Menjaga Ukhuwah Tanpa Cacian & Ghibah
Menjaga Ukhuwah Tanpa
Cacian & Ghibah
Segala puji bagi Allâh
Rabbul-‘Alamin. Segala puji bagi Allâh Ta'âla yang telah mengumpulkan kita di
tempat yang baik ini -dengan izin Allâh- laksana satu hati dalam tubuh satu
orang, sehingga kita menjadi saudara-saudara yang saling mencintai. Alhamdulillâh, segala puji bagi Allâh
Ta'âla yang telah memberikan taufik, serta menganugerahkan kemudahan kepada
kita untuk menuntut ilmu (syar’i), (yang) telah menjadikan kita termasuk
orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang berjalan mengikuti jalan ilmu.
Saya
berwasiat kepada diri saya sendiri dan kepada hadirin semua untuk bertakwa
kepada Allâh Ta'âla. Sebab, takwa kepada Allâh Ta'âla merupakan himpunan segala
kebaikan. Takwa merupakan pangkal kebenaran hakiki bagi setiap Muslim,
khususnya bagi setiap da'i. Takwa merupakan bekal yang sejati bagi setiap
Muslim.
قال الله تعالى : ﴿
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُوْلِي
ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٧
﴾ (سورة البقرة: 197)
Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal
adalah takwa
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Qs al-Baqarah/2:197)
dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal. (Qs al-Baqarah/2:197)
Takwa
merupakan sebab pertama di antara faktor dimudahkannya rezeki. Barangsiapa
menghendaki keluasan rezeki yang baik, berupa harta benda, ilmu, isteri
shalihah, anak-anak shalih, taufiq, ataupun kebahagiaan dunia dan akhirat yang
semua ini merupakan rezeki, akan Allâh Ta'âla anugerahkan rezeki-rezeki ini,
jika ia bertakwa kepada Allâh Ta'âla.
Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " مَنْ يَتَّقِ الله يَجْعَلْ
لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مخرجا وَ مِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ
لاَ يَحْتَسِب " [ رواه البخاري ومسلم ]
Barangsiapa bertakwa kepada Allâh,
niscaya Allâh membuatkan baginya jalan keluar
dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan,
dan Allâh akan menganugerahkan rezeki kepadanya
dari arah yang tidak ia duga. [1]
niscaya Allâh membuatkan baginya jalan keluar
dari segala kesulitan, kelapangan, dari segala kesedihan,
dan Allâh akan menganugerahkan rezeki kepadanya
dari arah yang tidak ia duga. [1]
Jadi, takwa kepada Allâh Ta'âla merupakan pondasi bagi kehidupan ini. Namun, takwa kepada Allâh Ta'âla bukanlah kalimat yang hanya sekadar diucapkan dengan lidah. Ia merupakan perkara yang ada di dalam hati.
Setiap
Muslim, bahkan setiap penuntut ilmu, wajib menghiasi diri dengan takwa dalam
semua urusan hidupnya. Sebab takwa kepada Allâh Ta'âla adalah benteng bagi
seorang Muslim dari segala perkara yang mengotorinya dalam kehidupan dunia ini,
sebagaimana telah kita baca dalam Al-Qur‘an surah al-Ahzâb:
قال
الله تعالى : ﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ
وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا
عَظِيمًا ٧١ ﴾ (سورة
الأحزاب: 71-70)
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu
kepada Allâh
dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allâh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allâh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Qs al-Ahzâb /33:70-71)
dan katakanlah perkataan yang benar,
niscaya Allâh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu
dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allâh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar. (Qs al-Ahzâb /33:70-71)
Seorang penuntut ilmu, jika ia
pertama kali dapat mewujudkan takwa pada dirinya serta dapat memegangnya
(komitmen) dengan teguh dalam semua sisi kehidupannya, niscaya –dengan idzin
Allâh– ia akan dapat mewujudkan takwa ini pada diri orang lain. Akan tetapi
amat disayangkan, sebagian penuntut ilmu mengajak orang lain untuk bertakwa,
namun ia sendiri mengabaikan takwa kepada Allâh Ta'âla. Dia mengajak orang lain
untuk bertakwa, selalu mengucapkan kata-kata takwa siang malam, menganjurkan
orang supaya bertakwa, dan selalu mengatakan kepada orang lain “bertakwalah dan
kerjakanlah amal shalih!”, namun ia sendiri tidak melaksanakan apa yang ia
tekankan kepada orang lain.
