Memperbaiki Diri
Sangat disayangkan,
kebanyakan kita lupa dengan aib yang melekat pada diri-diri kita dan menutup
mata dari kekurangan yang ada. Lebih parah lagi, ada yang bersikap sebaliknya,
yaitu berbaik sangka dan menganggap diri telah bersih dan sempurna, padahal Allah
Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ ٱلَّذِينَ يَجۡتَنِبُونَ كَبَٰٓئِرَ ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡفَوَٰحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَۚ
إِنَّ رَبَّكَ وَٰسِعُ ٱلۡمَغۡفِرَةِۚ هُوَ أَعۡلَمُ بِكُمۡ إِذۡ أَنشَأَكُم مِّنَ
ٱلۡأَرۡضِ وَإِذۡ أَنتُمۡ أَجِنَّةٞ فِي بُطُونِ أُمَّهَٰتِكُمۡۖ فَلَا تُزَكُّوٓاْ
أَنفُسَكُمۡۖ هُوَ أَعۡلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ ٣٢
﴾ [النجم: 32]
“Maka
janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang
orang yang bertakwa.” (an-Najm: 32)
Ketika
sebagian kita mendengar tentang akhlak yang mulia, ia beranggapan seolah-olah
akhlak tersebut sudah ada pada dirinya dan dialah pemilik perangai mulia itu.
Namun, tatkala disebutkan tentang perangai tercela, buru-buru dia menuduhkannya
kepada orang lain. Seolah-olah dia jauh dari perangai tersebut. Sikap seperti
ini tidak pantas dimiliki oleh orang yang menjunjung tinggi moral dan
mendambakan kesempurnaan. Sikap seperti ini akan memunculkan sikap bangga diri
yang tercela dan merasa puas di atas kekurangan yang ada. Ujungnya adalah meninggalkan
upaya perbaikan diri. Tidak dimungkiri bahwa ini adalah sikap yang bodoh dan
sangat keliru. Dengan sikap tidak mau tahu tentang kadar diri sendiri dan
kondisinya, seseorang tidak akan melangkah maju kepada tingkat kemuliaan.
(Lihat Su’ul Khuluq, Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, hlm. 68—69)
Cara
mengenal aib diri sendiri adalah menyadari bahwa kesempurnaan yang mutlak hanya
milik Allah Shubhanahu wa ta’alla dan kemaksuman
(terpelihara dari dosa) hanya dipunyai oleh Rasulullah. Adapun diri kita adalah
tidak lebih dari seorang manusia yang diliputi beragam kekurangan, baik dari
sisi ilmu maupun amal. Kelemahan dalam dua sisi ini atau salah satunya menjadi
faktor utama terjadinya ketergelinciran ketika menapaki kehidupan ini. Namun,
hendaknya tidak dipahami bahwa seseorang baru dikatakan baik jika dia tidak
mempunyai kesalahan karena hal ini mustahil, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ
التَّوَّابُونَ »
[ رواه الترمذي وصححه الألباني ]
“Setiap
anak Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang
berbuat salah adalah yang (mau) bertobat.” (Hadits dari sahabat Anas bin Malik,
dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi
no. 2499, cet. al-Ma’arif).
Dosa
dan kesalahan adalah kepastian atas manusia. Namun, yang tercela ialah manakala
seseorang menunda-nunda memperbaiki diri atau bahkan tidak mau menyadari
kekurangannya.
Jangan sampai hilang dari ingatan kita, manusia dicipta untuk memberikan penghambaan semata-mata untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, sebagaimana firman -Nya:
Jangan sampai hilang dari ingatan kita, manusia dicipta untuk memberikan penghambaan semata-mata untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla, sebagaimana firman -Nya:
قال الله تعالى: ﴿ وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ
٥٦ ﴾ [الذاريات: 56]
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat: 56).
Inilah
hikmah penciptaan manusia. Oleh karena itu, barang siapa belum mewujudkan
beragam penghambaan yang harus diberikan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, berarti pada dirinya ada aib yang harus
segera diobati. Sedikit dan banyaknya aib seseorang terkait dengan apa dan
seberapa bentuk penghambaan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla yang belum
terealisasikan. Apabila ingin mengetahui kekurangan diri kita lebih jauh di
hadapan syariat, hendaknya kita menelaah ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan cara demikian, kita akan tahu seberapa perintah Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya yang
masih terabaikan dan seberapa pula larangan -Nya yang dilanggar. Memang,
terkadang aib diri tidak diketahui oleh pemiliknya sehingga tidak dihiraukan.
Andai seorang mengetahui aibnya, belum tentu juga mau mengobatinya karena
obatnya pahit, yaitu siap menyelisihi hawa nafsunya. Seandainya dia mau
bersabar dengan pahitnya obat, belum tentu juga dia mendapatkan dokter yang
ahli. Dokter yang ahli dalam hal ini adalah para ulama.
