Mengutamakan Akhirat
Mengutamakan
Akhirat
َمنْ جَعَلَ الْهُمُوْمَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ
كَفَاهُ اللهُ سَائِرَ هُمُوْمِهِ
"Barangsiapa
yang menjadikan semua tujuan menjadi satu, yaitu tujuan hari kembali, niscaya
Allah mencukupkan kepadanya semua tujuannya"
Seorang mukmin yang menjadi da'i akan menjalani
hidup dengan banyak tujuan, dan terkadang banyaknya tujuan menjadi penyebab
terpecahnya konsentrasi dari tujuan utama dan memalingkan tujuan kepada
kesibukan ahli dunia (orang-orang yang tujuan hidupnya hanya dunia semata) dengan
segala tujuan mereka, maka sirnalah karakteristik, hilanglah perbedaan, dan kacaulah
timbangan.
Sesungguhnya di antara hinanya perkara
dunia bahwa Allah menjadikannya tidak abadi untuk seseorang:
إِنَّ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ
لاَيَرْفَعَ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا إِلاَّ وَضَعَهُ
"Sesungguhnya
menjadi hak Allah
bahwa Dia
tidak meninggikan sesuatu dari perkara dunia kecuali Dia merendahkannya."[i]
Sesungguhnya dunia adalah hari-hari
yang Allah
putar di antara manusia, maka Dia
meninggikan suatu kaum dan merendahkan yang lain, memuliakan suatu kaum dan
menghinakan yang lain, agar menjadi realita hikmah Allah
dalam menguji hamba-Nya.
Sesungguhnya Allah
memberikan dunia kepada orang yang beriman dan orang yang kafir, dan Dia
tidak memberikan agama kecuali kepada orang yang dicintai-Nya. Rasulullah SAW
merasa heran terhadap Abdullah bin 'Amar ra. ,
saat beliau melihatnya memperbaiki dan menambah tanah pada dinding rumahnya,
maka beliau ra.
ingin mengosongkan hatinya dari ketergantungan terhadap dunia dan beliau ra.
ingin mengingatkannya dengan sudah dekatnya ajal supaya menyiapkan diri
untuknya, maka beliau bersabda:
مَا
أَرَى اْلأَمْرَ إِلاَّ أعْجل مِنْ ذلِكَ
"Aku tidak melihat perkara kecuali mempercepat dari hal
itu."[ii]
Supaya
akhirat menjadi tujuannya dan kesibukannya adalah menyiapkan diri untuk hal itu.
Maka apabila seseorang berlebihan dalam berpaling dari dunia dan berusaha
padanya, maka ia perlu menoleh dari sisi yang lain:
ولاَتَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
Janganlah kamu melupakan bahagianmu dari
(kenikmatan) duniawi (QS. al-Qashahsh:77)
supaya
ia tetap berada di atas garis keseimbangan.
Sesungguhnya hamba yang diliputi
kenikmatan, terkadang diberikan tambahan tanggung jawab dan siksa, sedangkan
dia tidak mengetahui:
إِذَا
رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيْمٌ
عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
"Apabila engkau melihat Allah
memberikan kepada hamba apa yang disukainya dari dunia, sedangkan dia
bergelimang perbuatan maksiat, sesungguhnya hal itu adalah istidraj[iii]
dari-Nya."[iv]
Maka
janganlah engkau berduka cita terhadap kehilangan dunia dan janganlah engkau
mengulurkan pandangan matamu kepada dunia yang diberikan kepada manusia, karena
hal itu menjadi bencana bila hak-haknya tidak ditunaikan.
Dan yang berbahaya adalah bahwa
kenikmatan ini hanya merupakan balasan di dunia, agar dia tidak mendapatkan
pahala di akhirat, di saat dia sangat membutuhkannya untuk menambah daun
timbangan kebaikannya. Karena itulah, Rasulullah memberikan
ketentraman kepada para sahabatnya, saat mereka menyebutkan kenikmatan bangsa
Romawi dan Persia,
beliau bersabda:
أُولئِكَ
قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
"Mereka
adalah satu kaum yang disegerakan kenikmatan mereka dalam kehidupan dunia."[v]
Dan
mayoritas kondisi manusia adalah seperti yang digambarkan oleh Rasulullah:
أَكْثَرُ
النَّاسِ شَبَعًا فِى الدُّنْيَا أَطْوَلُهُمْ جُوْعًا فِى اْلآخِرَةِ
"Manusia yang paling banyak kenyang di dunia adalah yang
paling lama kelaparan di akhirat."[vi]
Penyebab
hal itu adalah sedikitnya orang-orang yang bersyukur, dan sebagaimana firman
Allah :
مَّنْ
كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَانَشَآءُ لِمَن نُّرِيدُ
ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاَهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki
bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia
akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.
