Sifat Qana'ah dan 'Iffah
Sifat Qana'ah dan 'Iffah
Qana'ah (merasa cukup) dan 'iffah (suci, jauh dari sifat yang
tidak baik, dan menahan diri dari meminta)
'Jadilah
engkau orang yang bersifat qana'ah, niscaya engkau menjadi manusia yang paling
bersyukur.'
Gambaran orang yang haus terhadap dunia,
selalu ingin memperbanyak harta dengan rakus tamak, adalah yang senang dengan
yang hina, terbiasa mengeluh, dan selalu meminta. Inilah gambaran yang tidak
sesuai dengan kemuliaan seorang mujahid (pejuang), qana'ah (merasa cukup),
'iffah, dan ridha dengan pembagian Allah
kepadanya.
Sesungguhnya sikap pasrah terhadap
sifat tamak (rakus) tidak ada akhirnya apabila seseorang melepaskan tali
kendali nafsu syahwatnya. Disebutkan dalam hadits:
...إِنَّ هذَا اْلمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ, فَمَنْ أَخَذَهَا بِسَخَاوَةِ
نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ, وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ
لَهُ فِيْهِ, كاَلَّذِي يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ
"Sesungguhnya harta ini berwarna
hijau serta manis, maka barangsiapa yang mengambilnya dengan kemurahan jiwa
niscaya diberikan berkah baginya pada harta itu. Dan barangsiapa mengambilnya
dengan nafsu serakah niscaya tidak diberikan berkah baginya pada harta itu,
seperti orang yang makan dan tidak pernah kenyang…"[1]
Sifat tamak menguasai orang-orang yang
melakukan persaingan dalam urusan dunia dan perhiasannya, yang selalu
memperhatikan orang-orang yang di atas mereka. Imam an-Nawawi rahimahullah
memberikan alasan terhadap hal itu dengan katanya: 'Karena apabila manusia
melihat kepada orang yang diberikan karunia dalam perkara dunia, nafsunya
menuntut seperti hal itu dan menganggap kecil/remeh nikmat Allah
yang ada padanya, ingin bertambah, supaya bisa menyusul dengan hal itu atau
mendekatinya, inilah realita mayoritas manusia…'[2]
Sifat tamak yang berlebihan di dalam
jiwa seseorang bisa merusak agamanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
مَا ذِئْبَانِ
جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِى غَنمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى
الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِيْنِهِ
"Tidak ada dua ekor srigala yang
dilepas pada kambing lebih merusak baginya terhadap agamanya daripada sifat
tamak seseorang terhadap harta dan kemuliaan."[3]
Ketergantungan hati yang berlebihan
terhadap perhiasan dunia dan memperbanyak harta memperbudak hamba, dan
Rasulullah
memanggil orang-orang seperti itu dengan sebutan orang yang celaka:
تَعِسَ
عَبْدُ الدِّيْنَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخُمَيْصَةِ: إِنْ أُعْطِيَ
رَضِيَ وَإِنْ لُمْ يُعْطَ سَخِطَ, تَعِسَ وَاْنتَكَسَ...
"Celaka budak dinar dan budak
dirham serta budak khumaishah: jika diberi, ia senang, jika tidak diberi, ia
marah, celaka dan jatuh terjungkir."[4]
Sifat qana'ah tidak bisa diperoleh
kecuali dengan mujahadah (melawan) hawa nafsu dan dengan taufik Allah I:
...مَنْ
يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ
"Barangsiapa berusaha 'iffah
(menghindar dari yang tidak terpuji) niscaya Allah I
menjadikannya 'iffah, dan barangsiapa yang merasa cukup niscaya Allah I
memberikan kecukupan kepadanya."[5]
Salah
seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam menolak
mengambil haknya dari harta fai –sekalipun Khalifah Umar
beberapa kali menawarkan hal itu kepadanya-. Ibnu Hajar al-'Asqalani rahimahullah
menyebutkan alasan penolakannya dengan katanya: 'Dia
menolak mengambilnya (padahal harta itu adalah haknya), karena ia khawatir
menerima sesuatu dari seseorang, lalu terbiasa mengambil, hingga jiwanya
melewati sesuatu yang tidak dikehendakinya, maka ia menyapihnya dari hal itu,
dan meninggalkan sesuatu yang meragukannya kepada yang tidak meragukannya…'[6]
Dan
Rasulullah r
menyebutkan para penghuni surga, di antaranya:
عَفِيْفٌ مُتَعَفِّفٌ ذُوْ الْعِيَالِ
"Orang yang 'iffah, berusaha
menahan dari meminta, sedang dia mempunyai keluarga.'[7]
Karena sesungguhnya ia berjuang melawan nafsunya, padahal sangat membutuhkan.
