Peran Wanita dalam Membangun Negara Dan Umat
Peran Wanita dalam Membangun Negara Dan Umat
Wanita sebagai hamba Allah yang lemah, memiliki peran
amat besar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tanpanya, kehidupan
tidak akan berjalan semestinya. Sebab ia adalah pencetak generasi baru.
Sekiranya di muka bumi ini hanya dihuni oleh laki-laki, kehidupan mungkin sudah
terhenti beribu-ribu abad yang lalu. Oleh sebab itu, wanita tidak bisa
diremehkan dan diabaikan, karena dibalik semua keberhasilan dan kontinuitas
kehidupan, di situ ada wanita.
I.
Peranan Wanita dalam Mendidik Umat
Syauqi
mengatakan “Ibu ibarat madrasah, jika kau persiapkan maka sesungguhnya anda
sedang menyiapkan bangsa (besar) yang wangi keringatnya.”
Wanita
adalah guru pertama bagi sang anak, sebelum dididik orang lain. Sejak ruh
ditiupkan ke dalam rahim, proses pendidikan sudah dimulai. Sebab mulai saat
itu, anak telah mampu menangkap rangsangan-rangsangan yang dberikan oleh
ibunya. Ia mampu mendengar dan merasakan apa yang dirasakan ibunya. Bila ibunya
sedih dan cemas, ia pun merasakan demikian. Sebaliknya, bila ibunya merasa
senang, ia pun turut senang.
Kemudian
bertambah hari, minggu dan bulan, yang pada wakunya ia terlahir ke muka bumi.
Dari enol hari, ia sudah berusaha memahami apa yang diajarkan oleh seorang ibu.
Bila seorang ibu membiasakan anaknya dari kandungan sampai dewasa dengan
adab-adab Islam, ia pun akan terbiasa dengan hal itu. Tapi sebaliknya, bila ibu
membiasakan dengan adab-adab yang tidak Islami, ia pun akan ikut seperti
ibunya. Saat inilah shibgah seorang ibu sangat berpengaruh pada anak. Karena
perkembangan otak sangat cepat. Daya ingat masih kuat. Bagi seorang ibu perlu
memperhatikan hal berikut :
A.
Tarbiyah Ruhiyyah.
1.
Pendidikan Akidah.
Bagaimana
seorang ibu mampu menanamkan akidah sedini mungkin, sehingga anak meyakini
bahwa kita hidup tidak semau kita. Tapi di sana ada pengatur, pengawas tujuan
hidup, akhir dari kehidupan. Kemudian meyakini bahwa apa yang terjadi pada
kita, pasti akan kembali pada sang khalik. Hal itu terangkum dalam rukun iman
yang enam. Ketika ia besar, ia tidak lagi ragu dan bingung mencari jati diri.
Siapakah aku? untuk apa aku hidup? siapakah yang harus aku ikuti dan dijadikan
idola ? Dan seterusnya.
2.
Pendidikan Ibadah
Ketika
ibu menjalani kehamilan sampai melahirkan, tidaklah berat baginya untuk
mengajak si calon bayi untuk ikut serta dalam melakukan ibadah harian. Seperi:
sholat, puasa, baca Alquran, berdoa, berdzikir, dan lain sebagainya. Walau
mungkin anak tidak paham apa yang dilakukan dan diinginkan ibunya, tapi ketika
ia menginjak dewasa (baligh), Insya Allah ibadah-ibadah tadi akan mudah
diajarkan. Sebab sudah sering melihat dan mendengar, sehingga takkan terasa
berat menjalaninya.
3.
Pendidikan Akhlak.
Pembiasaan
akhlak yang baik tidak perlu menunggu anak dewasa. Dari sini harus sudah
dibiasakan. Sebab kebiasaan yang baik, kalau tidak dibiasakan dalam waktu yang
lama, sangat sulit untuk menjadi akhlak. Justru ketika kebiasaan baik tidak ada
dalam diri kita, dengan sendirinya kebiasaan buruk akan menghiasinya tanpa
harus dibiasakan.
Jika
semenjak dalam kandungan seorang anak dibiasakan mencintai orang lain, maka
ketika lahir, ia pun akan berusaha untuk mencintai orang lain. Apabila
sfat-sifat sabar, tawadlu, itsar, tabah, pemurah, suka menolong orang lain dan
sebagainya dibiasakan, insya Allah ketika anak sudah paham dan mengerti,
akhlak-akhlak tadi akan menghiasi kehidupannya.
Oleh
sebab itu, Rasul menganjurkan kepada para pemuda yang sudah waktunya nikah,
untuk memilih calon istrinya seorang wanita yang beragama dan berakhlak baik.
