Hukuman Keras Bagi Penyihir
Hukuman Keras Bagi Penyihir
بِسْــــــــمِ اللَّــهِ
الرَّحْمَــنِ الرَّحِيـــمِ
قال الله تعالى:
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ
وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ
عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم بِضَآرِّينَ
بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلاَ
يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ اْلأَخِرَةِ مِنْ
خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada
dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka
mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat
menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli
sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan
ijin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepadanya dan
tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang
siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah baginya
keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya
sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS. al-Baqarah:102)
Pengantar
Segala puji bagi Allah I
yang telah memberi petunjuk kepada kita untuk ini, dan tidaklah kita mendapat
petunjuk jikalau Allah I
tidak memberi petunjuk kepada kita. Semoga shalawat dan salam senantiasa
tercurah kepada yang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, nabi kita
Muhammad r
yang sangat dipercaya, dan terhadap keluarganya, sahabatnya, dan orang yang
mengikutinya dengan kebaikan hingga hari pembalasan.
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung
kepada-Mu dari perbuatan menyekutukan sesuatu dengan-Mu yang kami
mengetahuinya, dan kami meminta ampun kepada-Mu bagi sesuatu yang kami tidak
mengetahuinya.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami,
berlebihan kami dalam perkara kami, tetapkanlah kaki kami, tautkanlah di atas
hati kami, jadikanlah kami di atas bashirah (ilmu) dari perkara dunia dan agama
kami, janganlah Engkau serahkan kami sekejap mata pun kepada diri kami, dan
jangalah Engkau jadikan kami sebagai cobaan bagi orang-orang zalim.
Amma Ba'du:
Sesungguhnya syari'at agama Islam
mencakup keharusan memelihara lima
perkara (dharuriyat al-khams): jiwa, agama, keturunan, akal, dan harta,
dan memandang pelecehan terhadap sesuatu
darinya merupakan penghinaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan faktor-faktor
kelestariannya, bahkan memandangnya sebagai tindakan kriminalitas berat yang
pantas mendapat hukuman di dunia dan akhirat.
Sungguh, Islam menghadapi penyimpangan
yang tergambar dalam pelecehan lima
perkara yang terdahulu dengan cara tersendiri yang berbeda dengan semua
pelanggaran terhadap undang-undang atau peraturan apapun.
Ketika Islam melarang salah satu
perkara dan menganggapnya sebagai tindakan kriminalitas yang pelakunya harus
mendapat hukuman, maka sesungguhnya ia melarang segala sesuatu yang membawa
kepada perbuatan tersebut atau mendorongnya, dan menetapkan sangsi yang
paripurna, adil, kasih sayang, serta menjamin menyusutnya (berkurangnya)
fenomena tindakan kriminal, di saat terjadinya, dan membatasinya dalam ruang
lingkup paling sempit, dan bertujuan untuk memperbaiki pelaku tindakan kriminal
dan mengancam yang lain agar tidak terjerumus dalam tindakan kriminal, menjaga
kepentingan orang banyak, mendorongnya berperilaku dengan akhlak yang utama,
menjauhkan diri dari akhlak dan perilaku buruk yang merusak kehidupan individu,
mengganggu ketenangan mereka, dan menyebabkan bahaya terhadap aqidah dan
tatanan mereka, bahkan mempengaruhi kehidupan individu dan harta mereka dan
memperburuk kehormatan dan perasaan mereka. Dan karena alasan itulah,
disyari'atkan hukum qishash, disyari'atkan hukum hadd, dan disyari'atkan hukum
ta'zir yang diserahkan kepada waliyul amir (pemerintah) untuk membatasi dari
fenomena kriminalitas dan menjaga masyarakat dari kejahatannya.
Dan judul kita ini –dalam beberapa
lembar ini- tentang hukuman salah satu tindakan kriminal yang berbahaya di
tengah masyarakat, sesungguhnya ia adalah hukuman terhadap sihir atau tukang
sihir, yang jika dibiarkan tentu akan mencabik-cabik masyarakat, dan
menghilangkan segala makna kebaikan, keadilan, cinta, keamanan dan keselamatan.
Pembahasan ini mencakup: pengantar,
tamhid, tiga macam pembahasan, tiga sisipan, penutup, daftar ini referensi dan
semua judul.
Tamhid ini mencakup pengertian 'uqubah
(hukuman) secara secara etimologi dan terminologi.
Kemudian diikuti pembahasan pertama:
pengertian sihir. Pembahasan kedua: hukum sihir. Dan pembahasan ketiga: hukuman
untuk tukang sihir.
Kemudian ditutup pembahasan ini dengan
fatwa Lajnah Daimah (anggota tetap) di kerajaan Saudi Arabia, ditambah fatwa
Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Utsaimin –rahimahumallah
tentang hukuman bagi tukang sihir.
Dengan ini aku memohon kepada Allah I,
agar menjadikan perbuatan ini ikhlas karena Zat-Nya I
Yang Maha Pemurah, dan memberikan manfaat kepada penulisnya, pembacanya, yang
mempublikasikannya, dan setiap orang yang punya andil untuk menerbitkannya, dan
hanya Allah I
yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Ditulis oleh
Muhammad bin
Fahd bin Ibrahim al-Wad'an
Riyadh, 1422
Pendahuluan
Pengertian hukuman yang mencakup atas:
Pertama: pengertian hukuman secara etimologi
Kedua: pengertian hukuman secara terminologi
Pengertian hukuman
Pertama: pengertian hukuman secara etimologi:
'Uqubah (hukuman) secara bahasa
(etimologi) berasal dari kata 'aaqaba –yu'aaqibu –'uquubah,
dan 'aaqabtul lishsha mu'aaqabatan wa 'iqaaba, dan dalam bentuk isim al-'uqubah.[i]
Dan al-'uqb (dengan dhammah
'ain kemudian sukun qaaf), dan al-'Uqub (dengan dhammah dua huruf):
artinya al-'aqibah (kesudahan)[ii],
dan termasuk dalam makna ini adalah firman Allah I:
هُوَ خَيْرٌ
ثَوَابًا وَخَيْرٌ عٌقْبًا
Dia adalah
sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.[iii]
Al-'Iqaab:
al-'uquubah, wa qad 'aqabtuhu di dzanbihi (aku telah menghukumnya karena
dosanya). Dan firman Allah I:(
فَعَاقَبْتُمْ)
Maksudnya: maka
kamu mendapatkan harta ghanimah.[iv]
Dan 'aaqabahu, artinya datang di belakangnya, fahuwa mu'aaqbun wa
'aqiib (maka dia yang mengikuti). Dan al-'uqba: balasan perkara, dan
'aaqabahu bi dzanbih (dia menghukumya karena dosanya), dan ta'aqqabtur
rajul; maksudnya aku menangkapnya karena dosanya.[v]
Maka 'uqubah digunakan atas
pembalasan yang manusia dihukum dengannya atas perbuatan maksiat.
Kedua:
Pengertian 'uqubah secara istilah (terminologi):
Uqubah didefinisikan dalam terminologi
syara' dengan definisi yang sangat banyak, di antaranya:
1. Ibnu
'Abidin[vi]
-dari ulama mazhab Hanafi- mendefinisikan: bahwa ia adalah penghalang sebelum
melakukan, ancaman sesudahnya. Maksudnya, dengan mengetahui syari'atnya
menghalangi keberanian melakukan dan terjerumusnya sesudahnya menghalangi
kembali kepadanya.[vii]
2. al-Mawardi[viii]
–dari ulama mazhab Syafii- mendefinikan: sesungguhnya ia adalah ancaman yang diletakkan
oleh Allah I
untuk menghalangi melakukan perbuatan yang dilarang dan meninggalkan yang
diperintahkan.[ix]
3. Abdul
Qadir 'Audah[x]
mendifinikan 'uqubah: yaitu hukuman yang
ditetapkan untuk kepentingan orang banyak atas pelanggaran terhadap perintah syari'.[xi]
Dan yang tergambar dari
definisi-definisi tersebut adalah bahwa ia datang untuk hukuman secara umum,
sama saja hukuman yang segera –di dunia- atau yang tertunda –di akhirat-. Maka
pantas bahwa definisi itu dikaitkan dengan hukuman di dunia, untuk mengeluarkan
pembalasan di akhirat yang tidak mengetahuinya kecuali Allah I.