Termasuk kesempurnaan sifat tidak
meminta: sesungguhnya para sahabat melakukan bai'at kepada Rasulullah bahwa mereka tidak akan meminta sesuatu kepada manusia. Dan yang meriwayatkan
hadits menceritakan kondisi mereka setelah Rasulullah
(wafat), ia berkata: 'Sungguh sebagian dari golongan itu, terjatuh tongkatnya,
maka ia tidak meminta kepada seseorang untuk mengambilkan tongkatnya.'[8]
Karena mereka sangat bersungguh-sungguh menepati bai'at mereka terhadap
Rasulullah .
Dan dalam dialog bersama Abu Dzarr ,
Rasulullah
bersabda:
كَيْفَ
أَنْتَ وَجُوْعًا يُصِيْبُ النَّاسَ حَتَّى تَأْتِيَ مَسْجِدَكَ فَلاَ تَسْتَطِيْعُ
أَنْ تَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِكَ, وَلاَتَسْتَطِيْعُ أَنْ تَقُوْمَ مِنْ فِرَاشِكَ إِلَى
مَسْجِدِكَ؟ قَالَ: قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: عَلَيْكَ
باِلْعِفَّةِ
"Bagaimana engkau, sedangkan rasa
lapar menimpa manusia, sehingga engkau datang ke masjidmu, maka engkau tidak
mampu kembali ke tempat tidurmu, dan engkau tidak bisa bangun dari tempat
tidurmu ke masjidmu? Ia berkata,'Aku menjawab: 'Allah I
dan Rasul-Nya r
lebih mengetahui.' Beliau r
bersabda: 'Engkau harus bersifat 'iffah…"[9]
Dan termasuk mujahadah adalah
bahwa engkau tidak mengadu kecuali hanya kepada Allah
dan tidak menantikan kelapangan kecuali hanya dari Allah ,
maka di dalam hadits:
مَنْ
أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ فَأَنْزَلَهَا للِنَّاسِ لَمْ تُسَدَّ فَاقَتُهُ, وَمَنْ أَنْزَلَهَا
باِللهِ أَوْشَكَ اللهُ لَهُ باِلْغِنَى: إِمَّا بِمَوْتٍ آجِلٍ أَوْ غِنًى عَاجِلٍ.