Sebab dari wanita inilah, akan terlahir generasi yang beragama dan berakhlak
baik juga. Ibu seperti inilah yang akan mengajarkan tuntunan agama yang telah
terbiasa dan tertathbiq dalam dirinya. Di antara tuntunan tersebut adalah
akhlak yang mulia. Sedangkan wanita yang cantik, pintar, atau kaya tidak
menjamin akan melahirkan anak-anak yang berakhlak mulia.
B.
Tarbiyah Aqliyyah.
Kata
seorang penulis puisi, “Otak tidak diasah, akan tumpul”. Pengasahan otak
semenjak kecil akan lebih bagus, ketimbang jika sudah besar. Bagai sebuah
pisau, semakin lama waktu mengasahnya, maka akan semakin tajam. Dalam nasyid
juga disebutkan, “Belajar diwaktu kecil, bagai mengukir di atas batu”. Tapi
seorang ibu juga harus bijaksana dalam hal ini. Jangan sembarangan dalam
memberikan buku-buku bacaan, untuk mengasah otak. Cukup banyak buku-buku yang
ingin menghancurkan generasi Islam.
C.
Tarbiyah Jasadiyyah.
Pendidikan
inilah yang sering mendapat perhatian dan jadi topik pembicaraan para ibu yang
baru mempunyai anak. Rangsangan-rangsangan ibu berupa olah-raga balita, sangat
membantu anak dalam perkembangan tubuhnya. Percepatan proses semenjak si anak
tengkurap, merangkak, jalan dan lari, tidak bisa dibiarkan sendiri. Namun
bantuan ibu untuk melakuan gerakan-gerakan itu sangatlah dibutuhkan anak.
Karena pada hakikatnya, insting yang dimiliki anak belum mampu menjangkau apa yang
harus ia lakukan agar bisa berbuat seperti orang dewasa. Contoh kecilnya,
ketika lahir, Rasulullah menyuruh para orang tua untuk mentahniq dengan memijat
langit-langit mulut agar mampu mengisap air susu ibunya. Olah raga atau
tarbiyyah jasadiyyah ini tidak terbatas pada usia balita, tapi bahkan sampai
dewasa dan tua.
II.
Peran Wanita dalam Mendampingi Suami.
Suami
shaleh kebanyakan dibelakangnya ada istri shalehah. Laki-laki dalam menjalankan
tugasnya baik di dalam atau di luar rumah sering mendapat kendala ujian dan
cobaan. Kegoncangan jiwanya kadang-kadang tidak mampu menngendalikannya
sendiri. Nah, saat-saat seperti inilah peran dan batuan istri sangat
dibutuhkan. Istri yang shalehah selalu memberi dorongan untuk terus maju
memberi siraman ruhiyyah agar tetap semangat dalam menapaki duri-duri jalanan,
memberi bensin untuk tetap berjalan di atas rel Islam. Ketika suami sedang
panas tidak selayaknya istri mengompori, tapi berusaha untuk meredam dan
mendinginkan agar suami sadar dan sabar.
Banyak
sekali suami terjerumus ke lembah hina disebabkan istrinya tidak bisa
membimbing ke arah yang baik. Juga tidak sedikit suami dulunya kurang baik
setelah beristri justru ia makin membaik. Oleh sebab itu, wahai para ibu-ibu
shalehah marilah kita dukung suami kita untuk menjadi suami yang shaleh.
Mencurahkan tenaga, pikiran, bahkan nyawa untuk tegaknya Islam di muka bumi
dengan tidak membebaninya dengan tugas-tugas rumah yang mana pabila kita
mengerjakannya dengan ikhlas, kita akan dapat pahala dan suami kita semakin sayang
pada kita.
Semangat
di medan dakwah dan juang, marilah kita berikan waktu seluas-luasnya pada suami
kita untuk mencurahkan waktu hidupnya untuk Islam tercinta. Istri selain
sebagai motor bagi suami, ia juga dibebani kewajiban-kewajiban terhadap suaminya
agar tercipta keluarga-keluarga yang sakinah, mawaddah warohmah. Karena dari
keluarga inilah akan terbentuk mujama’ mitsaly dan dari mujtama’ mujtama’
ini akan terbentuk daulah Islamiyyah.
Di
antara kewajiban istri terhadap suami adalah :
Taat
Suami
Tidak
Keluar rumag tanpa idzin suami
Tidak
menjauhi tempat tidur suami
Iffah.
Qona’ah
dan ridlo dengan apa yang Allah berikan.
Berhias
dan memakai wangi-wangian .
Melaksanakan
tugas-tugas rumah tangga.
