Salah Memaknai Ied
Salah Memaknai Ied
Bagi kalangan tertentu, bulan Ramadhân yang penuh berkah ini
merupakan bulan beban. Ibadah-ibadah di bulan Ramadhân terutama ibadah puasa
dianggap sebagai penghambat kesempatan. Meskipun dia tetap menunaikan ibadah
puasa, namun tidak dengan sepenuh hati.
Sementara
kalangan yang lain menganggap, ibadah puasa di bulan Ramadhân merupakan
rutinitas yang menjanjikan dan berakhir menyenangkan. Sebab sesudah Ramadhân
ada hari raya, Idul Fitri.
Para
pedagang, sejak jauh-jauh hari sebelum Ramadhân tiba, sudah bersiap melakukan stock barang sebagai
persiapan untuk meraup keuntungan melimpah di bulan suci ini. Bahkan banyak
pedagang musiman yakni khusus bulan Ramadhân. Para karyawan, pegawai, pekerja,
buruh dan lain-lain yang bekerja di luar kota pun punya harapan untuk cuti
menjelang hari raya sampai dengan beberapa hari sesudah hari raya.
Hanya
sedikit orang yang benar-benar memanfaatkan bulan Ramadhân sebagai kesempatan
emas meraup pahala dan menghapus dosa dengan cara-cara yang benar sesuai
tuntunan Nabi Besar Muhammad shallallâhu 'alaihi wa sallam.
Begitu pula tentang hari raya Idul Fitri. Sudah terbentuk opini di
kalangan banyak kaum Muslimin bahwa hari raya Idul Fitri adalah saat bersenang-senang,
seakan baru lepas dari beban puasa selama satu bulan penuh. Sebagian lagi
berdalih bahwa hari raya Idul Fitri adalah saat untuk menikmati keuntungan
melimpah dari hasil dagang selama Ramadhân.
Yang jelas, menurut anggapan sementara sebagian kaum Muslimin,
Idul Fitri adalah hari bersenang-senang sampai puas, seakan tanpa batas. Oleh
karena itu, banyak kaum Muslimin yang menyusun agenda-agenda kegiatan, tanpa
memperdulikan aturan syariat. Agenda-agenda berisi maksiat, foya-foya, hiburan
dan tontonan di pantai-pantai, taman-taman dan berbagai tempat menarik lainnya,
bahkan tempat-tempat yang sepi. Laki-laki dan perempuan serta muda-mudi yang
bukan mahram, bukan pula suami isteri, bercampur aduk menjadi satu. Banyak di
antara mereka yang berpasang-pasangan berdua-duaan, bergandeng tangan dan
seterusnya untuk melampiaskan kegembiraan dan menikmati kesenangan yang penuh
dosa.
Tidak
dipungkiri bahwa Idul Fitri adalah hari gembira bagi orang yang berpuasa pada
bulan Ramadhân. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « لِلصَّائِمِ
فَرْحَتاَنِ يَفْرَحُهُمَا: إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ، وَإِذَا لَقِيَ
رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ» [رواه البخاري ومسلم]
Orang yang berpuasa akan memperoleh dua kegembiraan: manakala
berbuka puasa, ia bergembira dengan buka puasanya,
dan manakala berjumpa dengan Rabbnya, ia bergembira dengan (balasan) puasanya. (HR. Bukhari dan Muslim) [1]
dan manakala berjumpa dengan Rabbnya, ia bergembira dengan (balasan) puasanya. (HR. Bukhari dan Muslim) [1]
Tetapi
gembira yang dimaksudkan di sini adalah kegembiraan yang tidak keluar dari
koridor syariat.
Imam
Nawawi rahimahullâh menerangkan makna gembira dalam hadits di atas dengan
menukil perkataan para ulama,
“Adapun kegembiraan orang yang
berpuasa ketika berjumpa dengan Rabbnya, ialah karena ia melihat pahala
puasanya dan karena ia teringat akan nikmat taufîk yang dianugerahkan Allâh
kepadanya hingga ia dapat berpuasa. Sedangkan kegembiraannya pada saat berbuka
puasa adalah karena ia dapat dengan sempurna menyelesaikan ibadahnya, dapat
dengan selamat terhindar dari hal-hal yang membatalkan puasanya dan memiliki
harapan mendapat pahala dari Allâh”[2]
Di
sisi lain al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullâh menukil pernyataan
sebagian ulama tentang makna gembira tersebut sebagai berikut,
“Al-Qurthubi
rahimahullâh mengatakan, ‘maknanya, gembira dengan sebab rasa lapar dan dahaga
telah hilang, karena sudah diperbolehkan berbuka puasa'. Ini adalah kegembiraan
yang wajar dan mudah dipahami.”
Sementara
sebagian ulama lain berpendapat, bahwa orang yang berpuasa gembira dengan buka
puasanya karena kegiatan puasa serta ibadahnya telah berhasil dengan baik. Ia
merasa diringankan serta mendapat pertolongan dari Allâh Ta'ala untuk
menunaikan puasa pada masa yang akan datang.
