Bekal Penting Bagi Para Musafir
Bekal Penting Bagi Para Musafir
Segala
puji hanya milik Allah. Shalawat dan salam atas Rasulullah.
Amma ba'du:
Amma ba'du:
Berikut ini adalah
beberapa adab safar beserta hukum-hukumnya yang saya sarikan dari kitab-kitab
hadits dan fikih. Tidak ada maksud untuk berpanjang lebar, hanya sekadar inggin
mengingatkan perkara penting dari penyampaian ini. Kita memohon kepada Allah
taufik dan kebenaran.
Sunnah-sunnah dan
adab safar
1. Mencari teman
dalam safar (perjalan).
Hal ini sebagaimana
hadits Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi r
bersabda:
الرَاكِبُ شَيْطَانٌ
وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ
"Seorang pengendara (bersendirian dalam perjalanan) adalah
setan dan dua orang pengendara (berduaan dalam perjalanan) adalah dua setan
sedangkan tiga orang pengendara merekalah pengendara (yang sesungguhnya)."[1] (Sanadnya
hasan, dikeluarkan oleh Malik, Ahmad dan ahli sunan)
2- Menunjuk seorang
pemimpin kelompok dalam perjalanan.
Hal ini sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abu Sa'id
إِذَا خَرَجَ
ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدُكُمْ
"Jika tiga orang dari kalian melakukan safar (perjalanan)
hendaknya mengangkat salah satunya menjadi amir (pemimpin perjalan)."
(Dikeluarkan oleh Abu
Dawud dengan sanad yang baik)
Dan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ali t bahwa
Rasulullah jika mengutus pasukan beliau menunjuk pemimpin untuk mereka dan
memerintahkan agar mendengar dan taat kepadanya. (Dikeluarkan oleh Bukhari)
3- Membaca doa naik
kendaraan dan doa safar.
Diriwayatkan bahwa
Ali datang membawa hewan tunggangannya. Ketika dia meletakkan kakinya pada
hewan tunggangannya itu dia membaca "Bismillah", ketika telah duduk di
atas punggung tunggangannya dia membaca "Alhamdulillah" kemudian
membaca:
z`»ysö6ß Ï%©!$# t¤y
$oYs9 #x»yd
$tBur $¨Zà2 ¼çms9 tûüÏRÌø)ãB ÇÊÌÈ !$¯RÎ)ur
4n<Î)
$uZÎn/u
tbqç7Î=s)ZßJs9
ÇÊÍÈ
"Maha suci Tuhan
yang telah menundukkan semua ini bagi Kami Padahal Kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya. dan Sesungguhnya Kami akan kembali kepada Tuhan kami". (Q.S:
zukhruf 13-14)
Kemudian membaca alhamdulillah
3x, "Allahu Akbar" 3x,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ
إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ
الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
"Mahasuci
Engkau, Ya Allah, sesungguhnya aku telah mendzalimi diriku sendiri maka
ampunilah aku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain
Engkau."
(Hadits diriwayatkan
oleh Ahmad dan Ahlu Sunan. Dalam sanadnya ada perbedaan. Sanad yang ada pada
at-Thabaroni dan Hakim baik dan falid)
Dikeluarkan pula oleh
Muslim dari Ibnu Umar t
bahwa Nabi r
jika sudah berada di punggung onta tunggangannya untuk melakukan safar (perjalanan)
bertakbir 3x kemudian membaca:
z`»ysö6ß Ï%©!$# t¤y
$oYs9 #x»yd
$tBur $¨Zà2 ¼çms9 tûüÏRÌø)ãB ÇÊÌÈ !$¯RÎ)ur
4n<Î)
$uZÎn/u
tbqç7Î=s)ZßJs9
ÇÊÍÈ
اللهم إنا نَسْأَلُكَ
فِي سَفَرِنَا
هَذَا البِّرَ وَالتَّقْوَى، وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى، اللَّهُمَّ هَوِّنْ
عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا واطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ، اللَّّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ
فِي السَّفَرِ وِالْخَلِيْفَةُ فِي الأَهْلِ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعْوْذُ
بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوْءَ الْمُنْقَلِبِ فِي
اْلمَالِ وَاْلأَهْلِ
"Maha suci Tuhan
yang telah menundukkan semua ini bagi Kami Padahal Kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya. dan Sesungguhnya Kami akan kembali kepada Tuhan kami. Ya Allah
sesungguhnya kami memohon kebaikan dan takwa dalam perjalanan ini, kami memohon
perbuatan yang meridokan-Mu. Ya Allah mudahkan perjalanan kami ini dan jadikan
perjalanan yang jauh menjadi dekat. Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan
dan pengurus keluarga yang ditinggal. Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari
kelelahan dalam perjalanan, pemandangan yang menyedihkan, perubahan buruk yang
terjadi pada harta dan keluarga."
