MEMBEDAKAN ANTARA KEKUFURAN, KEMUSYRIKAN, DAN KEMUNAFIQAN YANG BESAR DAN YANG KECIL



MEMBEDAKAN ANTARA KEKUFURAN, KEMUSYRIKAN, DAN KEMUNAFIQAN YANG BESAR DAN YANG KECIL


SATU hal yang sangat penting di  sini  ialah  kemampuan  untuk membedakan  tingkat  kekufuran,  kemusyrikan, dan kemunafiqan. Setiap bentuk kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiqan  ini  ada tingkat-tingkatnya.

Akan    tetapi,   nash-nash   agama   menyebutkan   kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafiqan hanya dalam satu  istilah,  yakni kemaksiatan;   apalagi   untuk  dosa-dosa  besar.  Kita  mesti mengetahui penggunaan istilah-istilah ini sehingga kita  tidak mencampur  adukkan  antara berbagai istilah tersebut, sehingga kita menuduh sebagian orang telah melakukan kemaksiatan berupa kekufuran  yang  paling  besar  (yakni ke luar dari agama ini) padahal  mereka  sebenarnya  masih  Muslim.  Dengan  menguasai penggunaan  istilah  itu, kita tidak menganggap suatu kelompok orang sebagai musuh kita, lalu kita menyatakan perang terhadap mereka,  padahal  mereka termasuk kelompok kita, dan kita juga termasuk dalam kelompok mereka; walaupun mereka termasuk orang yang  melakukan  kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk menangani masalah ini sebaiknya kita mengaca  pada  peribahasa Arab: "Hidungmu adalah bagianmu, walaupun hidung itu pesek."

KEKUFURAN BESAR DAN KEKUFURAN KECIL

Sebagaimana diketahui bahwasanya kekufuran yang  paling  besar ialah  kekufuran terhadap Allah SWT dan Rasul-Nya, sebagaimana yang telah kami sebutkan di muka sehubungan  dengan  kekufuran orang-orang atheis; atau kekufuran terhadap kerasulan Muhammad saw sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nasrani.   Mereka   dikategorikan  sebagai  orang-orang  kafir terhadap kerasulan Muhammad  dalam  hukum-hukum  dunia  Adapun balasan  yang  akan  diterima  oleh  mereka, tergantung kepada sejauh mana rintangan  yang  pernah  mereka  lakukan  terhadap Rasulullah   saw   setelah   dijelaskan  bahwa  beliau  adalah Rasulullah saw; sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (an-Nisa': 115)

Adapun bagi orang yang belum jelas kebenaran  baginya,  karena dakwah  Islam  belum  sampai  kepada mereka, atau telah sampai tetapi tidak begitu jelas sehingga dia tidak  dapat  memandang dan   mempelajarinya,   maka  dia  termasuk  orang-orang  yang dimaafkan. Allah SWT berfirman:

"... dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (al-Isra,: 15)

Diyakini bahwasanya kaum Muslimin bertanggung  jawab  --sampai kepada   batas   yang   sangat   besar--   terhadap  kesesatan bangsa-bangsa di muka  bumi;  kebodohan  mereka  akan  hakikat Islam;  dan  keterjerumusan  mereka  kepada  kebathilan  musuh Islam.  Kaum  Muslimin  harus  berusaha   dengan   keras   dan sungguh-sungguh  untuk menyampaikan risalah Islam, menyebarkan dakwah mereka  kepada  setiap  bangsa  dengan  bahasa  mereka, sehingga  mereka  mendapatkan penjelasan mengenai Islam dengan sejelasjelasnya, dan panji risalah Muhammad dapat ditegakkan.

Sedangkan kekufuran yang kecil ialah kekufuran yang  berbentuk kemaksiatan terhadap agama ini, bagaimanapun kecilnya.