Selanjutnya
al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalâni rahimahullâh menyimpulkan,
“Aku katakan, ‘Membawa pengertian
gembira di sini kepada pengertian yang lebih umum dari makna yang telah disebut
di atas, tidak mengapa. Setiap orang yang berpuasa, (ketika berbuka) akan
bergembira sesuai dengan keadaan masing-masing, sebab keadaan orang terkait ibadah
puasa berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang kegembiraan mereka itu hukumnya
mubah yaitu kegembiraan manusiawi yang wajar. Dan ada pula yang kegembiraan
mereka itu sunnah, yaitu kegembiraan yang disebabkan oleh hal-hal yang sudah
disebutkan di atas (seperti bergembira karena bisa menunaikan ibadah puasa
mampu dengan baik atas pertolongan Allâh Ta'ala -pent.)'”.[3]
Gembira
pada saat berbuka puasa, bisa juga berarti merasa gembira saat berbuka puasa di
setiap matahari tenggelam. Bisa pula berarti gembira manakala berbuka puasa di
saat Idul Fitri. Wallahu A’lam. Yang jelas, secara manusiawi, orang yang
berpuasa akan merasa lega dan bergembira pada saat berbuka puasa pada setiap
Maghrib di bulan Ramadhân, maupun pada saat hari Idul Fitri.
Akan
tetapi, kegembiraan itu hendaknya tidak membuatnya terlena sampai terjerumus ke
dalam perilaku maksiat kepada Allâh Ta'ala dan merusak ibadah yang telah
dilakukannya selama bulan Ramadhân. Mestinya, kegembiraan itu mendorong orang
untuk bersyukur dan semakin bersemangat dalam beribadah kepada Allâh Ta'ala
Oleh sebab itu, Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wa sallam antara lain memberikan
dorongan semangat untuk mengiringi puasa Ramadhân dengan puasa 6 hari di bulan
Syawal. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كاَنَ كَصِياَمِ الدَّهْرِ» [رواه
مسلم و أبو داود و ترميذي و ابن ماجة]
Siapa
yang berpuasa Ramadhân, kemudian ia iringi puasa Ramadhân itu dengan puasa
enam hari di bulan Syawal, niscaya (pahala) puasanya laksana puasa satu
tahun. (HR. Muslim, Abu Dâwud, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah) [4]
Berkenaan
dengan hadits ini, Imam Nawawi rahimahullâh menjelaskan,
“Para
ulama yang semadzhab dengan kami mengatakan, “Yang afdhal (lebih utama-red)
ialah apabila puasa enam hari bulan Syawal dilakukan berturut-turut langsung
sesudah hari raya (maksudnya, hari kedua-pen.). Namun jika puasa enam hari itu
dilaksanakan dengan terpisah-pisah atau ditunda sampai akhir Syawal, maka
keutamaan berpuasa enam hari bulan Syawal itu tetap tercapai. Sebab itu masih
bisa disebut 'mengiringi puasa Ramadhân dengan puasa enam hari di bulan Syawal'”.[5]
Kenapa
menunaikan ibadah puasa Ramadhân yang diiringi dengan puasa enam hari di bulan
Syawal memiliki nilai seperti berpuasa satu tahun penuh ? Imam Nawawi
rahimahullâh menerangkan,
“Para
Ulama mengatakan, ‘Puasa-puasa ini bernilai seperti berpuasa satu tahun penuh,
tidak lain karena setiap kebaikan akan dilipatkan menjadi sepuluh kali
kebaikan. Puasa Ramadhân dilipatkan menjadi sepuluh bulan, sedangkan 6 hari
bulan Syawal, dilipatkan menjadi dua bulan'”.[6]
Bagian
terakhir dari perkataan Imam Nawawi rahimahullâh di atas selaras dengan sabda
Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « مَنْ صَامَ
سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ، كَأَنَّمَا تَمَامُ السَّنَةِ؛ مَنْ جَاءَ
بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثاَلِهَا » [رواه ابن ماجة]
Barangsiapa
yang berpuasa enam hari sesudah hari Idul Fitri,
maka seakan-akan puasanya itu sempurna satu tahun;
Siapa yang melakukan satu kebaikan,
maka ia akan memperoleh sepuluh kali lipat kebaikan itu.
(HR. Ibnu Majah)[7]
maka seakan-akan puasanya itu sempurna satu tahun;
Siapa yang melakukan satu kebaikan,
maka ia akan memperoleh sepuluh kali lipat kebaikan itu.
(HR. Ibnu Majah)[7]
Alangkah
indah dan beruntungnya seseorang jika kegiatan-kegiatan yang penuh dengan
maksiat atau yang bepotensi maksiat itu diganti dengan kegiatan ibadah yang
jelas dituntunkan dalam syariat. Terlebih lagi, pasca Ramadhân. Janganlah
merusak ibadah selama Ramadhân dengan hura-hura dan maksiat, apalagi bid’ah.
Dengan demikian, opini bahwa hari raya Idul Fitri adalah hari bersenang-senang
dan bergembira ria untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat, foya-foya serta
dosa adalah opini yang salah, dan harus diluruskan.
Wallahu
al-Musta’aan wa ‘Alaihi at-Tuklân
Shahihul
Bukhâri/Fathul Bâri, 4/118, no. 1904, Shahih Muslim, Syarhun Nawawi, Khalîl
Ma’mun Syiha, Darul Ma’rifah, 8/272, no. 2700
|
|
Ibid.
hlm. 273
|
|
Fathul
Bâri, Syarh Shahîhil Bukhâri, 4/118
|
|
Shahih
Muslim Syarhun Nawawi, op.cit. VIII/296-297, no. 2750, Shahîh Sunan Abi
Dâwud, II/77, no. 2433, Shahîh Sunan at-Tirmidzi I/400-401, no. 759 dan
Shahih Sunan Ibnu Mâjah, II/77, no. 1403. Semua kitab Shahih Sunan ini adalah
karya Syaikh al-Albâni rahimahullâh, penerbit Maktabah al-Ma’arif Lin Nasyr,
Riyadh.
|
|
Shahih
Muslim Syarhun Nawawi, op.cit. VIII/297
|
|
Ibid.
|
|
Shahîh
Sunan Ibnu Mâjah, II/77, no. 1402
|
Post a Comment