Seluk Beluk Mendidik Anak Perempuan
Seluk
Beluk Mendidik Anak Perempuan
Memiliki
anak-anak perempuan bukanlah sebuah kekurangan bagi seseorang. Bisa jadi, ia
justru menjadi anugerah yang amat indah baginya, manakala dia bisa menunaikan
segala kewajiban memelihara dan mendidik mereka.
Bagi
orang tua yang dianugerahi anak-anak perempuan, pemberian Allah Shubhanahu
wa ta’alla ini sebenarnya merupakan karunia yang amat besar
dari -Nya. Dia bisa berharap janji
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ» [ أخرجه مسلم ]
“Barang siapa yang
memelihara dua anak perempuan hingga dewasa, dia akan datang pada hari kiamat
dalam keadaan aku dan dia (seperti ini).” Beliau menggabungkan jari-jemarinya.
(HR. Muslim no. 2631)
Juga pada janji beliau
yang lainnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ
الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ » [
متفق عليه ]
“Barang siapa diuji
dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada
mereka, kelak mereka akan menjadi penghalang dari api neraka.” (HR. al-Bukhari
no. 1418 dan Muslim no. 2629)
Kita juga mengingat penuturan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu tentang seorang wanita miskin yang datang
kepadanya. ‘Aisyah mengisahkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « جَاءَتْنِي
مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنَتَيْنِ لَهَا فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمْرَاتٍ
فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرَةً
لِتَأْكُلَهَا فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِي
تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِي شَأْنُهَا فَذَكَرْتُ
الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ ، فَقَالَ: إِنَّ اللهَ
قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ وَأَعْتَقَهَا بِهَا مِنَ النَّارِ» [ أخرجه
مسلم ]
“Seorang wanita miskin
datang kepadaku membawa dua orang anak perempuannya. Kuberikan kepadanya tiga
butir kurma. Ia lalu memberikan kepada setiap anaknya sebutir kurma. Sebutir
yang lain ia angkat ke mulutnya untuk dia makan. Namun, kedua anak perempuannya
meminta kurma itu. Lantas dibaginya kurma yang hendak dia makan itu untuk kedua
anaknya. Aku pun merasa kagum terhadap perbuatannya, lalu kuceritakan apa yang
dilakukannya kepada Rasulullah. Beliau pun berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah
menetapkan baginya surga dengan kurma yang diberikannya itu dan membebaskannya
dari neraka’.” (HR. Muslim no. 2630)
Begitu pun kalau kita cermati, pendidikan terhadap anak
perempuan memiliki peran yang amat strategis. Tentu saja, karena hal ini akan
sangat berpengaruh terhadap kondisi masyarakat dan generasinya kelak. Bagaimana
tidak! Seorang anak perempuan akan menjadi seorang istri bagi suaminya, akan
menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Selain itu, dia akan mengemban
berbagai tugas lain yang telah menanti.
Jika dia baik, dia akan menunaikan berbagai perannya ini
dengan baik. Dia akan berkhidmah di balik kesibukan suaminya dengan
sebaik-baiknya serta memberikan dorongan dan pengaruh yang baik bagi sang
suami. Dia akan memelihara serta menjaga fisik dan psikis anak-anaknya yang
kelak akan menjadi generasi pengganti, juga mengajari mereka dengan berbagai
hal yang positif. Dia juga akan menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Selanjutnya,
dia pun mengerti tanggung jawab dan amanat yang harus dia tunaikan dalam setiap
tugas yang diembannya. Dengan demikian, baiklah masyarakatnya—insya Allah.
Sebaliknya, anak perempuan yang tak terdidik dengan baik
tidak akan bisa membantu dan mendukung kebaikan suaminya. Anak-anaknya pun
telantar, tidak terurus karena dia tidak mengerti hak anak-anaknya. Tingkah
laku anak-anaknya pun akan jauh dari sebutan beradab. Lebih-lebih lagi, dia
akan menjadi sumber kerusakan yang bisa menghancurkan tatanan masyarakat.
Tentu kita tidak ingin memiliki anak perempuan
sebagaimana gambaran terakhir ini. Kita mohon keselamatan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Kalau begitu, kita perlu menelisik seluk-beluk mendidik
anak perempuan ini—dengan terus memohon pertolongan dan kemudahan dari Allah Shubhanahu wa ta’alla—untuk mewujudkan
impian dan harapan kita.