Misalnya  orang yang sengaja meninggalkan shalat karena malas, dengan tidak mengingkari dan tidak mencelanya.  Orang  seperti ini,  menurut  jumhur ulama adalah orang yang berbuat maksiat, atau fasiq, dan tidak kafir; walaupun  dalam  beberapa  hadits dikatakan  sebagai  kafir.  Sebagaimana  hadits: "Batas antara kami   dan   mereka   adalah   shalat."   "Barangsiapa    yang meninggalkannya,  maka  dia  termasuk  kafir."3  "Batas antara seseorang dengan kekufuran ialah meninggalkan shalat."4

Ibn Hazm --dengan Zhahiriyahnya-- tidak mengatakan bahwa orang yang  meninggalkan  shalat  termasuk  kafir... Selain itu, ada riwayat yang berasal dari Imam Ahmad  tidak  mengatakan  bahwa orang  yang  meninggalkan  shalat itu adalah kafir. Tetapi dia dihukumi sebagai orang kafir,  kalau  imam  atau  qadhi  telah memanggilnya  dan  memintanya  untuk  bertobat,  kemudian  dia enggan menuruti permintaan itu.

Imam Ibn Qudamah mendukung pendapat  tersebut  dan  mengatakan bahwa  orang  yang  meninggalkan shalat itu tidak kafir --asal orang itu tidak mengingkarinya dan tidak mengabaikannya.  Jika dia  dibunuh  karena  meninggalkan shalat, maka hal itu adalah sebagai pelaksanaan hudud dan bukan karena kafir. Ada  riwayat lain  yang  juga  berasal  dari  Ahmad,  yang dipilih oleh Abu Abdillah bin Battah, yang tidak setuju dengan  pendapat  bahwa orang  yang  meninggalkan  shalat  adalah  kafir. Abu Abdillah mengatakan, "Inilah pendapat mazhab, dan  tidak  ada  pendapat yang bertentangan dengannya dalam mazhab ini."

Ibn  Qudamah  mengatakan,  "Ini  merupakan pendapat kebanyakan fuqaha, dan juga pendapat Abu Hanifah, Malik  dan  Syafi'i..." seraya  mengutip hadits-hadits yang disepakati ke-shahih-annya 5 yang mengharamkan api neraka  atas  orang  yang  mengatakan: "Tiada  tuhan selain Allah," dan orang yang mengatakannya akan dikeluarkan darinya; karena di dalam hati orang ini masih  ada kebaikan  sebesar  biji  gandum.  Selain itu, Ibn Qudamah juga berargumentasi dengan qaul para  sahabat  dan  konsensus  kaum Muslimin  yang  mengatakan,  "Sesungguhnya  kami  belum pernah mengetahui pada suatu zaman yang telah berlalu  ada  seseorang yang  meninggalkan  shalat  kemudian  dia tidak dimandikan dan dishalatkan ketika meninggal dunia, kemudian tidak dikubur  di kuburan  kaum  Muslimin;  atau  yang ahli warisnya tidak boleh mewarisi dirinya, atau dia  mewarisi  keluarganya  yang  telah meninggal   dunia;   atau  ada  dua  orang  suami  istri  yang dipisahkan   karena   salah   seorang   di   antara   keduanya meninggalkan  shalat,  padahal  orang yang meninggalkan shalat sangat banyak. Kalau orang yang meninggalkan  shalat  dianggap sebagai  kafir,  maka  akan  jelaslah  hukum yang berlaku atas mereka."

Ibn  Qudamah  menambahkan,  "Kami  belum   pernah   mengetahui pertentangan   yang   terjadi  antara  kaum  Muslimin  tentang orang-orang  yang  meninggalkan  shalat  bahwa  mereka   wajib mengqadhanya.   Sampai  kalau  dia  murtad,  dia  tidak  wajib mengqadha shalat dan puasanya. Adapun hadits-hadits  terdahulu (yang   menyebutkan   bahwa  orang  yang  meninggalkan  shalat dianggap  kafir),  maka  sesungguhnya  hadits  tersebut  ingin memberikan  tekanan  yang lebih berat dan menyamakannya dengan kekufuran, dan bukan  ungkapan  yang  sebenarnya.  Sebagaimana sabda  Rasulullah s aw, "Mencela orang Muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran."6

"Barangsiapa berkata kepada saudaranya, 'Hai kafir, maka sesungguhnya kalimat ini akan kembali kepada salah seorang di antara mereka."7

