Optimisme Dan Berbaik Sangka Kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla
Optimisme Dan Berbaik Sangka Kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla
Segala puji hanya untuk Allah
Ta'ala, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam . Aku bersaksi bahwa tidak
ada ilah yang berhak disembah dengan benar melainkan Allah Shubhanahu wa ta’alla semata yang tidak ada sekutu
bagi -Nya, dan
aku juga bersaksai bahwa Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya. Amma ba'du:
Sesungguhnya
sikap optimis dan berbaik sangka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla merupakan
perkara yang layak menjadi perhatian khusus bagi seorang mukmin yang harus
terus dirawat dan dijaga. Karena
cara bersikap semacam itu akan membantu dirinya untuk terus berkarya dan meraih
kesuksesan yang ada dihadapannya. Seseorang
yang optimis dirinya akan mempunyai harapan tinggi untuk meraih masa depan
indah yang lebih baik dari keadaanya sekarang. Dengan berusaha keras mengganti
kerugian yang pernah dialami, dan melewati masa-masa sulit yang menimpanya.
Demi tercapainya cita-cita, perbaikan serta kesuksesan yang belum bisa
direngkuh pada hari ini.
Imam
al-Marwadi menjelaskan, "Optimisme akan menguatkan kemauan, melahirkan
kekuatan, dan mendorong untuk memperoleh apa yang diinginkan. Dimana Rasulallah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga
begitu optimis didalam ekspedisi maupun peperangannya. Dan yang dimaksud dengan
optimis ialah seorang mukmin berlapang dada, berprasangka baik serta
mengharapkan bernasib baik".[1]
Ulama
lain yang bernama Ibnu Atsir menjelaskan pula, "Optimisme gambarannya
seperti seseorang yang sedang sakit lalu dirinya mengharapkan bernasib baik dengan ucapan orang yang dia
dengar mengatakan, 'Hai, Salim'. Atau seseorang yang sedang kesulitan mencari
barang hilang, lalu mendengar orang menyeru, 'Hai, orang yang mendapatkan'.
Lantas tersirat dalam benaknya kalau dirinya akan segera sembuh dari sakitnya,
dan akan segera menemukan barang yang hilang (karena mendengar ucapan-ucapan
tadi)".[2] Lihat,
Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah diisolir, disakiti
bahkan dikeluarkan dari negerinya, kekasihnya terbunuh, enam putranya meninggal
dunia, namun, dengan itu semua beliau tetap optimis, sehingga disebutkan beliau
menyukai nama yang bagus mengharap dengan nama tersebut berakibat baik pada
pemiliknya.
Dijelaskan
dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas bin
Malik radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «وَيُعْجِبُنِي
الْفَأْلُ الصَّالِحُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ» [أخرجه البخاري و مسلم]
"Sangat menakjubkan
diriku pengharapan nasib baik dari sebuah ucapan yang bagus". HR
Bukhari no: 5756. Muslim no: 2224.
Dibawakan
oleh Imam Ahmad sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, beliau
menceritakan:
« كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَفَاءَلُ وَلَا يَتَطَيَّرُ
وَيُعْجِبُهُ الِاسْمُ الْحَسَنُ »
[أخرجه أحمد]
"Adalah Rasulallah Shalallahu
‘alaihi wa sallam biasa mengharap bernasib baik namun beliau tidak sampai
meramalkannya. Dan beliau sangat suka dengan nama yang bagus". HR
Ahmad 4/169 no: 2328.
Ada
sebuah kisah yang dibawakan oleh Imam Bukhari dari Sa'id bin Musayib beliau
menceritakan kepadaku bahwa kakeknya yang bernama Hazna (sedih) pernah
berkunjung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
ketika bertemu beliau bertanya, "Siapa namamu? Hazna, jawabnya. Beliau
bersabda, "Bagaimana kalau kamu ganti namamu menjadi Sahl (mudah)? Dia berkata,
"Aku tidak mau merubah nama pemberian orang tuaku". Ibnu Musayib
menjelaskan, "Dan kakekku tadi setelah itu, betul-betul selalu dalam
kesedihan". HR Bukhari no: 6193.