Mengajarkan Agama kepada Mereka
Bekal yang paling berharga bagi anak-anak, termasuk anak
perempuan, adalah agama. Bahkan, seorang wanita dipilih karena agamanya, sebagaimana
anjuran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « تُنْكَحُ النِّسَاءُ لِأَرْبَعَةٍ:
لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَلِهَا وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ
الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ » [ متفق عليه ]
“Wanita itu dinikahi
karena empat hal: bisa jadi karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya. Maka dari itu, pilihlah wanita yang baik
agamanya. Jika tidak, engkau akan celaka.” (HR. al-Bukhari no. 5090 dan Muslim
no. 3620)
Menanamkan agama kepada
anak-anak tentu saja harus bertahap. Pada tahap awal, saat anak-anak mulai
mengerti pembicaraan, kita bisa mengenalkan mereka pada Rabbnya. Kita tuntun
mereka menunjuk ke langit sambil kita katakan, “Allah.” (Nashihati lin Nisa’,
hlm. 65)
Ketika tiba saat anak
dapat berbicara, mereka dituntun untuk mengucapkan kalimat tauhid:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، مُحَمَّدٌ
رَسُوْلُ اللهِ
Jadikanlah yang pertama
kali mengetuk pendengarannya adalah pengenalan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, pengesaan -Nya, dan bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla di atas ‘Arsy -Nya,
Allah Shubhanahu wa ta’alla melihat
dan mendengar segala ucapan mereka, Dia selalu bersama mereka di mana pun
berada. (Tuhfatul Maudud, hlm. 195)
Saat berusia sekitar
satu setengah tahun, ketika mereka mulai belajar bicara, kita tuntunkan mereka
untuk mengucapkan basmalah sebelum makan dan minum. Kita biasakan sampai mereka
terbiasa mengucapkannya sendiri setiap hendak makan dan minum. (Nashihati lin
Nisaa’, hlm. 65)
Ini sebagaimana halnya
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
mengajarkan basmalah kepada ‘Umar bin Abi Salamah yang berada dalam asuhan
beliau:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَا
غُلاَمُ، سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ » [ متفق عليه
]
“Nak, ucapkan
bismillah. Makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah makanan yang dekat
denganmu!” (HR. al-Bukhari no. 5376 dan Muslim no. 2022)
Ketika mereka mulai bisa memahami, kita ajari mereka
rukun Islam, rukun iman, dan rukun ihsan. Pengajaran tentang hal ini tidak bisa
dibatasi mulai usia tertentu, tergantung kemampuan pemahaman dan bicara anak.
Ajari serta biasakan mereka untuk berwudhu dan shalat
saat berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika meninggalkan shalat pada usia
sepuluh tahun. Pada usia ini pula, pisahkan tempat tidur antara anak laki-laki
dan anak perempuan. Demikian yang diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada
setiap orang tua dalam sabda beliau:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ،
وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي
المَضَاجِعِ »
[ أخرجه أحمد وصححه الألباني ]
“Perintahlah anak-anak
kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka jika
enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur
mereka.” (HR. Ahmad dan dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih
al-Jami’ ash-Shaghir no. 5744, “Hadits ini hasan.”)
Jika mereka telah mampu, kita latih mereka untuk berpuasa
agar terbiasa kelak ketika dewasa. Hal seperti ini telah dilakukan oleh para
ibu dari kalangan shahabiyah, sebagaimana yang dituturkan oleh ar-Rubayyi’
bintu Mu’awwidz:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ،
فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ حَتَّى يَكُوْنَ
عِنْدَ الْفِطْرِ»
[ متفق عليه ]
“Kami
menyuruh puasa anak-anak kami. Kami buatkan untuk mereka mainan dari perca.
Jika mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya hingga
tiba waktu berbuka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim) (Nashihati lin Nisa’, hlm.
