Keutamaan-keutamaan Bulan Rajab dalam Timbangan
Keutamaan-keutamaan
Bulan Rajab dalam Timbangan
Allah memberikan keutamaan kepada hari, malam dan
bulan atas yang lainnya, menurut hikmah-Nya yang sangat menakjubkan, agar hamba
bersungguh-sungguh di jalan-jalan kebaikan dan memperbanyak amal-amal kebaikan.
Akan tetapi golongan syetan dari bangsa jin dan manusia selalu berusaha untuk
menghalangi manusia dari jalan yang lurus, untuk menghalangi di antara mereka
dan kebaikan. Maka syetan-syetan itu menghiasi kepada sebagian manusia bahwa
musim-musim kebaikan dan rahmat itu adalah saat yang tepat untuk bermain-main
dan beristirahat, serta kesempatan untuk mengecap kenikmatan.
Syetan-syetan
itu selalu menggoda manusia untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan bid'ah di
musim-musim tertentu, yang Allah tidak pernah menurunkan hujjah atasnya. Sama
saja mereka termasuk orang yang memiliki niat baik akan tetapi bodoh terhadap
hukum-hukum agama, atau orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu, yang khawatir kehilangan posisi
mereka. Hasan bin 'Athiyah berkata, 'Tidaklah suatu kaum melakukan bid'ah dalam
urusan agama, melainkan Allah mengambil dari sunnah mereka seumpamanya dan
tidak mengembalikannya kepada mereka hingga hari kiamat.[1]
Bahkan Ayyub as-Sakhtiyani berkata, 'Tidak bertambah pelaku bid'ah dalam
berijtihad melainkan ia bertambah jauh dari Allah .'[2]
Barangkali
di antara musim-musim bid'ah yang dominan adalah: yang dilakukan oleh sebagian
ahli ibadah di banyak negara di bulan Rajab. Dan karena alasan inilah, maka
artikel ini akan membahas perbuatan sebagian kaum muslimin di bulan ini, dan
memaparkannya nash-nash syari'at dan perkataan para ulama, sebagai nasehat
terhadap umat dan mengingatkan mereka. Semoga hal itu menjadi petunjuk bagi
hati, membuka mata dan telinga yang telah tenggelam di dalam kegelapan bid'ah
dan kebodohan.
Apakah
bulan Rajab mempunyai kelebihan terhadap bulan-bulan yang lain?
Ibnu
Hajar berkata, 'Tidak ada riwayat shahih dalam keutamaan bulan Rajab, tidak
pula pada puasanya, tidak pula berpuasa secara tertentu padanya, tidak pula melaksanakan
shalat di malam tertentu padanya, yang bisa dijadikan hujjah. Dan telah
mendahului saya untuk memastikan hal itu Imam Abu Ismail al-Harawi al-Hafizh.
Kami meriwayatkannya darinya dengan isnad yang shahih, demikian pula kami
meriwayatkannya dari yang lainnya.[3]
Dan
ia berkata pula, 'Adapun hadits yang diriwayatkan tentang keutamaan bulan
Rajab, atau keutamaan puasanya, atau puasa sebagian darinya secara nyata, maka
ia terbagi dua: dha'if (lemah) dan maudhu' (palsu). Dan kami memaparkan yang
dha'if dan kami isyaratkan kepada yang maudhu' yang bisa dipahami.[4]
Dan ia mulai memaparkannya.
