Ketika Agama Digadaikan Demi Kesenangan Sesaat
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat
serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh
sahabatnya.
Minimnya ilmu, tipisnya
iman, dan kuatnya dorongan hawa nafsu kerap kali menutup pintu hati seseorang
untuk memahami hakikat kehidupan dunia yang sedang dijalaninya. Harta yang
merupakan nikmat dari Allah Subhanahu wata’ala tak jarang menjadi ujian
dan sebab jauhnya seseorang dari agama Islam yang suci. Padahal, agama Islam
adalah bekal utama bagi seseorang dalam hidup ini. Dengan Islam, seseorang akan
berbahagia dan terbimbing dalam menghadapi pahit getirnya kehidupan.
Sebaliknya, tanpa Islam, hidup seseorang tiada berarti dan di akhirat termasuk
orang-orang yang merugi.
Anehnya, di antara
manusia ada yang menggadaikan Islam -agama dan bekal utamanya- demi kesenangan
dunia yang sesaat. Betapa meruginya orang itu. Dia akan menghadap Allah Subhanahu
wata’ala di hari kiamat dengan tangan hampa dan terhalang dari kebahagiaan
yang hakiki.
Hakikat Kehidupan Dunia
Tak bisa dipungkiri bahwa
kehidupan dunia dikitari oleh keindahan dan kenikmatan (syahwat). Semuanya
dijadikan indah pada pandangan manusia, sehingga setiap orang mempunyai kecondongan
kepadanya sesuai dengan kadar syahwat yang menguasainya.
Itulah kesenangan hidup
di dunia, dan sesungguhnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala lah tempat
kembali yang baik (al-Jannah). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ زُيِّنَ
لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ
ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ
وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ
عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ ١٤﴾ [ آل عمران: 14]
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada segala apa yang diingini (syahwat), yaitu: wanita-wanita, anak-anak,
harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang
ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi
Allah-lah tempat kembali yang baik (al-Jannah).” (Ali Imran: 14)
Namun, betapa pun
menyenangkan kehidupan dunia itu, sungguh ia adalah kehidupan yang fana.
Semuanya bersifat sementara. Tiada makhluk yang hidup padanya melainkan
akan meninggalkannya. Tiada pula harta yang ditimbun melainkan akan
berpisah dengan pemiliknya. Keindahan dunia yang mempesona dan kenikmatannya
yang menyenangkan itu pasti sirna di kala Allah Subhanahu wata’ala
menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ ٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ
بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ
أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ
يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ
وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ٢٠ ﴾ [ الحديد : 20]
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah
permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah diantara
kalian serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan
yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur, dan diakhirat
(nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan -Nya. Kehidupan dunia ini tidak lain
hanyalah kesenangan yang menipu.” (al-Hadid: 20)
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّمَا مَثَلُ
ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا كَمَآءٍ أَنزَلۡنَٰهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَٱخۡتَلَطَ بِهِۦ
نَبَاتُ ٱلۡأَرۡضِ مِمَّا يَأۡكُلُ ٱلنّاسُ وَٱلۡأَنۡعَٰمُ حَتَّىٰٓ إِذَآ
أَخَذَتِ ٱلۡأَرۡضُ زُخۡرُفَهَا وَٱزَّيَّنَتۡ وَظَنَّ أَهۡلُهَآ أَنَّهُمۡ
قَٰدِرُونَ عَلَيۡهَآ أَتَىٰهَآ أَمۡرُنَا لَيۡلًا أَوۡ نَهَارٗا فَجَعَلۡنَٰهَا
حَصِيدٗا كَأَن لَّمۡ تَغۡنَ بِٱلۡأَمۡسِۚ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ ٱلۡأٓيَٰتِ
لِقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢٤ ﴾ [يونس: 24]
“Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah
seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah
tanam-tanaman bumi dengan suburnya karena air itu, diantaranya ada yang dimakan
manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna
keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira
bahwa mereka pasti menguasainya (dapat memetik hasilnya), tiba-tiba datanglah
kepadanya azab Kami diwaktu malam atau siang, lalu Kami jadikan
(tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah
tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami)
kepada orang-orang yang berpikir.” (Yunus: 24)
Sudah sepatutnya setiap
pribadi muslim memahami hakikat kehidupan dunia, agar tidak salah jalan dalam
menempuhnya. Lebih-lebih, dunia bukanlah akhir seorang hamba dalam menuju
Rabb-nya. Masih ada dua fase kehidupan berikutnya: kehidupan di alam kubur
(barzakh) dan kehidupan di alam akhirat.