Ungkapan-ungkapan seperti  itu  sebetulnya  dimaksudkan  untuk memberikan  tekanan  dan ancaman, dan pendapat terakhir inilah yang paling tepat di  antara  dua  pendapat  di  atas.  Wallah a'lam.8

PENJELASAN IMAM IBN AL-QAYYIM

Dalam buku al-Madarij, imam Ibn al-Qayyim berkata,  "Kekufuran itu adalah dua macam: kufur besar dan kufur kecil. Kufur besar adalah penyebab kekalnya seseorang di  api  nereka,  sedangkan kufur  kecil  hanya  menyebabkan  ancaman  Allah SWT dan tidak kekal di api neraka." Sebagaimana dijelaskan oleh  sabda  Nabi saw,

"Ada dua hal yang menyebabkan kekafiran dalam umatku: yaitu orang yang menyesali nasabnya dan orang yang berkhianat."9

Dalam as-Sunan, Nabi saw bersabda,

"Barangsiapa mendatangi istrinya dari duburnya, maka dia telah ingkar dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad." 10

Dalam hadits yang lain, Nabi saw bersabda,

"Barangsiapa datang kepada dukun atau peramal, kemudian dia mempercayai apa yang dia katakan, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad." 11
  
"Janganlah kamu menjadi kafir lagi sesudahku, kemudian sebagian dari kamu memukul leher sebagian yang lain."12

Berikut ini ada baiknya kami kemukakan tentang penakwilan  Ibn Abbas dan para sahabat yang lainnya terhadap firman Allah SWT:

"Barangsiapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir." (al-Ma'idah: 44)

Ibn Abbas berkata, "Bukan kafir yang  mengakibatkan  pindahnya agama,  tetapi kalau dia melalukannya maka dia dianggap kafir, dan tidak seperti orang yang kafir  terhadap  Allah  dan  hari akhir." Begitu pula pendapat Thawus.

Atha'  berkata,  "Yang  serupa  itu  adalah kekufuran di bawah kekufuran kezaliman di bawah kezaliman, dan kefasiqan di bawah kefasiqan."

Sebagian  dari  mereka ada yang mentakwilkan ayat meninggalkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai  orang yang   ingkar   kepada-Nya.   Ini   adalah  pendapat  Ikrimah. Penakwilan ini tidak dapat diterima karena sesungguhnya ingkar kepada-Nya adalah kufur.

Diantara  mereka ada yang menakwilkan bahwa meninggalkan hukum yang dimaksudkan oleh ayat di atas  ialah  meninggalkan  hukum dengan  seluruh  ayat  yang  diturunkan  oleh  Allah  SWT. Dia menambahkan: "Termasuk di dalamnya ialah hukum yang  berkaitan dengan  tauhid  dan  Islam." Ini adalah penakwilan Abd al-Aziz al-Kinani, yang merupakan penakwilan yang  jauh  juga.  Karena sesungguhnya  ancamannya diberikan kepada orang yang menafikan hukum yang telah diturunkan olehnya,  yang  mencakup  penafian dalam kadar yang banyak (semuanya) atau hanya sebagian saja.

Ada   juga   orang   yang  menakwilkan  ayat  tersebut  dengan mengatakan bahwa yang dimaksudkan ialah menetapkan hukum  yang bertentangan  dengan  nash, dengan sengaja, bukan karena tidak mengetahui atau karena salah takwil. Begitulah yang dikisahkan oleh al-Baghawi dari para ulama pada umumnya.

Ada  yang  mentakwilkan  bahwa  yang dimaksudkan oleh ayat itu ialah para ahli kitab. Yaitu pendapat Qatadah, al-Dhahhak, dan lain-lain.  Dan  ini  dianggap  sebagai  penakwilan yang cukup jauh,  karena  bertentangan  dengan  bentuk   lahiriah   lafal tersebut sehingga ia tidak dapat ditakwilkan seperti itu.13

Ada  pula  yang  berpendapat: "Hal itu adalah kufur yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama ini."