Hal
paling penting lainnya dalam hidup, sebagai salah satu konsekuensi takwa, ialah
harus ada hubungan persaudaraan yang kuat, khususnya antar para penuntut ilmu.
Ukhuwah diniyah (Islamiyah) memiliki pengaruh yang baik dalam kehidupan ini.
Setiap orang akan memiliki pengaruh bagi kawannya dalam hidup. Apabila seorang
muslim bersahabat dengan orang baik, maka kebaikan ini akan berpengaruh pada dirinya.
Tetapi, jika ia bersahabat dengan orang yang tidak baik, orang yang kegiatannya
tidak mendekatkan diri kepada Allâh Ta'âla serta tidak dekat dengan (ajaran)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam, maka hal-hal buruk ini pun akan
berpengaruh pada dirinya.
Maka,
setiap orang hendaknya memperhatikan, siapa yang akan ia jadikan kawan
dekatnya. Ukhuwah Islamiyah yang hakiki diserukan oleh Nabi shallallâhu 'alaihi
wasallam. Begitu juga Al-Qur‘an pun memerintahkannya.
Allâh
Ta'ala berfirman:
قال
الله تعالى : ﴿ إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ
إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ ﴾ (سورة الحجرات:
10)
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah ikhwah
(bersaudara);
karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu. (Qs al-Hujurat/49:10)
karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu. (Qs al-Hujurat/49:10)
Kata
“ikhwah” (bersaudara), ketika kita mengatakan “sesungguhnya orang-orang mukmin
itu ikhwah (bersaudara)”, adalah kalimat yang tidak mudah. Maksudnya,
seakan-akan Anda dalam hubungan (persaudaraan antar mukmin) ini mempunyai
pertalian yang sangat erat. Hubungan persaudaraan ini bisa lebih kuat dari
persaudaraan nasab. Apakah gerangan yang mengikat persaudaraan ini? Yang
mengikatnya, ialah dinul-Islam yang hakiki, ukhuwah Islamiyah yang benar dan
hakiki, serta persahabatan yang hakiki. Sebab banyak orang mengikat
persaudaraan dengan orang lain, atau berkawan dan bersahabat dengan orang lain
disebabkan oleh kepentingan tertentu. Persahabatan tersebut akan terwujud jika
kepentinganya muncul.
Namun,
jika tidak ada kepentingan, (maka) ia tidak kenal lagi, atau bahkan
mencaci-makinya. Seorang shadiq (sahabat), ialah seorang yang sungguh-sungguh
jujur terhadap sahabatnya dalam semua urusan hidupnya dan tidak berbasa-basi.
Jika aku (misalnya) melihat suatu kesalahan pada diri sahabatku, maka aku harus
menasihatinya dengan nasihat hakiki, bukan nasihat yang membuatnya lari dariku,
atau menyebabkannya tidak mau berkumpul lagi denganku. Misalnya, dengan nasihat
yang berbentuk caci-maki atau celaan. Tetapi haruslah dengan nasihat yang
sungguh-sungguh, nasihat yang ia butuhkan.
Jika
aku lihat ia tidak taat kepada Allâh Ta'âla, atau suka membicarakan ulama, atau
suka mencaci-maki seseorang, atau ia tidak memiliki prinsip yang jelas dalam
hidupnya, maka aku akan segera menasihatinya, aku ajak duduk, aku ajak bicara
dengan lemah lembut, dengan menggunakan istilah-istilah yang bagus, dan dengan
cara-cara yang indah, sehingga persahabatan ini tidak rusak.