Sebagaimana definisi yang ketiga membatasi hukuman dalam pembalasan yang
ditetapkan untuk mashlahat, padahal ia
adalah pencegah untuk pelaku kriminal, penghalang baginya dari terjerumus dalam
tindakan kriminal atau maksiat, sebagaimana ia menjadi penghalang bagi orang
lain, di samping merupakan penebus dosanya.
Dengan demikian, definisi yang dipilih
untuk 'uqubah' di dalam syara' adalah: balasan di dunia yang ditetapkan
syara', ditujukan kepada pelaku kejahatan terhadap pelanggaran perintahnya atau
larangannya untuk kepentingan jama'ah (orang banyak).
Penjelasan
definisi tersebut:
Balasan
di dunia: satu bagian dalam definisi, mengandung
semua balasan, sama saja dari hukum Allah I
atau dari hukum produksi manusia.[xii]
Balasan di akhirat keluar dari definisi ini, yang hanya diketahui oleh Allah I.
ditetapkan
syara': mengandung semua jenis hukuman ('uqubah)
yang ditentukan Allah I,
seperti hudud, atau qishash, atau ta'zir. Dan sesuatu yang ditentukan oleh
manusia, berupa undang-undang dasar dan semisalnya tidak termasuk dalam
definisi ini.
ditujukan
kepada pelaku kejahatan:
maksudnya orang
yang melakukan tindakan kejahatan (kriminalitas) secara langsung, atau ikut
serta di dalamnya, atau menyebabkan baginya. Selain pelaku kejahatan keluar
dari definisi ini, maka hukuman tidak ditujukan kepadanya.[xiii]
terhadap
pelanggaran perintahnya atau larangannya:
maksudnya,
karena meninggalkan perintah Allah I
atau melanggar larangan-Nya.
untuk
kepentingan (mashlahat) jama'ah (orang banyak):
yang dimaksud
dengan mashlahat adalah tiga perkara:
1.
Pencegah bagi pelaku kejahatan: dari
terjerumus dalam tindakan kriminalitas atau maksiat. Maka sesungguhnya apabila
ia membayangkan balasan yang akan terjadi dengannya, maka biasanya ia menjadi
penghalang atau penjegah dari terjerumus di dalamnya.
2.
Penghalang bagi selain pelaku kriminil:
sesungguhnya orang yang melihat hukuman terhadap pelaku kejahatan karena
perbuatan jahat yang dilakukannya, maka sesungguhnya jiwanya menahannya dan
mengembalikannya dari terjerumus pada sesuatu yang orang lain terjerumus
padanya.
3.
Membersihkan pelaku kejahatan: apabila ia
terjerumus dalam tindakan kejahatan dan dilaksanakan hukuman atasnya, maka
hukuman itu menjadi penebus dan pembersih dosanya
Dan atas dasar pengertian ini, maka
hukuman itu bisa di dunia atau di akhirat.
Hukuman akhirat adalah balasan dan
hukuman yang tidak mengetahuinya selain Allah I. Dan bisa
pula:
1) Hukuman
selama-lamanya: yaitu hukuman yang ditetapkan Allah I
untuk orang-orang kafir dan munafik,
2) dan hukuman
sementara: yaitu hukuman yang ditetapkan oleh bagi orang-orang yang durhaka,
dari orang-orang yang bertauhid, yang meninggal dunia sebelum sempat bertaubat,
di atas perbedaan di antara mereka dalam berat dan ringannya hukuman.
Dan hukuman
duniawi: bisa jadi 1) Hukuman yang sudah ditentukan: yaitu yang ditentukan oleh
Syari', seperti hudud atau qishash, yaitu yang sudah ditentukan dari sisi
syara', secara jenis dan ukuran. Di mana tidak boleh ditambah atasnya atau
dikurangi. 2) Hukuman yang tidak ditentukan: yaitu yang tergambar dalam hukuman
ta'zir (hukuman supaya jera/kapok). Dan jenis ta'zir dan ukurannya kembali
kepada ijtihad hakim (pemerintah, qadhi) menurut kebutuhan dan mashlahat. Dan
hal itu karena perbedaan jenis kejahatan dan perbedaan waktu dan tempat. Maka
boleh hukuman ta'zir ditambah padanya dan dikurangi menurut pandangan hakim,
yang sesuai kondisi pelaku kejahatan dan cukup untuk membuat dia jera.
Dan ta'zir terkadang bisa sampai
kepada hukum dibunuh, apabila mashlahat menuntutnya dan kerusakan tidak
tertolak kecuali dengannya.[xiv]
Pembahasan pertama:
Pengertian sihir:
Dan mencakup atas:
Pertama: Pengertian sihir secara bahasa
Kedua : pengertian sihir secara istilah
Pengertian
sihir
Pertama:
pengertian sihir secara etimologi:
Sihir: yaitu
mengeluarkan kebatilan dalam rupa kebenaran.[xv]
dan sihir adalah ukhzhah (mantra-mantra, jampi-jampi), dan setiap yang
halus tempat mengambilnya adalah sihir, dan saharahu yashuruhu sihraa.[xvi]
Dan sihir juga
berarti: penipuan, dan termasuk dalam arti ini ucapan penyair:
فَإِنْ تَسْئَلِيْنَ فِيْمَا نَحْنُ
فَإِنَّنَا عَصَافِيْرُ مِنْ هذَا اْلأَنَامِ الْمُسَحَّرِ
Maka jika engkau meminta kepada kami pada
sesuatu yang ada pada kami, maka sesungguhnya kami
Merupakan burung-burung kecil (pipit) dari
manusia yang tertipu ini.
Sepertinya ia
menghendaki yang tertipu, yang terperdaya oleh dunia dan tipuannya.[xvii]
Kedua:
Pengertian sihir dalam terminologi:
Sihir adalah:
ucapan yang disusun untuk membesarkan (mengagungkan) selain Allah I
dan disandarkan kepadanya padanya segala ketentuan alam.[xviii]
Dan sihir juga diberikan definisi:
bundalan-bundalan, ruqyah-ruqyah dan kata-kata yang dibacakan padanya atau ia
menulisnya atau mengerjakan sesuatu yang memberikan pengaruh pada diri yang
terkena sihir atau hatinya (jantungnya) atau akalnya, secara tidak langsung
baginya.[xix]
Pembahasan Kedua
Hukum Sihir
Hukum
Sihir
Sihir diharamkan, melakukannya
hukumnya haram, dan termasuk dosa besar.[xx]
Dalil haramnya adalah berdasarkan al-Qur`an, as-Sunnah dan Ijma'.
Dari al-Qur`an:
firman Allah I:
وَاتَّبَعُوا مَا
تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ
وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ
عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ فَيَتَعَلَّمُونَ
مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَاهُم
بِضَآرِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا
يَضُرُّهُمْ وَلاَ يَنفَعُهُمْ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَالَهُ فيِ
اْلأَخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ لَوْ كَانُوا
يَعْلَمُونَ
Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada
manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaiu
Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun
sebelum mengatakan:" Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu
janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa
yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya
kepada seorangpun, kecuali dengan ijin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu
yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya
mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan
sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui. (QS.
al-Baqarah:102)
Ayat tersebut
menunjukkan haramnya sihir, dan ia juga diharamkan dalam ajaran agama semua
rasul 'alaihimussalam.[xxi]
Sebagaimana firman Allah I:
وَلاَيُفْلِحُ
السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَى
Dan tidak akan
menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang". (QS. Thaha:69)
Dan dari
sunnah:
Sabda
Rasulullah r:
اجْتَنِبُواْ
السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ قِيْلَ: يَارَسُوْلَ اللهِ وَمَا هُنّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ
بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّذِي حَرَّمَهُ اللهُ إِلاَّ
باِلْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ
الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ
"Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan.'
Ada yang
bertanya, wahai Rasulullah, apakah itu? Beliau r menjawab, 'Menyekutukan
Allah I,
sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah I
kecuali dengan benar, memakan harta anak yatim, memakan riba, berpaling di hari
peperangan, menuduh berzina kepada wanita yang menjaga diri lagi beriman.'[xxii]
Al-Bukhari rahimahullah
membuat satu bab dalam shahihnya dalam Kitab ath-Thibb, Bab: syirik dan sihir
termasuk yang membinasakan:[xxiii]
kemudian ia menguraikan hadits Abu Hurairah t, bahwasanya
Rasulullah r
bersabda: "Jauhilah yang membinasakan: syirik (menyekutukan) Allah I
dan sihir."
