Jauhi Bahaya Ghibah
Jauhi Bahaya Ghibah
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu
bagi -Nya, dan
aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Telah
menyebar dikalangan kaum muslimin penyakit akut yang telah diperingatkan oleh
Allah Shubhanahu wa
ta’alla dan Rasul -Nya
supaya dijauhi. Sesungguhnya
dia adalah pemangkas amal yang merobohkan, menjauhkan kawan, pemicu
perselisihan dan permusuhan, sebagaimana juga telah digabungkan oleh para ulama
masuk dalam kategori dosa besar, namun, sayang sangat sedikit muslim yang bisa
selamat darinya, kecuali orang yang mendapat rahmat dari Allah azza wa jalla, penyakit itu adalah ghibah
(mengunjing orang).
Dan
peringatan tersebut ialah firman Allah ta'ala didalam firman -Nya:
﴿ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ
لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ ١٢﴾ [ الحجرات: 12]
"Dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya". (QS al-Hujurat: 12).
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dijelaskan tentang definisi ghibah
secara gamblang. Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata:
"Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bertanya pada para sahabatnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ. قَالُوا
اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ:
أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ. قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا
تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ » [أخرجه مسلم]
"Tahukah kalian apa
itu ghibah? Para sahabat menjawab: "Allah dan Rasul -Nya yang lebih
mengetahui". Lantas beliau menjelaskan: "(Ghibah) itu ialah engkau
menyebut (keburukan) saudaramu yang ia tidak suka". Ada yang bertanya:
"Bagaimana sekiranya, jika yang ada pada saudaraku itu memang benar
seperti yang ku katakan? Beliau menambahkan: "Jika benar ada padanya apa
yang engkau katakan itulah yang namanya ghibah. Dan jika sekiranya apa yang engkau
katakan tidak ada pada saudaramu, itu namanya dusta". HR Muslim no: 2589.
Imam
Tahanawi menjelaskan: "Ghibah ialah engkau menyebut-yebut saudaramu dengan
perkara yang ia benci kalau seandainya berita tersebut sampai padanya, baik
engkau menyebut tentang kekurangan yang ada pada tubuh atau pada lisannya.
Demikian pula tatkala engkau menyebut tentang kekurangan yang ada pada postur
tubuh, kelakuanya, ucapan, agama, harta, anak, pakaian, rumah atau kendaraanya.
Jadi, ghibah itu tidak khusus hanya terpaku pada ucapan saja, namun, ghibah
juga bisa berlaku pada perbuatan, yaitu dengan menirukan gerakan tubuhnya atau
menggunakan isyarat maupun dengan tulisan". [1]
Dalam firman Allah ta'ala yang dahulu disebutkan bahwa
orang yang berghibah ria itu diserupakan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla seperti halnya orang yang sedang memakan
daging bangkai saudaranya, Allah ta'ala menyebutkan:
﴿ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ
لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ ١٢﴾ [ الحجرات: 12]
"Dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging
saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya". (QS al-Hujurat: 12).
Maksudnya
sebagaimana kalian juga membenci perbuatan diluar kebiasaan manusia ini,
tentunya kalian juga tidak suka kalau sampai melakukannya. Maka, perlu
diketahui bahwa balasan orang yang mengunjing itu lebih keras dari pada
perumpaan ini. Sehingga bagi orang yang berakal tentunya ayat ini sebagai
bentuk peringatan dan cambuk untuk segera berpaling dari kebiasaan buruk
tersebut. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma, beliau mengkisahkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارْتَفَعَتْ رِيحُ جِيفَةٍ مُنْتِنَةٍ. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَدْرُونَ مَا هَذِهِ. الرِّيحُ هَذِهِ رِيحُ الَّذِينَ
يَغْتَابُونَ الْمُؤْمِنِينَ » [أخرجه احمد]
"Kami pernah bersama
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
lalu datang angin dengan membawa bau busuk disekeliling kami. Maka, beliau
bertanya kepada kami pada saat itu: "Tahukah kalian dari mana datangnya
angin ini? Angin (yang membawa bau busuk) ini datang dari orang-orang yang
sedang berghibah ria terhadap orang-orang yang beriman". HR Ahmad 23/97 no:
14784.
