Suami, Pemimpin Bagi Keluarga
Awal 
mula kehidupan seseorang berumah tangga dimulai dengan ijab-kabul. Saat itulah 
yang halal bisa jadi haram, atau sebaliknya yang haram bisa jadi halal. 
Demikianlah ALLOH telah menetapkan bahwa ijab-kabul walau hanya beberapa patah 
kata dan hanya beberapa saat saja, tapi ternyata bisa menghalalkan yang haram 
dan mengharamkan yang halal. 
Saat 
itu terdapat mempelai pria, mempelai wanita, wali, dan saksi, lalu ijab-kabul 
dilakukan, sahlah keduanya sebagai suami-istri. Status keduanya pun berubah, 
asalnya kenalan biasa tiba-tiba jadi suami, asalnya tetangga rumah tiba-tiba 
jadi istri. Orang tua pun yang tadinya sepasang, saat itu tambah lagi sepasang. 
Karenanya, andaikata seseorang berumah tangga dan dia tidak siap serta tidak 
mengerti bagaimana memposisikan diri, maka rumah tangganya hanya akan menjadi 
awal berdatangannya aneka masalah. 
Ketika seorang suami tidak sadar 
bahwa dirinya sudah beristri, lalu bersikap seperti seorang yang belum beristri, 
akan jadi masalah. Dia juga punya mertua, itupun harus menjadi bagian yang harus 
disadari oleh seorang suami. Setahun, dua tahun kalau ALLOH mengijinkan akan 
punya anak, yang berarti bertambah lagi status sebagai bapak. Ke mertua jadi 
anak, ke istri jadi suami, ke anak jadi bapak. Bayangkan begitu banyak status 
yang disandang yang kalau tidak tahu ilmunya justru status ini akan membawa 
mudharat. Karenanya menikah itu tidak semudah yang diduga, pernikahan 
yang tanpa ilmu berarti segera bersiaplah untuk mengarungi aneka derita. Kenapa 
ada orang yang stress dalam rumah tangganya? Hal ini terjadi karena ilmunya 
tidak memadai dengan masalah yang dihadapinya. 
Begitu juga bagi wanita yang 
menikah, ia akan jadi seorang istri. Tentusaja tidak bisa sembarangan kalau 
sudah menjadi istri, karena memang sudah ada ikatan tersendiri. Status juga 
bertambah, jadi anak dari mertua, ketika punya anak jadi ibu. Demikianlah, ALLOH 
telah menyetingnya sedemikian rupa, sehingga suami dan istri, keduanya mempunyai 
peran yang berbeda-beda.
Tidak 
bisa menuntut emansipasi, karena memang tidak perlu ada emansipasi, yang 
diperlukan adalah saling melengkapi. Seperti halnya sebuah bangunan yang 
menjulang tinggi, ternyata dapat berdiri kokoh karena adanya prinsip saling 
melengkapi. Ada semen, bata, pasir, beton, kayu, dan bahan-bahan bangunan 
lainnya lalu bergabung dengan tepat sesuai posisi dan proporsinya sehingga 
kokohlah bangunan itu.
Sebuah rumah tangga juga demikian, 
jika suami tidak tahu posisi, tidak tahu hak dan kewajiban, begitu juga istri 
tidak tahu posisi, anak tidak tahu posisi, mertua tidak tahu posisi, maka akan 
seperti bangunan yang tidak diatur komposisi bahan-bahan pembangunnya, ia akan 
segera ambruk tidak karu-karuan. Begitu juga jika mertua tidak pandai-pandai 
jaga diri, misal dengan mengintervensi langsung pada manajemen rumah tangga 
anak, maka sang mertua sebenarnya tengah mengaduk-aduk rumah tangga anaknya 
sendiri.
Seorang suami juga harus sadar 
bahwa ia pemimpin dalam rumah tangga. ALLOH SWT berfirman, "Laki-laki adalah 
pemimpin kaum wanita, karena ALLOH telah melebihkan sebagian mereka atas 
sebagian yang lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta 
mereka…" (Q.S. An-Nissa [4]: 34).
Dan 
seorang pemimpin hanya akan jadi pemimpin jika ada yang dipimpin. Artinya, 
jangan merasa lebih dari yang dipimpin. Seperti halnya presiden tidak usah 
sombong kepada rakyatnya, karena kalau tidak ada rakyat lalu mengaku jadi 
presiden, bisa dianggap orang gila. Makanya, presiden jangan merendahkan rakyat, 
karena dengan adanya rakyat dia jadi presiden.
Sama 
halnya dengan kasus orang yang menghina tukang jahit, padahal bajunya sendiri 
dijahit, "Hmm, tukang jahit itu pegawai rendahan". Coba kalau bajunya tidak 
dijahitkan oleh tukang jahit, tentu dia akan kerepotan menutup auratnya. Dia 
dihormati karena bajunya diselesaikan tukang jahit. Lain lagi dengan yang 
menghina tukang sepatu, "Ah, dia mah cuma tukang sepatu". Sambil dia kemana-mana 
bergaya memakai sepatu.