Dan dari ijma':
Para
ulama ijma' (konsensus) atas haramnya sihir dan sesungguhnya belajar sihir dan
mengajarkannya adalah haram.[xxiv]
Pembahasan kedua
Hukuman Perbuatan Sihir
Apabila dalam perbuatan sihir ada
ucapan atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran, maka penyihir itu dihukum
mati karena murtadnya. Dan jika padanya ada sesuatu yang menuntut bahwa ia
telah membunuh jiwa seseorang yang dipelihara dengan sihirnya, ia dihukum bunuh
sebagai qishash, jika ia mengakui (iqrar) bahwa ia telah membunuh dengan
sihirnya, dan pendapat ini sudah disepakati (ittifaq para ulama).[xxv]
Adapun jika ia melakukan sihir dan
tidak mendatangkan padanya dengan sesuatu yang menyebabkan kafir –maksudnya
tidak menyakini pengaruhnya- dan tidak terjadi darinya sesuatu yang menyebabkan
had (hukuman) murtad (keluar dari islam) dan qishash, maka dalam kondisi ini, para
ulama berbeda pendapat:
Pendapat
pertama:
Sesungguhnya ia dibunuh karena
semata-mata perbuatan sihirnya secara absolot (mutlak), dan ini adalah pendapat
mazhab Maliki,[xxvi]
Hanbali,[xxvii]
dan dipilih oleh al-Lajnah ad-Da`imah di Saudi Arabi[xxviii],
dan ini adalah pendapat mayoritas para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in:
'Umar bin Khattab t,
Utsman bin Affan t,
Ibnu Umar t,
Hafshah, Jundub bin Abdullah t,
Qais bin Sa'ad, Umar bin Abdul Aziz, dan diriwayatkan dari Abu Tsaur dan Ishaq.[xxix]
Ibnu Hubairah rahimahullah berkata:
'Apakah tukang sihir dibunuh hanya semata-mata perbuatan sihirnya? Malik dan
Ahmad berkata: Ya. Dan asy-Syafii dan Abu Hanifah berkata: Tidak.'[xxx]
Dalil-dalil mereka:
1. Dalil
secara umum dalam firman Allah I:
وَاتَّبَعُوا
مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ
وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَآأُنزِلَ
عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ
أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ
Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Merek mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada
dua orang malaikat di negeri Babil yaiu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". (QS.
al-Baqarah:102)
Sisi
pengambilan dalil: ayat ini menunjukkan kafirnya tukang sihir secara mutlak
(absolot), maka sihir itu dinamakan kafir dan orang kafir itu dihukum bunuh
(maksudnya: yang murtad).[xxxi]
2. Hadits
yang berbunyi:
حَدُّ السَّاحِرِ
ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ
"Hukum bagi tukang sihir adalah ditebas dengan pedang.'[xxxii]
Dan mereka
berdalil dengan ucapan Umar t:
'Bunuhlah setiap tukang sihir, laki-laki dan perempuan.' Ia berkata,'Maka kami
membunuh tiga orang tukang sihir.'[xxxiii]
3. dan
dengan riwayat bahwa budak wanita dari Hafshah ummul mukminin radhiyallahu
'anha telah menyihirnya, maka ia mengakui hal itu, maka dia (Hafshah)
menyuruh Abdurrahman bin Zaid (agar membunuhnya) maka ia membunuhnya.[xxxiv]
4. dan
mereka berdalil dengan atsar yang diriwayatkan dari Jundub bin Ka'ab t,[xxxv]
sesungguhnya ia telah membunuh tukang sihir yang ada di sisi al-Walid bin
Uqbah.[xxxvi]
5. Mereka
berkata: 'Dan perbuatan Umar t
dikenal masyarakat luas, maka tidak ada yang mengingkari, maka ia merupakan
ijma'.[xxxvii]
Pendapat
yang kedua:
Penyihir dihukum ta'zir yang berat
yang membuatnya jera, dan ta'zir itu tidak sampai ia dihukum bunuh, ini adalah
pendapat mazhad Syafii,[xxxviii]
Zhahiriyah,[xxxix]
dan satu riwayat dalam mazhab Hanbali.[xl]
Dan mereka
mengambil atas pendapat tersebut dengan beberapa dalil, di antaranya:
1. Sabda
Nabi r:
لاَ يَحِلُّ دَمُ
امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإْحْدَى
ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي
وَالنَّفْسُ باِلنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَةِ
"Tidak halal darah seorang muslim (dibunuh) yang
bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Allah I
dan sesungguhnya aku adalah utusan Allah I,
kecuali karena salah satu di antara tiga sebab: pertama orang yang pernah
menikah kemudian berzina, kedua membunuh kemudian dibalas bunuh, ketiga orang
yang meninggalkan agamanya (murtad) dan meninggalkan jamaahnya."[xli]
Mereka berkata:
maka tukang sihir bukanlah orang kafir, bukan pembunuh, dan bukan pezinah yang
sudah pernah menikah, maka tidak dibolehkan darahnya kecuali apabila ia melakukan
salah satu di antara tiga yang telah disebutkan. Maka tidak boleh membunuhnya
hanya karena semata-mata perbuatan sihirnya, karena ia tetap dihormati
darahnya.[xlii]
2. Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha menjual budak perempuan mudabbar
(yang dijanjikan merdeka setelah majikannya meninggal dunia) yang telah
menyihirnya,[xliii]
jika boleh membunuhnya niscaya tidak boleh menjualnya.[xliv]
3. Sesungguhnya
Rasulullah r
tidak membunuh orang yang telah menyihirnya, yaitu Labid bin al-A'sham, maka
seorang mukmin juga harus seperti itu, karena sabda Nabi r:
'Untuk mereka apa-apa yang diberikan untuk kaum muslimin dan atas mereka
apa-apa yang dibebankan atas mereka.'[xlv]
Mereka berkata: Sungguh Allah I
telah memberitahukan kepada Rasul-Nya orang yang telah menyihirnya, maka beliau
r
tidak membunuhnya. Jika had tukang sihir adalah dibunuh niscaya Rasulullah r
melakukan hal itu, dan demikian pula Ummul mukminin sesudah beliau.[xlvi]
4. Dan
mereka berkata: dan sesungguhnya Allah I
menggambarkan para penyihir bahwa mereka memisahkan di antara seseorang dengan
istrinya, maka dikhususkan kafir dengan mereka dan tetaplah para penyihir
lainnya atas dasar dipelihara (darahnya), maka ia diberi hukuman ta`zir yang
berat, tidak sampai dibunuh, karena ia telah melakukan maksiat, jika
membahayakan, ia diberi hukuman menurut kadar mudharatnya.[xlvii]
Pendapat
Ketiga:
Penyihir dihukum ta'zir dan bisa
mencapai hukum bunuh, ini adalah pendapat mazhab Hanafi[xlviii]
dan satu pendapat dalam mazhab Hanbali.[xlix]
Dan alasan pendapat ini: mereka berkata: karena menolak bahayanya terhadap
manusia, dan karena ia berjalan di muka bumi dengan berbuat kerusakan, maka ia
dibunuh sebagaimana hukum para perampok.[l]
Pendapat
Keempat:
Ia ditahan sebagai hukum ta'zir sampai
ia bertaubat, kembali, dan menahan kejahatannya dari manusia. Dan pendapat ini
dikutip dari imam Ahmad.[li]
Dan sebagian ulama Hanafi berkata: Ia ditahan dan dipukul hingga bertaubat.[lii]
Dan alasan pendapat ini adalah: karena
sesungguhnya ia menyamarkan perkaranya atas manusia, maka kesudahan dari
ditahannya penyihir adalah mengasingkannya dari masyarakat dan mempersempit
ruang geraknya, agar tidak tersebar kebatilannya di antara orang-orang kaya dan
masyarakat umum dengan tujuan mendapatkan harta mereka. Maka apabila ia telah
bertaubat, menyesal, dan keadaannya menjadi baik, ia dikeluarkan dari penjara,
agar dia ikut serta membangun masyarakat dengan jalan-jalan dan metode yang
lurus.[liii]
Dialog:
Dialog pendapat pertama yang
mengatakan bahwa hukumannya adalah dibunuh secara mutlak:
1. Dalil
mereka dengan ayat dijawab: Sesungguhnya Allah I berfirman:يُعَلِّمُونَ
النَّاسَ السِّحْرَ (Mereka mengajarkan
sihir kepada manusia )'Mereka mengajarkan' adalah permulaan
kalimat, bukan badal. Dan jika benar merupakan badal niscaya ia
bukan merupakan hujjah, karena hal itu adalah berita dari Allah I
bahwa hal itu adalah hukum para syetan setelah hari-hari Sulaiman u.