Di alam kubur (barzakh),
setiap orang akan mendapatkan nikmat kubur atau azab kubur, sesuai dengan
perhitungan amalnya di sisi Allah Subhanahu wata’ala. Setelah itu, di
alam akhirat, masing-masing akan menghadap Allah Subhanahu wata’ala
seorang diri, mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang dikerjakannya
selama hidup di dunia, dan akan mendapatkan balasan yang setimpal (dari Allah Subhanahu
wata’ala) atas segala apa yang diperbuatnya itu. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
“Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja
(berbuat) dengan penuh kesungguhan menuju Rabbmu, maka pasti kamu akan
menemui-Nya (untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan).”
(al-Insyiqaq: 6)
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah(semut
kecil) pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang
mengerjakan kejelekan seberat zarrah (semut kecil) pun, niscaya dia akan
melihat balasannya.” (az-Zalzalah: 7-8)
Tiada Hidup Tanpa Agama Islam
Demikianlah kehidupan
dunia dengan segala liku-likunya. Kehidupan yang bersifat sementara, namun
sangat menentukan bagi dua kehidupan berikutnya; di alam kubur (barzah) dan di
alam akhirat. Sebab, segala perhitungan yang terjadi pada dua kehidupan
tersebut sangat bergantung pada amal dan bekal yang telah dipersiapkan oleh
setiap hamba pada kehidupan dunianya.
Maka dari itu, tiada
bekal yang dapat mengantarkan kepada kebahagiaan hakiki pada dua kehidupan
tersebut selain agama Islam, yang terangkum dalam takwa, iman, dan amal saleh.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ وَتَزَوَّدُواْ
فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ ١٩٧ ﴾ [ البقرة: 197]
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa….” (al- Baqarah: 197)
قال الله تعالى: ﴿مَنۡ
عَمِلَ صَٰلِحٗا
مِّن ذَكَرٍ
أَوۡ أُنثَىٰ
وَهُوَ مُؤۡمِنٞ
فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ
طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧﴾ [ النحل : 97]
“Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada
mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
(an-Nahl: 97)
Betapa pentingnya peran
Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam
kehidupan ini. Agama satu-satunya yang sempurna dan diridhai oleh Allah Subhanahu
wata’ala. Betapa bahagianya orang yang dikaruniai keteguhan (istiqamah) di
atas agama Islam yang mulia; dengan berupaya memahaminya sesuai dengan
pemahaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya,
serta menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya.
Sebaliknya, betapa celakanya orang yang
mencari selain agama Islam sebagai bekal hidupnya. Segala upayanya `tidak
diterima di sisi Allah Subhanahu wata’ala, dan di akhirat kelak termasuk
orang-orang yang merugi. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ قُلۡ صَدَقَ ٱللَّهُۗ فَٱتَّبِعُواْ مِلَّةَ
إِبۡرَٰهِيمَ حَنِيفٗاۖ وَمَا كَانَ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٩٥ ﴾ [ آل عمران: 85]
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam,
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan kita apabila Allah Subhanahu wata’ala mengingatkan
orang-orang yang beriman agar berpegang teguh dengan agama yang mulia ini dan
meninggal dunia sebagai pemeluknya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم
مُّسۡلِمُونَ ١٠٢ ﴾ [ آل عمران: 102]
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian
kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah sekali-kali meninggal
dunia melainkan sebagai pemeluk agama Islam.” (Ali Imran: 102)
Mengapa Harus Menggadaikan Agama?