Jika kembali dari
safar beliau membaca seperti itu pula dan menambah:
آيِبُوْنَ، تَائِبُوْنَ،
عَابِدُوْنَ، لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
"Kami kembali dengan bertobat, tetap beribadah dan selalu
memuji kepada Tuhan kami"
Dan dalam hadits Anas
dalam riwayat Muslim, "Hingga jika kami sudah sampai di batas kota Madinah beliau
berkata:
آيِبُوْنَ، تَائِبُوْنَ،
عَابِدُوْنَ، لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ
"Kami kembali dengan bertobat, tetap beribadah dan selalu
memuji kepada Tuhan kami"
Dan terus membacanya
sampai kami tiba di kota
Madinah.
Dengan demikian, doa
tersebut dibaca ketika bertolak meninggalkan negerinya dan ketika tiba kembali
di negerinya.
Diriwayatkan pula
oleh Muslim dari Abdullah bin Sarhas: "Dahulu Nabi r
jika melakukan perjalanan memohon perlindungan dari kelelahan dan pemandangan
yang menyedihkan, dari kembali kepada keburukan setelah kebaikan, dari doa
orang-orang yang terdzalimi dan pemandangan yang buruk pada keluarga dan harta.
Doa naik kendaraan
dibaca ketika dalam perjalanan sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Syaikh
Ibnu Baz rahimahullah.
4- Melakukan perjalanan
pada hari kamis.
Telah diriwayatkan
oleh Bukhari dari Ka'ab bin Malik t
perkataannya: "Sedikit sekali Nabi r
melakukan perjalan. Jika melakukan perjalanan beliau melakukannya pada hari
kamis. Al-Bukhari memasukkannya dalam Kitab Jihad. Yang demkian ini masuk dalam
bab afdoliah (lebih utama). Jika tidak Nabi tentu tidak melakukan
perjalanan pada hari sabtu ketika haji wada.
5- Membaca tasbih
(subhanallah) ketika jalanan menurun dan membaca takbir (Allahu akbar) ketika
jalanan menanjak.
Hal ini sebagaimana
yang terdapat pada hadits Jabir dan Ibnu Umar –semoga Allah meridoi keduanya-
bahwa Nabi r
jika kembali dari perang, haji atau umroh, beliau bertakbir pada setiap jalan
menanjak sebanyak tiga kali kemudian membaca:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ
الله وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلىَ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، آيِبُوْنَ
تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ سَاجِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ، صَدَّقَ اللهُ وَعْدَهُ،
نَصَرَ عَبْدَهُ،
وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ.
"Tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah yang
tidak memiliki sekutu. Milik-Nyalah segala kekuasaan dan pujian. Dan Dia Maha
mampu atas segala sesuatu. "Kami kembali dengan bertobat, tetap beribadah,
senantiasa sujud dan selalu memuji kepada Tuhan kami. Allah senantiasa memenuhi
janji-Nya, menolong hamba-Nya dan Dia yang mencerai beraikan musuh sendirian"
(Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Mutafak alaih)
(Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Mutafak alaih)
6- Berpamitan kepada
keluarga, kerabat dan selain mereka.
7- Bersegera pulang
setelah selesai dari hajat (keperluan) yang membuatnya harus melakukan safar
(perjalanan).
Hal ini sebagaimana
sabda Nabi r: "Safar
(perjalanan) adalah penggalan dari azab, yang mencegah seseorang dari makan,
minum dan tidurnya. Jika kalian telah memenuhi keperluannya maka bersegeralah kembali
kepada keluarganya." (Mutafak alaih)
8- Dalam hadits yang
dikeluarkan oleh Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi r
bahwa beliau bersabda: "Malaikat tidak menyertai perjalanan yang disertai
dengan anjing atau lonceng."