Dan syari'at itu tidak wajib terhadap kita, dan hukum Allah I
pada para syetan keluar dari hukum kita. Dan firman Allah I:
( وَمَا
يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ
)
(sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum
mengatakan:"Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah
kamu kafir". )juga bukan merupakan hujjah bagi mereka
padanya, sesungguhnya dalam hal ini adalah larangan terhadap kufur secara umum,
dan keduanya tidak berkata: maka janganlah kamu kafir dengan mengajarkan sihir
dan tidak pula dengan pengetahuanmu terhadap sihir. Maka pendapat mereka ini
adalah tambahan dalam al-Qur`an yang tidak ada di dalamnya dan tidak ada dalil
atasnya.[liv]
2. Dan
dijawab tentang hadits: حَدُّ السَّاحِرِ
ضَرْبَةٌ بِالسَّيْفِ (Hukum bagi tukang
sihir adalah ditebas dengan pedang.) ini adalah hadits dha'if (lemah),
karena ia dari riwayat Ismail bin Muslim, dia dha'if, maka tidak ada hujjah
padanya.[lv]
Dan Ibnu Hazm berkata –setelah memaparkan
hadits dari jalur al-Hasan secara mursal –sesungguhnya ia adalah hadits mursal
dan tidak ada hujjah pada hadits mursal. Dan jika shahih maka tidak ada
hubungannya sama sekali, karena padanya had penyihir ditebas dengan pedang, dan
bukan membunuhnya, dan pukulan bisa tidak tepat maka hanya melukainya saja dan
kadang bisa membunuh. Maka mereka telah menyalahi nash ini dan mewajibkan
membunuhnya.[lvi]
3. Adapun
atsar dari Umar t,
maka dijawab: sesungguhnya hukumnya padanya menurut ijtihadnya yang tidak
terdapat dalam al-Qur`an dan tidak pula dari Sunnah, sebagaimana ia menyalahi
pendapat Aisyah radhiyallahu 'anha, maka gugurlah ketergantungan mereka
dengan pendapat Umar t.[lvii]
4. Adapun
hadits Hafshah radhiyallahu 'anha: maka dijawab: sesungguhnya tidak ada
hujjah dalam pendapat seseorang tanpa ada dalil dari Rasulullah r,
sebagaimana telah shahih menyalahi yang demikian itu dari 'Aisyah radhiyallahu
'anha.[lviii]
Dialog pendapat
kedua yang mengatakan bahwa hukumannya adalah ta'zir dan tidak sampai dihukum
bunuh:
1. Dalil
mereka dengan hadits:
(Tidak halal
darah seorang muslim…) dijawab darinya: sesungguhnya hadits tersebut
bersifat umum dan riwayat bahwa penyihir dihukum bunuh bersifat khusus, maka
yang umum dibawakan kepada yang khusus, dan hadits-hadits bahwa penyihir
dihukum bunuh dikhususkan baginya, sebagaimana sihir dipandang keluar dari
agama dan meninggalkan jamaah. Karena alasan inilah tidak ada seorang sahabat
pun yang mengingkari orang yang membunuh penyihir di antara mereka, maka hal
ini dipandang sebagai ijma' atas mengamalkan yang diriwayatkan secara khusus
dalam had penyihir, dan dalil yang khusus memutuskan atas yang umum.[lix]
2. Dalil
mereka dengan riwayat dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha:
Pertama: Andaikan riwayat itu memang
shahih, maka sesungguhnya ia tidak bisa menjadi hujjah, karena ia adalah
perbuatan sahabat yang bertentangan dengan nash yang marfu' dan mayoritas
sahabat berbeda dengan pendapatnya, maka pendapat mayoritas tidak bisa
ditinggalkan hanya karena pendapat satu orang.[lx]
Kedua: andaikan hadits itu shahih,
maka ditanggungkan bahwa jariyah itu bukan penyihir sesungguhnya, artinya ia
pergi kepada seorang penyihir yang menyihirnya, maka ia merupakan perbuatan
selain dia.[lxi]
Ketiga: ada
kemungkinan bahwa sihirnya adalah dengan meletakkan obat-obatan yang berbahaya
dan semisal yang demikian itu yang perbuatannya tidak dipandang sihir secara etimologi.[lxii]
Adapun dalil mereka bahwa Rasulullah r
tidak membunuh Labid ketika ia menyihir beliau r, maka dijawab
tentang dalil tersebut dengan dua jawaban:
Pertama: memandang hal itu sebagai
dalil berdasarkan sabda beliau r:
'Bagi mereka apa-apa yang diperuntukkan bagi kaum muslimin dan atas mereka
apa-apa yang dibebankan atas kaum muslimin' maka dijawab: sesungguhnya ini
adalah pengambilan dalil yang tidak bisa diterima, hadits yang disebutkan
pendapat ini tidak berarti ahli kitab. Maka yang dimaksud dengan mereka adalah
orang-orang yang tunduk bagi agama Islam, yang mengucapkan dua kalimah syahadat
dan konsekuensinya, mereka menjadi islam secara hukum, dan ahli kitab tidak termasuk
dari mereka. Ucapan ini tidak bisa dikatakan kepada ahli kitab kecuali dalam
beberapa perkara yang sangat terbatas. Ditetapkan untuk mereka dengan membayar
jizyah sebagai imbalan jaminan keamanan atas diri, keluarga, dan harta mereka
saat di muqim dan bepergian, bukan dalam semua perkara. Maka perbedaan di
antara kaum muslimin dan ahli zimmah sangat luas.[lxiii]
Kedua: adapun Labid menyihir Nabi r
dan sesungguhnya beliau r
tidak membunuhnya, bahkan tidak mencelanya, dan untuk menjawabnya ada beberapa
macam:[lxiv]
a. Sesungguhnya
Rasulullah r
tidak membunuhnya karena dia seorang munafik, maka Rasulullah r
ingin agar tidak memberikan pengaruh buruk atasnya, karena ia memberikan
pengaruh kebencian terhadap orang yang menampakkan keislaman, sekalipun nampak
darinya apa-apa yang nampak.
b. Sesungguhnya
Nabi r
tidak membunuh Labid bin al-A'sham karena dia r tidak membalas
dendam untuk dirinya sendiri, dan karena dia khawatir apabila membunuhnya bahwa
terjadinya fitnah (kekacauan) di antara kaum muslimin dan para sekutunya dari
kalangan Anshar, dan ia termasuk alasan kenapa beliau r
tidak membunuh orang-orang munafik.
c. Atau
beliau tidak membunuhnya agar manusia tidak lari dari agama islam.
Adapun ucapan mereka (sesungguhnya sifat kufur khusus bagi para
penyihir orang-orang kafir, dan karena dia melakukan maksiat maka ia diberi
hukuman menurut kadar mudharatnya…) dijawab: sesungguhnya hal itu batil dari
dua sisi[lxv]:
Salah satunya:
sesungguhnya mereka tidak mengetahui sihir, dan hakikatnya bahwa ia adalah
ucapan yang disusun, yang diagungkan selain Allah I,
dan disandarkan kepadanya ketentuan taqdir dan alam semesta.
Kedua: sesungguhnya
Allah I
menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa perbuatan sihir adalah kafir, dan sesungguhnya
Dia I
berfirman:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا
الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ) ) (Dan
mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan
Sulaiman) dari sihir, padahal Sulaiman u
tidak kafir dengan mengucapkan sihir, akan tetapi syetan-syetan itu kafir
dengannya dan dengan mengajarkannya, dan Harut dan Marut mengatakan:
sesungguhnya kami hanya sebagai cobaan maka janganlah engkau kafir, dan ini
menguatkan bagi penjelasan.