Yang benar ialah bahwa sesungguhnya  memutuskan  hukum  dengan sesuatu  yang  tidak  diturunkan oleh Allah SWT mengandung dua kekufuran, kecil dan besar, melihat  keadaan  hakimnya.  Kalau dia  berkeyakinan  bahwa  wajib baginya untuk menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan oleh  Allah  dalam  suatu  masalah, kemudian  dia  mengetahui  bahwa  menyimpang  darinya dianggap sebagai suatu kemaksiatan, dan dia juga mengakui bahwa hal itu akan  mendapatkan  siksa,  maka  tindakan  ini  termasuk kufur kecil.  Jika  dia  berkeyakinan  bahwa  tidak  wajib   baginya menetapkan  hukum  dengan apa yang diturunkan oleh Allah dalam suatu masalah, kemudian  dia  merasa  bebas  untuk  menetapkan hukum  tersebut --padahal dia yakin bahwasanya ada hukum Allah dalam masalah tersebut-- maka tindakan  ini  dianggap  sebagai kekufuran  besar.  Jika  dia  tidak  tahu  dan  dia  melakukan kesalahan, maka dia  dianggap  bersalah  dan  dihukum  sebagai orang yang memiliki dua kesalahan.

Maksudnya,   sesungguhnya  semua  kemaksiatan  merupakan  satu bentuk  kekufuran   kecil.   Ia   bertolak   belakang   dengan kesyukuran,  yakni  bekerja  untuk  melakukan  ketaatan. Upaya untuk menetapkan hukum itu sendiri boleh jadi  merupakan  satu bentuk kesyukuran, atau kekufuran, atau yang lain, yaitu tidak syukur atau tidak kufur.... Wallah a'lam.14

KEMUSYRIKAN BESAR DAN KEMUSYRIKAN KECIL

Sebagaimana adanya pembagian kategori besar  dan  kecil  dalam kekufuran,  begitu  pula dalam kemusyrikan. Ada yang besar dan ada pula yang kecil.

Kemusyrikan yang besar telah  diketahui  bersama,  sebagaimana dikatakan  oleh  Ibn al-Qayyim: "Yaitu mempersekutukan sesuatu dengan Allah SWT. Mencintai sesuatu sebagaimana dia  mencintai Allah.  Inilah  kemusyrikan  yang  setara  dengan  kemusyrikan karena menyamakan tuhan-tuhan orang musyrik dengan Tuhan  alam semesta.   Dan   oleh   karena   itu,  mereka  berkata  kepada tuhan-tuhan  mereka  ketika  di  neraka  kelak,  'Demi  Allah, sungguh  kita  dahulu  di  dunia  dalam  kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan alam semesta.'"15

Kemusyrikan seperti ini tidak dapat  diampuni  kecuali  dengan tobat kepada-Nya, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari syirik itu, bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya..." (an-Nisa': 48)

Dapat diampuni kalau seseorang tidak mengetahui  bahwa  amalan itu  adalah  amalan  jahiliyah dan musyrik, yang sangat dicela oleh al-Qur'an, sehingga dia terjerumus ke dalamnya,  mengakui kebenarannya,   dan   menganjurkan   orang   kepadanya,  serta menganggapnya sebagai sesuatu yang baik. Dia tidak tahu  bahwa apa  yang sedang dia lakukan adalah pekerjaan orang jahiliyah, atau orang yang serupa dengannya, atau orang yang lebih  jahat daripada mereka atau di bawah mereka. Karena ketidaktahuannya, hatinya   menentang   Islam,   menganggap   kebaikan   sebagai kemungkaran,  dan  menganggap  kemungkaran  sebagai  kebaikan; menganggap sesuatu yang bid'ah sebagai Sunnah, dan  menganggap sunnah  sebagai  bid'ah;  mengkafirkan orang lain yang beriman dan  bertauhid,  serta  menganggap  bid'ah  orang-orang   yang mengikuti R3Sulullah saw, orang-orang yang menjauhi hawa nafsu dan segala bentuk bid'ah. Oleh  sebab  itu,  barangsiapa  yang memiliki mata hati yang hidup, maka dia akan melihat kebenaran itu dengan mata kepalanya sendiri.