(QS. al-Isra:18)
Dan semua nikmat, sekecil apapun
adanya, di atasnya ada perhitungan (hisab) dan tanggung jawab (mas`uliyah).
Maka orang miskin adalah orang yang tidak melaksanakan haknya, bukan orang yang
tidak mendapatkannya semasa hidup di dunia:
إِنَّ
أَوَّلَ مَايُسْأَلُ عَنْهُ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ النَّعِيْمِ أَنْ
يُقَالَ لَهُ: أَلَمْ نُصَحِّ لَكَ جِسْمَكَ وَنُرَوِّيكَ مِنَ الْمَاءِ
الْبَارِدِ
"Sesungguhnya
pertanyaan pertama yang diajukan kepada hamba di hari kiamat tentang nikmat bahwa
dikatakan kepadanya: Bukankah Kami memberikan kesehatan kepada tubuhmu dan
melepaskan dahagamu dengan air dingin?'[vii]
Karena itulah, termasuk tanda jalan ke
surga bahwa ia dipenuhi dengan cobaan, dan cobaan tidak menjadi mudah kecuali bagi
orang yang menjadikan akhirat sebagai tujuannya:
حُفَّتِ
الْجَنَّةُ بِاْلمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
"Surga diliputi dengan segala yang
dibenci dan neraka diliputi dengan nafsu syahwat."[viii]
Sesungguhnya tanggung jawab seorang
muslim yang mengagungkan Allah dengan sebenarnya adalah bahwa ia menyatukan tujuannya, dan ia berfikir tentang
persoalan yang akan datang dan tempat kembali (akhirat), bukan memalingkan
segala kesungguhan, fikiran, dan waktunya dalam perkara-perkara hina dan
rendah. Dan sekadar apa yang ada bagi Allah dalam hati hamba
berupa penghormatan, pengagungan dan rasa takut, seperti itulah pahala dan
kedudukan bagi hamba di sisi Allah :
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَعْلَمَ مَا لَهُ
عِنْدَ اللهِ فَلْيَنْظُرْ مَا ِللهِ عِنْدَهُ
"Barangsiapa yang ingin mengetahui apa-apa untuknya di
sisi Allah I,
maka hendaklah ia memperhatikan apa-apa yang ada di sisinya untuk Allah I."[ix]
Barangsiapa yang selalu memikirkan
ridha Allah ,
maka dia tidak disibukkan oleh kenikmatan dan tidak dibutakan oleh bala
musibah. Dan barangsiapa yang selalu bersama Allah
di saat senang, tentu Allah
bersamanya di saat susah:
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِى الرَّخَاءِ
يَعْرِفْكَ فىِ الشِّدَّةِ
Dan kondisi seperti ini menuntut
seorang mukmin agar selalu muraqabah kepada Allah
dan merasa malu dari-Nya, melebihi sifat hati-hati dan rasa malu dari manusia:
مَاكَرِهْتَ أَنْ يَرَاهُ النَّاسُ
مِنْكَ فَلاَتَفْعَلْهُ بِنَفْسِكَ إِذَا خَلَوْتَ
"Apapun yang
engkau tidak suka manusia melihatnya darimu, maka janganlah engkau melakukannya
saat dalam kesendirianmu."[xi]
وَاعْبُدِ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ
فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
"Dan sembahlah
Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak bisa seolah-olah
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu."[xii]
Dan orang yang mengutamakan akhirat,
apabila dia diingatkan dengan kesalahannya, ia cepat kembali:
إِذَا ذُكِّرْتُمْ بِاللهِ
فَانْتَهُوْا
Dan orang yang takut kepada Allah
di dunia, takut melakukan maksiat kepada-Nya dan berhati-hati untuk perkara
akhiratnya, dialah orang yang aman di akhirat:
قَالَ
اللهُ تَعَالى: وَعِزَّتِي وَجَلاَلِي لاَأَجْمَعُ بَيْنَ أَمْنَيْنِ
وَلاَخَوْفَيْنِ. إِنْ هُوَ أَمِنَنِي فِى الدُّنْيَا أَخَفْتُهُ يَوْمَ أَجْمَعُ
عِبَادِي وَإِنْ هُوَ خَافَنِي فِى الدُّنْيَا أمنتُهُ فِى اْلآخِرَةِ
"Allah
berfirman: Demi kemuliaan dan kebesaran-Ku, aku tidak menggabungkan untuk
hamba-Ku dua rasa aman dan dua rasa takut. Jika dia merasa aman terhadap-Ku di
dunia niscaya Aku membuatnya ketakutan di hari Aku mengumpulkan hamba-hamba-Ku.