Sebuah
kisah lagi, tepatnya tatkala terjadi perjanjian Hudaibiyah. Manakala Suhail bin
Amr datang menemui Nabi sebagai utusan orang kafir, maka tatkala Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya beliau berkata
pada para sahabatnya, "Dia telah memudahkan urusan kalian". HR
Bukhari no: 2731, 2732. Beliau merasa bernasib baik dengan kedatanganya karena
namanya Suhail (mudah).
Sahabat
Ibnu Abbas menjelaskan, "Perbedaan antara tafa'ul (optimis) dan thiyarah
(meramal). Kalau tafa'ul itu melalui jalan prasangka baik pada Allah Shubhanahu wa ta’alla, sedang
thiyarah tidaklah digunakan melainkan dalam keburukan". Oleh karenanya
yang terakhir ini dilarang. [3] Imam al-Hulaimi mengatakan,
"Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
sangat suka dengan sikap optimis, dikarenakan tasya'um (pesimis) merupakan
prasangka buruk kepada Allah ta'ala. Sedang tafa'ul itu berprasangka baik
kepada -Nya.
Dan seorang mukmin diperintah agar senantiasa berprasangka baik kepada Allah
ta'ala pada tiap keadaan".[4]
Al-Baghawi
menerangkan, "Kenapa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
menyukai sikap optimis karena didalamnya terkandung pengharapan pada kebaikan
serta manfaat yang ada dibaliknya. Sedang berharap memperoleh kebaikan itu
lebih utama bagi seseorang dari pada pesimis dan menganggap sudah putus
harapannya". [5] Dan tafa'ul (optimisme) ialah dengan
berprasangka baik kepada -Nya.
Dan seorang mukmin diperintah agar senantiasa berprasangka baik kepada Allah
ta'ala pada tiap keadaan. Dimana Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
telah membimbing umatnya agar selalu memiliki prasangka baik kepada Allah azza
wa jalla.
Dijelaskan
dalam hadits Qudsi yang dibawakan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « يَقُولُ
اللَّهُ تَعَالَى أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي إِن ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ » [أخرجه أحمد]
"Sesungguhnya
Allah Shubhanahu wa ta'ala berfirman, "Aku sesuai dengan prasangka yang ada pada hamba
-Ku,
jika dirinya berprasangka baik maka (balasannya) semacam itu, dan jika dirinya
berprasangka buruk (balasannya) juga serupa".
HR Ahmad no: 9076.
Bahkan
prasangka baik itu ditegaskan harus selalu menyertai seseorang hingga menjelang
ajal. Dijelaskan dalam sebuah hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim dari Jabir
radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, "Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ
يُحْسِنُ بِاللَّهِ الظَّنَّ » [أخرجه مسلم]
"Janganlah kalian
meninggal dunai melainkan dirinya tetap berprasangka baik kepada Allah azza wa
jalla". HR Muslim no: 2877.
Para
ulama menjelaskan, "Yang dimaksud dengan berbaik sangka kepada Allah Shhubhanahu wa
ta’alla ialah dirinya selalu berbaik sangka pada -Nya bahwa Allah Shubhanahu wa
ta’alla akan memberi rahmat dan mengampuninya". [6]
Bila
kita perhatikan kisah perjalanan para Rasul
'alaihim sallam, dan orang-orang shaleh yang datang sesudahnya, kita
jumpai mereka adalah orang-orang yang punya optimisme tinggi ketika menghadapi
tiap pergolakan hidup baik musibah atau pun kesulitan. Lihatlah, pada kisahnya
nabi Musa bersama kaumnya manakala mereka terjebak dalam kejaran Fir'aun dengan
bala tentaranya dan lautan luas menghadang dihadapannya sedang musuh berada
dibelakangnya. Akan tetapi beliau sangat optimis dan selalu berbaik sangka
kepada Rabbnya. Sehingga Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabadikan
kisahnya dalam al-Qur'an:
﴿ فَلَمَّا تَرَٰٓءَا ٱلۡجَمۡعَانِ قَالَ أَصۡحَٰبُ مُوسَىٰٓ إِنَّا لَمُدۡرَكُونَ
٦١ قَالَ كَلَّآۖ إِنَّ مَعِيَ رَبِّي سَيَهۡدِينِ ٦٢﴾ [ الشعراء: 61-62]
"Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah
pengikut-pengikut Musa: "Sesungguhnya kita benar-benar akan
tersusul". Musa menjawab: "Sekali-kali tidak akan tersusul;
Sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku".
