30 Langkah Mendidik Anak Agar Mengamalkan Ajaran Agama
30 Langkah Mendidik Anak
Agar Mengamalkan Ajaran Agama
Agar Mengamalkan Ajaran Agama
Segala puji bagai Allah, Tuhan
semesta alam. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi
dan Rasul yang paling mulia, Nabi kita Muhammad, kepada keluarganya, dan
seluruh sahabatnya.
Adapun selanjutnya:
Dikarenakan anak adalah
potensi umat ini, harapan masa depan, harta pusaka dan kekuatan inti, maka
menjadi wajib bagi kita untuk benar-benar memanfaatkan potensi dan pusaka ini,
untuk berkhidmat, mencintai agama dan mengamalkannya.
Kita tidak boleh mengabaikan generasi anak-anak dan
menyia-nyiakannya. Melihat mereka seakan tidak membawa pesan apapun. Pandangan
sedemikian itu merupakan kekeliruan fatal yang banyak dilakukan para orang tua
dan pendidik. Karenanya pemikiran-pemikiran dan gagasan dalam tulisan ini, tidak
lain untuk memperbaiki pemahaman dan gambaran yang keliru tersebut.
Untuk itu saya berupaya
menjadikan pemikiran-pemikiran dan gagasan ini tertuang dalam bentuk langkah
terapan sehingga mudah dipahami dan dipraktekkan, yang sesuai dengan
karakteristik, akal dan kejiwaan mereka, yang mengarahkan kepada bagaimana
berkhidmat dan mencintai agama ini.
Akhirnya...
Saya meminta kepada Allah –azawajalla-
mengilhamkan ketepatan dan kebenaran serta menjauhkan kesalahan dan
ketergelinciran. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Pengabul doa.
LANGKAH (1)
KESALEHAN IBU DAN AYAH
Langkah pertama dan yang
paling penting adalah Kesalehan orang tua. Dengan kesalehan keduanya,
anak-anak akan menjadi baik. Anak-anak tumbuh sesuai yang dibiasakan orang
tuanya.
Penyebutan ibu di dahulukan
dari pada ayah karena beban terbesar dalam pendidikan anak berada di pundak
ibu, mengingat kebersamaannya yang lebih lama dengan anak-anak, berbeda dengan
ayah yang sibuk mencari rezeki. Mendidik anak-anak agar tumbuh mencintai dan
mengamalkan agama ini. Generasi yang demikian haruslah tumbuh dari tanah yang
baik dan subur, sebagaimana yang dikatakan oleh as-Syaukhi:
Ibu adalah madrasah jika
engkau mempersiapkannya
Dengan mempersiapkannya
berarti telah menyiapkan generasi yang harum namanya
Ibulah madrasah pertama yang
menelurkan ulama, dai dan mujahid-mujahid pemberani. Karenanya ibu (istri)
solehah amatlah penting dalam membangun masyarakat dan melahirkan generasi yang diberkahi.
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- pun mendorong dan memotivasi hal
ini dengan sabdanya:
(( تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ :
لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فاظفر بذات الدين تَرِبَتْ يَدَاك ))
“Wanita
dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan
agamanya. Pilihlah agamanya maka engkau tidak akan menyesal.” [1]
Benar...
Beruntunglah engkau yang
memilih istri solehah lagi berilmu, sehingga melahirkan untuk umat ini ulama.
Beruntunglah engkau yang
memilih istri mujahidah (pejuang), sehingga melahirkan untuk umat ini
para kesatria.
Beruntunglah engkau yang
memilih istri pendakwah, sehingga melahirkan untuk umat ini para juru dakwah.
Beruntunglah engkau yang
memilih istri yang ahli ibadah, sehingga melahirkan untuk umat ini para ahli
ibadah.
Beruntunglah engkau...
Karenanya para ibu memiliki
peran besar dan agung dalam membangun kepribadian anak dan dalam mendidik
mereka agar mengamalkan agama ini. Demikian juga para ayah, yang memiliki peran
besar yang tidak lebih kecil dari peran ibu.
Berikut peringatan yang
niscaya:
Para orang tua hendaknya memperhatikan
perkara penting yang memiliki pengaruh besar pada kepribadian anak yaitu
interaksi antara orang tua. Interaksi antar kedua orang tua adalah pendidikan
harian yang disaksikan langsung oleh anak-anak di depan mata mereka.
Yang Semestinya dilakukan orang
tua:
1.
Hendaknya keduanya saling
menghargai, terkhusus jika berada di hadapan anak-anak.
2.
Tidak mempertontonkan
perselisihan keduanya di hadapan anak-anak.
3.