Ada
kaidah agung yang termasuk kaidah agama dalam berukhuwah. Demi Allâh, jika
kaidah ini tidak terwujud pada diri kita masing-masing, niscaya kita akan memiliki
cacat dalam menjalin tali ukhuwah. Yaitu, jika seseorang tidak berusaha
mewujudkan dan tidak menimbang dirinya berdasarkan petunjuk ukhuwah yang ada
dalam hadits. Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama, yaitu sabda
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " لاَيُــؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ" [ رواه البخاري ومسلم ]
sempurna iman seseorang di antara kalian,
sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya
apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh dirinya. [2]
sebelum ia menyukai sesuatu untuk saudaranya
apa yang ia suka jika sesuatu itu diperoleh dirinya. [2]
Sayang
sekali, kebanyakan orang sekarang bersikap sebaliknya dari hadits itu. Ia
menyukai untuk dirinya, apa yang tidak ia sukai jika diperoleh orang lain. Ia
pertama-tama menyukai jika sesuatu itu ia peroleh, kemudian baru memikirkan
orang lain. Ia tidak menyukai kebaikan diperoleh oleh orang lain. Ia hanya
menyukai jika kebaikan itu ia peroleh. Ia hanya mementingkan dirinya.
Sebenarnya
kita memiliki suri tauladan yang baik pada para salafush-shalih, tentang
bagaimana persaudaraan mereka, bagaimana mereka menjalin persaudaraan,
bagaimana mereka mengutamakan orang lain, bagaimana mereka mempraktekkan
perkataan-perkataan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan berpegang pada
setiap atsar Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Sesungguhnya
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah memberikan contoh nyata dalam
berukhuwah, dalam bermu’amalah, dan dalam segala hal yang menyangkut semua
urusan hidup.
Demi
Allâh, tidak ada sesuatu pun kecuali Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
mengajarkannya kepada kita. Tidaklah beliau meninggalkan kita, kecuali
menjadikan kita berada pada jalan yang demikian jelas, malam harinya laksana
siang harinya; tidak akan menyimpang dari jalan ini kecuali orang yang binasa.
Demikianlah
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam semua urusannya, dalam masalah
ekonomi, masalah ilmiah, ibadah, ketika keluar, ketika masuk, dalam masalah
berpakaian, dan dalam segala hal. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam tidak
meninggalkan kita kecuali telah mengajarkannya kepada kita. Dan sekarang,
tidaklah kaum Muslimin meninggalkan apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam kecuali akan dijadikan lemah oleh Allâh Ta'âla,
dan akan dikuasai oleh musuh.
Oleh
sebab itu, saya anjurkan kepada saudara-saudaraku supaya bersatu secara
sungguh-sungguh dan menjalin ukhuwah sejati. Ukhuwah, yang di dalamnya ada
pertalian kokoh, ada saling mengingatkan dengan sesungguh-sungguhnya, dan di
dalamnya berisi orang-orang yang senang jika saudaranya mendapatkan apa yang
mereka sendiri senang untuk mendapatkannya. Inilah hal terpenting dalam hidup.
Dalam suasana ini, hidup akan menjadi sempurna, taufiq serta kebahagiaan
dunia-akhirat juga menjadi sempurna.
Demikian
pula, saudara-saudara, berpegang teguh pada Sunnah (ajaran) Nabi shallallâhu
'alaihi wasallam juga akan mewujudkan ukhuwah yang sesungguhnya. Jika Anda
melihat seseorang yang baik dan ia Ahlu Sunnah, maka hendaklah Anda segera
jalin persaudaraan dengannya. Jika Anda melihat seorang Ahlu Sunnah dan pengikut
Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam, maka Anda harus akrabi dia.