Bahkan,
disebutkan balasan bagi orang yang senang ghibah ialah akan diadzab didalam
kuburnya sebelum siksaan yang akan diperoleh dihari kiamat. Sebagaimana
disebutkan dalam haditsnya Abu Bakrah radhiyallahu
'anhu, beliau menceritakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ عَلَى قَبْرَيْنِ. فَقَالَ: مَنْ يَأْتِينِي بِجَرِيدَةِ نَخْلٍ. قَال:َ فَاسْتَبَقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ آخَرُ فَجِئْنَا
بِعَسِيبٍ فَشَقَّهُ بِاثْنَيْنِ فَجَعَلَ عَلَى هَذَا وَاحِدَةً وَعَلَى هَذَا
وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ: أَمَا إِنَّهُ سَيُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا كَانَ
فِيهِمَا مِنْ بُلُولَتِهِمَا شَيْءٌ. ثُمَّ قَالَ: إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ فِي الْغِيبَةِ وَالْبَوْلِ » [أخرجه أحمد]
"Aku pernah berjalan
bersama Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
lantas kami melewati dua kubur. Beliau lalu meminta kepada kami: "Siapa
yang mau mengambilkan untukku pelepah kurma? Abu Bakrah mengatakan: "Maka
aku bersegera untuk mendapatkannya bersama sahabat yang lain". Selanjutnya kami bawakan pelepah kurma,
kemudia beliau membelahnya menjadi dua, lalu beliau menjadikan yang sebelah
pada kubur yang satu dan yang sebelah untuk satunya lagi. Kemudian beliau
bersabda: "Adapun sungguh akan diringankan (siksa) keduanya selagi pelepah
kurma ini sebelum kering. Sesungguhnya
keduanya sedang disiksa karena (ketika didunia) senang ghibah dan (tidak
bersuci) ketika kencing". HR Ahmad 23/53 no: 20411.
Dalam riwayat Bukhari dan
Muslim disebutkan, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا
يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ » [أخرجه البخاري ومسلم]
"Adapun salah satunya
(dirinya disiksa) karena senang mengadu domba. Sedang yang satunya lagi karena
tidak menutup aurat tatkala kencing". HR Bukhari no: 1378. Muslim no:
292.
Al-Hafidh
Ibnu Hajar menjelaskan: "Dan ghibah itu bisa dijumpai pada sebagian kasus
mengadu domba (namimah). Yaitu dengan menyebut saudaranya manakala tidak hadir
dihadapanya dengan perkara yang menjelekan dirinya, supaya timbul kerusakan
yang ia inginkan. Maka hal ini, mungkin sekali terjadi sebagaimana kisah
penghuni kubur yang disiksa dalam kuburnya.
Kemungkinan
lain dari makna hadits ini, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa redaksi lain
yang menjelaskan tentang siksaan itu berkaitan dengan ghibah, seperti hadits
yang lalu. Yang jelas, bisa jadi kisahnya sama atau adanya kemungkinan pada
kejadian yang berbeda". [2] Bukan
hanya cukup dikubur, mereka orang yang senang ghibah itu juga akan disiksa pada
hari kiamat. Hal itu, berdasarkan sabdanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, dari
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَمَّا عَرَجَ بِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ
مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمُشُونَ وُجُوهَهُمْ
وَصُدُورَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَؤُلَاءِ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ » [أخرجه أحمد]
"Tatkala aku di mi'rajkan oleh Rabbku, aku
melewati sekelompok orang yang mereka mempunyai kuku tembaga yang digunakan
untuk mencabik-cabik wajah dan dada mereka. Aku pun bertanya: "Siapakah
mereka itu, wahai Jibril? Dia menjelaskan: "Mereka adalah orang-orang yang
(dulu) suka memakan dagingnya manusia (ghibah) dan mencabik-cabik kehormatan
orang". HR Ahmad 21/53 no: 13340.