66—67)
Kemudian diajari pula
mereka akidah yang benar, sebagaimana halnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajari anak pamannya, ‘Abdullah bin
‘Abbas:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
احْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، وَإِذَا سَأَلْتَ
فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ أَنَّ
الْأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ
إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوْا عَلَى أَنْ
يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ
عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلاَمُ وَجَفَّتِ الصُّحُفُ » [ أخرجه الترمذي وصححه
الألباني ]
“Jagalah Allah, niscaya
Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Dia ada di
hadapanmu. Apabila engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau
memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, seandainya
seluruh umat ini berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan
dapat memberikannya selain apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagimu.
Seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan mudarat kepadamu, mereka tidak
akan dapat menimpakannya selain apa yang telah Allah tetapkan menimpamu. Telah
diangkat pena, dan telah kering lembaran-lembaran.” (HR. at-Tirmidzi,
dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi 2/2043
dan al-Misykat no. 5302)
Kita ajarkan pula
hal-hal yang terkandung dalam wasiat Luqman kepada anaknya yang dikisahkan oleh
Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam
al-Qur’an, Surat Luqman ayat 13—19.
Selain itu, mereka
harus pula mengetahui perkara-perkara yang harus dijauhi dalam syariat sehingga
mereka dapat menghindarinya. Ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ تَمْرَةً
مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ: كِخْ كِخْ، ارْمِ بِهَا، أَمَا عَلِمْتَ أَنَّا لاَ
نَأْكُلَ الصَّدَقَةَ؟ [ رواه مسلمٍ ٍ]
Al-Hasan bin ‘Ali memungut sebutir
kurma dari kurma sedekah, lalu dia masukkan kurma itu ke mulutnya. Rasulullah pun
bersabda, “Kikh, kikh! Buang kurma itu! Apa kau tidak tahu, kita ini tidak
boleh makan sedekah?” (HR. Muslim no. 1069)
Selanjutnya, seiring dengan bertambahnya usia, kita
ajarkan mereka satu demi satu syariat Islam yang mulia ini—terutama hal-hal
yang khusus berkenaan dengan wanita— sebagai bekal utama bagi mereka dalam
menghadapi kehidupan.
Memupuk Kesadaran Mereka Sebagai Seorang Wanita
Sedari awal, anak perempuan harus diberi pengertian bahwa
mereka berbeda dari anak laki-laki. Hal yang termudah untuk mengenalkan
perbedaan ini adalah dari sisi pakaian. Mereka dilarang mengenakan pakaian yang
biasa dipakai anak laki-laki. Selain pakaian, sikap dan perilaku pun demikian.
Anak perempuan diajari sikap dan perilaku yang khas anak perempuan. Mereka
harus diberi pengertian bahwa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam melarang mereka menyerupai anak laki-laki, sebagaimana
dalam hadits:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «
لَعَنَ رَسُولُ اللهِ الْمُتَشَبِّهِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ
بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ وَلَعَنَ
الْمُخَنَّثِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ » [ أخرجه
البخاري ]
“Rasulullah melaknat
laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki. Beliau
melaknat laki-laki yang berperilaku seperti wanita dan wanita yang berperilaku
seperti laki-laki.” (HR. al-Bukhari no. 5885)
Difatwakan oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin, “Tasyabbuh (penyerupaan) laki-laki dengan perempuan termasuk dosa
besar, demikian pula penyerupaan perempuan dengan laki-laki. Dalilnya,
‘Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai
laki-laki’. Di samping itu, penyerupaan seperti ini akan merusak sunnah –Nya terhadap
ciptaan-Nya, karena Allah Shubhanahu wa
ta’alla telah menciptakan kekhususan tersendiri bagi wanita dan kekhususan
tersendiri pula bagi laki-laki. Jika wanita menyerupai laki-laki dan laki-laki
menyerupai perempuan, tentu sunnah yang telah diciptakan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla ini akan hilang
dan sirna sehingga terjadilah sesuatu yang bertentangan dengan penciptaan dan
hikmah -Nya.” (Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram, hlm. 1761—1762)
Membiasakan Mereka dengan Adab dan Akhlak Mulia
Di masa sekarang, banyak anak perempuan kaum muslimin
yang kehilangan pesonanya sebagai seorang muslimah. Makan dengan tangan kiri,
bersuara lantang di depan khalayak, keluyuran di pusat perbelanjaan, dan
berdesakan di tengah keramaian tidak lagi dipandang sebagai aib. Bisa jadi
pula, mereka bahkan terlepas dari perhatian orang tua. Rasa malu mulai tanggal
dari diri mereka.