Tidak 
layak seorang pemimpin merasa lebih dari yang dipimpin, karena status pemimpin 
itu ada jikalau ada yang dipimpin. Misalkan, istrinya bergelar master 
lulusan luar negeri sedangkan suaminya lulusan SMU, dalam hal kepemimpinan rumah 
tangga tetap tidak bisa jadi berbalik dengan istri menjadi pemimpin keluarga. 
Dalam kasus lain, misalkan, di kantornya istri jadi atasan, suami kebetulan 
stafnya, saat di rumah beda urusannya. Seorang suami tetaplah pemimpin bagi 
istri dan anak-anaknya.
Oleh 
karena itu, bagi para suami jangan sampai kehilangan kewajiban sebagai suami. 
Suami adalah tulang punggung keluarga, seumpama pilot bagi pesawat terbang, 
nakhoda bagi kapal laut, masinis bagi kereta api, sopir bagi angkutan kota, atau 
sais bagi sebuah delman. Demikianlah suami adalah seorang pemimpin bagi 
keluarganya. Sebagai seorang pemimpin harus berpikir bagaimana nih 
mengatur bahtera rumah tangga ini mampu berkelok-kelok dalam mengarungi badai 
gelombang agar bisa mendarat bersama semua awak kapal lain untuk menepi di 
pantai harapan, suatu tempat di akhirat nanti, yaitu surga.
Karenanya seorang suami harus tahu 
ilmu bagaimana mengarungi badai, ombak, relung, dan pusaran air, supaya selamat 
tiba di pantai harapan. Tidak ada salahnya ketika akan menikah kita merenung 
sejenak, "Saya ini sudah punya kemampuan atau belum untuk menyelamatkan anak dan 
istri dalam mengarungi bahtera kehidupan sehingga bisa kembali ke pantai pulang 
nanti?!". Karena menikah bukan hanya masalah mampu cari uang, walau ini juga 
penting, tapi bukan salah satu yang terpenting. Suami bekerja keras membanting 
tulang memeras keringat, tapi ternyata tidak shalat, sungguh sangat merugi. 
Ingatlah karena kalau sekedar cari uang, harap tahu saja bahwa garong 
juga tujuannya cuma cari uang, lalu apa bedanya dengan garong?! Hanya 
beda cara saja, tapi kalau cita-citanya sama, apa bedanya?
Buat 
kita cari nafkah itu termasuk dalam proses mengendalikan bahtera. Tiada lain 
supaya makanan yang jadi keringat statusnya halal, supaya baju yang dipakai 
statusnya halal, atau agar kalau beli buku juga dari rijki yang statusnya halal. 
Hati-hatilah, walaupun di kantong terlihat banyak uang, tetap harus 
pintar-pintar mengendalikan penggunaannya, jangan sampai asal main comot. 
Seperti halnya ketika mancing ikan di tengah lautan, walaupun nampak banyak 
ikan, tetap harus hati-hati, siapa tahu yang nyangkut dipancing ikan hiu yang 
justru bisa mengunyah kita, atau nampak manis gemulai tapi ternyata ikan 
duyung.
Ketika ijab kabul, seorang suami 
harusnya bertekad, "Saya harus mampu memimpin rumah tangga ini mengarungi 
episode hidup yang sebentar di dunia agar seluruh anggota awak kapal dan 
penumpang bisa selamat sampai tujuan akhir, yaitu surga". Bahkan jikalau dalam 
kapal ikut penumpang lain, misalkan ada pembantu, ponakan, atau yang lainnya, 
maka sebagai pemimpin tugasnya sama juga, yaitu harus membawa mereka ke tujuan 
akhir yang sama, yaitu surga.
ALLOH 
Azza wa Jalla mengingatkan kita dalam sabdanya, "Hai orang-orang yang 
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya 
adalah manusia dan batu…" (Q.S. At Tahriim [66]:6).
Kepada pembantu jangan hanya mampu 
nyuruh kerja saja, karena kalau saja dulu lahirnya ALLOH tukarkan, majikan lahir 
dari orang tua pembantu, dan pembantu lahir dari orang tua majikan, maka si 
majikan yang justru sekarang lagi ngepel. Pembantu adalah titipan ALLOH, kita 
harus mendidiknya dengan baik, kita sejahterakan lahir batinnya, kita tambah 
ilmunya, mudah-mudahan orang tuanya bantu-bantu di kita, anaknya bisa lebih 
tinggi pendidikannya, dan yang terpenting lagi lebih tinggi akhlaknya. 
Inilah pemimpin 
ideal, yaitu pemimpin yang bersungguh-sungguh mau memajukan setiap orang yang 
dipimpinnya. Siapapun orangnya didorong agar menjadi lebih maju. ***
Post a Comment