan mereka kepada -Nya, beribadah, dan berharap
kepada -Nya yaitu anugerah Allah Shubhanahu wa ta’alla kepada kalian dengan dimasukkannya kalian ke
dalam jannah -Nya dan dipalingkan dari siksaan -Nya.
Oleh
karena itu, banyak ahli tafsir yang menjelaskan bahwa al-birr yang dimaksud
oleh ayat ini adalah al-jannah (surga), karena kebaikan Rabb kepada para hamba -Nya di akhirat adalah
kemuliaan yang -Dia berikan kepada mereka dengan memasukkan mereka ke dalam al-jannah. ”
(Tafsir ath-Thabari)
Abu Bakr al-Warraq berkata, “Ayat ini memberikan bimbingan kepada mereka untuk bersikap dermawan. Maknanya adalah kalian tidak akan meraih kebaikan -Ku untuk kalian kecuali jika kalian berbuat baik kepada saudara kalian serta berinfak kepada mereka dari harta dan kedudukan kalian. Jika kalian melakukan hal itu, kalian akan mendapatkan kebaikan dan kasih sayang -Ku.” (Tafsir al-Qurthubi) Ayat ini semakna dengan firman -Nya:
Abu Bakr al-Warraq berkata, “Ayat ini memberikan bimbingan kepada mereka untuk bersikap dermawan. Maknanya adalah kalian tidak akan meraih kebaikan -Ku untuk kalian kecuali jika kalian berbuat baik kepada saudara kalian serta berinfak kepada mereka dari harta dan kedudukan kalian. Jika kalian melakukan hal itu, kalian akan mendapatkan kebaikan dan kasih sayang -Ku.” (Tafsir al-Qurthubi) Ayat ini semakna dengan firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿
وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينٗا
وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا ٨ ﴾ [ الإنسان: 8 ]
“Mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (al-Insan: 8).
“Dan
orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar)
sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah
kepada mereka. Mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap
apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin) daripada diri mereka sendiri sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu).
قال الله تعالى: ﴿
وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن
قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ
مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ
وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩ ﴾ [الحشر: 9]
Siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 9).
Adapun firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ
ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ
مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسَۡٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ
وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣ ﴾ [ البقرة: 273 ]
“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 273).
Ayat ini sama dengan firman Allah
Shubhanahu wa ta’alla:
قال الله تعالى: ﴿
وَمَآ أَنفَقۡتُم مِّن نَّفَقَةٍ أَوۡ نَذَرۡتُم مِّن
نَّذۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَعۡلَمُهُۥۗ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٍ ٢٧٠﴾ [ البقرة: 270 ]
“Dan apa saja yang kalian nafkahkan atau apa saja yang kalian nazarkan, sesungguhnya Allah mengetahuinya. Orang-orang yang berbuat zalim, tidak ada seorang penolong pun baginya.” (al-Baqarah: 270).
Al-Allamah
as-Sa’di berkata, “Allah Shubhanahu wa
ta’alla mengabarkan bahwa apa pun yang diinfakkan atau disedekahkan, atau
nazar orang yang bernazar, sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengetahui hal itu. Kandungan makna ilmu Allah
Shubhanahu wa ta’alla menunjukkan
bahwa -Dia membalasnya dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun
apa yang ada di sisi -Nya. Allah Shubhanahu
wa ta’alla mengetahui apa yang dilakukan seorang hamba berupa niat yang
baik atau buruk.” (Taisir al-Karim ar-Rahman)
Sikap
salaf dalam mengamalkan ayat ini
dipahami oleh para ulama salaf dari generasi terbaik umat ini secara zahir, sehingga mereka berusaha menginfakkan harta yang mereka senangi. Bahkan, harta tersebut adalah harta yang paling mereka sukai.
dipahami oleh para ulama salaf dari generasi terbaik umat ini secara zahir, sehingga mereka berusaha menginfakkan harta yang mereka senangi. Bahkan, harta tersebut adalah harta yang paling mereka sukai.