Shalat Ragha`ib:
Pertama: tata caranya:
Tata
caranya disebutkan dalam hadits maudhu' (palsu), dari Anas, dari Nabi saw. , sesungguhnya beliau bersabda, 'Tidak ada
seseorang yang puasa di hari Kamis (hari Kamis di bulan Rajab), kemudian shalat
di antara shalat Isya dan 'atamah –maksudnya malam Jum'at shalat dua belas (12)
rekaat. Membaca surat al-Fatihah satu kali dan surat al-Qadar tiga (3)
kali dan surah al-Ikhlas dua belas (12) kali, memisahkan di antara dua rekaat
dengan satu kali salam. Apabila ia selesai dari shalatnya, ia membaca shalawat
kepadaku sebanyak tujuh puluh (70) kali. Ia membaca di dalam sujudnya sebanyak
tujuh puluh (70) kali (سبوح
قدوس رب الملائكة والروح ), kemudian ia mengangkap kepalanya dan
membaca tujuh puluh (70) kali
( رب اغفر وارحم وتجاوز عما
تعلم, إنك أنت العزيز الأغظم ) kemudian ia sujud yang kedua, lalu ia
membaca seperti yang dibacanya di sujud pertama. Kemudian ia meminta kebutuhannya
kepada Allah maka sesungguhnya ia dikabulkan. Rasulullah bersabda, 'Demi Zat yang diriku berada di
tangan-Nya, tidak ada seorang hamba –laki-laki dan perempuan- yang melakukan
shalat ini, melainkan Allah mengampuni semua dosanya, sekalipun sebanyak
buih di laut, setimbang gunung, dan daun pepohonan, dan ia memberi syafaat di
hari kiamat pada tujuh ratus (700) dari keluarganya yang sudah pasti masuk
neraka.'[5]
Kedua: perkataan para ulama tentang hal ini:
An-Nawawi
berkata: ia adalah bid'ah yang keji yang sangat munkar, mengandung segala
kemungkaran. Maka wajib meninggalkannya dan berpaling darinya, serta
mengingkari pelakunya.[6]
Ibnu
an-Nahhas berkata, 'Ia adalah bid'ah, hadits tentang hal itu adalah maudhu'
(palsu) berdasarkan kesepakatan para ahli hadits.'[7]
Ibnu
Tamiyah berkata: 'Adapun shalat ragha`ib, maka tidak ada dasarnya. Bahkan ia
adalah bid'ah, tidak disunnahkan, tidak secara berjamaah dan tidak pula secara
sendiri-sendiri.' Dan diriwayatkan dalam shahih Muslim, sesungguhnya Nabi melarang menentukan shalat khusus di malam
Jum'at atau berpuasa khusus di hari Jum'at.' Dan riwayat yang disebutkan dalam
hal itu adalah dusta lagi palsu, dengan kesepakatan para ulama hadits. Dan
tidak ada seorang salaf dan para imam yang menyebutkan hal itu.[8]
Dan
sesungguhnya ath-Thurthusi menjelaskan permulaan maudhu'nya. Ia berkata, 'Abu
Muhammad al-Maqdisi telah menceritakan kepadaku. Ia berkata, 'Tidak pernah ada
di sisi kami di Baitul Maqdis yang dinamakan shalat ragha`ib, yang dilaksanakan
di bulan Rajab dan Sya'ban. Dan pertama kali terjadi di sisi kami yaitu pada
tahun empat ratus empat puluh delapan (448 H.) Ada
seorang laki-laki yang datang kepada kami di Baitul Maqdis dari Nablus, yang dikenal
dengan nama Ibnu Abi al-Hamra. Ia baik bacaan. Ia berdiri melaksanakan shalat
di malam nishfu Sya'ban…hingga ia berkata: Adapun shalat di bulan Rajab, maka
tidak pernah terjadi di sisi kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun empat
ratus delapan puluh (480 H.), dam kami tidak pernah melihat dan mendengarnya
sebelumnya.[9]
Ibnu
al-Jauzi dalam 'al-Maudhu'aat', al-Hafizh abul-Khaththab, dan Abu Syamah
memastikan maudhu' haditsnya.[10]
Sebagaimana Ibnu al-Haaj dan Ibnu Rajab memastikan bid'ahnya[11].
Dan disebutkan hal itu dari Abu Ismail al-Anshari, Abu Bakar as-Sam'ani, dan
Abu al-Fadhl bin Nashir[12]
dan yang lainnya.[13]
Ketiga: Hukum shalatnya untuk menarik simpati kalangan awam:
Abu
Syamah berkata, 'Berapa banyak imam yang berkata kepadaku: sesungguhnya ia
tidak melaksanakan shalat kecuali untuk memelihara simpati kalangan awam terhadap,
dan berpegang dengan masjidnya, karena takut diambil darinya. Kalau hal ini
yang melatar belakangi perbuatannya, berarti ia melaksanakan shalat tanpa niat
yang benar dan menghinakan diri berdiri di hadapan Allah . Jikalau tidak ada di dalam bid'ah ini
selain alasan ini niscaya sudah cukup. Dan setiap orang yang percaya dengan
shalat ini, atau menganggapnya baik, maka ia menjadi penyebab dalam hal itu,
menipu kalangan awam dengan keyakinan mereka darinya, dan berdusta terhadap
syara' dengan sebabnya. Wallahul-muwaffiq.