Demi
Allâh, para penuntut ilmu tidak menjadi lemah, bid’ah tidak semakin banyak,
kaum Muslimin tidak dilemahkan oleh Allâh Ta'âla, dan para musuh tidak
dijadikan berkuasa atas kaum Muslimin, kecuali karena kaum Muslimin sudah
terlalu jauh dari petunjuk Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Kalian
semua mengetahui, bahwa amal perbuatan seseorang tidak akan diterima kecuali
dengan dua syarat. Apakah dua syarat itu? Pertama, ikhlas. Yaitu jika amal
perbuatan dilakukan secara murni untuk mencari wajah (keridhaan) Allâh. Tetapi
apakah ini cukup? Banyak orang Yahudi dan Nasrani mengatakan bahwa mereka
ikhlas dalam beribadah kepada Allâh. Mereka melakukan kegiatan-kegiatan
peribadatan di tempat-tempat ibadah dan gereja mereka secara ikhlas. Jadi
ikhlas benar-benar terwujud. Namun apakah ini cukup? Tentu tidak cukup!
Jika demikian, kapankah ikhlas
dapat diterima? Yaitu (yang kedua, Pent.) apabila amal perbuatan yang sudah
dilakukan dengan ikhlas itu, dilakukan dengan mengikuti Sunnah Rasûlullâhshallallâhu
'alaihi wasallam, atau selaras dengan apa yang diajarkan oleh Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam.
Namun
bagaimanakah kenyataan kaum Muslimin sekarang? Bagaimanakah kenyataan kita dewasa
ini? Ya, amalan ikhlas, akan tetapi menyelisihi ajaran Rasûlullâh shallallâhu
'alaihi wasallam. Oleh sebab itu, Allâh melemahkan kaum Muslimin dan menjadikan
musuh-musuh Islam berkuasa atas kaum Muslimin. Lihatlah bermacam bid’ah,
khurafat dan ta’ashub (fanatisme golongan) merajalela. Bahkan banyak orang
dibikin menjauh dari pengikut Sunnah. Seseorang akan mengatakan “orang ini
keras, tidak umum, menentang arus … dan seterusnya”.
Ibnul-Qayyim rahimahullâh mempunyai
ungkapan menakjubkan dalam masalah ini. Beliaurahimahullâh mengatakan
bahwa menjaga Sunnah (ajaran) Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam,
mendakwahkannya, memeganginya dengan kuat dan menghidupkannya (sekarang) lebih
utama daripada mengarahkan anak-anak panah ke leher musuh.
Perhatikanlah, Ibnul-Qayyim rahimahullâh sampai
mengatakan kalimat demikian! Sekarang, orang-orang mulai bermalas-malasan
terhadap Sunnah. Bahkan mereka berbuat dengan berbagai amal perbuatan yang
tidak sesuai dengan apa yang diajarkan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi
wasallam. Oleh sebab itu, kaum Muslimin menjadi lemah. Bahkan sayang
sekali, sebagian penuntut ilmu, orang-orang yang memahami Sunnah, memahami
banyak persoalan Sunnah, (mereka) tidak melaksanakan Sunnah dan sering memilih
bertoleransi dengan meninggalkan Sunnah untuk tujuan berbasa-basi terhadap
seseorang.
Maka,
demi Allâh, wahai saudara-saudara, bersemangatlah kalian untuk menerapkan
Sunnah (ajaran) Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Demi Allâh, (di
samping ikhlas), amal perbuatan tidak akan diterima kecuali sesudah amal itu
selaras dengan tuntunan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Seseorang
tidak dapat dipuji agama dan semua urusannya kecuali jika ia sudah menjadi
pengikut Sunnah.
Karena
itu, bersemangatlah terhadap perkara-perkara Sunnah ini. Bersemangatlah untuk
meningkatkan kekuatan beragama secara hakiki di antara sesama kalian. Kalian
janganlah saling berseteru. Jika seorang penuntut ilmu melihat kesalahan pada
diri saudaranya (sesama Ahlus-Sunnah), jangan menyebabkan orang lain menjauh
darinya, jangan memusuhinya, dan jangan mengisolirnya. Tetapi, tunjukkanlah
kesalahannya dengan cara-cara dan nasihat yang baik, dengan kata-kata yang
baik. Sebab, inilah ajaran Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam; kata-kata
yang baik. Kita membutuhkan tata pergaulan yang baik. Islam merupakan agama
yang menganjurkan tata pergaulan yang baik.