Tarjih:
Pendapat yang rajih bahwa penyihir
adalah dibunuh secara mutlak dan tidak disuruh bertaubat, sekalipun ia
melakukan sihir dan tidak melakukan yang menyebabkan kufur, dan hal itu karena
yang berikut ini:
Sebab-sebab
tarjih:
Pertama: karena kuatnya dalil pendapat
pertama dan jelasnya dalam mengambil dalil atas wajib membunuhnya.
Kedua: karena hukuman membunuh
penyihir adalah perbuatan sahabat radhiyallahu 'anhum dan tabi'in yang
sesudah mereka, maka hal itu dipandang sebagai ijma' dari mereka atas
mengamalkan hadist yang diriwayatkan dalam hal itu. Dan perbuatan Umar t
dengan membunuh para penyihir secara mutlak adalah shahih. Hal itu merupakan syahid
(penguat) terbaik bagi hadits Jundub t
dalam had penyihir. Dan seperti ini diriwayatkan dari Hafshah radhiyallahu
'anha dan persetujuan Utsman t
bagi mereka. Demikian pula Jundub t
membunuh penyihir dan riwayatnya kuat. Dalil-dalil cukup dalam menetapkan had
bagi penyihir dan sesungguhnya hukumannya adalah dibunuh secara mutlak dan
tidak diminta bertaubat, karena tidak ada riwayat tentang hal itu dari para
sahabat.
Asy-Syanqithi rahimahullah
berkata: 'Maka atsar-atsar ini, yang tidak diketahui adanya seorang pun dari
sahabat yang mengingkarinya, serta didukung hadits marfu' yang disebutkan
merupakan hujjah bagi yang mengatakan penyihir dihukum bunuh secara mutlak.
Hadits dan atsar-atsar yang disebutkan merupakan dalil bahwa ia dibunuh,
sekalipun sihirnya tidak sampai kepada batas kufur, karena penyihir yang
dibunuh oleh Jundub t,
sihirnya hanya berupa sya'wazhah dan mengambil dengan semua mata sehingga
dikhayalkan kepadanya bahwa ia memotong kepala seorang laki-laki dan
kenyataannya berbeda, dan ucapan Umar t
'Bunuhlah setiap penyihir' menunjukkan bahwa hal itu bersifat umum.'[lxvi]
Kemudian asy-Syanqithi rahimahullah
berkata: dan yang nampak di sisiku, sesungguhnya penyihir yang sihirnya tidak
sampai kufur dan tidak membunuh manusia dengannya, sesungguhnya ia tidak
dihukum bunuh, berdasarkan nash-nash yang qath'i (pasti) dan ijma' atas
dipeliharanya darah kaum muslimin secara umum kecuali dengan adanya dalil yang
jelas. Dan membunuh penyihir yang tidak kafir dengan sihirnya dan tidak ada
suatu riwayat dari Nabi r
serta memberanikan diri terhadap darah kaum muslimin tanpa adanya dalil yang
shahih dari al-Qur`an dan Sunnah yang marfu' tidak nampak menurut pendapatku
–dan hanya Allah I
yang mengetahui, padahal pendapat dengan membunuhnya secara mutlak sangat kuat
karena perbuatan sahabat tanpa ada yang mengingkarinya.[lxvii]
Asy-Syaukani rahimahullah
mengutip dari Imam Malik rahimahullah, ia berkata, 'Malik berkata,
'Penyihir adalah kafir dihukum bunuh dan tidak disuruh bertaubat, tidak
diterima taubatnya, bahkan harus dibunuh.'[lxviii]
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah
berkata, 'Aku mendengar bapakku berkata, 'Apabila hal itu diketahui, lalu
ia mengaku, penyihir itu dihukum bunuh.'[lxix]
Ketiga:
sesungguhnya pendapat yang membedakan di antara penyihir yang perbuatan
sihirnya menyebabkan kufur dan tidak adalah pemisahan tanpa alasan. Sihir tidak
mungkin kecuali dengan meminta tolong
kepada syetan. Maka tidak ada alasan memberikan perincian atau membedakan dalam
hukumnya. Firman Allah
I: وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا
يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ hanya syaitan-syaitan itulah
yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia (QS.
al-Baqarah:102) ayat tersebut menjelaskan bahwa sihir
adalah dari ajaran syetan, dan tidak merinci antara sihir yang satu dengan yang
lain, ia bersifat mutlak.
Adapun
pendapat: bahwa apabila ia tidak membunuh manusia, sesungguhnya ia tidak
dibunuh, maka dijawab dengan jawaban Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah:
'Dan penyihir, tidak sempurna sihir baginya, syetan tidak mengabarkan yang gaib
kepadanya, tidak membantunya membunuh seseorang kecuali setelah menyembah
selain Allah I
dengan memberikan sesuatu kepada syetan yang mereka sukai berupa menyembelih
untuk mereka dan sejenisnya. Hingga sesungguhnya sebagian mereka bisa melakukan
perbuatan keji dengannya. Ini termasuk istimta' yang disebutkan dalam
firman Allah I: رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا
بِبَعْضٍ:"Ya Rabb kami, sesungguhnya sebahagian dari pada kami
telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain). (QS. al-An'aam:128)
maka ia adalah kafir. [lxx]
Keempat: sesungguhnya pendapat dengan
membunuh penyihir secara mutlak, tanpa diminta bertaubat adalah pendapat yang
sesuai kaidah syara' dan menolak kerusakan serta menutup pintu kekacuan, karena
penyihir berbuat kerusakan dimuka bumi, dan kerusakan mereka termasuk yang
terbesar. Bahkan jika mereka dibiarkan tanpa dihukum bunuh, niscaya kejahatan
mereka mancabik-cabik semua masyarakat, memisahkan keluarga,[lxxi]
menggelisahkan ketenangan mereka, merusak kehidupan mereka, merusak akidah
mereka dan terkadang membawa kepada perbuatan jahat terhadap kehormatan mereka.
Dan karena dalam membunuh mereka,
manusia selamat dari kejahatan mereka, takut bersandar kepada mereka, dan dari
melakukan sihir.
Dari penjelasan terdahulu, jelas bagi
kita bahwa sihir dengan semua jenisnya diharamkan dalam semua syara',
disepakati atas haramnya dan haram belajarnya. Ia menyalahi ajaran para rasul
dan bertentangan sebab-sebab diturunkan kitab-kitab.
Dan atas dasar ini, maka pendapat yang
shahih bahwa penyihir adalah kafir, sama saja ia meyakini haramnya atau tidak.
Maka semata-mata melakukan perbuatan sihir adalah kafir. Inilah yang
ditunjukkan oleh dhahir dalil-dalil dan nash-nash dan tidak ada nash lain yang
bertentangan dengannya. Firman Allah I:
وَمَاكَفَرَ
سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ (padahal
Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang
kafir (mengerjakan sihir). Dan firman Allah I:
وَمَا
يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولآ إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلاَ تَكْفُرْ (sedang keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:"Sesungguhnya
kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir). Maksudnya
dengan perbuatan sihir, maka pastilah bahwa ini adalah kafir. Karena inilah
Allah I
berfirman dalam ayat berikutnya:
وَلَوْ
أَنَّهُمْ ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا Sesungguhnya kalau
mereka beriman dan bertaqwa, (QS. al-Baqarah :103).
Maka tidak ada dalil atas disyaratkan meyakini bolehnya sihir atau tidaknya.
Maka ketika sudah pasti sifat sihir atas seseorang, maksudnya: apabila sudah
pasti atasnya dengan pengakuannya atau adanya saksi atas hal itu, maka ia harus
dibunuh dan yang mengurus pembunuhan hukum bunuh terhadapnya adalah pemerintah
atau yang menduduki posisinya, karena bila yang melakukan hal itu bukan
pemerintah akan berakibat rusak dan kacaunya keamanan dan hilangnya wibawa
pemerintah. Wallahu A'lam.