Dan jika dia takut kepada-Ku di dunia, niscaya Aku menjadikan dia merasa aman
di hari Aku mengumpulkan hamba-hamba-Ku."[xiv]
Dan orang yang mengutamakan akhiratnya
berfikir tentang sesuatu yang mendekatkannya ke surga dan menjauhkan dirinya
dari neraka, dan Allah
menjadikan lingkaran tanggung jawab berdasarkan dorongan keinginan manusia
kepada taat atau maksiat, karena itulah Nabi r bersabda:
الْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ
مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذلِكَ
"Surga lebih
dekat kepada salah seorang darimu dari pada tali sendalnya, dan neraka juga
seperti itu."[xv]
Dan
apabila seseorang benar dalam melawan hawa nafsunya, niscaya Allah
memudahkan jalan baginya:
وَيَزِيدُ اللهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا
هُدًى
Dan
Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. (QS.
Maryam:76)
Dan orang yang mengutamakan akhiratnya
tidak melihat dunia sebagai negeri tempat tinggal, karena ia merasa sudah
dekatnya keberangkatannya ke negeri yang abadi. Nabi
bersabda:
قَالَ
لِي جِبْرِيْلُ: يَامُحَمَّدُ عِشْ مَا شِئْتَ فَإِنَّكَ مَيِّتٌ وَأَحْبِبْ مَنْ
شِئْتَ فَإِنَّكَ مُفَارِقُهُ وَاعْمَلْ مَاشِئْتَ فَإِنَّكَ مُلاَقِيْهِ
"Jibril u
berkata kepadaku, hiduplah sesukamu, maka sesungguhnya engkau akan mati. Dan
cintailah siapapun yang engkau kehendaki, maka sungguh engkau akan
meninggalkannya. Dan lakukanlah apa yang engkau kehendaki, maka sungguh engkau
akan menemui-Nya."[xvi]
Karena itulah, yang membuat Rasulullah
merasa heran adalah terbukanya pintu-pintu kebaikan dan lalainya manusia
darinya, fitnah-fitnah yang mengejar seseorang dan tidak berlarinya dia
darinya:
مَارَأَيْتُ مِثْلَ النَّارِ نَامَ
هَارِبُهَا وَلاَمِثْلَ الْجَنَّةِ نَامَ طَالِبُهَا
"Aku tidak
melihat seperti neraka yang tidur orang yang berlari darinya, dan tidak pula
seperti surga yang tidur orang yang mencarinya."[xvii]
Di
mana orang yang mengutamakan akhirat sangat bersemangat menjauhi kemungkaran
dan bersegera dalam kebaikan.
Dan keadaan orang yang mengutamakan
akhiratnya adalah mengurangi hubungan dan bersikap zuhud dalam pengeluaran:
كُنْ
فِى الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
"Beradalah
kamu di dunia seperti orang asing atau orang yang melewati jalanan (musafir)."[xviii]
Dan
kesungguhan dalam kehidupan menjadi ciri utama bagi orang yang berharap (surga)
serta takut (dari neraka):
لَوْ
تَعْلَمُوْنَ مَاأَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا
"Jika kamu
mengetahui seperti yang kuketahui niscaya kamu sedikit tertawa dan banyak
menangis."[xix]
Dan
semangat dalam beramal menjadi tanda kebenaran persiapan untuk akhirat dan
takut kepada Allah ,
dan hal itulah yang digambarkan oleh Rasulullah dalam
sabdanya:
مَنْ
خَافَ أَدْلَجَ وَمَنْ أَدْلَجَ بَلَغَ الْمَنْزِلَ أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ
غَالِيَةٌ أَلاَ إِنَّ سِلْعَةَ اللهِ الْجَنَّةُ
"Barangsiapa
yang takut niscaya ia berjalan di permulaan malam, dan barangsiapa yang
berjalan di permulaan malam niscaya ia sampai ke rumah. Ketahuilah,
sesungguhnya barang berharga Allah I
itu sangat mahal, ketahuilah, sesungguhnya barang berharga Allah I
itu adalah surga."[xx]
Adapun
orang yang perjalanannya jauh dan berangkatnya terlambat, gerakannya pelan, dan
semangatnya lemah, maka ia tidak akan mencapai maksudnya dan ia tidak pernah
sampai ke tujuannya.
