Mengapa Kita Harus Berdakwah?
Mengapa Kita Harus Berdakwah?
[1]
Dakwah merupakan jalan hidup Rasul dan pengikutnya
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah,
Inilah jalanku; aku menyeru kepada Allah di atas landasan ilmu yang nyata,
inilah jalanku dan orang-orang yang mengikutiku…” (Qs. Yusuf: 108)
Berdasarkan ayat yang mulia ini Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah mengambil sebuah pelajaran yang amat berharga, yaitu: Dakwah ila Allah (mengajak manusia untuk mentauhidkan Allah) merupakan jalan orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang beliau tuliskan di dalam Kitab Tauhid bab Ad-Du’a ila syahadati an la ilaha illallah (Ibthal At-Tandid, hal. 44).
[2]
Dakwah merupakan karakter orang-orang yang muflih (beruntung)
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Hendaknya
ada di antara kalian segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan,
memerintahkan yang ma’ruf, melarang yang mungkar. Mereka itulah sebenarnya
orang-orang yang beruntung.” (Qs. Ali-’Imran: 104)
Ibnu
Katsir rahimahullah
menyebutkan riwayat dari Abu Ja’far Al-Baqir setelah membaca ayat “Hendaknya ada di antara kalian
segolongan orang yang mendakwahkan kepada kebaikan” maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang dimaksud kebaikan itu adalah mengikuti
Al-Qur’an dan Sunnah-ku.” (HR. Ibnu Mardawaih) (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim,
jilid 2 hal. 66)
Dari
Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi
Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya! Benar-benar kalian harus memerintahkan
yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar, atau Allah akan mengirimkan untuk
kalian hukuman dari sisi-Nya kemudian kalian pun berdoa kepada-Nya namun
permohonan kalian tak lagi dikabulkan.” (HR. Ahmad, dinilai hasan
Al-Albani dalam Sahih
Al-Jami’ hadits no. 7070. Lihat Tafsir
Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 66)
[3]
Dakwah merupakan ciri umat yang terbaik
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Kalian
adalah umat terbaik yang dikeluarkan bagi umat manusia, kalian perintahkan yang
ma’ruf dan kalian larang yang mungkar, dan kalian pun beriman kepada Allah…”
(Qs. Ali-’Imran: 110)
Ibnu
Katsir mengatakan, “Pendapat yang benar, ayat ini umum mencakup segenap umat
(Islam) di setiap jaman sesuai dengan kedudukan dan kondisi mereka
masing-masing. Sedangkan kurun terbaik di antara mereka semua adalah masa
diutusnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kemudian generasi sesudahnya, lantas generasi
yang berikutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, jilid 2 hal. 68)
[4]
Dakwah merupakan sikap hidup orang yang beriman
Allah
ta’ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang
yang beriman lelaki dan perempuan, sebahagian mereka adalah penolong bagi
sebagian yang lain. Mereka memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar,…” (Qs. At-Taubah: 71)
Inilah
sikap hidup orang yang beriman, berseberangan dengan sikap hidup orang-orang
munafiq yang justru memerintahkan yang mungkar dan melarang dari yang ma’ruf.
Allah ta’ala menceritakan hal ini dalam firman-Nya (yang artinya), “Orang-orang munafiq lelaki dan
perempuan, sebahagian mereka merupakan penolong bagi sebahagian yang lain.
Mereka memerintahkan yang mungkar dan melarang yang ma’ruf…” (Qs.
At-Taubah: 67)
[5]
Meninggalkan dakwah akan membawa petaka
Allah
ta’ala berfirman tentang kedurhakaan orang-orang kafir Bani Isra’il (yang
artinya), “Telah
dilaknati orang-orang kafir dari kalangan Bani Isra’il melalui lisan Dawud dan
Isa putra Maryam. Hal itu dikarenakan kemaksiatan mereka dan perbuatan mereka
yang selalu melampaui batas. Mereka tidak melarang kemungkaran yang dilakukan
oleh sebagian di antara mereka, amat buruk perbuatan yang mereka lakukan itu.”
(Qs. Al-Ma’idah: 78-79)
Syaikh
As-Sa’di rahimahullah
menjelaskan, “Tindakan mereka itu (mendiamkan kemungkaran) menunjukkan bahwa
mereka meremehkan perintah Allah, dan kemaksiatan mereka anggap sebagai perkara
yang sepele. Seandainya di dalam diri mereka terdapat pengagungan terhadap Rabb
mereka niscaya mereka akan merasa cemburu karena larangan-larangan Allah
dilanggar dan mereka pasti akan marah karena mengikuti kemurkaan-Nya…” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman,
hal. 241)
Di
antara dampak mendiamkan kemungkaran adalah kemungkaran tersebut semakin
menjadi-jadi dan bertambah merajalela. Syaikh As-Sa’di telah memaparkan akibat
buruk ini, “Sesungguhnya hal itu (mendiamkan kemungkaran) menyebabkan para
pelaku kemaksiatan dan kefasikan menjadi semakin lancang dalam memperbanyak
perbuatan kemaksiatan tatkala perbuatan mereka tidak dicegah oleh orang lain,
sehingga keburukannya semakin menjadi-jadi. Musibah diniyah dan duniawiyah yang
timbul pun semakin besar karenanya. Hal itu membuat mereka (pelaku maksiat)
memiliki kekuatan dan ketenaran. Kemudian yang terjadi setelah itu adalah
semakin lemahnya daya yang dimiliki oleh ahlul khair (orang baik-baik) dalam
melawan ahlusy syarr (orang-orang jelek), sampai-sampai suatu keadaan di mana
mereka tidak sanggup lagi mengingkari apa yang dahulu pernah mereka ingkari.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman,
hal. 241)
[6]
Orang yang berdakwah adalah yang akan mendapatkan pertolongan Allah
Allah
berfirman (yang artinya), “Dan
sungguh Allah benar-benar akan menolong orang yang membela (agama)-Nya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Mereka itu adalah orang-orang
yang apabila kami berikan keteguhan di atas muka bumi ini, mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang
mungkar. Dan milik Allah lah akhir dari segala urusan.” (Qs.