Setiap
kita mungkin memiliki kepedulian terhadap urusan agama, namun terkadang tidak
memiliki cara bergaul yang baik. Cara bergaul yang baik sangat penting dalam
kehidupan ini. Dengannya, kita bisa mengajak orang lain. Dan dengannya, kita
bisa mendapat pahala. Apa ruginya jika engkau tersenyum kepada saudaramu? Salah
seorang sahabat pernah mengatakan: “Saya tidak pernah melihat wajah Rasûlullâh
shallallâhu 'alaihi wasallam kecuali dalam keadaan tersenyum”.
Tersenyum
itu berpahala, wahai saudaraku. Perkataan baik yang keluar dari lisanmu, ada
pahalanya. Tidak masuk akal jika seseorang, terutama penuntut ilmu, ternyata
cara bergaulnya jelek, kata-katanya keras dan kotor. Padahal ia seorang
penuntut ilmu yang dikenal. Maka harus baik dalam tata pergaulan, sebagai salah
satu wujud dari penerapan terhadap Sunnah Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam.
Jadi, kalian harus melaksanakan Sunnah.
Sunnah-sunnah
(ajaran-ajaran) Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ini harus diperhatikan dan
dihormati. Memang tidak selayaknya menfitnah manusia dengan persoalan-persoalan
ini, tetapi (masing-masing penuntut ilmu harus berfikir bahwa) saya harus
bersemangat mengajarkan Sunnah kepada orang lain.
Jagalah
ukhuwah yang hakiki, ukhuwah yang tidak ada cacian, makian, ghibah (gosip),
namimah (adu domba), qil wal qal (katanya dan katanya/isu) dan berita-berita
bohong. Demikian pula hendaklah seorang penuntut ilmu, bila mendengar fatwa
tentang seorang Syaikh, bila mendengar tentang suatu hal, hendaklah mencari
kejelasan dan kepastiannya. Tidak menelan berita mentah-mentah.
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ ] ]
Cukuplah seseorang berdosa bila ia menceritakan setiap apa yang ia
dengar.[3]
Sebagian
orang, setiap mendengar berita, langsung disampaikannya; Si Anu begini, begitu,
melakukan ini, itu dan seterusnya. Kebiasaan ini bukan sifat penuntut ilmu.
Pertama
kali, kewajiban seorang Muslim atau penuntut ilmu ialah husnuzhan (berbaik
sangka) terhadap para ulamanya dan terhadap kawan-kawannya. Selamanya, ia
(mesti) berbaik sangka terhadap mereka. Tidak berburuk sangka kepada orang
lain. Tidak melancarkan tuduhan kepada orang lain, sebab ia tidak mengetahui
isi hati mereka. Bila kita melihat seorang saudara berjalan bersama pelaku
bid’ah, jangan langsung menghukuminya. Sebab siapa tahu, ia sedang menasihati,
atau menghendaki sesuatu darinya, atau ingin melakukan pendekatan kepadanya
untuk suatu urusan. Jika kita langsung menghukuminya bahwa “orang ini serupa,
sama-sama ahli bid’ah”, maka ini tidak benar. Apakah kita mengetahui hatinya?
Seperti
sahabat yang membunuh orang yang mengucapkan 'Lâ ilaha Illallâh' tatkala orang
yang dibunuhnya terdesak dalam peperangan. Ketika Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam
menanyakannya, mengapa ia bunuh orang yang mengucapkan kalimat 'Lâ Ilaha
Illallâh'?