Mengikuti petunjuk Nabi dalam
hak-hak pergaulan serta saling komitmen di antara ayah dan ibu dengan hak-hak
masing-masing.
* * *
Contoh Praktis Pentingnya
Kesalehan Ibu Dan Ayah Dalam Membangun Kepribadian Anak
Ibu senantiasa menghentikan
segala aktivitas ketika mendengar kumandang azan dan meminta anak-anak untuk
melakukan hal yang sama. Menjelaskan kepada mereka bahwa Allah -subhânahu
wata'âla- akan mencintai kita jika kita menunaikan shalat tepat pada
waktunya. Kemudian segera berwudu dan melaksanakan shalat.
Dengan demikian anak-anak akan
tumbuh sedari dini melaksanakan shalat tepat pada waktunya...kenapa? karena
mereka telah belajar sejak kecil bahwa siapa yang melaksanakan shalat pada
waktunya akan dicintai oleh Allah. Ini membantu dalam memudahkan anak
merealisasikannya.
* * *
Kisah
pentingnya peran orang tua dalam membangun kepribadian anak:
Sejarah Islam yang mulia
merekam kisah-kisah dan contoh kepribadian anak yang dipengaruhi oleh
kepribadian ayah dan ibu mereka. Di antaranya :
Kepribadian Seorang Ayah
Diceritakan bahwa keberanian
Abdullah Ibn az-Zubair adalah pengaruh dari keberanian ayah dan ibunya -radiallahu'anhuma-
yang ditirunya.
Al-Laits meriwayatkan dari
Abul Aswad dari Urwah, katanya:
"Az-Zubair memeluk Islam
dalam usia 8 tahun. Suatu waktu dia pernah tersugesti oleh syetan bahwa
Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam- ditangkap di dataran tinggi
Mekkah. Az-Zubair yang masih kanak-kanak, berusia 12 tahun keluar rumah sambil
membawa pedang. Setiap orang yang melihatnya
terheran-heran dan berkata:
“Anak kecil menenteng
pedang?!”
Hingga akhirnya bertemu Nabi.
Nabi turut heran terhadapnya dan bertanya:
“Ada apa denganmu wahai
az-Zubair?!”
Az-Zubair mengabarkan (sugesti
yang terlintas dalam fikirannya) seraya berkata:
“Aku datang untuk memenggal
dengan pedangku ini siapa pun yang menangkapmu!”[2]
* * *
Keberanian Sang Ibu
Cerita keberanian Asma binti
Abu Bakar, Ibu dari Abdullah Ibnu az-Zubair -radiallahu'anhum-.
Imam adz-Zahabi berkata:
Abu al-Muhayyah Ibn Ya’la
at-Taymi Menceritakan kepada kami dari ayahnya, katanya:
“Aku masuk Mekkah setelah tiga
hari terbunuhnya Ibnu az-Zubair yang terpasung. Ibunya yang sudah renta datang
dan berkata kepada al-Hajjaj:
“Bukankah sekarang saatnya
bagi yang terpasung untuk turun?”
“Si munafik?” Sela al-Hajjaj.
“Demi Allah, dia bukanlah
orang munafik. Dia adalah anak yang senantiasa berpuasa, shalat malam dan
berbakti pada orang tua.” Sergah Ibu
Ibnu az-Zubair.
“Pergilah engkau wahai orang
tua, engkau tengah membual.” Ucap al-Hajjaj.
Ibu Ibnu Zubair berkata lagi:
“Tidak, demi Allah, aku tidaklah membual setelah Rasulullah bersabda:
((في ثقيف كذاب ومبير))
* * *
Keberanian Sang Anak
Cerita keberanian Abdullah Ibn
Zubair:
Ishaq Ibn Abu Ishaq berkata:
Aku hadir pada peristiwa
terbunuhnya Ibnu az-Zubair, dimana para tentara masuk mengepungnya dari setiap
pintu masjid. Ketika sekelompok pasukan masuk dari suatu pintu, Abdullah Ibn
az-Zubair menghalau dan mengeluarkan mereka. Dalam keadaan seperti itu,
tiba-tiba jatuh plafon masjid dan menimpanya sehingga membuatnya tersungkur.
Dia membaca bait syair:
Asma, wahai Asma[5]
janganlah menangisiku
Tidak akan tertinggal selain
kemuliaan dan agamaku
serta pedang yang tergenggam
di tangan kananku[6]
Rasa Takut Sang Ayah
Kisah rasa takut sang ayah,
Fudhail Ibn Iyadh -rahimahullah- dan kekhawatirannya kepada Allah.