Al-Imam
Ibnu Qudamah t berkata, “Ketahuilah bahwa apabila seorang hamba dikehendaki
kebaikan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla,
Ia akan menjadikannya orang yang mengetahui kekurangannya. Orang yang melek
mata hatinya niscaya tidak akan samar atasnya segala kekurangannya. Jika telah
mengetahui kekurangan dirinya, dia akan bisa mengobatinya. Namun, sayang
sekali, kebanyakan orang tidak tahu kekurangannya. Seorang dari mereka bahkan
bisa melihat kotoran kecil yang melekat pada mata saudaranya, namun tidak bisa melihat
batang pohon yang ada di matanya sendiri. Ada empat cara bagi orang yang ingin mengetahui
tentang aib dirinya:
1.
Duduk di hadapan syaikh (guru/orang alim) yang sangat paham
tentang aib-aib jiwa.
Orang alim itu akan memberi tahu aib-aib dirinya
beserta terapi pengobatannya. Akan tetapi, orang alim di zaman sekarang sangat
jarang. Oleh karena itu, jika seseorang menemukannya, berarti dia telah
mendapatkan seorang dokter yang mahir sehingga dia hendaknya tidak berpisah
darinya.
2.
Mencari teman yang jujur, yang terbuka mata hatinya, dan
bagus agamanya.
Teman yang seperti ini bisa dijadikan
sebagai pengawas dirinya agar mengingatkannya dari perangai dan tingkah laku
yang tidak baik. Dahulu, Amirul Mukminin Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Semoga
Allah Shubhanahu wa ta’alla memberi rahmat
kepada seorang yang menunjukkan kepada kami kekurangan-kekurangan kami.”
Adalah salaf (pendahulu umat ini)
mencintai orang yang mengingatkan kekurangan atau aibnya. Namun, di masa kita
ini justru sebaliknya. Orang yang menunjukkan aib kita pada umumnya dijadikan
orang yang paling tidak disukai. Ini menandakan lemahnya iman. Sesungguhnya, permisalan
perangai jelek itu seperti kalajengking. Seandainya ada seseorang memberi tahu
salah seorang kita bahwa di bawah pakaiannya ada kalajengking, niscaya dia akan
berterima kasih lalu menyibukkan diri untuk membunuh kalajengking tersebut.
Padahal perangai yang jelek lebih berbahaya daripada kalajengking.
3.
Menggali kekurangan dirinya dari ucapan (yang keluar) dari
musuhnya.
Penglihatan orang yang benci akan
membongkar aib orang yang dibencinya. Oleh karena itu, seseorang lebih banyak
mengambil pelajaran dari musuhnya yang menyebut-nyebut aibnya daripada temannya
sendiri, yang seringnya berbasa-basi dan menyembunyikan kekurangannya.
4.
Berbaur dengan manusia yang baik sehingga apa yang dipandang
tercela oleh mereka, dia akan menjauhinya. (Dinukil secara ringkas dari Kitab
Mukhtashar Minhajul Qashidin hlm. 203—205)
Menuju
kesucian diri seorang muslim yakin bahwa kebahagiaannya di dunia dan di akhirat
tergantung pada upayanya membimbing dirinya dan membersihkannya dari kotoran. Allah
Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (asy-Syams: 9—10).
Dia
berusaha membersihkan dirinya dari keyakinan yang batil dan ibadah yang
menyimpang, serta akhlak dan muamalah yang tercela. Di samping itu, dia juga
berusaha menghiasi dirinya dengan iman yang memancar cahayanya ke seluruh
anggota tubuhnya. Oleh karena itu, ia pun lebih sibuk mengoreksi dirinya
ketimbang memerhatikan aib orang lain. Al-Imam Ibnu Hibban mengatakan, “Orang
yang berakal tidak akan samar baginya aibnya karena orang yang tidak mengenal
aibnya tidak akan mengetahui kebaikan orang lain. Sesungguhnya, hukuman
terberat yang dirasakan oleh seseorang adalah ketika ia tidak tahu aib dirinya
sendiri yang karenanya ia tidak akan berhenti dari kejelekan nya dan tidak akan
tahu pula kebaikan orang.” (Raudhatul ‘Uqala hlm. 22).
Sesungguhnya,
sangat tercela orang yang menutup mata dari aibnya sendiri, namun ia sangat
paham terhadap aib orang lain.
Abu Hurairah berkata, “Salah seorang dari kalian melihat kotoran (kecil) yang menempel pada mata saudaranya, (namun) ia lupa dengan kayu yang ada di matanya sendiri.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 460). Ini adalah permisalan bagi orang yang bisa melihat kekurangan orang lain yang sedikit dan mencelanya karena aib tersebut, padahal dia sendiri memiliki aib yang jauh lebih besar.
Abu Hurairah berkata, “Salah seorang dari kalian melihat kotoran (kecil) yang menempel pada mata saudaranya, (namun) ia lupa dengan kayu yang ada di matanya sendiri.” (Shahih al-Adab al-Mufrad no. 460). Ini adalah permisalan bagi orang yang bisa melihat kekurangan orang lain yang sedikit dan mencelanya karena aib tersebut, padahal dia sendiri memiliki aib yang jauh lebih besar.