Kehidupan dunia adalah
medan tempaan dan ujian (darul ibtila’) bagi setiap hamba yang
menjalaninya. Masing-masing akan mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu
wata’ala sesuai dengan kadar keimanannya. Terkadang dalam bentuk keburukan
dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan (kenikmatan). Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,`
قال الله تعالى: ﴿ كُلُّ
نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ
ٱلۡمَوۡتِۗ وَنَبۡلُوكُم
بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ
فِتۡنَةٗۖ وَإِلَيۡنَا
تُرۡجَعُونَ ٣٥ ﴾ [ الأنبياء: 35]
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’:
35)
Ujian dalam bentuk
keburukan bermacam-macam. Adakalanya berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan
harta (kemiskinan), kekurangan jiwa (wafatnya orang-orang yang dicintai),
kekurangan buah-buahan (bahan makanan), dan yang semisalnya. Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ
ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥ ﴾ [ البقرة: 155]
“Sungguh akan Kami berikan ujian kepada kalian, dalam
bentuk sedikit dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang bersabar.”
(al-Baqarah: 155)
Ujian dalam bentuk
kebaikan juga bermacam-macam. Adakalanya berupa kenikmatan, harta, anak-anak,
kedudukan, dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ وَٱعۡلَمُوٓاْ
أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ
أَجۡرٌ عَظِيمٞ ٢٨ ﴾ [ الأنفال: 28]
“Ketahuilah, sesungguhnya harta dan anak-anak kalian
itu (sebagai) ujian, dan di sisi Allahlah pahala yang besar.” (al-Anfal: 28)
Beragam ujian itu
diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba tiada lain
agar tampak jelas di antara para hamba tersebut siapa yang jujur dalam
keimanannya dan siapa pula yang berdusta, siapa yang selalu berkeluh kesah dan siapa
pula yang bersabar. Demikianlah, Allah Subhanahu wata’ala Dzat Yang Maha
Adil lagi Maha Bijaksana menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ الٓمٓ ١ أَحَسِبَ
ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢ وَلَقَدۡ
فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ
ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣﴾ [ العنكبوت: 1-3 ]
“Alif Laam Miim, apakah manusia mengira untuk
dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian?
Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman
bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala
mengabarkan bahwa Dia akan memberikan beragam ujian kepada para hamba -Nya,
agar tampak jelas (di antara para hamba tersebut) siapa yang jujur (dalam
keimanannya) dan siapa pula yang berdusta, siapa yang selalu berkeluh kesah,
dan siapa pula yang bersabar.
Demikianlah sunnatullah,
sebab manakala keadaan suka semata yang selalu mengiringi orang yang beriman
tanpa adanya tempaan dan ujian, maka akan muncul ketidakjelasan
(militansi/semangat keislamannya, -pen.) dan ini tentu saja bukanlah
suatu hal yang positif. Sementara itu, hikmah Allah Subhanahu wata’ala menghendaki adanya sinyal pembeda antara
orang-orang yang baik (ahlul khair) dan orang-orang yang jahat (ahlusy syar).
Itulah fungsi tempaan dan ujian, bukan untuk memupus keimanan orang-orang yang
beriman, bukan pula untuk menjadikan mereka lari dari Islam. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan keimanan orang-orang yang
beriman.”(Taisirul Karimirrahman, hlm. 58)
Berbahagialah orang-orang
yang diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala saat ujian
tiba. Manakala ujian keburukan yang tiba, dia hadapi dengan penuh kesabaran.
Manakala ujian kebaikan, dihadapinya dengan penuh syukur kepada Allah Subhanahu
wata’ala.
Adapun orang-orang yang
tidak diberi taufik dan hidayah
oleh Allah Subhanahu wata’ala saat ujian tiba, agama menjadi taruhannya.
Iman dan Islam yang merupakan modal utama dalam hidup ini digadaikannya demi
kesenangan sesaat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا
كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ
كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ
مِنَ الدُّنْيَا » [ رواه مسلم]
“Bergegaslah
kalian untuk beramal, (karena akan datang) ujian-ujian ibarat potongan-potongan
malam yang gelap. (Disebabkan ujian tersebut) di pagi hari seseorang dalam
keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir, di sore hari dalam
keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya
dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no. 118 dari sahabat
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits di atas
mencakup seluruh pribadi umat ini, baik yang miskin maupun yang kaya. Yang
miskin menjual agamanya dan menggadaikan imannya, karena tak sabar akan ujian
kekurangan (kemiskinan) yang dideritanya. Cukup banyak contoh kasusnya di
masyarakat kita. Terkadang dengan iming-iming jabatan, terkadang dengan
pemberian modal usaha atau pinjaman lunak, terkadang dengan pemberian rumah
atau tempat tinggal, terkadang dengan pembagian sembako, bahkan terkadang hanya
dengan beberapa bungkus mi instan.