9- Jika mendekati
waktu subuh dan Nabi r
masih berada dalam perjalanan beliau membaca:
سَمِعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللهِ، وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا،
رَبُّنَا صَاحِبْنَا، وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذاً بِاللهِ مِنَ النَّارِ
"Telah ada yang
bersaksi dengan pujian kepada Allah dan atas cobaan-Nya yang baik kepada kami.
Tuhan kami, temanilah kami (jagalah kami) dan muliakan kami (dengan nikmat-Mu
yang banyak) seraya berlindung kepada-Mu dari neraka. (Dikeluarkan oleh Muslim
dari Abu Hurairoh)
10- Jika singgah di
suatu tempat hendaknya membaca:
أَعْوْذُ بِكَلِمَاتِ
اللهِ التَّامَّاتِ
مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
"Aku berlindung kepada Allah dengan kalimat-kalimat-Nya
yang sempurna, dari kejahatan apa saja yang diciptakan-Nya."
Tidak ada sesuatupun
yang akan membahayakannya hingga dia meninggalkan tempat itu. (Diriwayatkan
oleh Khaulah binti Hakim)
11- Doa orang yang
dalam perjalanan mustajab (dikabulkan).
Dalam sebuah hadits
"Tidak ditolak permintaan doa mereka" disebutkan bahwa diantaranya
adalah musafir (orang yang sedang melakukan safar (perjalan).
[Diriwayatkan oleh Ahlus Sunan dan juga Muslim. Kemudian menyebutkan kisah seorang laki-laki yang berpenampilan kucal dan kumal karena telah melakukan perjalanan panjang....]
[Diriwayatkan oleh Ahlus Sunan dan juga Muslim. Kemudian menyebutkan kisah seorang laki-laki yang berpenampilan kucal dan kumal karena telah melakukan perjalanan panjang....]
12- Termasuk sunnah laa
yathruk (tidak mengetuk pintu rumah) jika tiba pada malam hari, kecuali
telah memberitahu sebelumnya.
Hal ini sebagaimana
yang terdapat dalam hadits Jabir dan yang lainnya.
At-Thuruuk
(mengetuk) di sini maknanya datang pada malam hari.
13- Termasuk sunnah
mengadakan an-Naqii'ah yaitu membuat walimah (undangan
makan) setibanya kembali dari perjalan.
[Hal ini sebagaimana
riwayat yang falid dari Nabi r
dalam sebuah hadits yang dirwayatkan oleh Jabir yang terdapat dalam sohih
al-Bukhari pada akhir Kitab Jihad. Lihat juga al-Majmu oleh an-Nawawi 4/285.]
14- Dahulu Nabi r
jika tiba di Madinah dan melihatnya (sepulang dari perjalanannya) mempercepat
jalan tunggangannya sebagai (ekspresi) kecintaannya kepada Madinah. (Hadits ini
dikeluarkan oleh al-Bukhari)
15- Termasuk sunnah,
jika tiba dari safar (perjalanan) datang ke masjid dan melakukan shalat
dua rakaat.
Hal ini sebagaimana
yang ditunjukkan dalam hadits Jabir, Mutafak Alaih. Al-Bukhari mengulasnya
dalam belasan bab dalam kitabnya.
Perkara Penting Ketika Safar (Dalam Perjalanan)
1- Disyariatkan bagi
orang yang safar (melakukan perjalanan) untuk mengqoshor
(menyingkat) shalatnya jika telah keluar dari bangunan-bangunan negrinya.
Al-Bukhari
meriwayatkan secara mu'alak di dalam kitab sohihnya dari Ali t
bahwa Ali (melakukan safar) keluar dari Kuffah dan mengqoshor shalatnya
padahal dia masih melihat bangunan-bangunan rumah. Ketika kembali dikatakan
kepadanya, "Ini adalah Kuffah" Ali menjawab: "Jika kita telah
memasukinya."(Hakim dan Baihaqi menetapkan kemausulan
(ketersambungan) hadits ini).
Dan Nabi r
pernah melakukan shalat zuhur empat rakaat di Mandinah sedangkan shalat ashar di Zulhulaifah
dilakukan dua rakaat (qoshor).