Ibn al-Qayyim berkata,  "Sedangkan  kemusyrikan  kecil  adalah seperti riya', memamerkan diri kepada makhluk Allah, bersumpah dengan selain Allah, sebagaimana ditetapkan oleh  hadits  Nabi saw yang bersabda,

"Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka dia telah musyrik." 16

Dan  ucapan  seseorang  kepada  orang   lain:   'Kalau   Allah menghendaki  dan  engkau menghendaki'; 'Ini berasal dari Allah dan dari engkau'; 'Aku  bersama  Allah  dan  engkau';  'Kepada siapa  lagi  aku  bergantung kecuali kepada Allah dan engkau'; 'Aku bertawakkal kepada Allah dan kepadamu'; 'Jika  tidak  ada kamu,   maka  tidak  akan  terjadi  begini  dan  begitu';  dan ucapan-ucapan  seperti   ini   dapat   dikategorikan   sebagai kemusyrikan  besar,  terpulang kepada orang yang mengatakannya dan tujuannya. Nabi saw bersabda kepada  seorang  lelaki  yang berkata    kepadanya:    "Kalau    Allah    SWT   dan   engkau menghendakinya." Maka Nabi saw bersabda, "Apakah engkau hendak menjadikan diriku, sebagai sekutu Allah? Katakan: "Kalau Allah sendiri menghendaki."" Ucapan seperti ini adalah  yang  paling ringan dibandingkan dengan ucapan yang lainnya.

Di  antara  bentuk  kemusyrikan lainnya ialah sujudnya seorang murid kepada syaikhnya. Orang yang bersujud,  dan  orang  yang disujudi dianggap sama-sama melakukan kemusyrikan.

Bentuk  yang  lainnya  yaitu  mencukur rambut untuk syaikhnya, karena  sesungguhnya  hal  ini  dianggap  sebagai  penyembahan terhadap  selain  Allah, dan tidak ada yang berhak mendapatkan penyembahan dengan cara mencukur rambut kecuali  dalam  ibadah kepada Allah SWT saja.

Bentuk  kemusyrikan yang lainnya ialah bertobat kepada syaikh. Ini adalah suatu kemusyrikan yang besar.  Karena  sesungguhnya tobat  tidak boleh dilakukan kecuali kepada Allah SWT. Seperti shalat, puasa, dan haji. Ibadah-ibadah ini hanya khusus  untuk Allah SWT saja.

Dalam   al-Musnad   disebutkan  bahwa  kepada  Rasulullah  saw didatangkan seorang tawanan, kemudian dia berkata, "Ya  Allah, sesunggguhnya aku bertobat kepada-Mu dan tidak bertobat kepada Muhammad." Maka Rasulullah saw bersabda, "Dia telah mengetahui hak untuk yang berhak memilikinya."

Tobat  adalah  ibadah  yang  hanya  ditujukan kepada Allah SWT sebagaimana sujud dan puasa.

Bentuk kemusyrikan lainnya ialah bernazar kepada selain Allah, karena  sesungguhnya  hal ini termasuk kemusyrikan dan dosanya lebih besar daripada dosa bersumpah atas nama selain Allah .

Kalau ada orang yang bersumpah dengan  selain  Allah  dianggap musyrik,  maka  bagaimana  halnya  dengan  orang yang bernazar untuk selain Allah? Dalam as-sunan  ada  hadits  yang  berasal dari Uqbah bin 'Amir dari Rasulullah saw yang bersabda, "Nazar adalah sumpah."

Di antara bentuk kemusyrikan yang lainnya ialah  takut  kepada selain  Allah,  bertawakkal  kepada  selain Allah, dan beramal karena selain Allah, tunduk dan merendahkan diri kepada selain Allah,  meminta  rizki  kepada selain Allah, dan memuji kepada selain Allah karena memberikan  sesuatu  kepadanya  dan  tidak memuji kepada Allah SWT, mencela dan marah kepada Allah karena belum   mendapat   rizki,   dan   belum   ditakdirkan    untuk mendapatkannya,  menisbatkan  nikmat-nikmat-Nya  kepada selain Allah, dan berkeyakinan bahwa di alam semesta ini ada  sesuatu yang tidak dijangkau oleh kehendak-Nya." 17

KEMUNAFIQAN BESAR DAN KEMUNAFIQAN KECIL

Kalau  di  dalam  kekufuran dan kemusyrikan ada yang besar dan ada  juga  yang  kecil,  maka  begitu   pula   halnya   dengan kemunafiqan. Ia juga ada yang besar dan ada pula yang kecil.