Sesungguhnya
para pemuka agama dari kalangan Ahli Kitab menolak masuk Islam karena takut
kehilangan jabatan mereka, dan kepada mereka turun ayat:
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ
بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ
ثَمَنًا قَلِيلاً فَوَيْلٌ لَّهُم مِّمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلُُلَّهُم
مِّمَّا يَكْسِبُونَ {79}
Maka
kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan
mereka sendiri, lalu dikatakannya:"Ini dari Allah", (dengan maksud)
untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan
besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan. (QS. Al-Baqarah:79)[14]
Isra` dan Mi'raj:
Di
antara mu'jizat terbesar yang diberikan Allah kepada Nabi adalah perjalanan beliau di malam hari dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian naik ke tujuh lapis langit dan yang
di atasnya. Sesungguhnya telah tersebar di sebagian negara perayaan
memperingati Isra dan Mi'raj itu di malam dua puluh tujuh (27) di bulan Rajab,
dan tidak sah bahwa peristiwa Isra dan Mi'raj itu terjadi pada malam tanggal
tersebut. Ibnu Hajar berkata dari Ibnu Dihyah: Sebagian tukang cerita
menyebutkan bahwa Isra itu terjadi di bulan Rajab. Ia berkata, 'Itu adalah
dusta.'[15]
Ibnu Rajab berkata, 'Diriwayatkan dengan isnad yang tidak shahih dari al-Qasim
bin Muhammad bahwa Isra` Nabi terjadi pada tanggal 27 Rajab. Ibrahim
al-Harbi dan yang lainnya mengingkari hal itu.[16]
Ibnu Taimiyah berkata: 'Tidak ada dalil yang diketahui, tidak tentang bulannya,
tidak tentang sepuluhnya, dan tidak pula tentang pastinya. Bahkan semua riwayat
tentang hal itu terputus dan berbeda-beda. Tidak ada padanya yang bisa
dipastikan.[17]
Andaikan diketahui secara pasti terjadinya Isra dan Mi'raj niscaya tetap tidak
disyari'atkan bagi seseorang menentukan sesuatu, karena tidak pernah
diriwayatkan dari Nabi SAW., tidak pula diriwayatkan dari salah seorang
sahabat atau dari para tabi'in, bahwa sesungguhnya mereka menjadikan malam
Isra` mempunyai kelebihan atas yang lainnya. Ditambah lagi adanya bid'ah dan kemungkaran
yang terdapat dalam perayaan itu.[18]
Menyembelih di bulan Rajab dan yang
semisalnya:
Semata-mata
menyembelih di bulan Rajab karena Allah tidak dilarang, seperti menyembelih di bulan-bulan
lainnya. Akan tetapi masyarakat jahiliyah menyembelih padanya satu sembelihan
yang mereka namakan 'atirah. Para ulama
berbeda pendapat dalam hukumnya: mayoritas ulama berpendapat bahwa Islam telah
membatalkannya, berdasarkan sabda Nabi , seperti dalam Shahihain, dari Abu Hurairah :
لا فرع ولا عتيرة
"Tidak
ada fara' dan tidak ada pula 'atirah.'[19]
Dan sebagian mereka, seperti Ibnu Sirin dan
yang lainnya berpendapat disunnahkannya berdasarkan beberapa hadits yang
menunjukkan bolehnya. Dan dijawab bahwa hadits Abu Hurairah lebih kuat dan
lebih shahih. Maka hadits ini yang harus diamalkan, bukan yang lainnya. Bahkan
sebagian mereka, seperti Ibnul Munzir, berpendapat nasakh, karena terakhirnya
Islam Abu Hurairah, dan sesungguhnya bolehnya itu di permulaan
Islam, kemudian dinasakh. Dan ini adalah yang benar.[20]
Al-Hasan
berkata: 'Tidak ada 'atirah di dalam Islam. Ia hanya ada di masa jahiliyah.
