Golongan Manusia di Bulan Ramadhan
Golongan Manusia di Bulan Ramadhan
Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala
yang menciptakan dengan kokoh sesuai hikmah-Nya, menetapkan syari'at sebagai
rahmat dan hikmah, menyuruh kita untuk taat kepada-Nya bukan karena
kebutuhan-Nya tetapi untuk kita, mengampuni semua dosa bagi setiap orang yang
bertaubat kepada Rabb-nya dan mendekatkan diri. Aku bersaksi bahwa tidak ada
Ilah (yang berhak disembah) selain Allah subhanahu wa ta’ala
saja, tiada sekutu bagi-Nya, persaksian yang aku mengharapkan keberuntungan
dengannya di di negeri kenikmatan. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah hamba dan rasul-Nya, yang Dia mengangkatnya di atas langit lalu
mendekat. Semoga shalawat selalu tercurah kepadanya dan kepada sahabatnya Abu
Bakar ra yang melaksanakan ibadah dengan ridha, kepada Umar radhiallahu'anhu
yang sungguh-sungguh menampakkan Islam maka ia tidak lemah, kepada Utsman radhiallahu'anhu
yang ridha dengan taqdir dan bertempat di halapan kefanaan, kepada Ali radhiallahu'anhu
yang dekat secara nasab dan telah mencapai yang diharapkan, dan kepada semua keluarganya
dan para sahabatnya yang mulia lagi amanah.
Saudara-saudaraku, telah dijelaskan dalam majelis ketiga
bahwa kewajiban puasa pada mulanya atas dua tahapan, kemudian tetaplah hukum
puasa, maka manusia terbagi menjadi sepuluh golongan:
Pertama:
seorang muslim, baligh, berakal, muqim (tidak musafir), mampu, serta tidak ada
penghalang. Ia wajib melaksanakan puasa Ramadhan di waktunya, berdasarkan dalil
al-Qur`an dan sunnah serta ijma' atas hal itu. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
قال الله تعالي: { شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ }[البقرة: 185]
(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,maka hendaklah ia
berpuasa… (QS. al-Baqarah:185)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إذا رأيتم الهلال فصوموا )) [متفق عليه]
"Apabila kamu
melihatnya maka puasalah."Muttafaqun ‘alaih. ([1])
Dan ijma' kaum muslimin
atas kewajiban berpuasa bagi orang yang sifatnya disebutkan di atas.
Golongan
kedua: anak kecil. Maka ia tidak wajib berpuasa sampai baligh, berdasarkan
sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( رُفِعَ القلم عن
ثلاثة: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصغير حتى يكبر وعن المجنون حتى يفيق )) [رواه أحمد والنسائي وغيره ]
"Pena diangkat dari
tiga golongan: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai
besar, dan dari orang gila sampai ia sadar."HR.Ahmad,
Abu Daud, an-Nasa`i dan dishahihkan oleh al-Hakim. ([2]) Akan
tetapi walinya harus menyuruhnya puasa apabila ia mampu sebagai latihan untuk
ibadah supaya ia terbiasa setelah baligh karena mengikuti salafus shalih radhiyallahu
'anhum. Para sahabat radhiyallahu ‘‘anhum melatih
anak-anak mereka berpuasa saat mereka masih kecil dan membuat mainan untuk
mereka agar mereka bermain dan melupakan rasa lapar.
Di masa sekarang, banyak sekali orang tua yang melupakan
perkara ini dan tidak menyuruh anak mereka puasa, bahkan ada yang melarang anak
mereka puasa padahal ia ingin melakukannya, dan mengira bahwa hal itu merupakan
sifat kasih sayang kepada mereka. Padahal rasa sayang sebenarnya adalah
melaksanakan kewajiban mendidik mereka di atas syi'ar Islam dan pendidikan yang
bernilai tinggi. Maka barangsiapa yang melarang mereka melakukan hal itu atau
melewati batas padanya niscaya ia berbuat zalim kepada mereka dan untuk dirinya
juga. Benar, jika mereka puasa, lalu ia melihat bahaya pada mereka, maka tidak
mengapa melarang mereka pada saat itu.
Dan balighnya anak laki-laki adalah dengan salah satu
dari tiga perkara:
Salah satunya: keluar mani
dengan bermimpi dan lainnya. Firman Allah subhanahu
wata'ala:
قال الله تعالي: { وَإِذَا بَلَغَ ٱلۡأَطۡفَٰلُ مِنكُمُ ٱلۡحُلُمَ
فَلۡيَسۡتَٔۡذِنُواْ كَمَا ٱسۡتَٔۡذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ
ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ٥٩}[النور: 59]
Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur balig,
maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka
meminta izin. (QS. an-Nuur:59)
Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( غسل الجمعة واجب
على كل محتلم)) [متفق عليه]
"Mandi hari Jum'at
wajib atas setiap orang yang bermimpi (baligh)."Muttafaqun ‘alaih. ([3])
Kedua:
tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan, yaitu bulu yang kasar yang tumbuh di
sekitar kemaluan depan. Berdasarkan ucapan Athiyah al-Qurazhi: 'Kami dibawa
kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di hari perang
Quraizhah, barangsiapa yang sudah bermimpi atau tumbuh bulu kemaluannya ia
dibunuh dan siapa yang tidak niscaya ia dibiarkan." diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasa`i, dan ia adalah
hadits shahih. ([4]).