Kemunafiqan  besar  adalah  kemunafiqan  yang berkaitan dengan aqidah,   yang   mengharuskan    pelakunya    tetap    tinggal selama-lamanya di dalam neraka. Bentuknya ialah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan Islam. Beginilah bentuk  kemunafiqan pada  zaman  Nabi  saw,  yang ciri-cirinya disebutkan di dalam al-Qur'an dan di jelaskan  kepada  hamba-hamba  yang  beriman, agar   mereka   berhati-hati   terhadap  orang-orang  munafiq, sehingga mereka sedapat mungkin menjauhi perilaku mereka.

Sedangkan  kemunafiqan  kecil  ialah  kemunafiqan  dalam  amal perbuatan  dan  perilaku, yaitu orang yang berperilaku seperti perilaku orang-orang munafiq, meniti jalan yang  dilalui  oleh mereka,  walaupun  orang-orang  ini sebenarnya memiliki aqidah yang benar. Inilah sebenarnya yang  diingatkan  oleh  beberapa hadits yang shahih.

   "Ada empat hal yang apabila kamu berada di dalamnya, maka kamu dianggap sebagai orang munafiq murni. Dan barangsiapa yang mempunyai salah satu sifat tersebut, maka dia dianggap sebagai orang munafiq hingga ia meninggalkan sifat tersebut. Yaitu apabila dia dipercaya dia berkhianat, apabila berbicara dia berbohong, dan apabila membuat janji dia mengingkari, apabila bertengkar dia melakukan kecurangan." 18

Hadits yang lain menyebutkan, "Tanda-tanda orang  munafiq  itu ada  tiga: Apabila bicara, dia berbohong; apabila berjanji dia mengingkarinya; dan apabila dipercaya, dia berkhianat."19

Dalam  riwayat  Muslim  disebutkan:  "Walaupun  dia  berpuasa, shalat, dan mengaku bahwa dia Muslim." 20

Hadits-hadits  ini  dan  hadits-hadits  yang  serupa dengannya menjadikan para  sahabat  mengkhawatirkan  bahwa  diri  mereka termasuk  golongan  munafiq. Sehingga al-Hasan berkata, "Tidak ada yang takut kecuali omng mu'min dan tidak ada  yang  merasa aman darinya kecuali orang munafiq."

Bahkan,  Umar  berkata  kepada  Hudzaifah  yang  pernah diberi penjelasan oleh Nabi saw  mengenai  ciri-ciri  orang  munafiq: "Apakah diriku termasuk golongan mereka?"

Umar  r.a.  pernah  memperingatkan  adanya  orang munafiq yang cerdik pandai, sehingga ada orang  yang  bertanya,  "Bagaimana mungkin  ada orang munafiq yang pandai?" Dia menjawab: "Pandai lidahnya, tetapi bodoh hatinya."

Sebagian sahabat berkata, "Ya Allah aku  berlindung  kepada-Mu dan  kekhusyu'an  orang  munafiq?" Lalu ada orang yang berkata kepada  mereka,  "Bagaimanakah  bentuknya  kekhusyu'an   orang munafiq itu?" Dia menjawab, "Badannya kelihatan khusyu' tetapi hatinya tidak khusyu'." 21

DOSA-DOSA BESAR

Setelah kekufuran dan berbagai tingkatannya, maka di  bawahnya ada  kemaksiatan,  yang  terbagi  menjadi dosa-dosa besar, dan dosa-dosa kecil. Dosa besar ialah dosa yang sangat  berbahaya, yang  dapat  menimbulkan  kemurkaan,  laknat Allah, dan neraka Jahanam. Orang yang melakukannya kadang-kadang  harus  dikenai hukum had di dunia ini.