Ketika
kita mengajak agar sibuk memerhatikan aib diri kita sendiri, tidak berarti
menutup pintu amar ma’ruf nahi mungkar. Yang dituntut dari seorang adalah
mengaca kekurangan dirinya kemudian memperbaikinya, sebagaimana pula ia punya
tanggung jawab untuk memperbaiki masyarakatnya. Seperti itulah semestinya. Agar
kesucian diri bisa terwujud dan aib bisa tertambal, kiranya ada beberapa langkah
yang semestinya dilakukan.
1.
Tobat, yaitu seorang melepaskan diri dari segala dosa dan
maksiat, menyesali semua dosa yang telah dilakukan dan bertekad hati untuk
tidak mengulang di masa mendatang.
Allah Shubhanahu wa ta’allaberfirman:
Allah Shubhanahu wa ta’allaberfirman:
قال الله تعالى: ﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ تُوبُوٓاْ إِلَى
ٱللَّهِ تَوۡبَةٗ نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمۡ سَئَِّاتِكُمۡ
وَيُدۡخِلَكُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُ يَوۡمَ لَا يُخۡزِي ٱللَّهُ
ٱلنَّبِيَّ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَعَهُۥۖ نُورُهُمۡ يَسۡعَىٰ بَيۡنَ أَيۡدِيهِمۡ
وَبِأَيۡمَٰنِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَآ أَتۡمِمۡ لَنَا نُورَنَا وَٱغۡفِرۡ لَنَآۖ
إِنَّكَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٞ ٨ ﴾ [التحريم: 8]
“Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah
kepada Allah dengan tobat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu
dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
(at-Tahrim: 8).
2.
Muraqabah, yaitu seorang menanamkan di hatinya bahwa dirinya
selalu diawasi oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla pada setiap detik
kehidupannya.
Apabila upaya itu terus dilakukan,
akan sempurna keyakinannya terhadap pengawasan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Dia pun yakin bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla mengetahui rahasia
yang disembunyikan dalam dada dan apa yang dilakukannya secara lahir.
Pada kehidupan di dunia ini, seorang
muslim beramal siang dan malam untuk meraih keridhaan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan surga -Nya. Ia
jadikan dunia sebagai lahan amal untuk meraih harapan tersebut. Dia akan
memandang hal yang diwajibkan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla layaknya seorang
pedagang yang memandang modalnya. Ia juga melihat amalan-amalan sunnah
seakan-akan seorang pedagang yang melihat ada keuntungan dari pokok atau modal
dagangannya. Tak lupa pula, ia memandang dosa dan kemaksiatan ibarat kerugian
dalam dagangan. Lalu di sore hari dia merenung sesaat untuk memeriksa
amalannya. Apabila ia melihat ada kekurangan pada perkara wajib (modal pokok),
ia pun mencela dirinya lalu berusaha menambal kekurangannya. Jika bisa diganti,
ia pun menggantinya. Jika tidak mungkin, ia akan menambalnya dengan
memperbanyak amalan sunnah.
Apabila ternyata kekurangan ada pada
amalan sunnah, dia pun berusaha menggantinya dan menambalnya. Seandainya ia
melihat kerugian pada dirinya karena melakukan hal yang dilarang agama, ia akan
meminta ampun kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla, menyesali perbuatannya, kembali kepada jalur yang benar, dan
melakukan kebaikan yang sekiranya bisa memperbaiki apa yang telah rusak.
4.
Mujahadah, yaitu berupaya mengekang hawa nafsu yang selalu
mengajak kepada kejelekan.
Hawa nafsu lebih menyukai sikap
bersantai-santai dan bermalas-malas serta menyimpangkan hati agar terjerumus
dalam kesenangan maksiat sesaat, padahal setelahnya adalah kebinasaan.
Seorang muslim yang tahu kondisi hawa
nafsu yang seperti ini, niscaya ia akan mempersiapkan diri untuk melawannya.
Apabila hawa nafsunya mendorongnya untuk bermalas-malas, ia menyibukan dirinya
(dengan perkara yang positif). Apabila dirinya menginginkan syahwat (yang
diharamkan), ia mengekangnya. Jika dirinya meremehkan amal ketaatan, ia
menghukum dirinya dengan melakukan yang diremehkannya. Intinya, ia mengejar apa
yang tertinggal. Dengan upaya seperti ini, dirinya akan bersih. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
قال الله تعالى: ﴿ وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُواْ فِينَا لَنَهۡدِيَنَّهُمۡ سُبُلَنَاۚ
وَإِنَّ ٱللَّهَ لَمَعَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ٦٩ ﴾ [العنكبوت: 96-91]
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan
sesungguhnya Allah benar-benar bersama
orang-orang yang berbuat baik.” (al-Ankabut: 69) (Disarikan dari Kitab Minhajul Muslim, al-Jazairi
hlm. 91—96).
Di samping upaya di atas, kita juga hendaknya tidak lupa
bermohon kepada Dzat Yang Mahakuasa agar Dia memperbaiki kondisi kita serta menambal
aib dan kekurangan kita.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Post a Comment