2- Jika masuk waktu
shalat sementara dia masih mukim lalu melakukan safar dan shalat diperjalanan,
apakah (sebaiknya) mengqoshor salat atau tidak?
Yang benar adalah
mengqoshor shalatnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Mundzir di
dalam kitab al-Aushat hal.4354 secara ijma.
Adapun pendapat yang
masyhur tidak mengqoshar menurut Madzhab Hanbaly adalah pendapat yang marjuh
(lemah).
3- Jika lupa
mengerjakan shalat ketika mukim lalu teringat ketika berada dalam perjalanan,
hendaknya dikerjakan tanpa mengqoshor.
Hal ini sebagaimana
yang disampaikan oleh Ibnu al-Mundzir di dalam kitab al-Aushat hal.4368 secara
ijma. Adapun jika teringat belum melakukan shalat ketika safar padahal dia
telah dalam keadaan mukim, dalam hal ini terdapat khilaf, apakah menyempurnakan
atau mengqoshor. Yang shahih adalah mengqoshor.
4-Jika musafir shalat
di belakang orang yang mukim, dia mutlak melakukan empat rakaat sekalipun masbuk
(terlambat menjadi makmum) ketika tasyahud akhir. Dia hendaknya melakukan
shalat sebagaimana shalatnya orang yang
mukim empat rakaat. Yang demikian adalah pendapat jumhur dan sunnah yang jelas,
yang dinukil dari para sahabat. Inilah yang dipilih oleh dua Imam, Ibnu Baz dan
Ibnu Utsaimin –semoga Allah merahmati keduanya-. (Lihat al-Majmu oleh an-Nawawi
4/236)
5- Jika Musafir
menjadi imam terhadap orang yang mukim, maka dia mengqoshor shalat.
Disyariatkan baginya setelah selesai salam mengatakan (kepada makmum yang
mukim):
أَتِمُّوا صَلاَتَكُمْ
"Sempurnakanlah shalat kalian."
Telah diriwayatkan
oleh Malik dari Nafi' dari Ibu Umar dari Umar t bahwa dia datang ke
Mekkah dan shalat menjadi Imam. (Setelah selesai dari salam dia berujar,
"Sempurnakanlah shalat kalian sesungguhnya kami adalah musafir."
Diriwayatkan pula
secara marfu' dari Imron bin Hushain dari Nabi r, tetapi hadits ini
lemah. Juga dikeluarkan oleh Abu Dawud dan selainnya.
Jika diingatkan
sebelum shalatpun tidak mengapa agar tidak membuat kebingungan.
6- Shalat-shalat
sunnah rawatib yang gugur (tidak dikerjakan) ketika dalam perjalanan adalah
shalat sunnah zuhur (qobliah dan ba'diah), rawatib magrib (ba'diah magrib),
rawatib isya' (ba'diah Isya'). Sedangkan shalat sunnah fajr (2 rakaat sebelum
shalat subuh) juga shalat witir tidak gugur, bahkan hendaknya mengerjakan
keduanya. Boleh baginya melakukan shalat dhuha, shalat setelah berwudhu dan
ketika masuk masjid (tahiyatul masjid).
7- Merupakan sunnah
meringankan bacaan shalat ketika dalam perjalanan. Telah falid diriwayatkan
bahwa Umar t
ketika shalat sunnah fajar membaca al-Quraisy, juga al-Ikhlas. Sedang Anas t
membaca al-A'la. (Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan semuanya
shahih).
8- Jika menjama
(menggabungkan) dua shalat, hendaknya mengumandangkan satu kali adzan dan
membaca dua kali Iqomat. Pada setiap shalat satu Iqomat. Dia boleh
melaksanakannya pada awal waktu (jamak taqdim), pertengahannya atau di akhirnya
(jamak takhir), selama pada waktu-waktu itu adalah masih merupakan waktu untuk
kedua shalat tersebut.
9- Menjama'
(menggabungkan dua shalat) ketika dalam perjalanan melaksanakannya sunnah
ketika diperlukan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh al-Islam Ibnu
Taimiyyah. Adapun bila tidak ada keperluan hukumnya mubah (boleh).
10- Bagi mereka yang
tidak terkena kewajiban melakukan shalat jumu'at; seperti musafir (orang-orang
yang sedang dalam perjalanan) atau orang yang sakit, boleh melakukan shalat
zuhur setelah matahari tergelincir, sekalipun imam belum melaksanakan shalat
jumu'at.