Para   ulama  berselisih  pendapat  dalam  memberikan  batasan terhadap dosa besar ini. Barangkali yang  paling  dekat  ialah kemaksiatan  yang  pelakunya dapat dikenakan had di dunia, dan diancam dengan ancaman yang berat di  akhirat  kelak,  seperti masuk  neraka,  tidak  boleh  memasuki surga, atau mendapatkan kemurkaan  dan  laknat  Allah   SWT.   Itulah   hal-hal   yang menunjukkan besarnya dosa itu.

Ada  pula  nash-nash  agama yang menyebutkan batasannya secara pasti dan mengatakannya ada tujuh 22 macam dosa besar  setelah kemusyrikan;  yaitu: Membunuh orang yang diharamkan oleh Allah untuk membunuhnya kecuali dengan  alasan  yang  benar;  sihir; memakan  riba;  memakan  harta  anak  yatim; menuduh perempuan mukmin melakukan zina;  melakukan  desersi  dalam  peperangan. Sedangkan  hadits-hadits shahih lainnya menyebutkan: Menyakiti kedua hati orang tua, memutuskan tali silaturahim,  menyatakan kesaksian   yang  palsu,  bersumpah  bohong,  meminum  khamar, berzina,  melakukan   homoseksual,   bunuh   diri,   merampok, mempergunakan   barang   orang   lain   secara   tidak  benar, mengeksploitasi orang lain, menyogok, dan meramal.

Termasuk dalam kategori  dosa  besar  ini  ialah  meninggalkan perkara-perkara  fardu  yang  mendasar,  seperti: meninggalkan shalat, tidak membayar zakat, berbuka tanpa  alasan  di  bulan Ramadhan,  dan  tidak  mau melaksanakan ibadah haji bagi orang yang memiliki kemampuan untuk pergi ke tanah suci.

Dosa-dosa besar yang disebutkan oleh  pelbagai  hadits  banyak sekali  macamnya. Oleh karena itu, benarlah apa yang dikatakan oleh hadits, "Tidakkah  telah  saya  beritahukan  kepada  kamu semua mengenai dosa-dosa besar?"23 Kemudian beliau menyebutkan berbagai dosa besar setelah kemusyrikan: menyakiti hati  kedua orangtua, dan mengucapkan persaksian yang palsu.

Dalam sebuah hadits shahih dikatakan bahwa Nabi saw bersabda.

"Sesungguhnya, yang termasuk salah satu dosa besar ialah orang yang melaknat kedua orang tuanya." Kemudian ada seorang sahabat yang bertanya: "Bagaimana mungkin seseorang dapat melaknat kedua orang tuanya?" Nabi saw menjawab, "Seorang lelaki, mencela ayah seorang lelaki, yang lainnya, kemudian lelaki yang ayahnya dicela itu mencela ayah orang yang mencelanya, dan mencela ibunya."24

Yakni orang yang  ayahnya  dicela  itu,  kemudian  membalasnya dengan mencela ayah dan ibunya.

Hadits  Nabi  saw  menganggap  bahwa  pencelaan terhadap kedua orangtua secara tidak langsung termasuk salah satu jenis  dosa besar,  dan bukan hanya termasuk sesuatu yang diharamkan; lalu bagaimana  halnya  dengan  orang  yang  langsung  mencela  dan menyakiti  hati  kedua  orangtuanya?  Bagaimana  halnya dengan orang yang langsung menyiksa dan memukul kedua orang tuanya?

Bagaimana pula dengan  orang  yang  membuat  kehidupan  mereka bagaikan  neraka  jahim  karena  kekerasan  dan perbuatan yang menyakitkan hati?