Diriwayatkan
oleh an-Nasai, dari sahabat Anas bin Malik , ia berkata, Ketika ayat ini
turun: Abu Thalhah
berkata, “Sesungguhnya Rabb kami meminta kami untuk menginfakkan harta-harta
kami. Aku mempersaksikan engkau, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
menjadikan tanahku ini untuk Allah Shubhanahu
wa ta’alla.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Peruntukkanlah tanahmu untuk kerabatmu, untuk Hassan bin Tsabit dan Ubai bin
Ka’b.” (HR. an-Nasai no. 3602 dan dinyatakan sahih oleh al-Albani).
Diriwayatkan
pula oleh al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik, ia berkata,
“Abu Thalhah adalah seorang dari kalangan Anshar yang paling banyak hartanya di
Madinah berupa pohon kurma. Harta yang paling ia senangi adalah kebun kurma
Bairaha’, yang menghadap ke arah masjid. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
terkadang masuk ke dalamnya dan minum air yang segar darinya”. Anas mengatakan bahwa tatkala
turun firman Allah Shubhanahu wa ta’alla:
Abu Thalhah pun menghadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman: “dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh, ia telah menjadi sedekah karena Allah Shubhanahu wa ta’alla. Aku mengharap ganjaran dan simpanan kebaikan darinya di sisi Allah Shubhanahu wa ta’alla. Salurkanlah, wahai Rasulullah, sesuai dengan pandangan yang Dia berikan kepadamu”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Luar biasa. Itu adalah harta yang menghasilkan keuntungan besar. Itu adalah harta yang menghasilkan keuntungan besar. Sungguh, aku telah mendengar apa yang engkau katakan. Aku berpandangan agar engkau menyalurkannya kepada kerabatmu.” Abu Thalhah berkata, “Saya akan melakukannya, wahai Rasulullah.” Abu Thalhah pun menyalurkannya kepada karib kerabatnya dan anak-anak pamannya. (HR. al-Bukhari no. 1392 dari Anas bin Malik z).
Abu Thalhah pun menghadap Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman: “dan sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha’. Sungguh, ia telah menjadi sedekah karena Allah Shubhanahu wa ta’alla. Aku mengharap ganjaran dan simpanan kebaikan darinya di sisi Allah Shubhanahu wa ta’alla. Salurkanlah, wahai Rasulullah, sesuai dengan pandangan yang Dia berikan kepadamu”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Luar biasa. Itu adalah harta yang menghasilkan keuntungan besar. Itu adalah harta yang menghasilkan keuntungan besar. Sungguh, aku telah mendengar apa yang engkau katakan. Aku berpandangan agar engkau menyalurkannya kepada kerabatmu.” Abu Thalhah berkata, “Saya akan melakukannya, wahai Rasulullah.” Abu Thalhah pun menyalurkannya kepada karib kerabatnya dan anak-anak pamannya. (HR. al-Bukhari no. 1392 dari Anas bin Malik z).
Demikian
pula diriwayatkan bahwa Zaid bin Haritsah menginfakkan harta yang paling disukainya berupa seekor kuda
yang diberi nama Sabal. Abdullah bin Umar memerdekakan budak yang disukainya, yaitu
Nafi’, yang dahulu dia beli dari Abdullah bin Ja’far seharga seribu dinar.
Shafiyyah binti Ubaid berkata, “Aku menyangka bahwa dia mengamalkan firman Allah Shubhanahu wa ta’alla: Diriwayatkan oleh Syibl, dari
Ibnu Abi Najih, dari Mujahid, ia berkata, “Umar bin al-Khaththab menulis surat
kepada Abu Musa al-Asy’ari agar membeli seorang budak wanita dari tawanan
Jalula’ pada saat ditaklukkannya daerah Mada’in Kisra”. Sa’d bin Abi Waqqash
berkata, “Umar memanggil budak wanita tersebut. Setelah melihatnya, Umar pun
terpesona. Lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman: Lalu Umar pun
membebaskannya.” Diriwayatkan pula dari Sufyan ats-Tsauri bahwa budak wanita Rabi’ bin
Khutsaim berkata, “Jika datang kepada beliau (Rabi’) seorang pengemis, dia
berkata kepadaku, ‘Berikan kepadanya gula,’ karena Rabi’ menyukai gula.” Sufyan
berkata, “Dia mengamalkan firman Allah Shubhanahu
wa ta’alla: Diriwayatkan pula bahwa Umar bin Abdul Aziz membeli beberapa karung gula
lalu menyedekahkannya. Lalu beliau ditanya, “Mengapa engkau tidak bersedekah dengan
uangnya saja?” Beliau menjawab, “Gula adalah harta yang paling aku sukai, maka
aku ingin bersedekah dengan apa yang aku sukai.”