Adapun yang
kaya, dia menjual agamanya dan menggadaikan imannya karena kesombongan dan hawa
nafsunya. Ia tidak mau mensyukuri karunia Allah Subhanahu wata’ala yang
diberikan kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa semua itu berkat kepandaian dan
jerih payahnya semata. Ingatkah Anda tentang kisah Qarun, seorang hartawan dari
Bani Israil (anak paman Nabi Musa ‘alaihis salam) yang menggadaikan
agama dan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya? Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ إِنَّ قَٰرُونَ كَانَ
مِن قَوۡمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيۡهِمۡۖ وَءَاتَيۡنَٰهُ مِنَ ٱلۡكُنُوزِ مَآ إِنَّ
مَفَاتِحَهُۥ لَتَنُوٓأُ بِٱلۡعُصۡبَةِ أُوْلِي ٱلۡقُوَّةِ إِذۡ قَالَ لَهُۥ قَوۡمُهُۥ
لَا تَفۡرَحۡۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡفَرِحِينَ ٧٦ وَٱبۡتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ
ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلۡأٓخِرَةَۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنۡيَاۖ وَأَحۡسِن كَمَآ
أَحۡسَنَ ٱللَّهُ إِلَيۡكَۖ وَلَا تَبۡغِ ٱلۡفَسَادَ فِي ٱلۡأَرۡضِۖ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يُحِبُّ ٱلۡمُفۡسِدِينَ ٧٧ قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ
أَوَ لَمۡ يَعۡلَمۡ أَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ أَهۡلَكَ مِن قَبۡلِهِۦ مِنَ ٱلۡقُرُونِ مَنۡ
هُوَ أَشَدُّ مِنۡهُ قُوَّةٗ وَأَكۡثَرُ جَمۡعٗاۚ وَلَا يُسَۡٔلُ عَن ذُنُوبِهِمُ
ٱلۡمُجۡرِمُونَ ٧٨ فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ فِي زِينَتِهِۦۖ قَالَ ٱلَّذِينَ يُرِيدُونَ
ٱلۡحَيَوٰةَ ٱلدُّنۡيَا يَٰلَيۡتَ لَنَا مِثۡلَ مَآ ُوتِيَ قَٰرُونُ إِنَّهُۥ لَذُو
حَظٍّ عَظِيمٖ ٧٩ وَقَالَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ وَيۡلَكُمۡ ثَوَابُ ٱللَّهِ
خَيۡرٞ لِّمَنۡ ءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗاۚ وَلَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلصَّٰبِرُونَ
٨٠﴾ [ القصص: 76- 80 ]
“Sesungguhnya Qarun termasuk dari kaum Nabi Musa, maka
ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah karuniakan kepadanya
perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah
orang yang kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, ‘Janganlah engkau
terlalu bangga diri (sombong), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang membanggakan diri (sombong). Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berbuat kerusakan.’ Qarun pun menjawab, ‘Sesungguhnya aku dikaruniai harta
tersebut dikarenakan ilmu (kepandaian)-ku.’ Tidakkah Qarun tahu, sungguh Allah
telah membinasakan umat-umat sebelum dia yang jauh lebih kuat darinya dan lebih
banyak dalam mengumpulkan harta? Dan tak perlu dipertanyakan lagi orang-orang
jahat itu tentang dosa-dosa mereka. Maka (suatu hari) tampillah Qarun di
tengah-tengah kaumnya dengan segala kemegahannya, lalu berkatalah orang-orang
yang tertipu oleh kehidupan dunia‘ ,Duhai kiranya kami dikaruniai (harta)
seperti Qarun, sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.’ Adapun
orang-orang yang berilmu, mereka mengatakan, ‘Celakalah kalian, sesungguhnya
karunia Allah Subhanahu wata’ala itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman
dan beramal saleh, namun tidaklah pahala itu diperoleh kecuali oleh orang-orang
yang sabar’.” (al-Qashash: 76-80)
Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah
berkata, “Allah Subhanahu wata’ala menerangkan (dalam ayat-ayat
tersebut, -pen.) bahwa Qarun telah diberi perbendaharaan harta yang amat
banyak hingga ia lupa diri, dan semua yang dimilikinya itu ternyata tidak mampu
menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana yang