Syariah agama ini telah  membedakan  antara  kemaksiatan  yang didorong  oleh  suatu  kelemahan dan kemaksiatan yang didorong oleh kezaliman. yang pertama ialah  bagaikan  zina,  dan  yang kedua  ialah  bagaikan riba. Dari riba adalah dosa yang paling berat di sisi  Allah  SWT,  sehingga  al-Qur'an  tidak  pernah mengatakan sesuatu maksiat sebagaimana yang dikatakannya dalam hal riba:

"... dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang- orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu ..." (al-Baqarah: 278-279)

Rasulullah saw yang mulia melaknat orang  yang  memakan  riba, orang  yang  menyuruh orang lain memakan riba, penulisnya, dan kedua saksi atas perbuatan riba itu, sambil bersabda,

"Satu dirham riba yang dimakan oleh seorang lelaki dan dia mengetahui, maka hal itu lebih berat daripada tiga puluh enam kali berzina."25

Dan beliau  membagi  riba  menjadi  tujuh  puluh  macam,  atau tujuhpuluh dua atau tujuh puluh tiga macam. Yang paling rendah dari berbagai macam  bentuk  itu  ialah  seorang  lelaki  yang menikahi ibunya.26
 
Catatan Kaki:

3 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Nasai, Ibn Hibban, dan Hakim dari Buraidah, sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (4143)  ^
4 Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibn Majah dari Jabir, ibid., (2848) ^
5 Lihatlah hadits~hadits ini dalam al-Mughni, 3:356; yang ditahqiq oleh Dr. Taraki dan Dr. Halwa.^
6 Muttafaq 'Alaih dari Ibn Mas'ud, al-Lu'lu' wa al-Marjan (43) ^
7 Muttafaq 'Alaih dari Ibn Umar, ibid., 39 ^
8 Lihat al-Mughni, 3:351-359 ^
9 Diriwayatkan oleh Ahmad, dan Muslim dari Abu Hurairah r.a.(Shahih al-Jami' as-Shaghir: 138).^
10 Diriwayatkan oleh Abu Dawud (3904); Tirmidzi (135); dan Ibn Majah (939).^
11 Diriwayatkan oleh Ahmad, Hakim, dari Abu Hurairah r.a. (Shahih al-Jami' as-Shaghir).^
12 Muttafaq 'Alaih dari Jarir dan Ibn Umar, sebagaimanadisebutkan dalam al-Lu'lu'wal-Marjan (44) dan (45).^
13 Lihat rincian yang berkaitan dengan masalah ini dalam fatwa- fatwa yang terperinci dalam buku kami yang berjudul, Fatawa Mu'ashirah, juz 2, bagian Fatwa: al-Hukm bi ghair ma Anzala Allah.^
14 Lihat Madarij as-Salikin, 1: 335-337 ^
15 Surat as-Syu'ara', 97-98 ^
16 Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan Hakim dari Ibn Umar (Shahih al-Jami' as-Shaghir, 8462)^
17 Lihat Madarij as-Salikin, 1:344-346.^
18 Muttafaq 'Alaih, dari Abdullah bin Umar; al-Lu'lu' wal-Marjan (37).^
19 Muttafaq 'Alaih, dari Abu Hurairah r.a., ibid., (38).^
20 Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a. dalam kitab al-Iman, 109, 110.^
21 Madarij al-Salikin, 1: 358 ^
22 Lihat makalah kami yang membahas tentang kemurtadan dan cara mengatasinya dalam masyarakat Islam; di dalam buku kami yang berjudul Malaamih al-Majtama' al-Muslim al-ladzi, Nansyuduh, bagian al-'Aqidah wa al-Iman, penerbit Maktabah Wahbah, Kairo.^
23 Ada riwayat dari Abu Hurairah r.a. dalam as-Shahihain dan lain-lain, yang mengisyaratkan tentang 41 dosa besar ini, yaitu hadits: "Jauhilah tujuh macam dosa besar (atau hal-hal yang dapat membinasakan)." Al-Lu'lu' wa al-Marjan (56).^
24 Hadits Abu Bakar, yang diriwayatkan oleh Muttafaq 'Alaih; al-Lu'lu' wa al-Marjan (54).^
25 Diriwayatkan oleh Ahmad, Thabrani dari Abdullah bin Hanzhalah, sebagaimane disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir.^
26 Diriwayatkan oleh Thabrani dari al-Barra'; al-Hakim dari Ibn Mas'ud; Ibn Majah dari Abu Hurairah r.a. sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir (3537) (3539) dan (3541) ^

Tidak ada komentar