Adalah salah seorang dari mereka berpuasa dan menyembelih.[21]
Ibnu
Rajab berkata: 'Menyembelih di bulan Rajab sama seperti menjadikannya musim dan
hari besar, seperti memakan manisan dan lainnya. Dan telah diriwayatkan dari
Ibnu Abbas, bahwasanya dia tidak suka menjadikan bulan
Rajab sebagai hari besar.'[22]
Menentukan bulan Rajab dengan berpuasa atau
i'tikaf:
Ibnu
Rajab berkata: Adapun puasa, maka tidak ada hadits yang shahih yang menunjukkan
keutamaan puasa di bulan Rajab secara khusus dari Nabi saw., dan tidak pula dari para sahabatnya.[23]
Ibnu
Tamiyah berkata: adapun puasa di bulan Rajab secara khusus, maka semua haditsnya
dha'if (lemah), bahkan maudhu', tidak ada ulama yang menjadikannya sebagai
pegangan. Bukan termasuk dha'if yang diriwayatkan dalam fadha`il (keutamaan
amal ibadah), bahkan umumnya adalah hadits-hadits maudhu' yang dusta. Ibnu
Majah dalam sunannya meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Nabi saw. , bahwasanya beliau melarang puasa di bulan
Rajab.' Dan pada isnadnya perlu ditinjau kembali. Akan tetapi shahih riwayat
bahwa Umar bin Khaththab memukul tangan manusia agar mereka
meletakkan tangan pada makanan di bulan Rajab dan berkata, 'Janganlah kamu
menyerupakannya dengan bulan Ramadhan.' Adapun menentukan beri'tikaf dalam tiga
bulan, yaitu Rajab, Sya'ban, dan Ramadhan, maka aku tidak mengetahui perintah
padanya. Bahkan setiap orang yang berpuasa secara benar, dan ingin beri'tikaf
dari puasa, niscaya hukumnya boleh tanpa diragukan lagi. Dan jika ia beri'tikaf
tanpa berpuasa, dalam masalah ini ada dua pendapat yang terkenal di kalangan
ulama.[24]
Tidak
adanya keutamaan berpuasa di bulan Rajab secara khusus tidak berarti tidak
adanya puasa sunnah di bulan itu yang terdapat nash secara umum dan yang
lainnya, seperti puasa hari Senin dan Kamis, puasa tiga hari setiap bulan,
puasa sehari dan buka sehari. Sesungguhnya yang dimakruhkan adalah seperti yang
dikatakan oleh ath-Tharthusyi[25]
puasanya di atas salah satu di antara tiga:
1.
Apabila
kaum muslimin menentukannya setiap tahun menurut pandangan kalangan awam dan
orang yang tidak mengenal syari'at, serta menampakkan puasanya seolah-olah
wajib seperti puasa di bulan Ramadhan.
2.
Meyakini
bahwa puasanya adalah tsabit benar-benar ada, yang ditentukan oleh Rasulullah berpuasa, seperti sunnah rawatib.
3.
Meyakini
bahwa berpuasa di bulan itu mempunyai keutamaan khusus dibandingkan berpuasa di
bulan lainnya, seperti pahala puasa hari Asyura. Maka ia termasuk dalam bab
keutamaan, bukan dari bab sunnah dan fardhu. Jikalau seperti itu, niscaya Nabi saw. menjelaskannya atau melakukannya, sekalipun
hanya sekali seumur hidup. Dan manakala beliau tidak pernah melakukannya, berarti nyatalah
tidak ada keutamaan itu.