Namun
sayangnya ghibah ini sudah menjadi barang biasa dan diremehkan oleh sebagian
orang sehingga berubah menjadi 'buah atau makanan' pada sebuah majelis, sedang
dosa ghibah ini disisi Allah Shubhanahu wa ta’alla sangatlah
besar. Allah ta'ala memperingatkan kita dalam firman -Nya:
﴿ وَتَحۡسَبُونَهُۥ هَيِّنٗا وَهُوَ عِندَ ٱللَّهِ عَظِيمٞ
١٥ ﴾ [ النور: 15]
"Dan kamu menganggapnya
suatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar". (QS an-Nuur: 15).
Dibawakan
oleh Imam Abu Dawud dan Tirmidzi sebuah hadits dari Aisyah radhiyallahu 'anha,
beliau menceritakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « قلت للنبي صلى الله عليه و سلم حسبك من
صفية كذا وكذا قال غير مسدد تعني قصيرة. فقال: لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته. قالت: وحكيت له إنسانا. قال: ما أحب أني حكيت إنسانا وأن لي كذا وكذا » [أخرجه أبو داود والترمذي]
"Aku pernah mengatakan
pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
"Cukuplah kalau Shafiyah ini begini dan begitu. Maksudnya berbadan pendek!
Maka beliau bersabda: "Sungguh dirimu telah mengucapkan sebuah kalimat
yang sekiranya dihapus dengan air laut tidak akan sanggup menghapusnya".
Pernah juga aku menceritakan seseorang dihadapan beliau, lantas beliau berkata:
"Aku tidak suka aku menceritakan tentang orang lain, dan pada diriku
begini dan begitu". HR Abu
Dawud no: 4875. at-Tirmidzi no: 2520. Beliau berkata hasan shahih.
Diantara sebab munculnya
ghibah ini ialah basa basi terhadap teman atau saudara, serta ikut larut dalam
pembicaraan mereka ketika sedang mengunjing orang. Adapun penyembuhannya yaitu
dengan cara memarahi padanya manakala menyebut keburukan orang yang sedang
dijadikan bahan ghibah. Dan mengingatkan supaya tidak
mengejek, mengolok-olok serta merendahkan orang lain, demikian pula tidak iri terhadap orang yang
mendapat pujian serta disebut-sebut orang banyak akan kebajikannya. [3]
Imam Nawawi mengatakan: "Ketahuilah, hendaknya
bagi orang yang mendengar saudaranya muslim digunjing untuk membela serta
mencegah pelakunya, kalau tidak mempan dengan ucapan maka cegahlah dengan
tanganmu. Jika belum juga mampu mencegahnya dengan tangan
dan lisan, maka, segera tinggalkan majelis tersebut. Dan seandainya dia mendengar gunjingan tersebut diarahkan pada gurunya
atau orang lain yang mempunyai hak baginya, atau orang sholeh dan ahli ilmu,
maka apa yang kami paparkan dimuka lebih ditekankan lagi". [4] Hal
tersebut mengacu pada firman Allah tabaraka wa ta'ala:
﴿ وَإِذَا سَمِعُواْ ٱللَّغۡوَ أَعۡرَضُواْ عَنۡهُ وَقَالُواْ لَنَآ أَعۡمَٰلُنَا
وَلَكُمۡ أَعۡمَٰلُكُمۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ لَا نَبۡتَغِي ٱلۡجَٰهِلِينَ ٥٥ ﴾ [ القصص: 55]
"Dan apabila mereka mendengar Perkataan yang
tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi
Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami
tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (QS al-Qashash: 55).