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya kalian tidak akan meraih apa yang kalian sukai melainkan dengan meninggalkan apa yang kalian senangi. Kalian juga tidak akan menggapai angan-angan kalian melainkan dengan bersabar atas apa yang kalian benci.” (Lihat Tafsir al-Qurthubi). Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar bahwa dia berkata bahwa Umar bin Khaththab pernah berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seratus bagian di Khaibar yang aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih aku sukai darinya. Aku ingin menyedekahkannya.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Sesungguhnya kalian tidak akan meraih apa yang kalian sukai melainkan dengan meninggalkan apa yang kalian senangi. Kalian juga tidak akan menggapai angan-angan kalian melainkan dengan bersabar atas apa yang kalian benci.” (Lihat Tafsir al-Qurthubi). Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar bahwa dia berkata bahwa Umar bin Khaththab pernah berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seratus bagian di Khaibar yang aku tidak pernah mendapatkan harta yang lebih aku sukai darinya. Aku ingin menyedekahkannya.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « احْبِسْ أَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمْرَتَهَا » [رواه النسائي وابن ماجة]
“Wakafkan
tanahnya dan sedekahkan hasilnya!” (HR. an-Nasai no. 3603, Ibnu Majah no. 2397
dan dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
Mencari
Sedekah yang Lebih Afdal
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan ayat ini, “Jika seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan sesuatu yang paling disenanginya, itu lebih utama daripada yang lainnya, meskipun sama nilainya. Sesungguhnya, memberi hadiah dan berkurban yang merupakan jenis ibadah jasmani dan materi, tidaklah sama seperti sedekah biasa. Bahkan, ketika dia menyembelih hewan yang paling berharga dari hartanya, hal itu lebih dicintai Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan ayat ini, “Jika seorang hamba mendekatkan diri kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan sesuatu yang paling disenanginya, itu lebih utama daripada yang lainnya, meskipun sama nilainya. Sesungguhnya, memberi hadiah dan berkurban yang merupakan jenis ibadah jasmani dan materi, tidaklah sama seperti sedekah biasa. Bahkan, ketika dia menyembelih hewan yang paling berharga dari hartanya, hal itu lebih dicintai Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Sebagian
salaf berkata, ‘Janganlah salah seorang kalian menghadiahkan sesuatu untuk Allah
Shubhanahu wa ta’alla yang dia malu
jika dia menghadiahkannya kepada seseorang yang dia muliakan.’ Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِن
طَيِّبَٰتِ مَا كَسَبۡتُمۡ وَمِمَّآ أَخۡرَجۡنَا لَكُم مِّنَ ٱلۡأَرۡضِۖ وَلَا تَيَمَّمُواْ
ٱلۡخَبِيثَ مِنۡهُ تُنفِقُونَ وَلَسۡتُم بَِٔاخِذِيهِ إِلَّآ أَن تُغۡمِضُواْ فِيهِۚ
وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ ٢٦٧﴾ [ البقرة: 267 ]
‘Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di
jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah,
bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.’ (al-Baqarah: 267).
Ada
dua orang anak Adam yang mempersembahkan sebuah harta untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla. Disebutkan bahwa
salah satu dari keduanya bersedekah dengan hartanya yang bernilai, sedangkan
yang lain bersedekah dengan hartanya yang tidak bernilai. ” (Majmu’ Fatawa,
31/251) Wallahu a’lam.
Post a Comment