11- Musafir
(orang yang sedang dalam perjalanan) boleh melakukan shalat nafilah
(shalat sunah) di mobil atau pesawat. Hal ini sebagaimana riwayat yang falid
dari Nabi r
bahwa beliau mengerjakan shalat sunnah di atas punggung hewan tunggangannya
dari berbagai riwayat.
12- Bagi mereka yang
dibolehkan melakukan shalat qoshor, boleh baginya tidak berpuasa di siang bulan
Ramadhan, tetapi tidak sebaliknya.
13- Melakukan safar
(perjalanan) boleh dihari jum'at. Akan tetapi jika telah dikumandangan adzan
kedua shalat jumu'at dan dia masih mukim haruslah tetap tinggal untuk melakukan
shalat jumu'at. Lain halnya jika khawatir akan tertinggal rombongan atau jadwal
penerbangan. Dalam kondisi ini dibolehkan baginya melakukan perjalanan.
Boleh juga melakukan
perjalanan setelah adzan kedua jika hendak melaksanakannya tetapi dia masih
dalam perjalanan; seperti jika akan melewati suatu negri yang dekat dan akan
melaksanakan shalat jumu'at bersama mereka (setibanya disana).
14- Bacaan dzikir
setelah shalat gugur pada shalat pertama yang dijama'. Yang tinggal hanya
bacaan dzikir setelah shalat kedua. Akan tetapi jika bacaan dzikir setelah
shalat yang pertama lebih banyak (panjang) maka dilakukan setelah shalat yang
kedua; seperti jika menjama shalat maghrib dengan shalat isya', maka bacaan
dzikir setelah magrib dibaca setelah shalat isya'.
15- Jika dia telah
melakukan shalat dzuhur dalam keadaan mukim, kemudian melakukan perjalanan,
apakah boleh melakukan shalat ashar sebelum masuk waktu?
Syaikh Ibnu Baz dan
Syaikh Utsaimin –semoga Allah meridhoi keduanya- memilih tidak boleh. Yang
demikian karena tidak terpenuhi syarat melakukan shalat jama. Dan dikarenakan
tidak ada keperluan untuk itu. Dia akan dan musti melaksanakan shalat ashar.
Sehingga hendaknya tidak melaksanakannya kecuali setelah masuk waktunya.
16- Jika melakukan jama
takhir [2]
dan dia dalam perjalanan, kemudian mukim (selesai dari safar) sebelum
habis waktu shalat yang pertama, maka hendaknya menyempurnakan shalatnya (tanpa
qoshor). Sama saja apakah shalat pertama dilaksanakan pada waktunya atau
setelah keluar waktu. Sedangkan jika waktu shalat yang pertama telah terlewat
diperjalanan kemudian mukim (selesai dari safar) pada waktu shalat yang kedua,
maka hendaknya melakukan shalat yang pertama dengan sempurna (tidak diqoshor).
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Ibnu Utsaimin.
Perbedaan antara hal
ini dengan point ketiga adalah tersisanya waktu antara dua waktu. Sedangkan
keadaan yang kedua telah sempurna. (Lihat al-Majmu oleh an-Nawawi hal.4245)
17- Jika musafir tahu
atau memiliki keyakinan kuat bahwa dia akan sampai di negerinya sebelum shalat
ashar atau shalat isya', yang lebih utama baginya adalah tidak menjama karena
tidak ada keperluan untuk dijama'. Tetapi jika dia menjama'nya, maka tidak
mengapa. (Lihat Majmu Fatawa wa Rosail Syaikh Muhammad bin Utsaimin hal.32215.)
18- Ketika safar
(melakukan perjalanan) tidak disyaratkan niat melakukan qoshor, menurut
pendapat yang shahih.
(Lihat Fatawa Syaikh
al-Islam Ibnu Taimiyyah hal.24104)
19- Kebanyakan Ahli
Ilmu (ulama) melarang menjama shalat ashar dengan shalat jumu'at. Yang demikian
ini masyhur pada madzab Hanbaly, Syafi'iy dan selain mereka. Syaikh Ibnu Baz
dan Ibnu Utsaimin –semoga Allah merahmati keduanya- juga memilih pendapat yang
melarang.