Tambahan yang meliputi:
Pertama: Fatwa Lajnah Daimah
Kedua : Fatwa Syaikh Bin Baz
Ketiga: Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertama:
Fatwa Lajnah Daimah tentang hukum terhadap penyihir
Lajnah Daimah lil Buhutsil Ilmiyah
di Kerajaan Saudi Arabia[lxxii]
tentang had atau hukum terhadap penyihir? Maka Lajnah menjawab:
"Apabila penyihir melakukan
dengan sesuatu yang menyebabkan kufur, ia dibunuh karena murtadnya secara had.
Dan jika sudah pasti bahwa ia membunuh dengan sihirnya kepada jiwa yang dijaga,
ia dihukum bunuh secara qishash. Dan jika ia tidak mendatangkan dalam sihirnya
dengan yang menyebabkan kafir atau tidak membunuh jiwa, maka dalam membunuh
dengan sihirnya ada perbedaan pendapat, dan pendapat yang shahih bahwa ia
dibunuh secara had karena murtadnya, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik,
dan Ahmad rahimahumullah, karena ia menjadi kafir dengan perbuatan
sihirnya secara mutlak, berdasarkan ayat:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا
الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَاكَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِّنَّ
الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ
Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir
(mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia (QS. al-Baqarah:102)
Atas kafirnya
penyihir secara mutlak. Dan karena riwayat dalam shahih al-Bukhari, dari
Bujalah bin Abdah, ia berkata, 'Umar bin Khaththab t
menulis: 'Bahwa bunuhlah setiap penyihir, laki-laki dan perempuan.' Maka kami
membunuh tiga orang penyihir. Dan riwayat yang shahih dari Hafshah Ummul Mukminin
Radhiyallahu 'anha, sesungguhnya ia menyuruh membunuh jariyahnya (budak
perempuan miliknya) yang telah menyihirnya, lalu ia dibunuh.' Diriwayatkan oleh
Malik dalam al-Muwaththa`. Dan karena riwayat dari Jundub t,
sesungguhnya ia berkata, 'Had penyihir adalah ditebas dengan pedang. HR.
at-Tirmidi dan ia berkata, 'Yang shahih bahwa ia adalah mauquf.'
Atas dasar ini, maka hukum penyihir
yang ditanyakan dalam permohonan fatwa adalah dibunuh menurut pendapat yang
shahih dari semua pendapat para ulama. Dan yang berhak menetapkan sihir dan
hukuman itu adalah penguasa yang mengurus perkara kaum muslimin, karena menolak
kerusakan dan menutup pintu kekacauan.
Kedua:
Fatwa Samahah Syaikh Bin Baz rahimahullah tentang hukuman penyihir
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata dalam pertanyaan yang diajukan kepada beliau: 'Di masa sekarang banyak
perbuatan sihir dan mendatangi para penyihir, apakah hukum hal itu dan apakah
jalan yang dibolehkan untuk mengobati orang yang terkena sihir?
Sihir termasuk dosa besar yang
membinasakan, bahwa ia termasuk yang membatalkan islam… hingga beliau berkata:
para ulama berbeda pendapat pada hukum penyihir, apakah ia disuruh bertaubat
dan diterima taubatnya atau dibunuh dalam kondisi apapun dan tidak disuruh
bertaubat apabila dipastikan sihir atasnya? Dan pendapat kedua adalah yang
benar, karena masih hidupnya dia membahayakan masyarakat Islam dan biasanya
tidak benar dalam bertaubat, dan karena masih hidupnya ia merupakan bahaya
besar terhadap kaum muslimin. Dan yang berpendapat seperti ini berhujjah bahwa
Umar t
menyuruh membunuh para penyihir dan tidak
meminta mereka bertaubat, dan dia t
adalah khalifah rasyidah yang kedua, yang Rasulullah r
menyuruh mengikuti sunnah mereka.
Dan mereka berhujjah pula dengan
hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi rahimahullah dari Jundub bin
Abdullah al-Bajali, dari Jundub al-Khair secara marfu' dan mauquf: 'Dan had
penyihir adalah menebasnya dengan pedang', dan sebagian rawi membacanya
dengan huruf ta`, ia membaca: 'Had penyihir adalah tebasan dengan pedang'.
Dan yang shahih menurut pendapat para ulama adalah mauqufnya hadits tersebut
atas Jundub.
Dan shahih riwayat dari Hafshah Ummul
Mukminin radhiyallahu 'anha, sesungguhnya ia menyuruh membunuh
jariyahnya yang telah menyihirnya, lalu ia dibunuh tanpa disuruh bertaubat.
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
'Telah tetap hal itu, maksudnya membunuh penyihir, tanpa disuruh bertaubat dari
tiga orang sahabat Nabi r,
maksudnya adalah Umar t,
Jundub t,
dan Hafshah radhiyallahu 'anha.
Dan dengan penjelasan yang telah kami
sebutkan, sesungguhnya tidak boleh mendatangi penyihir dan bertanya kepada
mereka tentang apapun juga, dan tidak boleh membenarkan mereka, sebagaimana
tidak boleh mendatangi para peramal dan dukun. Dan sesungguhnya yang wajib adalah
membunuh penyihir apabila sudah pasti ia melakukan sihir dengan pengakuannya
atau saksi secara syar'i, tanpa harus diminta bertaubat.
Adapun mengobati sihir maka diobati
dengan ruqyah syar'iyah dan obat-obat bermanfaat yang dibolehkan…dst.[lxxiii]0
Ketiga:
Fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah tentang hukuman terhadap
penyihir
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata –dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepada beliau: Apakah penyihir
dibunuh karena murtad atau hadd?
"…dan wajib membunuh para penyihir,
sama saja kita katakan dengan sebab kafirnya mereka atau karena besarnya bahaya
mereka dan kejinya perbuatan mereka. Mereka memisahkan di antara seseorang
dengan istrinya. Demikian pula sebaliknya, maka mereka membuat kasih sayang,
maka menyatukan di antara para musuh, dan menyampaikan dengan hal itu kepada
tujuan mereka. Sebagaimana jikalau ia menyihir perempuan agar berzinah
dengannya. Maka penguasa harus membunuh mereka tanpa menyuruhnya bertaubat,
selama ia adalah hadd, karena apabila had telah sampai kepada imam/pemimpin,
pelakunya tidak diminta bertaubat, bahkan dilaksanakan dengan segala kondisi…
Hingga beliau berkata: 'Maka pendapat
dibunuhnya penyihir sesuai dengan kaidah syara', karena mereka berbuat
kerusakan di muka bumi, dan kerusakan mereka adalah yang terbesar. Dan apabila
mereka dibunuh, manusia selamat dari kejahatan mereka dan manusia merasa takut
dari melakukan sihir.'[lxxiv]
Dan beliau –rahimahullah-
berkata di tempat yang lain: 'Dan karena alasan inilah penyihir dihukum bunuh,
bisa jadi karena murtad dan bisa pula secara had. Jika sihir atas cara yang dia
kafir dengannya, maka dia dibunuh karena murtad dan kufur, dan jika sihirnya
tidak sampai kepada derajat kufur maka ia dibunuh secara had, karena menolak
kejahatan dan gangguannya terhadap kaum muslimin.'[lxxv]
Penutup
Setelah pemaparan yang singkat dan
ringkas ini dalam judul hukuman terhadap perbuatan sihir, jelaslah bagi kita
yang berikut ini:
Pertama: Sesungguhnya hukuman
adalah balasan dunia yang telah ditetapkan syara', terhadap pelaku tindakan
kriminal, atas pelanggaran terhadap perintahnya atau larangannya untuk
kepentingan jamaah.
Kedua: Sesungguhnya sihir
diharamkan dan melakukannya adalah haram dan termasuk dosa besar, dan sudah
menjadi ijma' atas haramnya dan sesungguhnya mempelajari dan belajarnya adalah
haram.
Ketiga: Apabila dalam sihir ada
perkataan atau perbuatan yang menyebabkan kufur, dia dibunuh karena murtadnya.
Dan jika padanya ada yang menuntut bahwa ia telah membunuh dengan sihirnya
terhadap jiwa yang dijaga, ia dibunuh secara qishash, jika ia mengakui bahwa ia
telah membunuh dengan sihirnya, dan ini sudah menjadi kesepakatan para ulama.