telah dialami (sebelumnya, -pen.) oleh Fir’aun.” (Tafsir al-Qurthubi)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika
menafsirkan ayat ke-77 dari surat al-Qashash tersebut, mengatakan,
“Pergunakanlah apa yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wata’ala
kepadamu, yaitu harta yang banyak dan nikmat yang tak terhingga itu, untuk ketaatan
kepada Rabb-mu dan untuk mendekatkan diri kepada -Nya dengan beragam amal saleh, yang
diharapkan dengannya mendapatkan pahala, baik di dunia maupun di akhirat.
(Janganlah kamu melupakan bagianmu dari [kenikmatan] duniawi, -pen.) yang Allah
Subhanahu wata’ala halalkan bagimu, yaitu makanan, minuman, pakaian, tempat
tinggal, dan menikahi wanita. Menjadi keharusan bagimu untuk menunaikan hak
Rabb-mu, hak dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang mengunjungimu. Tunaikanlah haknya masing-masing. Berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala telah berbuat baik kepadamu.
Janganlah kamu berambisi dengan kekayaan yang ada untuk berbuat kerusakan di
(muka) bumi dan berbuat kejahatan kepada sesama. Sesungguhnya Allah Subhanahu
wata’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Tafsir
Ibnu Katsir)
Dari paparan di atas,
jelaslah bagi kita bahwa siapa pun yang menjalani kehidupan dunia ini pasti
akan menghadapi berbagai ujian. Saat itulah seseorang akan mengalami pergolakan
dan perseteruan dalam jiwanya. Hasilnya akhirnya, apakah bisa istiqamah di atas
iman dan Islam, ataukah ia justru menggadaikannya demi kesenangan sesaat.
Maka dari itu, ketika
ujian itu tiba, tiada kata yang indah yang patut diucapkan selain dzikrullah
(berzikir dengan mengingat Allah Subhanahu wata’ala), karena dengan
dzikrullah hati akan menjadi tenteram sehingga dimudahkan untuk memilih jalan
kebenaran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
قال الله تعالى: ﴿ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
٢٨ ﴾ [ الرعد : 28]
“(Yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah
(zikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram.” (ar-Ra’d: 28)
Demikian pula,
tiada perbuatan yang paling berguna bagi keselamatan diri ini selain
kesungguhan dalam beramal saleh (termasuk menuntut ilmu agama), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.
Lebih dari itu,
peran doa sangat penting dalam membantu keistiqamahan seseorang di atas iman
dan Islam, kokoh di atas agama Allah Subhanahu wata’ala dan tak mudah
menggadaikannya demi kesenangan sesaat. Di antara doa yang diajarkan oleh Allah
Subhanahuwata’ala dalam al-Qur’an
adalah,
قال الله تعالى: ﴿ اهْدِنَا
الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ﴾ [ الفاتحة : 6]
“Tunjukilah kami jalan yang lurus!” (al-Fatihah: 6)
قال الله تعالى: ﴿ رَبَّنَا لَا
تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ
إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ ﴾ [ آل عمران: 8]
“Wahai
Rabb kami, Janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami
hidayah dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi -Mu, sesungguhnya
Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 8)
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wasallam juga selalu berdoa,
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ
قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ » [ رواه ابن أبي عاصم وصححه الألباني]
“Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati,
kokohkanlah hatiku ini diatas agama -Mu.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah
no. 232 dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani
dalam Zhilalul Jannah)
Post a Comment