"Barangsiapa yang ditimpa
kefakiran, lalu ia mengadukannya kepada manusia, niscaya tidak tertutupi
kekurangannya. Dan barangsiapa yang mengadukannya kepada Allah ,
hampir-hampir Allah
memberikan kekayaan kepadanya, bisa dengan kematian yang tertunda atau kekayaan
yang cepat (di dunia)."[10]
Dan dalam kondisi yang sangat
terpaksa, yang mendorong seseorang mengulurkan tangannya untuk meminta, syarat
meminta adalah tidak mendapatkan kemampuan, karena Allah
menggambarkan orang-orang fakir dengan firman-Nya:
لِلْفُقَرَآءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا
فِي سَبِيلِ اللهِ لاَ يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي اْلأَرْضِ
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad)
di jalan Allah: mereka tidak dapat
(berusaha, bekerja) di bumi; (QS. al-Baqarah:273)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
'Karena orang yang mampu bekerja di muka bumi, berarti ia menemukan salah satu
syarat untuk menjadi mampu/kaya. Dan yang dimaksud 'orang-orang fakir yang
terikat/tertahan' maksudnya terikat oleh jihad fi sabilillah, yaitu karena kesibukan
mereka berjihad, mereka tidak punya waktu untuk bekerja.'[11]
Rasulullah memberikan ijin untuk meminta dalam
batasan yang sangat sempit, seperti dalam hadits:
...حَتَّى يُصِيْب قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ سَدَادًا مِنْ
عَيْشٍ... فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْئَلَةِ –يَاقَبِيْصَةُ- سُحْتًا
يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا
"…Sehingga ia mendapatkan kebutuhan pokok, atau mencukupi
kehidupan…maka meminta selain yang demikian itu –wahai qabishah- adalah haram,
pemiliknya memakannya secara haram."[12]
Imam an-Nawawi rahimahullah
menyebutkan kesepakatan ulama atas larangan meminta kalau bukan karena
terpaksa. Dan disyaratkan bolehnya meminta bagi orang yang masih mampu bekerja dengan
tiga syarat: bahwa ia jangan merendahkan dirinya, jangan terus menerus meminta,
dan jangan menyakiti yang diminta. Jika kurang salah satu syarat ini, maka
hukumnya haram menurut konsensus ulama. Wallahu A'lam.[13]
Dan harta yang datang tanpa diikuti keinginan
nafsu kepadanya, Rasulullah r
bersabda tentang hal itu:
إِذَا
جَاءَكَ مِنْ هذَا الْمَالِ شَيْئٌ –وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَسَائِلٍ-
فَخُذْهُ وَمَالاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسُكَ
"Apabila sedikit dari harta ini
datang kepadamu –sedangkan engkau tidak mengharapkan dan tidak meminta- maka
ambillah, dan yang tidak (seperti itu), maka janganlah diikuti oleh nafsumu."[14]
Supaya terpenuhi dalam diri seorang
muslim faktor-faktor kecukupan dan qana'ah dengan sifat mulia dan terhormat,
Islam menganjurkan kepadanya agar bekerja. Rasulullah bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ َلأَنْ
يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَحْتَطِبَ عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ
يَأْتِيَ رَجُلاً فَيَسْأَلُهُ, أَعْطَاهُ أَوْ مَنَعَهُ.
"Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya, sungguh salah seorang darimu mengambil talinya,
lalu ia memikul kayu bakar di pundaknya, lebih baik baginya daripada ia datang
kepada seseorang, lalu ia meminta kepadanya, (sama saja) dia memberinya atau
tidak."[15]
Ibnu
Hajar menyebutkan faedah-faedah hadits ini: anjuran untuk menahan diri dari meminta,
menjauhkan diri darinya, sekalipun seseorang merendahkan dirinya dalam mencari
rizqi dan merasakan kesusahan dalam hal itu. Dan jikalau bukan karena keburukan
meminta dalam pandangan syara', hal itu tidak menjadi pilihannya, karena begitu
hinanya meminta-minta, dan termasuk kehinaan itu adalah bila ia tidak diberi…'[16]
Dalam rangka mengajak tawakkal dan
berusaha, Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Upah mengajar dan ilmu lebih
kusukai dari pada duduk menunggu pemberian dari orang lain.’ Dan ia juga berkata:
‘Barangsiapa yang duduk dan tidak berusaha, jiwanya mendorongnya mengharapkan
sesuatu yang ada di tangan manusia.’[17]