Di sisi yang lain, ada orang tua yang merasa perlu menyekolahkan
anaknya di ‘sekolah etika’ agar anak perempuannya tampil anggun dan penuh
etika.
Sebenarnya, seorang muslimah bisa tampil santun dan penuh
pesona manakala dia berpegang dengan adab dan akhlak yang diajarkan oleh Islam.
Becermin kepada pribadi Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam, ummahatul mukminin, dan para shahabiyah.
Di samping itu, sejak dini mereka harus dikenalkan dan
dibiasakan dengan adab-adab yang diajarkan oleh Islam. Ini sebagaimana
dikatakan oleh sahabat yang mulia, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:
أَدِّبُوْهُمْ عَلِّمُوْهُمْ " "
“Ajarilah mereka adab
dan ajarilah mereka ilmu!”
Adab terhadap orang tua, tetangga, tamu, adab makan dan
minum, adab berpakaian, adab meminta izin, dan sekian banyak adab yang
diajarkan oleh Islam—hingga yang sekecil-kecilnya, seperti memotong kuku,
membersihkan badan dan pakaian, serta menunaikan hajat—perlu mereka ketahui dan
amalkan. Adab dan akhlak yang mulia akan menjadi perhiasan bagi mereka.
Membiasakan Mereka Berpakaian Sesuai Syariat
Tidak selayaknya kita memakaikan mereka pakaian yang jauh
dari tuntunan syariat, rok mini atau hot pants misalnya. Dinasihatkan oleh Fadhilatusy
Syaikh al-‘Utsaimin, “Tidak pantas orang tua memakaikan anak perempuannya
pakaian seperti ini (pakaian yang pendek, –pen.) semasa kanak-kanak. Karena
jika terbiasa, hal ini akan melekat dan dianggap remeh olehnya. Apabila yang
seperti ini menjadi kebiasaannya, keadaan ini akan terus dia bawa hingga
dewasa. Yang saya nasihatkan kepada para saudari saya kaum muslimah, hendaknya
mereka meninggalkan busana wanita asing dari kalangan musuh-musuh agama ini.
Hendaknya pula mereka membiasakan anak-anak perempuan mereka untuk mengenakan
pakaian yang menutup aurat dan senantiasa merasa malu karena malu itu termasuk
keimanan.” (Fatawa asy-Syaikh Muhammad ash-Shalih al-’Utsaimin, 2/845—846)
Bahkan, kita harus mendorong mereka untuk menutup aurat
sejak masih kanak-kanak agar mereka terbiasa ketika dewasa kelak. Sejak umur
tujuh tahun, kita biasakan mereka mengenakan kain kerudung untuk menutup
kepala. Ketika telah baligh, kita perintahkan untuk menutup wajahnya,
mengenakan pakaian panjang dan lapang yang akan menjaga kehormatannya.
“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu, dan seluruh wanita kaum mukminin agar mereka mengulurkan
jilbab-jilbab mereka. Ini lebih layak bagi mereka untuk dikenali (sebagai
wanita baik-baik) hingga mereka tidak diganggu.” (al-Ahzab: 59)
Allah Shubhanahu wa
ta’alla juga telah melarang para wanita mukminah membuka wajah serta
menampakkan kecantikan dan perhiasan pada selain mahramnya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:
“Dan janganlah kalian menampakkan perhiasan sebagaimana
kaum jahiliah dahulu.” (al-Ahzab: 33) (Kaifa Nurabbi Auladana, hlm. 26)
Mengajari Berbagai Keterampilan Rumah Tangga
Anak perempuan harus dibekali dan dibiasakan melakukan
segala pekerjaan rumah. Hal ini nanti akan dibutuhkannya ketika mulai memasuki
rumah tangga bersama suaminya. Banyak hal harus dia ketahui: cara bergaul
dengan suami dan mengurus rumah tangga, seperti memasak, mengatur rumah, dan
sebagainya.
Kadang ada keluarga yang kurang memerhatikan sisi ini.