Muhammad Ibn Nâhiah berkata:
"Aku shalat subuh
bermakmum di belakang al-Fudhail. Dia membaca surat al-Hâqah. Ketika tiba pada
bacaan:
“(Allah berfirman):
"Peganglah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” (QS. Al-Hâqoh:30)
Al-Fudhail tidak kuasa
membendung tangisnya.[7]
* * *
Ishaq Ibn Ibrahim at-Thabari
berkata:
“Aku tidak mengetahui
seseorang yang lebih takut terhadap dirinya dan lebih perhatian kepada manusia
dari pada al-Fudhail. Bacaan al-Qurannya miris, merindu, perlahan, dan syahdu,
seolah sedang berkomunikasi dengan seseorang. Jika lewat pada ayat yang
menyebutkan tentang surga, ia mengulang-ulanginya.[8]
Rasa Takut Anak Kepada Allah
Kisah rasa takut dan khawatir
seorang anak (Ali putra al-Fudhail Ibn 'Iyâdh)
Abu Bakar Ibn 'Iyâsy berkata:
"Aku shalat magrib di
belakang Al-Fudhail Ibnu 'Iyadh, sementara putranya, Ali berada di sampingku.
Al-Fudhail membaca:
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu.
Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui
(akibat perbuatanmu itu). Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. niscaya
kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sungguh kamu benar-benar akan
melihatnya dengan 'ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu
tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).”
Ketika sampai pada ayat:
“Niscaya kamu benar-benar akan
melihat neraka Jahiim,”
Ali jatuh pingsan, sedangkan
al-Fudhail terus melanjutkan bacaannya.[9]
Abu Sulaiman ad-Dârani
berkata:
"Ali Ibn Fudhail tidak
sanggup membaca surat al-Qori'ah atau dibacakan kepadanya."[10]
* * *
ANAK DAN KEDUA ORANG TUA
Habib Ibn Zaid Terpengaruh Oleh Kedua Orang
Tuanya
Pengorbanan Ibu
Anas berkata:
"Abu Tolhah melamar Umu Sulaim.
Umu Sulaim berkata kepada Abu
Tolhah:
"Tidaklah layak bagiku menikahi lelaki
musyrik (politeisme). Tidakkah kamu tahu wahai Abu Tolhah bahwa tuhan-tuhanmu
dibuat oleh Abdu Alu Fulan. Jika engkau bakar tuhan-tuhan itu niscaya akan
terbakar."
Abu Tolhah pun berlalu,
sedangkan dalam hatinya terngiang-ngiang apa yang dikatakan Umu Sulaim.
Berselang dari itu dia datang lagi kepada Umu Sulaim dan berkata:
"Apa yang telah engkau ajukan kepadaku aku
terima. Tidak ada mahar bagimu selain memeluk Islam."
*
*
*
Pengorbanan Seorang Ayah
Anas berkata:
"Ketika perang Uhud kaum muslimin terdesak
dan terpisah dari Rasulullah -shalallahu alaihi wasallam-, sedangkan Abu
Tolhah tetap bersama Rasulullah melindung beliau dengan tombaknya. Abu Tolhah
adalah seorang yang mahir memanah dan bertubuh kekar. Dia mampu mematahkan dua
atau tiga busur sekaligus. Ketika ada seorang yang lewat membawa sekumpulan
anak panah ada yang mengatakan:
"Berikan anak-anak panah itu kepada Abu
Tolhah."
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- mendongak
melihat siapa mereka, namun Abu Tolhah berkata:
"Demi ibu dan ayahku, janganlah mendongak
sehingga terkena sasaran panah mereka. Biarlah tubuhku menjadi pelindungmu.[11]
Anak Yang Mati Syahid
Ibnu Kasir menyebutkan dalam
kitab al-Bidâyah wa an-Nihâyah:
"Habib Ibn Zaid dibunuh
oleh Musailamah al-Kazzab[12].
Ketika Musailamah
menginterogasi Habib, dia bertanya:
“Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad
Rasulullah?"
“Ya.” Jawab Habib.
“Apakah engkau bersaksi bahwa aku Rasulullah?
Tanya Musailamah lagi.
Habib menjawab: “Aku tidak
mendengar perkataanmu!”
(Musailamah berang) dan
memutilasi Habib sambil mengulang-ulang pertanyaannya. Habib tidak menjawab
lebih dari yang dikatakannya semula hingga menghembuskan nafas terakhirnya.[13]
[3]
Sabda Rasulullah itu
adalah ramalan beliau akan peritiwa yang akan terjadi setelah kematiannya. Ibu
Ibnu az-Zubair merupakan salah satu sahabat Nabi dari kaum wanita. Al-Hajjaj
adalah salah seorang penguasa yang lalim.
Post a Comment