Ketiga: mencapai usia lima
belas tahun, berdasarkan ucapan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu:
'Aku dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
hari perang Uhud dan aku masih berusia empat belas tahun maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengijinkan aku.' Maksudnya ikut berperang. Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban
dalam shahihnya menambahkan: 'dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganggap aku belum baligh. " HR. Jamaah. ([5]) Nafi'
rahimahullah berkata, "Aku datang kepada Umar bin Abdul Aziz saat dia
menjadi khalifah, lalu aku menceritakan hadits ini kepadanya, ia berkata:
'Sesungguhnya ini adalah batas di antara kecil dan besar.' Dan ia menulis
kepada para pejabatnya bahwa menentukan bagian bagi orang yang telah mencapai
usia lima belas tahun. HR. Al-Bukhari.
Dan wanita mencapai baligh sama seperti laki-laki (satu
di antara tiga, pent.) di tambah tanda keempat, yaitu haid. Maka apabila wanita
telah haid berarti ia telah baligh dan berlaku atasnya hukum mukallaf,
sekalipun belum mencapai usia sepuluh tahun. Apabila baligh di siang hari bulan
Ramadhan, jika ia telah puasa, ia menyempurnakan puasanya dan tidak ada
kewajiban apapun terhadap. Dan jika ia tidak puasa, ia harus imsak (menahan
diri dari yang membatalkan puasa, pent.) pada hari itu, karena ia termasuk
orang yang wajib berpuasa dan ia tidak wajib mengqadha karena sebelumnya ia
belum termasuk orang yang wajib puasa saat wajib imsak.
Bagian ketiga: Orang gila: Yaitu
orang yang kehilangan akal, ia tidak wajib puasa, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang telah disebutkan sebelumnya: (Pena diangkat dari tiga orang…), dan
ia tidak sah bila puasa karena ia tidak punya akal untuk memahami ibadah dan
berniat, dan ibadah tidak sah kecuali dengan niat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إنما الأعمال بالنيات
وإنما لكل امرئ ما نوى... )) [متفق
عليه]
Jika terkadang gila dan
terkadang sadar, ia harus puasa di saat sadarnya, tidak wajib di saat gilanya.
Jika ia gila (hilang akal) di tengah hari, puasanya tidak batal, sebagaimana
jika ia pingsan karena sakit atau yang lainnya, karena ia telah berniat puasa
saat berakal sehat dengan niat yang benar. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan
puasanya batal, terutama bila sudah diketahui bahwa gila hanya datang di
saat-saat tertentu. Atas dasar ini, maka tidak wajib mengqadha di hari yang ia
hilang akal padanya. Apabila orang yang gila sadar di pertengahan hari, ia
harus imsak di hari itu karena ia termasuk orang yang wajib puasa, dan ia tidak
wajib mengqadhanya, seperti anak kecil apabila telah baligh dan orang kafir
bila masuk Islam.
Bagian keempat: Tua renta yang telah hilang kesadaran
dan gugur tamyiznya. Maka ia tidak wajib puasa dan tidak pula memberi makan
darinya karena gugurnya taklif darinya dengan hilangnya tamyiqnya, maka ia sama
seperti bayi sebelum tamyiq. Jika ia terkadang bisa membedakan dan terkadang
hilang kesadaran, ia wajib puasa di saat bisa membedakan, tidak wajib saat
tidak bisa membedakan. Shalat sama seperti puasa, tidak wajib saat tidak bisa
membedakan dan wajib saat bisa membedakan.
Bagian kelima: orang yang tidak mampu puasa sama sekali
yang tidak bisa diharapkan hilangnya, seperti orang tua jompo dan orang sakit
yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, seperti penderita kanker dan
semisalnya. Ia tidak wajib puasa karena ia tidak mampu, dan Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
قال الله تعالي: ﴿ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ ﴾ [التغابن: 16]
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu (QS. ath-Thaghabun:16)
Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala :
قال الله تعالي: ﴿ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ ﴾ [البقرة: 286]
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. (QS. al-Baqarah:286)
Akan tetapi wajib memberi
makan satu orang miskin setiap hari karena Allah subhanahu wa ta’ala
menjadikan memberi makan sebagai imbangan puasa saat boleh memilih di antara
dua perkara saat pertama kali diwajibkan. Maka ditentukan memberi makan sebagai
pengganti puasa saat tidak mampu puasa karena ia sama dengannya.
Diberikan pilihan dalam memberi makan di antara
membaginya kepada orang-orang miskin, bagi setiap orang satu mud gandum,
seperempat sha' nabawi. Satu mud sama
dengan setengah Kg. + 10 gram dengan
gandum yang baik, dan di antara memasak makanan, lalu mengundang orang-orang
miskin sekadar hari yang wajib atasnya. Al-Bukhari rahimahullah berkata:
Adapun orang tua jompo, apabila tidak mampu puasa, Anas radhiyallahu ‘anhu
telah memberi makan setelah tua selama satu atau dua tahun, setiap hari satu
orang miskin roti dan daging dan ia (Anas ra.) berbuka (maksudnya tidak puasa).
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata
pada orang tua jompo, laki-laki dan perempuan, yang tidak mampu puasa, maka ia
memberi makan satu orang miskin setiap hari.
Post a Comment