Berkata
al-Ghazali: "Adalah para sahabat mereka biasa bersua dengan orang banyak,
namun tidak menjadikan mereka sebagai lahan untuk mengunjing orang yang tidak
hadir dihadapan mereka, bahkan, mereka menganggap hal tersebut merupakan amal
sholeh yang paling utama. Serta memasukan dalam barisan orang munafik bagi
orang yang sedang ghibah".[5] Sebagian ulama mengatakan: "Kami menjumpai ulama salaf mereka
tidak beranggapan ibadah itu hanya pada puasa dan sholat semata, akan tetapi,
ketika menahan lisan untuk tidak mencabik kehormatan orang, maka itu juga
ibadah".[6]
Imam Bukhari mengatakan tentang dirinya: "Aku
berharap semoga ketika bertemu Allah Shubhanahu
wa ta’alla, Dia tidak menghisabku dalam barisan orang yang mengghibah orang
lain".[7] Imam
Dzahabi mengomentari ucapan beliau dengan mengatakan: "Sungguh benar
ucapan beliau. Barangsiapa yang mau meneliti ucapannya dalam masalah jarh wa
ta'dil, dirinya akan paham bagaimana sikap kehati-hatian beliau didalam
membicarakan orang lain dan sangat santun didalam menyebut (perawi hadits) yang
lemah, dimana seringkali beliau hanya mengatakan: "Munkarul hadits, atau
para ulama mendiamkannya, atau dalam perawi ini perlu diteliti, atau yang
semisal ucapan ini. dan sangat sedikit beliau mengatakan: "Fulan pendusta,
atau dirinya pemalsu hadits". Sampai sekiranya beliau memberi kaidah, jika
aku berkata: 'Fulan didalam haditsnya perlu diteliti, maksudnya adalah rawi
yang tertuduh pemalsu hadits".
Inilah makna ucapan beliau diatas: "Aku berharap
semoga ketika bertemu Allah Shubhanahu wa
ta’alla, Dia tidak menghisabku dalam barisan orang yang mengghibah orang lain".
Inilah, demi Allah yang dinamakan sikap wara'. [8]Imam Muhammad bin Abi Hatim al-Waraq mengatakan:
"Aku pernah mendengar beliau mengatakan: "Aku tidak pernah mengghibah
seorang pun semenjak aku mengetahui bahwa ghibah itu merusak pelakunya".
Boleh
ghibah?
Para ulama telah memberikan pengecualian pada beberapa
kasus yang dibolehkan untuk ghibah didalamnya, dengan menyimpulkan pada enam
keadaan, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, yaitu:
1.
Mengadukan kelaliman (ketidak
adilan).
Maka dibolehkan bagi orang
yang dizalimi untuk mengadu pada penguasa atau hakim atau selain keduanya, yang
mempunyai kekuasaan serta dikiranya mampu untuk menolong serta menghukum orang
yang menzaliminya. Yaitu dengan mengatakan pada mereka: "Orang itu telah
berbuat zalim padaku pada perkara ini..".
2.
Meminta bantuan untuk merubah
kemungkaran dan menuntun pelaku maksiat agar kembali kejalan yang benar.
Boleh mengatakan pada orang
yang dianggap mampu untuk menghilangkan kemungkaran: "Fulan melakukan ini
dan itu tolong dicegah". atau ucapan yang senada dengan ini. Yang penting
bisa tercapai maksud agar kemungkaran tadi hilang.
3.
Memohon fatwa.
Yaitu dengan mengatakan kepada
pemberi fatwa: "Ayahku atau saudaraku atau suamiku telah berbuat lalim
padaku, apakah boleh aku menuntutnya? Apa solusiku agar bisa lepas darinya dan
memperoleh hakku serta mencegah kelalimannya? Atau ucapan yang semisal ini.
4.
Memperingatkan kaum muslimin
atas keburukan seseorang. Dalam hal ini bisa dari beberapa sisi. Semisal
memberi kritikan pada para perawi hadits serta bersaksi atas kejelekannya.