Ia
menjawab,”Sebab orang ini hanya bermuslihat untuk menyelamatkan diri,” maka
Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menjawab: “Apakah engkau membelah dadanya?”.
Demikianlah
Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam menegur. Padahal orang yang dibunuh ini
awalnya jelas-jelas musuh yang kafir. Sedangkan ini adalah muslim yang shalat,
puasa dan melakukan ibadah kepada Allâh Ta'âla. Tiba-tiba engkau langsung
menuduhnya dengan tuduhan semacam ini.
Jelaslah,
itu bukan pekerjaan yang semestinya bagi penuntut ilmu. Seorang penuntut ilmu
hendaklah memiliki akhlak mulia, memiliki cara bergaul yang baik, memberi
nasihat yang baik dan berpegang kepada Sunnah secara hakiki. Ia tidak layak terlalu
keras seraya mengatakan “sayalah satu-satunya pengikut Sunnah, orang lain bukan
pengikut Sunnah”.
Jadi,
semestinya ia mengajak orang lain menuju Sunnah, agar setiap orang berpegang
dengan teguh terhadap Sunnah, sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Nabi
shallallâhu 'alaihi wasallam. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam tidak
meninggalkan kita kecuali beliau shallallâhu 'alaihi wasallam telah mengajarkan
segala sesuatu kepada kita, termasuk tata cara bergaul dengan orang lain dan
melakukan pergaulan dengan orang kafir. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam
mengajarkan kepada kita bagaimana bergaul dengan orang-orang munafik dan dengan
pengikut bid’ah, serta mengajarkan banyak hal kepada kita dalam urusan hidup
kita.
Beliau
shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita kapan harus berjihad,
kapan kita boleh mengatakan bahwa suatu perkara menyebabkan seseorang menjadi
kafir. Misalnya engkau melihat seseorang tidak shalat di masjid. Melihat ini,
ada orang yang langsung menghukumi bahwa ia tidak shalat, berarti kafir. Tentu
jika sudah jelas berdasarkan bukti bahwa ia meninggalkan shalat, maka
meninggalkan shalat adalah kufur.
Tetapi,
apa engkau boleh langsung menghukumi ia kafir? Tentu tidak, sebab siapa tahu ia
shalat tetapi engkau tidak mengetahuinya, atau ia baru masuk Islam, atau
alasan-alasan lainnya. Banyak orang meremehkan masalah seperti ini.
Seorang
penuntut ilmu harus menggali ilmu secara mengakar, menggali masalah ‘aqidah,
membaca kitab-kitab ‘aqidah dengan benar. Kalian telah mengetahui bahwa jalan pertama
menuju surga ialah tauhid. Demi Allâh, seseorang tidak akan masuk surga kecuali
dengan tauhid yang bersih. Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam berada di Mekkah
selama 13 tahun mendakwahkan tauhid. Jadi, seseorang harus belajar ‘aqidah yang
benar.
Ada
sebagian orang dari penuntut ilmu dan dai, jika ditanya tentang definisi iman,
ia tidak tahu. Ditanya tentang makna iman menurut Murji‘ah, ia tidak tahu. Ia
tidak memiliki modal ilmu. Ditanya tentang kaidah takfir (hukum mengafirkan
orang), ia tidak tahu. Tentang pedoman jihad, ia tidak tahu. Apa arti wala‘
wal-bara‘, ia tidak tahu. Apa perbedaan antara muwâlah dan mu’amalah, ia tidak
paham.
Padahal
ia berdakwah mengajak manusia menuju Islam. Oleh sebab itu, harus menggali ilmu
secara benar sampai mengakar. Supaya ia mengetahui, kapan persoalan berhukum
dengan selain apa yang diturunkan Allâh yang menyebabkan pelakunya menjadi
kafir. Ada orang yang menghukumi kafir kepada setiap orang, terutama penguasa
yang berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allâh. Ini tidak benar!