Zuhud
terhadap pemberian manusia menjadikan seseorang dicintai mereka. Dan dalam
wasiat ringkas, Rasulullah r bersabda:
...وَأَجْمِعِ
الْيَأْسَ عَمَّا فِى أَيْدِي النَّاسِ
“Dan
berputus asalah dari apa saja yang ada di tangan manusia (jangan mengharapkan
pemberian mereka).”[18]
Sebagaimana dalam pesan Jibril u kepada Rasulullah r:
...وَاعْلَمْ أَنَّ شَرَفَ الْمُؤْمِنِ قِيَامُهُ
بِالَّليْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ عَنِ النَّاسِ
“Dan ketahuilah, sesungguhnya
kemuliaan seorang mukmin adalah shalatnya di malam hari dan kehormatannya
adalah kayanya dari manusia.”[19]
Dan
apabila kita telah mengetahui kondisi kehidupan Rasulullah ,
bersifat qana’ah terasa mudah bagi kita dalam menghadapi realita kehidupan
kita. An-Nu’man bin Basyir
mengungkapkan kondisi kehidupan beliau
dengan ucapannya:
لَقَدْ
رَأَيْتُ نَبِيَّكُمْ وَمَا يَجِدُ مِنَ الْدَقْلِ مَا يَمْلَأُ بِهِ بَطْنَهُ
“Sesungguhnya
aku melihat nabimu, dan beliau tidak mendapatkan kurma jelek untuk mengisi
perutnya (apabila korma yang bagus, pent.).”[20]
Dan beliau berdoa:
اللهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلَ
مُحَمَّدٍ قُوْتًا
“Ya
Allah, jadikan rizqi keluarga Muhammad sebagai makanan pokok.”[21]
Di
antara sebab-sebab qana’ah adalah: bahwa seseorang memandang kepada orang yang
berada di bawahnya (lebih miskin darinya dalam urusan dunia), agar ia menyadari
nikmat Allah
kepadanya. Sebagaimana di sebutkan dalam hadits:
اُنْظُرُوْا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ
مِنْكُمْ وَلاَتَنْظُرُوْا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ
لاَتَزْدِرُوْا نِعْمَةَ
اللهِ عَلَيْكُمْ
“Perhatikanlah
kepada orang yang di bawah kamu (dalam urusan dunia) dan janganlah kamu
memperhatikan kepada orang yang di atasmu. Maka ia lebih pasti bahwa kamu tidak
menghinakan nikmat Allah kepadamu.”[22]
Dan
pemilik jiwa yang terjaga pasti tidak senang bahwa tangannya berada di bawah,
dan Rasulullah
bersabda:
الْيَدُ
الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَاْليَدُ الْعُلْيَا هِيَ
الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَةُ
“Tangan yang di
atas lebih baik daripada tangan yang dibawah, dan tangan yang di atas adalah
yang memberi dan yang di bawah adalah yang meminta.”
Dan
seseorang akan lebih bisa menahan diri ketika ia membayangkan gambaran harta
sedekah ini: Abdullah bin al-Arqam menyebutkan bahwa ia meminta onta dari baitul mal, lalu ditawarkan kepadanya
onta sedekah. Maka ia enggan dan mengingkari bahwa hal itu ditawarkan
kepadanya, dan ia berkata kepada temannya (yang menawarkan): ‘Apakah engkau
senang bahwa seseorang yang gemuk di hari panas, mencuci untukmu apa yang ada
di bawah sarung dan dua rufghaihi (bagian atas dua paha dari dalam),
kemudian ia memberikannya kepadamu, maka kamu meminumnya? Maka laki-laki itu
marah dan berkata, ‘Semoga Allah
mengampunimu, apakah engkau mengatakan hal seperti ini kepadaku? Abdullah bin
al-Arqam
berkata, ‘Sesungguhnya sedekah adalah
kotoran manusia, mereka mencucinya dari mereka.’[23]
Dan di antara yang menguatkan sifat qana’ah adalah
seseorang mengetahui bahwa meminta adalah kehinaan di dunia, siksaan dan sangat
memalukan di akhirat. Dan dalam hal itu, Rasulullah r
bersabda:
مَنْ
سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكُثُّرًا, فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا,
فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ
“Barangsiapa yang meminta harta kepada
manusia karena ingin menambah, maka sesungguhnya ia meminta bara api, maka
hendaklah ia cukup dengan sedikit atau memperbanyak.”[24]
Dan demikian pula:
مَنْ
سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيْهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa
yang meminta, sedangkan ia mempunyai sesuatu yang mencukupi (kebutuhan)nya,
maka sesungguhnya ia memperbanyak dari api neraka.”[25]
Kenapa orang yang telah diberikan dunia
dengan mendapatkan rasa aman, diberi kesehatan, dan memperoleh makan di harinya
terus ingin menambah harta??