Al-Hajj: 40-41)
Ayat
yang mulia ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mengaku membela agama
Allah namun tidak memiliki ciri-ciri seperti yang disebutkan (mendirikan
shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar)
maka dia adalah pendusta (lihat Taisir
Al-Karim Ar-Rahman, hal. 540).
[7]
Dakwah, bakti anak kepada sang bapak
Allah
ta’ala mengisahkan nasihat indah dari seorang bapak teladan yaitu Luqman kepada
anaknya. Luqman mengatakan (yang artinya), “Hai
anakku, dirikanlah shalat, perintahkanlah yang ma’ruf dan cegahlah dari yang
mungkar, dan bersabarlah atas musibah yang menimpamu. Sesungguhnya hal itu
termasuk perkara yang diwajibkan (oleh Allah).” (Qs. Luqman: 17)
Allah
juga menceritakan dakwah Nabi Ibrahim kepada bapaknya. Allah berfirman (yang
artinya), “Ceritakanlah
(hai Muhammad) kisah Ibrahim yang terdapat di dalam Al-Kitab (Al-Qur’an).
Sesungguhnya dia adalah seorang yang jujur lagi seorang nabi. Ingatlah ketika
dia berkata kepada bapaknya; Wahai ayahku. Mengapa engkau menyembah sesuatu
yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak bisa mencukupi dirimu sama
sekali? Wahai ayahku. Sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu yang
tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku niscaya akan kutunjukkan kepadamu
jalan yang lurus. Wahai ayahku. Janganlah menyembah syaitan, sesungguhnya
syaitan itu selalu durhaka kepada Dzat Yang Maha Penyayang.” (Qs.
Maryam: 41-44)
[8]
Dakwah, alasan bagi hamba di hadapan Rabbnya
Allah
berfirman (yang artinya), “Dan
ingatlah ketika suatu kaum di antara mereka berkata, ‘Mengapa kalian tetap
menasihati suatu kaum yang akan Allah binasakan atau Allah akan mengazab mereka
dengan siksaan yang amat keras?’ Maka mereka menjawab, ‘Agar ini menjadi alasan
bagi kami di hadapan Rabb kalian dan semoga saja mereka mau kembali bertakwa’.”
(Qs. Al-A’raaf: 164)
Syaikh
As-Sa’di rahimahullah
mengatakan, “Inilah maksud paling utama dari pengingkaran terhadap kemungkaran;
yaitu agar menjadi alasan untuk menyelamatkan diri (di hadapan Allah), serta
demi menegakkan hujjah kepada orang yang diperintah dan dilarang dengan harapan
semoga Allah berkenan memberikan petunjuk kepadanya sehingga dengan begitu dia
akan mau melaksanakan tuntutan perintah atau larangan itu.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman,
hal. 307)
Allah
berfirman (yang artinya), “Para rasul yang kami utus sebagai pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan itu, agar tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk
mengelak setelah diutusnya para rasul. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Qs. An-Nisaa’: 165).
Dari
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah di hadapan para sahabat pada hari raya kurban. Beliau berkata,
“Wahai umat manusia, hari apakah ini?” Mereka menjawab, “Hari yang disucikan.”
Lalu beliau bertanya, “Negeri apakah ini?” Mereka menjawab, “Negeri yang
disucikan.” Lalu beliau bertanya, “Bulan apakah ini?” Mereka menjawab, “Bulan
yang disucikan.” Lalu beliau berkata, “Sesungguhnya darah, harta, dan
kehormatan kalian adalah disucikan tak boleh dirampas dari kalian, sebagaimana
sucinya hari ini, di negeri (yang suci) ini, di bulan (yang suci) ini.” Beliau
mengucapkannya berulang-ulang kemudian mengangkat kepalanya seraya mengucapkan,
“Ya Allah, bukankah aku sudah menyampaikannya? Ya Allah, bukankah aku telah
menyampaikannya?”…
(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Hajj,
bab Al-Khutbah ayyama
Mina. Hadits no. 1739)
Al-Hafizh
Ibnu Hajar rahimahullah
menerangkan, “Sesungguhnya beliau mengucapkan perkataan semacam itu (Ya Allah
bukankah aku sudah menyampaikannya) disebabkan kewajiban yang dibebankan kepada
beliau adalah sekedar menyampaikan. Maka beliau pun mempersaksikan kepada Allah
bahwa dirinya telah menunaikan kewajiban yang Allah bebankan untuk beliau
kerjakan.” (Fath
Al-Bari, jilid 3 hal. 652).
[9]
Dakwah tali pemersatu umat
Setelah
menyebutkan kewajiban untuk berdakwah atas umat ini, Allah melarang mereka dari
perpecahan, “Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah
keterangan-keterangan datang kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang
berhak menerima siksaan yang sangat besar.” (Qs. Ali-’Imran: 105)
Post a Comment