Saya
termasuk salah satu dari anggota komisi yang bertugas memberikan nasihat kepada
para pemuda pelaku penyimpangan. Pemuda yang memiliki pola pikir menyimpang,
yang melakukan peledakan di tempat-tempat pemukiman. Para penjahat yang menghabisi
diri sendiri dan menghabisi orang lain. Pelaku-pelaku itu tidak memiliki bekal
ilmu yang cukup. Mereka hanya memiliki semangat dan emosi. Mereka bersemangat
terhadap banyak hal menyangkut kepentingan agama, tetapi tidak memiliki dasar
ilmiah, kosong!.
Demi
Allâh, jika mereka memahami agama ini secara hakiki, tentu mereka tidak akan
melakukan tindakan-tindakan anarkhis tersebut. Andaikata mereka memahami wala‘
wal-bara‘ dan bisa membedakan antara muwâlah (setia kawan dan kasih sayang)
dengan mu’âmalah (tata pergaulan yang baik), tentu mereka tidak akan melakukan
tindakan-tindakan itu.
Saudaraku,
andaikata penguasa betul-betul kafir, selama engkau berada di dalam wilayah
kekuasaannya, maka ia memiliki hak yang wajib engkau laksanakan. Apalagi jika
penguasa itu seorang muslim.
Orang
tidak bisa membedakan antara muwâlah (setia kawan dan kasih sayang) dengan
mu’amalah (tata pergaulan yang baik). Sehingga sekedar engkau bermu’amalah
(melakukan pergaulan) dengan orang kafir, engkau akan dianggap telah mencintai
dan bersetia kawan dengan orang kafir tersebut.
Wahai
saudaraku, padahal Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah menjelaskan
makna muwâlah kepada kita. Al-Qur‘an juga telah menjelaskannya kepada kita.
Sementara itu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tetap bermu’amalah
(melakukan pergaulan) dengan orang-orang kafir di Madinah. Beliau –misalnya-
mempergauli orang Yahudi, ziarah ke tempat seorang Yahudi yang sedang sakit,
sehingga dengan sebab itu orang Yahudi tersebut masuk Islam.
Lalu bagaimanakah dengan kita
(kaum Muslimin) sekarang ini? Mengapa kita mempersulit diri kita sendiri dan
mempersulit orang lain? Mengapa banyak di antara kita (kaum Muslimin) yang
menjadikan orang lain antipati terhadap Islam disebabkan oleh tindakan keras
yang tidak bedasarkan petunjuk dari Allâh? Mengapa demikian? Terutama yang
berkaitan dengan cara memberikan nasihat dan pemahaman wala‘ wal-bara‘, mengapa
tidak mengikuti manhaj Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ?
Demikianlah untaian nasehat
Syaikh ‘Abdul- ’Aziz -hafizhahullâh- selanjutnya memberikan contoh tentang
sikap para ulama yang lemah lembut dalam mempergauli orang lain, seperti Syaikh
bin Baz rahimahullâh dan Syaikh Muhammad bin Shalih
al-’Utsaimin rahimahullâh.
Begitu
pula pada bagian-bagian akhir dari nasihatnya, Syaikh ‘Abdul-’Aziz
-hafizhahullâh- menekankan agar setiap penuntut ilmu bersungguh-sungguh
mengkaji dan menggali ilmu sampai mendalam melalui bimbingan para ulama
Ahlus-Sunnah. Sebab dengan ilmu itulah, seseorang akan dapat mengikuti Sunnah
dan ajaran Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam secara benar. Sehingga tidak
akan melakukan penyimpangan-penyimpangan, termasuk tindakan anarkhis dan
merugikan orang lain, yang menyebabkan citra Islam menjadi buruk, bahkan di
kalangan kaum Muslimin awam.
Kandungan
bagian akhir dari nasihat Syaikh ‘Abdul-’Aziz -hafizhahullâh- terpaksa kami
ringkas, karena nasihat tersebut masih agak panjang. Semoga bermanfaat bagi
kaum Muslimin.
Wallahu
Waliyyu at-Taufiq.
Post a Comment