Dan di antara pendorong untuk
mengutamakan akhirat yang terpenting adalah bahwa Allah
menghilangkan dari hatinya sisa-sisa keinginan, supaya hatinya bersih kepada
Allah ,
sekalipun ia berada di lautan cobaan. Nabi bersabda:
مَنْ
جَعَلَ الْهُمُوْمَ هَمًّا وَاحِدًا هَمَّ الْمَعَادِ كَفَاهُ اللهُ سَائِرَ
هُمُوْمِهِ, وَمَنْ تَشَعَّبَتْ بِهِ الْهُمُوْمُ مِنْ أَحْوَالِ الدُّنْيَا لَمْ
يُبَالِ اللهُ فِى أَيِّ أَوْدِيَتِهَا هَلَكَ
"Barangsiapa yang menjadikan semua
tujuan menjadi satu, yaitu tujuan hari kembali, niscaya Allah mencukupkan kepadanya semua tujuannya. Dan barangsiapa yang semua tujuan
bercabang-cabang padanya dari segala keadaan dunia, niscaya Allah
tidak perduli kepadanya, di jurang manapun ia binasa."[xxi]
مَنْ
كَانَتِ اْلآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ
شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا
هَمَّهُ جَعَلَ اللهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ
وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قَدْ قُدِرَ لَهُ.
"Barangsiapa
yang akhirat menjadi tujuannya, niscaya Allah
menjadikan kekayaannya di dalam hatinya dan menggabungkan persatuannya, serta
dunia mendatanginya, sedangkan ia merasa enggan. Dan barangsiapa yang dunia
menjadi tujuannya, niscaya Allah menjadikan kemiskinan di depan matanya, memisahkan persatuannya, dan dunia
tidak datang kepadanya kecuali yang sudah ditaqdirkan untuknya."[xxii]
Maka perdagangan akhirat tidak akan
merugi dan berdesak-desakan terhadap dunia tidak merubah takdir.
Kesimpulan:
1. Termasuk
sunnatullah dalam urusan dunia bahwa ia pasang dan surut.
2. Di
antara kehinaan dunia terhadap Allah
bahwa Dia memberikannya kepada orang kafir.
3. Setiap
kali nikmat bertambah niscaya bertambah besar pula tanggung jawab.
4. Terkadang
nikmat merupakan upah yang didahulukan kepada pemiliknya.
5. Di
antara tanda jalan menuju surga bahwa ia diliputi segala cobaan.
6. Orang
yang mengutamakan akhirat:
a. Mengenal
Allah
di saat senang dan susah.
b. Segera
kembali apabila bersalah.
c. Berfikir
terhadap apa yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka.
d. Tidak
memandang dunia sebagai tempat tinggal yang abadi.
e. Bersikap
ringan dari dunia dan zuhud.
f. Semangat
yang kuat dan takut kepada Allah .
g. Menjadikan
semua tujuannya menjadi satu, yaitu tujuan tempat kembali (akhirat).
h. Kaya
hati.
[i] Shahih al-Jami' no.
2057 (Shahih).
[ii] Shahih al-Jami' no.
5526 (Shahih).
[iii] Keadaan luar biasa
yang diberikan Allah I kepada orang kafir (atau orang fasik) sebagai ujian sehingga
mereka takabur dan lupa diri kepada Allah I,
seperti Fir'aun dan Karun (Kamus besar bahasa
Indonesia hal. 445)
[iv] Shahih al-Jami' no.
561 (Shahih).
[vii] Shahih al-Jami' no.
2022 (Shahih).
[viii] HR. Muslim dan
at-Tirmidzi (Jami' al-Ushul 10/521)
[x] Shahih al-Jami' no.
2961 (Shahih).
[xii] Shahih al-Jami' no.
1037 (Hasan).
[xiii] Shahih al-Jami' no.
546 (Hasan)
[xv] HR. al-Bukhari (Jami'
al-Ushul 10/522 no. 8071).
[xvi] Shahih al-Jami'
no.4355 (Hasan).
[xviii] HR. al-Bukharir dan
at-Tirmidzi (Jami' al-Ushul 1/392 no. 185).
[xix] Shahih al-Bukhari,
kitab tafsir, bab ke-12, no. 4621.
[xx] Shahih al-Jami' no.
6222 (Shahih)
[xxii] Shahih al-Jami' no.
6510 (Shahih).
Post a Comment