مَنْ
أَصْبَحَ آمِنًا فِى سِرْبِهِ, مُعَافًى فِى بَدَنِهِ, عِنْدَهُ قُوْتُ يَوْمِهِ,
فَكَأَنَّمَا حِيْزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa
yang di pagi hari merasa aman dalam hidupnya, sehat
badannya, dan mempunyai makanan di harinya, maka seolah-olah telah diberikan
dunia kepadanya.”[26]
Dan kenapa seseorang merasa berduka cita
karena kehilangan sedikit dari dunia, apabila ia merasa tenang bahwa ia
termasuk orang-orang yang beruntung:
قَدْ
أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ
“Sungguh
beruntung orang yang beragama Islam, diberi rizqi secara cukup, dan Allah
memberikannya sifat qana’ah terhadap apa yang diberikan Allah
kepadanya.”[27]
Apakah
gunanya terus menambah harta dan menyimpan, apabila kebutuhan seseorang sangat
terbatas dengan keperluan yang tertentu:
وَهَلْ
لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلاَّ مَاتَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ أَوْ أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ
أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ؟
“Tidaklah
engkau memiliki hartamu kecuali yang engkau sedekahkan lalu engkau berlalu,
atau engkau makan lalu engkau habiskan, atau engkau pakai lalu engkau lusuhkan…?[28]
Kurangnya sifat qana'ah dalam diri
seorang muslim terkadang muncul dari tidak mantapnya pemahaman imannya, berupa
ridha terhadap qadar di kala susah dan senang. Karena itulah, termasuk do'a
beliau r:
...وَأَسْأَلُكَ نَعِيْمًا لاَيَنْفَدُ وَقُرَّةَ عَيْنٍ
لاَتَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بِالْقَضَاءِ
"…dan aku memohon kepada-Mu
kenikmatan yang tidak pernah pudar, kesejukan mata yang tidak pernah terputus,
dan aku memohon kepada-Mu keridhaan terhadap qadha`."[29]
Dan
di dalam do'a Istikharah:
وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ
كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
"…dan
tentukan (taqdirkanlah) kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada,
kemudian berilah kerelaan-Mu kepadaku."[30]
Dan
di antara faktor pendukung ridha adalah berpikir tentang pahala, sebagaimana
dalam hadits:
لَوْ
تَعْلَمُوْنَ مَالَكُمْ عِنْدَ اللهِ َلأَحْبَبْتُمْ أَنْ تَزْدَادُوْا فَاقَةً
وَحَاجَةً.
"Jikalau
kamu mengetahui pahala yang disiapkan untukmu di sisi Allah I,
niscaya kamu ingin agar bertambah fakir dan membutuhkan."[31]
Demikian
pula sabdanya r:
لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَاادُّخِرَ لَكُمْ
مَاحَزِنْتُمْ عَلَى مَازُوِيَ عَنْكُمْ
"Jikalau
kamu mengetahui pahala yang disimpan untukmu, niscaya kamu tidak berduka cita
terhadap kesempitanmu."[32]
Terkadang
seorang fakir adalah orang bersifat qana'ah lagi 'iffah, sebagaimana orang yang
kaya bersifat tamak lagi rakus, karena kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa.