Mendidik
anak-anak.
Berlemah
lembutdan berkata-kata manis.
Sembilan
point ini bila kita mampu untuk menjalankan semua, Insya Allah suami bahagia di
rumah dan semangat di medan dakwah. Wahai para ibu, jangalah engkau nyalakan
api di keluargamu disebabkan kelalaiyanmu atas kewajibanmu terhadap suami.
III.
Peran Wanita dalam Menegakkan Negara.
1)
Peran Wanita dalam Dakwah.
Di
samping wanita sebagai ibu rumah tangga dan pendidik generasi, ia dalam satu
waktu juga berperan sebagai pendidik para pemudi-pemudi dan ibu-ibu. Di dalam
rumah ia pendidik anak-anak, sedang di luar rumah ia pendidik sebagian anggota
masyarakat.
Jumlah
wanita di dunia ini lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Bila potensi ini
tidak diarahkan dan dididik dengan baik, ia akan menjadi penghancur masyarakat,
negara bahkan dunia. Suatu masyarakat dikatakan berhasil, bila wanitanya
berakhlak mulia. Wanita bagaikan mahkota, bila mahkota baik, maka seluruhnya
akan kelihatan cantik dan bagus. Tapi bila mahkotanya rusak, maka yang lainpun
tidak ada artinya apa-apa.
Seorang
wanita tidaklah cukup berkutat dalam rumah saja sebagai IRT, karena para tunas
bangsa dan agama telah menunggu uluran tangannya. Apalagi pada saat ini, umat
sedang mengalami penurunan akidah, moral dan ibadah. Wanita tak segan-segan
lagi melepas jilbabnya. Bahkan menanggalkan pakaian muslimahnya, justru
pakaian-pakaian barat, pakaian orang kafir yang menjadi kebanggan mereka. Tidak
malu-malu lagi wanita menggandeng, ngobrol, pegang sana pegang sini dengan
laki-laki bukan mahram. Pergi berduaan tanpa merasa berdosa.
Berkhalwat
dengan alasan urusan organisasi, kantor dan sebagainya. Tidak sampai di situ
saja, bahkan lebih dari itu. Oleh sebab itu tugas kita adalah mentarbiyah diri
kita, anak-anak dan seluruh lapisan masyrakat, khususnya kaum wanita. Sedang
kaum lelaki, akan dididik oleh para suami dan pemuda-pemuda yang akan
mentarbiyah mereka. Bahu membahu antara kita dan suami akan menciptakan sebuah
masyarakat Islami, yang pada akhirnya akan menjadi sebuah negara Islam.
Adalah
Ummu Syarik, setelah masuk Islam, beliau mendakwahi wanita-wanita Qurasiy
secara diam-diam dan mengajak mereka menerima Islam. Zainab Al-Ghazali adalah
di antara figur wanita modern penerus Ummu Syarik. Meskipun wanita dibolehkan
keluar rumah -khususnya berdakwah- namun tetap ada batasan-batasan seputar pakaian:
Pakaian
harus menutup seluruh anggota tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan (dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat).
Pakaian
tidak menarik perhatian.
Pakaian
tidak sempit.
Tidak
pendek bagian bawahnya.
Tidak
beraroma minyak wangi.
Tidak
menyerupai pakaian laki-laki, karena Rasulullah melaknat perempuan yang
menyerupai laki-laki.
Tidak
memakai pakaian dengan maksud agar terkenal di antara manusia.
2).
Peran Wanita dalam Peperangan dan Jihad.
Peperangan
pada hakekatnya diwajibkan atas laki-laki, kecuali pada waktu-waktu darurat.
Tapi tidak menutup kemungkinan perempuan ikut andil di dalamnya. Di antara
perannya dalam hal ini adalah memberikan minuman, mengobati yang luka-luka
akibat perang, menyiapkan bekal dan lain-lain. Bila para wanita melakukan hal
ini dengan ikhlas, pahalanya sama dengan orang yang berjihad.
Sejarah
pun telah menuliskan dengan tinta emas, peranan wanita dalam peperangan. Ketika
perang Yarmuk, Khalid bin Walid sebagai panglimanya menugaskan wanita,
diantaranya Khansa`, untuk berbaris di belakang barisan laki-laki, tapi
jaraknya agak jauh sedikit. Tugas mereka adalah menghalau prajurit laki-laki
yang melarikan diri dari medan perang. Mereka dibekali pedang, kayu dan batu.
Shafiyah binti Abdul Muthalib juga pernah membunuh seorang Yahudi pengintai.
Dan banyak lagi contoh-contoh yang nyata yang dapat menjadi suri tauladan bagi
kita.
Post a Comment