(Lihat Majmu Fatawa
wa Rosail Syaikh Muhammad bin Utsaimin hal. 15371)
20- Melakukan shalat qoshor
adalah sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan), bahkan ada yang
mengatakan wajib. Sehingga Ibnu Umar t
berkata, "Shalat dalam perjalanan dua rokaat, siapa yang menyelisihi
sunnah dia telah kafir."
(Sanadnya shahih.
Dikeluarkan oleh Abdurrazaq, ath-Thahawi dan selain keduanya).
21- Rukhos as-safar
(keringanan dalam perjalanan) dibolehkan pada perjalanan ketaatan dan maksiat
menurut pendapat yang benar. Yang demikian adalah pendapat yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang masyur diriwayatkan darinya.
22- Perempuan tidak
boleh melakukan perjalanan kecuali ditemani dengan mahrom yaitu suami, atau
setiap lelaki baligh, berakal yang haram dinikahinya selamanya, baik lantaran
nasab (keturunan) atau sebab yang mubah (susuan atau pernikahan).
23- Jika musafir
telah usai melakukan shalat jama taqdim antara shalat maghrib dan shalat isya,
masuklah waktu shalat witir (shalat malam) (bersamaan dengan usainya shalat
jama). Tidak perlu menunggu sampai masuk waktu isya' (untuk melakukan shalat
witir/malam).
24- Jika makmum yang
musafir ragu dengan shalatnya imam, apakah shalat sebagai musafir atau mukim,
maka pada asalnya makmum hendaknya menyempurnakan shalatnya (tidak mengqoshor).
Akan tetapi jika makmum di dalam hatinya berkata, "Jika imam
menyempurnakan shalatnya, maka akupun akan menyempurnakannya, tetapi jika dia
mengqoshor, maka akupun akan mengqoshor" shalatnya sah. Yang demikian
adalah bentuk pengaitan niat bukan keragu-raguan. Yang demikian sebagaimana
yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad Utsaimin t dalam penjelasan kitab al-Mumti' hal.4521.
25- Musafir yang berdiam di suatu tempat tidak harus melakukan shalat
jumu'at selama dia masih dalam perjalanan (belum membatalkan niat safarnya).
Ibnu al-Mundzir menukil ijma akan hal itu di dalam kitabnya al-Ausath dan
berkata, "Tidak ada yang menyelisihinya selain Zuhri."
Diriwayatkan secara mualaq oleh al-Bukhari.
Diriwayatkan secara mualaq oleh al-Bukhari.
Jika musafir
menghadiri shalat jumu'at, shalatnya itu sudah menggantikan shalat zuhur.
26- Jika musafir
menghadiri shalat jumu'at hal itu sudah menggatikan shalat dzuhur. Sama saja
apakah dia mendapatkan dua rakaat atau satu rakaat (jumu'at) dan melengkapi
kekurangannya. Akan tetapi jika musafir mendapat kurang dari satu rakaat maka
yang shahih baginya adalah mengqoshor, berbeda dengan mereka yang mewajibkan
melaksanakan empat rakaat.
27-
Jika musafir melakukan safar (perjalanan) pada bulan Ramadan, dia boleh
berbuka dan boleh juga berpuasa, tetapi yang terbaik baginya adalah yang paling
mudah (ringan). Jika puasa lebih ringan maka hendaknya berpuasa. Tapi jika
puasa lebih mudah hendaknya berpuasa. Jika keduanya sama, maka puasa lebih
utama. Demikianlah yang dilakukan Nabi r, sosok yang paling
bersegera menunaikan kewajiban dan memudahkan manusia. Yang demikian adalah
pendapat jumhur menurut sebagian yang lain.
[1]
Disebutkan di dalam Fathul al-Bary menukil pendapat Ibnu Khuzaimah bahwa
Syaitan di sini maknanya aa'shi (orang yang berkasiat). Maksudnya dalah
agar menjadi perhatian, karena orang yang melakukan perjalanan sendirian jika
terjadi sesuatu atasnya tidak ada yang menolongnya atau menyampaikan berita tentang keadaannya kepada keluarganya.
[2] (mengahkhirkan
pelaksanaan shalat pada waktu yang kedua dari dua shalat yang digabungkan)
Post a Comment