Dalam hal ini, maka dibolehkan sebagaimana yang telah disepakati oleh para
ulama. Meminta pendapat tentang
kondisi seseorang yang meminang puterinya. Atau orang yang ingin diajak bisnis
atau muamalah lainnya. Maka, wajib bagi orang yang dimintai pendapat bila
mengetahui keadaannya memberikan pendapat tersebut, sambil menyebutkan sisi
kebaikan dan keburukan orangnya, dengan niatan ingin memberi nasehati padanya.
Diantaranya pula, jika melihat
ada seorang pelajar yang bolak-balik datang kepada ahli bid'ah atau orang fasik
untuk menuntut ilmu padanya. Dan ditakutkan
dirinya akan terkena racun pemikirannya. Maka, wajib bagi dirinya untuk
menasehati sambil menjelaskan jati diri orang tersebut, dengan catatan dia
niatkan hanya memberi nasehat. Seseorang yang diberi amanah
untuk pegang kekuasaan, namun, tidak melaksanakan sebagaimana mestinya. Bisa
karena memang bukan ahli dibidangnya. Atau disebabkan
dirinya fasik atau merasa masa bodoh, atau sebab lainnya. Maka, wajib untuk
mengadukan pada atasannya atau orang yang punya kekuasan lebih diatasnya supaya
diperbaiki atau diganti dengan pemimpin yang lebih baik.
5.
orang yang terang-terangan
berbuat maksiat atau bid'ah.
Seperti halnya, orang yang
terang-terang minum khamr, pemungut atau penarik pajak. Maka dalam hal ini,
kita sebutkan keburukannya saja, tanpa menyebutkan kekurangan yang lainnya.
6.
Pengenalan.
Maksudnya, jika ada orang yang
memang dikenal dengan julukan 'si tuli' atau 'si buta' atau 'si pincang' atau
'si rabun'. Dan sebagainya, maka boleh menyebut mereka dengan julukan-julukan
tersebut. namun, terlarang bila di maksudkan untuk merendahkannya. Dan kalau
sekiranya mampu mengenalkan dengan selain julukan tersebut maka itu lebih
utama. [9]
Inilah
enam kondisi yang disebutkan oleh para ulama bolehnya ghibah, bahkan,
kebanyakan kondisi ini disepakati oleh mereka, sedang dalilnya adalah
hadits-hadits yang shahih. Dan Jumhur ulama mengatakan: "Cara taubatnya
seorang yang terlanjur berghibah ialah dengan meninggalkan perbuatan cela itu,
bersungguh-sungguh tidak ingin mengulangi kembali, serta meminta maaf pada
orang yang pernah digunjingnya". Sebagian ulama mengatakan: "Tidak
disyaratkan untuk meminta maaf, karena bisa jadi kalau dikabarkan padanya akan
mengakibatkan keburukan yang lebih besar dari pada kalau dirinya tidak dikasih
tahu. Maka, caranya yaitu dengan memuji kebaikan orang
yang pernah digunjing di majelis yang sama ketika dulu mengunjingnya. Serta
menolak sebisa mungkin orang yang ingin menjelek-jelekan orang tersebut. Maka
itu sebagai balasan bagi perbuatanmu ketika dulu menggunjingnya".[10]
Catatan:
Termasuk perkara terbesar yang bisa membuat kapok
seorang mukmin dari penyakit ghibah, selain dari ayat-ayat dan hadits-hadits
populer yang mencela dan memberi peringatan keras bagi para pelaku ghibah,
ialah mengingat bahwa kelak orang yang digunjing akan diberi hadiah dari amal
sholatnya, puasa, haji serta ibadah lainnya. Atau akan dipikulkan dosa dan
kejelekan orang tadi kalau sekiranya amal kebaikannya belum mencukupi untuk
melunasi orang yang dulu pernah digunjing. Maka, ini sudah cukup, karena
merupakan kerugian terbesar serta kebangkrutan total sebagaimana yang
dikabarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam dalam haditsnya.
Akhirnya
kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga
Allah Shubhanahu wa
ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
Post a Comment