Umrah di bulan Rajab:
Sebagian
orang berkeinginan melakukan umrah di bulan Rajab, karena meyakini bahwa umrah
di bulan itu mempunyai kelebihan khusus. Ini tidak ada dasarnya. Al-Bukhari
meriwayatkan dari Ibnu Umar, ia
berkata, 'Sesungguhnya Rasulullah melaksanakan umrah sebanyak empat kali,
salah satunya di bulan Rajab.' Aisyah radhiyallahu 'anha berkata,
'Semoga Allah memberi rahmat kepada Abu Abdirrahman, tidak
pernah Rasulullah melaksanakan umrah kecuali ia menyaksikannya,
dan beliau tidak pernah melaksanakan umrah di bulan
Rajab.'[26]
Ibnu
al-Baththar berkata, 'Di antara kabar yang sampai kepadaku dari penduduk Makkah
(semoga Allah menambahkannya kemuliaan) kebiasaan mereka
melaksanakan umrah di bulan Rajab. Aku tidak pernah mengetahui dasar tentang
hal ini.[27]
Syaikh
bin Baz rahimahullah menegaskan[28]
bahwa waktu terbaik untuk melaksanakan umrah adalah bulan Ramadhan, berdasarkan
sabda Nabi saw.:
عُمْرَةٌ
فِى رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً
'Berumrah
di bulan Ramadhan sama seperti berhaji.'
Kemudian setelah itu umrah di bulan
Dzulqa'dah, karena umrahnya Nabi saw. semuanya terjadi di bulan Dzulqa'dah, dan
Allah SWT. berfirman:
لَّقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik (QS. Al-Ahzab:21)
Berzakat di bulan Rajab:
Sebagian
penduduk negeri terbiasa menentukan bulan Rajab untuk mengeluarkan zakat. Ibnu
Rajab berkata tentang hal itu, 'Tidak ada dasar tentang hal itu di dalam
sunnah, dan tidak dikenal dari seorang pun dari kalangan salaf.' Dalam kondisi apapun, sesungguhnya wajib berzakat
apabila telah sempurna haul (satu tahun) serta sampai nisadnya
(hitungannya). Maka setiap orang mempunyai hitungan haul yang khusus untuknya
menurut waktu kepemilikannya terhadap nishab. Maka apabila telah sempurna
haulnya, wajiblah atasnya mengeluarkan zakatnya di bulan apapun juga. Kemudian
ia menyebutkan bolehnya menyegerakan mengeluarkan zakat karena mengambil
kesempatan waktu yang utama, seperti bulan Ramadhan, atau mengambil kesempatan
mengeluarkan zakat kepada orang yang sangat membutuhkan yang mungkin tidak
ditemukan saat sempurna haulnya, atau semisal yang demikian itu.[29]
Ibnu
al-Aththar berkata, 'Dan apa yang dilakukan manusia di masa sekarang berupa
mengeluarkan zakat harta mereka di bulan Rajab, bukan di bulan lainnya, tidak
ada dasarnya. Bahkan hukum syara' adalah wajibnya mengeluarkan zakat saat cukup
haulnya dengan syaratnya, sama saja di bulan Rajab atau di bulan lainnya.[30]
Tidak ada peristiwa besar di bulan Rajab:
Ibnu
Rajab berkata, 'Telah diriwayatkan bahwa di bulan Rajab telah terjadi beberapa
peristiwa besar. Dan tidak ada yang shahih tentang hal itu. Maka diriwayatkan
bahwa Nabi r dilahirkan di permulaan malam dari bulan
Rajab, dan sesungguhnya beliau dibangkitkan di malam dua puluh tujuh (27) Rajab,
dan dikatakan pada malam dua puluh lima
(25) Rajab, dan tidak ada satupun yang shahih darinya.[31]
Pendirian bersama sebagian da'i:
Sebagian
da'i di masa sekarang melakukan berbagai macam bid'ah musiman, seperti bid'ah
di bulan Rajab. Padahal mereka mengetahui tidak disyari'atkannya, dengan alasan
khawatir manusia tidak beribadah, jika mereka meninggalkan bid'ah mereka.
Padahal bid'ah adalah dosa paling berbahaya setelah syirik.
Ats-Tsauri
berkata, 'Para fuqaha (ahli fikih) berkata, 'Perkataan
tidak bisa lurus kecuali dengan amal. Perkataan dan amal perbuatan tidak bisa
lurus kecuali dengan niat. Perkataan, perbuatan, dan niat tidak bisa lurus
kecuali dengan mengikuti sunnah.'[32] Mereka wajib mempelajari sunnah dan
mengajarkannya, mengajak diri mereka dan orang-orang di sekitar mereka untuk
mengamalkannya, karena Nabi r bersabda, '
َمنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barang
siapa yang melakukan amal yang bukan berdasarkan perintah kami, maka ia
ditolak.'