Rasulullah bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ
الْعَرْضِ وَلكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
"Kaya yang sebenarnya bukanlah kaya
harta benda, akan tetapi kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa."[33]
Dan
Rasulullah
menggambarkan kondisi manusia di masa-masa terakhir, maka beliau menyebutkan di
antara tanda-tanda hari kiamat:
...وَأَنْ يُعْطَى الرَّجُلُ أَلْفَ دِيْنَارٍ فَيَتَسَخَّطُهَا
…dan seseorang
diberikan seribu dinar, maka ia membencinya (tidak ridha)."[34]
Ini
adalah gambaran sifat rakus dan tamak yang berat, sebagaimana qana'ah merupakan
gambaran syukur dan ridha yang tertinggi:
وَكُنْ قَنِعًا تَكُنْ أَشْكَرَ
النَّاسِ
"Dan jadilah engkau orang yang
bersifat qana'ah, niscaya engkau menjadi manusia paling bersyukur."[35]
Kesimpulan:
1. Orang
yang jatuh kedalam sifat tamak adalah seperti orang yang makan dan tidak pernah
kenyang.
2. Berlomba
dalam urusan dunia termasuk mendorong timbulnya sifat tamak.
3. Sifat
qana'ah tidak bisa diperoleh kecuali dengan mujahadah (usaha yang
sungguh-sungguh).
4. Di
antara kesempurnaan sifat 'iffah para sahabat adalah bai'at mereka bahwa mereka
tidak akan meminta apapun kepada manusia.
5. Di
antara syarat yang diberikan para ulama dalam meminta adalah:
a. Tidak
mendapatkan kecukupan.
b. Tidak
menghinakan diri.
c. Tidak
terus menerus meminta.
d. Tidak
bersifat rakut.
6. Yang
membantu bersifat qana'ah adalah:
a. Bekerja
untuk mencukupi kehidupan.
b. Mengikuti
keadaan salafus shalih.
c. Memandang
kepada orang yang di bawahnya (dalam perkara dunia).
d. Membayangkan
kehinaan meminta, baik di dunia maupun di akhirat.
7. Kebutuhan
seseorang terbatas, maka tidak ada keharusan bersifat tamak.
8. Qana'ah
menjadi cacat bila iman terhadap qadar tidak mantap.
9. Yang
aneh adalah qana'ah orang fakir dan rakusnya orang kaya.
10. Qana'ah
adalah gambaran syukur dan ridha yang tertinggi.
[1] Shahih al-Bukhari,
kitab Zakat, bab ke-50, no. 1472.
[4] Shahih al-Bukhari,
kitab al-Jihad, bab ke-70, no. 2887.
[7] Shahih Muslim, kitab
al-Jannah (surga), bab ke-16, no.63.
[13] Syarah Shahih Muslim,
kitab zakat, bab ke-35, no. 1043.
[14] Shahih al-Bukhari,
kitab zakat bab ke-51, no. 1473.
[17]Dikutip
dari Fath al-Bari, kitab riqaq, bab ke-16.
[18] Shahih Sunan Ibnu Majah, kitab zuhud, bab
ke-1, no.3363/4171 (Hasan).
[19] Shahih
al-Jami’ hadits no. 73 (Hasan).
[20] Shahih
Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-26, no. 1932/2491 (Shahih).
[21] Shahih
Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-25, no.1924/2480 (Shahih)
[22] Shahih
Muslim, kitab zuhud dan raqa`iq, no. 2963
[23] Al-Muwaththa` 2/1001, kitab sedekah, bab
ke-3, no. 15 (al-Arna`uth mengatakan dalam hasyiyah Jami` al-Ushul: 10/150,
isnadnya shahih).
[24] Shahih Muslim, kitab zakat, bab ke-35, no.
1041.
[25] Shahih
Sunan Abu Daud, kitab zakat, bab ke-24, no. 1435/1629.
[26] Shahih
Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-21, no. 1913/2463 (Hasan).
[27] Shahih
Muslim, kitab zakat, bab ke-43, no. 1054.
[28] Shahih
Sunan at-Tirmidzi, kitab zuhud, bab ke-21, no. 1909/2459 (Shahih).
Post a Comment