Keempat: Sesungguhnya orang
yang melakukan perbuatan sihir dan tidak mendatangkan padanya dengan sesuatu
yang menyebabkan kafir, maksudnya tidak meyakini pengaruhnya, dan tidak terjadi
darinya sesuatu yang menyebabkan had murtad dan qishash, maka dalam hal ini ia
dibunuh karena semata-mata perbuatan sihirnya secara mutlak –yaitu pendapat
yang rajih-, ia adalah mazhab Malikiyah dan Hanabilah, dan pendapat dipilih
oleh Lajnah Daimah lil Buhust al-Ilimiyah wa al-Ifta` di Saudi Arabia.
Hal itu karena kuatnya dalil-dalil yang diberikan yang berpendapat ini dan
jelasnya dalam dalil atas wajibnya membunuhnya.
Inilah –hanya Allah I
saja yang paling mengetahui kebenaran- dengan nikmat-Nya sempurna segala
kebaikan, dan segala puji bagi Allah I
Rabb semesta alam, dan semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi-Nya
yang terpercaya.
Ditulis
oleh Muhammad bin Fahd bin Ibrahim al-Wad'an.
Riyadh
1422 H.
[ii] Ar-Razzi, Mukhtar
ash-Shihah (hal. 186).
[iii] QS.
al-Kahf:44)
[iv] Al-mumtahanah: 11
[v] Al-Jauhari, Taju
al-'Arus dan shihah al-'arabiyah (ash-Shihah) (1/166), dan al-Fauruzabadi,
al-Qamus al-Muhith (1/203).
[vi] Muhammad Amin bin
Umar bin Abdul Aziz bin 'Abidin ad-Dimasyqa, ulama fiqih negeri Syiria, imam
ulama mazhab Hanafi di zamannya. Lahir dan wafat di Damaskus. Di antara karya-karyanya adalah: Raddul Mukhtar ala ad-Durrul Mukhtaar (Hasyiyah Ibnu
Abidin), ar-Rahiqul Makhtuum fi al-Fara`idh,, wafat pada tahun 1252 H.
al-Zirikli: al-A'laam (6/42).
[vii] Ibnu Abidin, Radd
al-Mukhtaar 'ala ad-Durr al-Mukhtaar syarh Tanwir al-Abshar (hasyiyah Ibnu
Abidin) (4/165) dan Ibnu al-Hammam, Fath al-Qadir (5/212).
[viii] Ali bin Muhammad bin
Habib Abu al-Husain al-Mawardi al-Bashri asy-Syafii, dari ulama mazhab Syafii,
pakar dalam berbagai disiplin ilmu. Dilahirkan pada tahun 364 H dan wafat tahin
450 H. di antara karya-karyanya adalah: al-Hawi, Adab al-Qadhi, adab ad-Dunya wa ad-Diin. Ibnu Qadhi Syahbah:
Thabaqat asy-Syafi'iyah (1/230), Ibnu al-'Imaad: Syadzarat adz-Dzahab (3/2859).
[ix] Al-Ahkam
as-Sulthaniyah wa al-Wilayat ad-Diniyah hal. 221.
[x] Abdul Qadir 'Audah:
seorang pengacara dari ulama syari'at islam di Mesir. Salah seorang pemimpin
Ikhwanul Muslimin yang dibunuh oleh Jamal Abdul Nashir bersama para pemimpin
Ikhwanul Muslimin lainnya pada tahun 1374 H dalam sebuah tuduhan palsu yang
buat-buat terhadap mereka, dan investigasi menetapkan bebasnya mereka dari semua tuduhan itu. Di antara karya-karyanya adalah:
al-Islam wa audha'una al-Qanuniyah, dan al-Tasyri' al-Jina`i. al-Zirikli:
al-A'lam (4/24).
[xi] 'Audah, al-Tasyri' al-Jina`I (1/609).
[xii] Al-Luhaibi,
al'Uqubaat at-Tafwidhiyah wa ahdafuha fi dhau`I al-kitab wa as-sunnah (hal.
37).
[xiv] Lihat: Ibnu Rusyd:
Bidayah al-Mujtahid (2/395), Ibnu Taimiyah: al-Hisbah (hal 59) dan Majmu'
al-Fatawa (4/601), (28/108-109), Audah: at-Tasyri' al-Jina`I (1/634), dan Abu
Zahrah: al-'Uqubah (hal. 52-63)
[xvi] Al-Jauhari,
ash-Shihah (2/485).
[xviii] Ibnu al-'Arabi: Ahkam
al-Qur'an (1/31).
[xx] An-Nawawi: Raudhah
ath-Thalibin (9/346), al-Anshari: Asna al-Mathalib (4/82), al-Wansyirini:
al-Mi'yar al-Mu'arrab (12/55), Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/300), azh-Zhahabi:
al-Kaba`ir (hal. 15) dosa besar yang ketiga, Ibnu Abdul Wahab: Fath al-Majid
Syarh Kitab at-Tauhid (hal. 316).
[xxi] Ibnu Wahhab: Fath
al-Majid (hal. 316) .
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ
سَعِيرًا {10}
Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka). (QS. an-Nisaa`:10)
Dan
Muslim dalam shahihnya hal. 60, no. 89,
kitab al-Iman, bab al-Kaba`ir wa
akbaruha, ini adalah lafazhnya, dari Abu Hurairah t.
[xxiii] Al-Bukhari dalam
Shahihnya (hal. 1017-1018) no. 5764 dalam kitab ath-Thibb, bab Syirik dan sihir
termasuk yang membinasakan.
[xxv] Al-Jashshash: Ahkam
al-Qur`an (1/74), Ibnu Abidin: Radd al-Mukhtar (4/226), ad-Dardiir: asy-Syarh
al-Kabir (4:302), al-Ubbi: Jawahir al-Iklil (2/205), Ibnu Hajar: Fath al-Bari
(10/236), al-Anshari: Asna al-Mathalib (4/82), Ibnu Quddamah: al-Mughni
(12/300) dan Ibnu al-Murthadi: al-Bahr az-Zikhar (5:204).
[xxvi] Ibnu Jazi: al-Qawanin
al-Fiqhiyah (hal. 240) dan ad-Dardiir: asy-Syarh al-Kabir (4/302).
[xxvii] Ibnu Katsir: Tafsir
al-Qur`an al-Kariim (1/141), al-Karmi: Ghayah al-Muntaha fi al-Jami'i baina
al-Iqna` wa al-Muntaha (3/344), Ibnu Quddamah : al-Mughni (12/302).
[xxviii] Al-Lajnah ad-Da`imah:
al-Fatawa (1/551) pertanyaan no. 4804.
[xxix] Ibnu al-Hammam: Fath
al-Qadir (6/99), al-Jashshash: Ahkam al-Qur`an (1/74), Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/300), Ibnu Taimiyah: Majmu' al-Fatawa (28/346), dan
(29/384), dan Ibnu al-Qayyim: Zaad al-Ma'ad (5/62).
[xxxii] HR. at-Tirmidzi dalam
sunannya (4/49) no. 1460 dalam kitab al-Hudud, bab tentang hukuman bagi
penyihir. At-Tirmidzi berkata: Ini
adalah hadits yang tidak kami kenal secara marfu' kecuali dari jalur ini, dan
Ismail bin Muslim al-Makki didha'ifkan dalam hadits, ad-Daraquthni dalam
sunannya (3/90) no. 3179 dalam kitab hudud dan diyat secara yang lainnya, dan
muhaqqiq mendha'ifkan sanadnya, ia berkata: padanya ada Ismail bin Muslim
al-Makki, dha'if dalam hadits. Lihat: Ibnu Hajar: Taqrib at-Tahdzib hal. 49,
dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (4/360) dalam kitab al-Hudud, bab hukuman
tukang sihir adalah ditebas dengan pedang. Al-Hakim berkata: Ini adalah hadits yang shahih secara isnad,
sekalipun dua syaikh meninggalkan hadits Ismail bin Muslim, maka sesungguhnya
ia gharib shahih, dan baginya ada syahid yang shahih atas syarat keduanya,
semuanya berlawanan ini, dan adz-Dzahabi menyetujuinya dalam at-Talkhish (4/360),
ia berkata: Shahih Gharib, sekalipun Ismail telah ditinggalkan, dan
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam al-Kubra (12/242) no. 16968) dalam kitab
al-Qasamah, bab kafirnya tukang sihir dan dibunuh, jika sihir yang lakukan
adalah ucapan kafir yang nyata, al-Baihaqi berkata: Ismail bin Muslim adalah
dha'if. Semuanya dengan lafazh ini, dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Hazm dalam
al-Muhalla (11/396) dengan lafazh (hukum tukang sihir adalah ditebas dengan
pedang) dengan huruf Ha` dari jalur Ismail bin Muslim, dari al-Hasan, dari
Jundub secara marfu', kecuali Ibnu Hazm meriwayatkan dari al-Hasan secara
mursal.