Alangkah indahnya ucapan Abul Aliyah ketika
ia berkata kepada sebagian murid-muridnya, 'Pelajarilah Islam, apabila kamu
telah mempelajarinya, maka janganlah kamu membencinya. Kamu harus berada di
jalan yang lurus. Maka sesungguhnya jalan yang lurus adalah Islam, maka
janganlah kamu menyimpang dari jalan yang lurus, kanan dan kiri. Kamu harus
berpegang kepada sunnah nabimu. Dan jauhilah hawa nafsu yang mencampakkan di
hati pelakunya sikap permusuhan dan saling membenci.[33]
Dan sebelumnya, Huzaifah t berkata, 'Wahai para qurra, istiqamahlah.
Kamu telah melewati jalan yang jauh. Dan jika kamu mengambil kanan dan kiri,
berarti kamu telah tersesat yang sangat jauh.[34]
Terakhir:
Sesungguhnya
para dai pada saat ini, dan umat bersamanya, dituntut memurnikan mutaba'ah
(mengikuti) Nabi r dalam segala perkara secara sempurna,
sebagaimana mereka dituntut memurnikan keikhlasan kepada Allah I, jika mereka menginginkan keselamatan untuk
diri mereka, dan kemenangan dan kemuliaan untuk agama mereka. firman Allah I:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا {110}
Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Rabb-nya". (QS. Al-Kahfi:110)
Dan firman-Nya:
وَلَيَنصُرَنَّ اللهُ
مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ {40}
Sseungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (QS. Al-Hajj:40)
Semoga Allah I memberi taufik kepada semua untuk kebaikan.
Dan Dia-lah yang memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
Disarikan dari makalah : Fadhail syahri
rajab fil mizan karya
Faisal bin Ali al-Ba'dani
[2] Al-Hilyah 3/9
[3] Tabiyinul 'Ajab fima
warada fi fadhli Rajab, karya Ibnu hajar hal. 6. dan lihat: as-Sunan wa al-Mubtada'at karya asy-Syuqairi
hal. 125
[5] Lihat Ihya Ulumuddin,
karya al-Ghazali 1/202, Tabyinul 'Ajab
fima warada fi fadhli Rajab, hal. 22-24.
[7] Tanbihul-Ghafilin 496
[11] Al-Madkhal 1/211
[15] Tabyidul Ajab hal 6.
[16] Zadul Ma'ad karya Ibnu
al-Qayyim 1/275 dan Ibnu Hajar menyebutkan dalam Fath al-Bari 7/242-242
perbedaan tentang waktu mi'raj, dan ia menjelaskan bahwa ada yang mengatakan
bahwa ia terjadi di bulan Rajab, dikatakan pada bulan Rabiul Akhir, dan
dikatakan pada bulan Ramadhan atau Syawal. Dan persoalannya seperti yang
dikatakan Ibnu Taimiyah.
[18] Sebagian kemungkaran itu disebutkan oleh Ibnu
an-Nahhas dalam Tanbihul Ghafilin hal 497, Ibnu al-Haaj dalam al-Madkhal hal
1/211-212, dan Ali Mahfuzh dalam
al-Ibda' 272.
[19] Al-Bukhari hadits
no.5473 dan Muslim hadits no. 1976
[20] Lihat: Lathaiful Ma'arif
hal 227, al-I'tibar linnasikh wan
mansukh minal atsaar, karya al-Hazimi
388-390
[21] Lathaiful Ma'arif 227
[22] Lathaiful Ma'arif 227
[24] Al-Fatawa 25/290-292
[27] Al-Musajalah baina
al-'Izz ibnu Abdissalam dan Ibnu ash-Shalah hal 56, dan lihat Fatawa Syaikh Muhammad bin
Ibrahim hal 6/131
[32] Al-Ibanah al-Kubra
karya Ibnu Baththah hal. 1/333
[33] Al-Ibanah al-Kubra
karya Ibnu Baththah hal. 1/338
[34] Al-Bida' wan-nahyu
'anha karya Ibnu Wadhdhah hal. 10.
Post a Comment