Anak perempuannya tidak dibekali dengan keterampilan yang memadai untuk terjun
dalam rumah tangga. Tatkala si anak mulai berumah tangga, ternyata dia tak bisa
memasak atau membereskan rumah. Bahkan, ia tak mengerti bagaimana bergaul
dengan baik dan santun dengan suaminya. Yang lebih menyedihkan jika sang suami
adalah seorang yang tak sabaran dan cepat naik pitam. Akhirnya, muncullah
berbagai problem rumah tangga sejak awal perjalanannya yang terkadang harus
berakhir dengan perpisahan. Kita memohon keselamatan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Alangkah indah nasihat
seorang ibu untuk putrinya yang hendak dinikahkan dengan al-Harits bin ‘Amr
al-Kindi. Dia pesankan,
“Wahai putriku, sesungguhnya jikalau wasiat tak lagi
diberikan untuk seorang yang beradab dan bernasab mulia, tentu takkan kuberikan
wasiat ini untukmu. Namun, wasiat adalah pengingat bagi orang yang berakal dan
pemberi peringatan bagi orang yang lalai.
Wahai putriku, seandainya seorang anak perempuan tak lagi
membutuhkan suami karena ayah bundanya telah mencukupinya, sesungguhnya engkau
orang yang paling tak butuh terhadap suami. Namun, kita ini diciptakan untuk
kaum laki-laki, sebagaimana pula diciptakan kaum laki-laki untuk kita.
Wahai putriku, engkau hendak berpisah dengan tanah tempat
kelahiranmu, meninggalkan kehidupan yang dahulu engkau tumbuh di sana, menuju
tempat yang tak kau kenal bersama teman yang asing bagimu. Dengan
kepemilikannya atas dirimu, dia menjadi penguasa atasmu. Berlakulah layaknya
hamba sahayanya, niscaya dia akan menjadi sahaya yang tunduk kepadamu. Jagalah
sepuluh hal yang akan menjadi simpanan berharga bagimu:
1.
Bergaullah
dengannya dengan penuh qana’ah karena qana’ah akan melapangkan hati.
2.
Dengar dan
taatlah engkau dengan baik karena pada kedua hal ini ada keridhaan Rabbmu.
3.
Berupayalah
menjaga pandangan mata dan penciumannya, jangan sampai kedua matanya memandang
sesuatu yang buruk darimu dan hidungnya mencium sesuatu darimu selain aroma
yang semerbak wangi.
4.
Kenakanlah
selalu celak dan air karena celak adalah sebaik-baik perhiasan dan air adalah
sebaik-baik wewangian.
5.
Jagalah
selalu waktu makannya, karena panasnya rasa lapar akan mudah membangkitkan
kemarahan.
6.
Ciptakan
suasana tenang saat tidurnya karena tidur yang terganggu akan menimbulkan
amarah.
7.
Berusahalah
selalu menjaga rumah dan hartanya karena mampu menjaga harta termasuk
sebaik-baik kemampuan.
8.
Jagalah
selalu hubungan dengan keluarganya karena kemampuan menjaga hubungan dengan
kerabat termasuk sebaik-baik pengaturan.
9.
Jangan
engkau sebarkan rahasianya karena jika engkau lakukan, niscaya engkau takkan
aman dari pengkhianatannya.
10.
Jangan
pernah kau durhakai perintahnya, karena jika kau mendurhakai perintahnya,
berarti engkau buat menggelegak dadanya.
Semakin kau agungkan dia, dia pun makin memuliakanmu.
Semakin sering engkau seia-sekata dengannya, dia pun semakin baik kepadamu.
Ketahuilah, engkau takkan bisa melakukan semua ini sampai
engkau utamakan keinginannya di atas keinginanmu, dan engkau utamakan
keridhaannya di atas keridhaanmu, baik dalam hal-hal yang kau sukai maupun yang
engkau benci.
Hati-hatilah, jangan sampai engkau bergembira di
hadapannya manakala dia sedang gundah gulana, dan jangan bermuram durja di
hadapannya tatkala dia sedang gembira.” (Takrimul Mar’ah fil Islam, hlm. 96—97)
Wallahu ta’ala a’lam
bish-shawab.
Catatan Kaki:
Ini
adalah perkataan untuk memperingatkan anak-anak dari sesuatu yang kotor.
Maknanya, “Tinggalkan dan buang barang itu!”
Post a Comment