[xxxiii] Ibnu Abi Syaibah:
al-Mushannaf (6/583), Kitab al-Hudud, bab apa yang mereka katakan pada tukang
sihir, apa yang diperbuat dengannya, dari Amr bin Dinar, sesungguhnya ia
mendengar Bajalah berkata, 'Aku adalah penulis/sekretaris Jaz` bin Mu'awiyah,
maka datanglah kepada kami surat Umar bin Khattab t:
bahwa bunuhlah …dst, maka ia menyebutkannya, dan diriwayatkan oleh Ahmad dalam
al-Musnad (1/190, 191), Abu Daud dalam Sunannya (4/431) no. 3043, dalam kitab al-Kharaj dan Imarah, Bab
mengambil jizyah dari kaum Majusi, al-Baihaqi dalam al-Kubra (12/241) no. 16966
dalam kitab al-Qasamah, Bab mengkafirkan tukang sihir dan membunuhnya, jika
sihir yang dilakukan merupakan ucapan kufur yang nyata.
[xxxiv] Malik: al-Muwaththa`
(4/249) no. 1689 dari kitab al-'Uqul, bab ma jaa`a fi al-Ghilah wa as-Sihr, dan
Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (11/ 394) dan ini adalah lafazhnya, al-Baihaqi dalam
al-Kubra (12/241) no. 16967 dalam kitab al-Qasamah, bab mengkafirkan tukang
sihir dan membunuhnya jika sihir yang dilakukan merupakan ucapan kufur yang
nyata.
[xxxv] Dia adalah Jundub
al-Khair al-Azdi, Abu Abdullah, pembunuh tukang sihir, diperselisihkan apakah
dia seorang sahabat atau bukan. Ada
yang berpendapat dia putra Ka'ab, ada pula yang berpendapat dia adalah putra
Zuhair. Ibnu Hibban menyebutkannya termasuk golongan tabi'in yang tsiqat. Abu
'Ubaid berkata: Ia terbunuh dalam perang Shiffin. Ibnu Hajar: Taqrib at-Tahzib
hal. 82.
[xxxvi] Ibnu Abi Syaibah:
al-Mushannaf (6/583) dalam kitab al-Hudud, bab apa yang mereka katakan pada
tukang sihir, apa yang dilakukan dengannya, al-Baihaqi dalam al-Kubra (12/242)
no. 16969, dalam kitab Qasamah, bab mengkafirkan tukang sihir dan membunuhnya,
ini adalah lafazhnya, dan kelengkapannya, kemudian ia berkata:
أَفَتَأْتُونَ
السِّحْرَ وَأَنتُمْ تُبْصِرُونَ
maka apakah kamu
menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya" (QS. al-Anbiyaa`:3)
[xxxviii] An-Nawawi: Syarh Shahih
Muslim (13/176), al-Anshari dalam Asna al-Mathalib (4/83), dan asy-Syarbini
dalam Mughni al-Muhtaaj (2/176).
[xxxix] Ibnu Hazm: al-Muhalla
(11/394).
[xl] Ibnu Quddamah: al-Mughni
(12/302), di mana dia berkata: dan imam Syafii tidak berpendapat atasnya
(tukang sihir) untuk dibunuh hanya karena perbuatan sihir, dan ia adalah
pendapat Ibnu al-Mundzir dan satu riwayat dari imam Ahmad. Dan lihat:
al-Mardawi: al-Inshaf (10/23), dan Ibnu Abdul Wahab: Fath al-Majid hal. 322.
[xli] HR. al-Bukhari dalam
Shahihnya hal. 1443, no. 6878 dalam kitab diyat, bab firman Allah I
(al-Maidah: 45), ini adalah lafazhnya, dan Muslim dalam shahihnya hal 119, no.
1676, dalam kitab al-Qasamah, bab yang dibolehkan dengannya darah seorang
muslim.
[xlii] Ibnu Hazm: al-Muhall
(11/400), Ibnu Quddamah: al-Mughni (12/302).
[xliii] HR. al-Baihaqi dalam
al-Kubra 12/245 no. 16974 dalam kitab al-Qasamah, bab orang yang perbuatan
sihirnya bukan perbuatan kafir dan tidak membunuh seseorang, ia tidak dibunuh.
[xlv] Bagian dari hadits
riwayat Ahmad dalam musnad (3/199, 225), an-Nasa`i dalam sunannya 7/76 no. 3967 dalam kitab
haramnya darah, telah menceritakan kepada kami Harun bin Muhammad bin Bakkar.
[xlvi] Ibnu Hazm: al-Muhalla
11/401, ar-Razi: Tafsir al-Kabir
3/216, dan hadits bahwa Nabi r
telah disihir oleh Labid bin al-A'sham diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam
Shahihnya hal. 667 no. 3268, dalam kitab permulaan makhluk, bab sifat iblis dan
tentaranya, dan pada hal. 648 no. 3175, dalam kitab jizyah dan muwada'ah, bah
apakah dimaafkan dari kafir dzimmi apabila ia menyihir? Dan di hal. 1237 no.
5765 dalam kitab ath-Thibb, bab apakah dikeluarkan sihir? Dan diriwayatkan oleh
Muslim dalam shahihnya hal. 1202 no. 2189 dalam kitab Salam, bab sihir.
[xlvii]
Al-Bahuti: Kasysyaf al-Qinaa' 6:237.
[xlviii] Al-Jashshash: Ahkam
al-Qur`an 1/74, Ibnu al-Hammam: Fath al-Qadir
4/408, Tharablusi: Mu'in al-Ahkam hal. 193, dan Ibnu 'Abidin: Radd
al-Mukhtaar 4/426.
[lix] Al-Jashshash: Ahkam
al-Qur`an (1/61-63), asy-Syanqithi: Adhwa al-Bayan (4/460-462), dan al-Ghamidi:
'Uqubah al-Ma'dum (hal. 590).
[lx] Ibnu Quddamah:
al-Mughni (12/302) dan al-Ghamini: 'Uqubah al-Ma'dum (hal. 590).
[lxv] Ibnu al-'Arabi: Ahkam
al-Qur`an (1/48).
[lxvi] Tidak ada alasan
memberikan perincian dalam hukum penyihir, karena sihir tidak mungkin kecuali
dengan meminta pertolongan syetan, seperti yang akan datang penjelasanannya,
karena para penyihir tidak bisa sampai kepada sihir kecuali dengan menyembah
syetan dan mendekatkan diri kepada mereka dengan sesuatu yang mereka suka,
berupa doa, menyembelih, nadzar, meminta pertolongan dan selain yang demikian
itu. Dan disebutkan dalam hadits shahih –yang terdahulu- bahwa syirik dan sihir
termasuk tujuh perkara yang
membinasakan. Syirik adalah yang terberat karena ia adalah dosa terbesar, dan
sihir termasuk bagian dari syirik, karena alasan inilah Rasulullah r
menyertakannya dengannya.
[lxix] Kitab Masa`il Imam Ahmad
bin Hanbal dengan riwayat anaknya Abdullah (3/1279), masalah no. 1777.
[lxxi] Realita di tengah
masyarakat membuktikan hal itu. Mayoritas penjahat dari kalangan penyihir dan
pesulap memisahkan di antara keluarga, memperdaya mereka, dan memakan harta
manusia dengan caya yang batil dengan nama ruqyah-ruqyah syar'iyah – tidak ada
daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah I.
[lxxiii] Ibn Baz: Majmu'
Fatawa wa maqalat Bin Baz 7/68.
[lxxiv] Ibnu Utsaimin:
al-Majmu' ats-Tsamin 2/133-134, fatwa no. 233.
Post a Comment