(QS asy-Syu'araa: 61-62).
Kisah lain, Ummu Isma'il
Hajar ketika ditinggal oleh suaminya Ibrahim di negeri tandus yang tidak
berpenghuni bersama anaknya Isma'il, negeri Makah yang kondisinya pada saat itu
belum ada orang, dan tidak ada mata air yang bisa diminum, lantas suaminya
Ibrahim meninggalkan mereka berdua disana. Dirinya cuma meninggalkan kantong yang
berisi air dan kurma disisi istri dan anaknya, kemudian beliau bertolak pergi
meninggalkan keduanya, melihat hal itu maka Ummu Isma'il berdiri mengejarnya
sembari bertanya, "Wahai Ibrahim, kemana engkau hendak pergi, apakah
engkau akan meninggalkan kami di lembah yang tidak bertuan ini? Dirinya
bertanya seperti itu berulang-ulang, namun suaminya tidak menoleh sedikitpun.
Maka diakhir pertanyaanya dia bertanya, "Apakah Allah Shubhanahu wa ta’alla yang
menyuruhmu hal ini? Beliau baru menjawab, "Ya".
Kalau demikian pasti Allah Shubhanahu wa ta’alla tidak akan menyia-yiakan
kami, katanya. HR Bukhari no: 3364.
Tidak
ketinggalan juga, Ummul mukminin Khadijah bin Khuwailid radhiyallahu 'anha,
tatkala turun wahyu pada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ketika itu suaminya
pulang ke rumah dalam keadaan ketakutan sembari berkata, "Selimuti aku,
selimuti aku, sungguh aku sangat khawatir akan keselamatanku". Maka dengan
tegas istrinya menenangkan, "Sekali-kali tidak akan demikian! Demi Allah, -Dia tidak akan menghinakanmu selamanya. Sungguh engkau
penyambung tali kerabat, pemikul beban orang lain yang mendapat kesusahan,
pemberi orang papa, penjamu tamu, serta pendukung setiap upaya penegakan
kebenaran". HR Bukhari no: 3.
Dan
Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam beliau adalah orang yang paling tinggi optimisnya serta berbaik
sangkanya kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla. Diriwayatkan oleh Imam
Muslim sebuah kisah dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasannya beliau bercerita pernah bertanya kepada Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
"Apakah engkau pernah menghadapi suatu hari yang lebih berat daripada
perang uhud? Beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ وَكَانَ
أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِى عَلَى
ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلاَلٍ فَلَمْ يُجِبْنِى إِلَى مَا أَرَدْتُ
فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِى فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلاَّ بِقَرْنِ
الثَّعَالِبِ فَرَفَعْتُ رَأْسِى فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِى
فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِى فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ
وَجَلَّ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ
إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ قَالَ فَنَادَانِى
مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلَّمَ عَلَىَّ. ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ
قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِى
رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِى بِأَمْرِكَ فَمَا شِئْتَ إِنْ شِئْتَ أَنْ
أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الأَخْشَبَيْنِ. فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم: بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ
اللَّهَ وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا » [أخرجه مسلم]
"Aku
pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang
paling berat yang aku rasakan adalah pada waktu di Aqabah ketika aku menawarkan
diriku pada Ibnu Abd Yalail bin Abd Kallal tetapi dia tidak menanggapi apa yang
aku inginkan sehingga aku beranjak dari sisinya dalam keadaan sedih. Aku tidak
lagi menyadari apa yang terjadi kecuali setelah dekat dengan tempat yang
bernama Qarn ats-Tsa'alib. Waktu aku mengangkat kepalaku tiba-tiba datang
segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada
Jibril yang memanggilku.
Dia
berkata, "Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan
tanggapan mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga
gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap
mereka".
Malaikat
penjaga gunung tersebut memanggilku dan memberi salam kepadaku, kemudian
berkata, "Wahai Muhammad, Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu
kepadamu dan tanggapan mereka terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung
yang Allah utus untuk engkau perintahkan sesuai keinginanmu terhadap mereka.
Jika engkau menghendaki aku meratakan mereka dengan al-Akhasyabain (dua gunung besar diMakah) maka akan aku
lakukan".
Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, "Bahkan aku berharap kelak
Allah memunculkan dari tulang punggung mereka suatu kaum yang menyembah Allah
ta'ala semata, dan tidak menyekutukan -Nya dengan
sesuatupun".
HR Muslim no: 1795.
Didalam
shahih Bukhari dikisahkan dari Aisyah tentang ayahnya, beliau menceritakan,
"Tatkala Abu Bakar berada ditengah-tengah Ibnu ad-Daghinah yang memberi
perlindungan padanya, beliau membuat masjid dihalaman rumahnya. Lalu secara
terang-terangan beliau kerjakan sholat dan membaca al-Qur'an disana, maka hal
itu membikin geram orang Quraisy sehingga mereka berusaha mempengaruhi Ibnu
ad-Daghinah supaya Abu Bakar tidak melakukan hal itu lagi. Mereka berkata,
"Kami takut suaranya akan memfitnah anak-anak dan para wanita kami".
Lalu Ibnu ad-Daghinah beranjak pergi
pada Abu Bakar kemudian berkata, "Silahkan engkau tidak mengerjakan
urusanmu lagi atau engkau memilih tetap berada disampingku. Sungguh aku tidak
enak kalau penduduk kota ini membicarakan diriku yang telah membuat lari
sahabatku yang telah aku lindungi".
Abu bakar menjawab, "Aku lebih suka
pergi meninggalkanmu dan memilih berada disisi Allah azza wa jalla". HR
Bukhari no: 3905.
Diantara kisah yang dinukil pada kita
yang menjelaskan tentang optimisme ialah peristiwa yang terjadi pada Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Dikisahkan, pada tahun 702 H, tentara Tatar memobilisasi
pasukanya untuk menyerang negeri Syam, mendengar itu Ibnu Taimiyah mengabarkan
pada manusia dan penguasa bahwa bencana dan kekalahan akan musuh rasakan,
sedang kemenangan akan diperoleh oleh kaum muslimin. Ucapannya tersebut beliau
barengi dengan sumpah kepada Allah sebanyak tujuh puluh kali. Maka ada yang
mengingatkan beliau, "Katakanlah insya Allah". Beliaupun berkata,
"Insya Allah, pasti akan terjadi tidak aku ragukan sedikitpun".
Ibnu
Qoyim menuturkan, "Aku mendengar beliau mengucapkan hal itu, manakala
banyak orang-orang yang membicarakan ucapan beliau, maka aku katakan pada
mereka, "Kalian jangan banyak menyoal ucapan beliau, catatan Allah Shubhanahu wa ta’a’alla telah
tetap di Lauh Mahfud kalau mereka akan kalah di negeri ini. Dan kemenangan bagi
pasukan kaum muslimin. Beliau melanjutkan,
"Maka sebagian pemimpin dan pasukan sudah bisa merasakan manisnya
kemenangan sebelum kepergin
mereka bertarung bersama tentara musuh. Maka benar kemenangan diraih oleh kaum
muslimin. Allah ta'ala menyatakan dalam firman -Nya:
﴿ أَلَآ إِنَّ نَصۡرَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ ٢١٤ ﴾ [ البقرة: 214]
"Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat
dekat". (QS al-Baqarah: 214).
Allah ta'ala juga
mengatakan:
﴿ وَكَانَ حَقًّا عَلَيۡنَا نَصۡرُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٤٧ ﴾ [ الروم: 47]
"Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang
beriman". (QS ar-Ruum: 47).[7]
Diantara
kisah lain yang menerangkan hal itu juga, bahwa Syaikh Syamsudin yang menjadi
punggawa, ditugaskan untuk mendidik Sulthan Muhammad Fatih al-Utsmani kecil.
Dikisahkan, beliau pernah membawa Sulthan Muhamamd yang masih kecil ketika itu berjalan-jalan
di tepi pantai, sambil menggandeng tangannya, kemudian
disana beliau menunjuk pada bangunan kostantinopel yang nampak jelas dari
kejauhan menjulang tinggi diantara benteng-bentengnya. Setelah itu beliau
berkata pada sang Sulthan, "Apakah baginda melihat kota itu yang
bangunannya menjulang tinggi dilangit, itu adalah Kostantinopel, sungguh telah
mengabarkan pada kita Rasulallah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bahwa akan ada seseorang dari kalangan umatnya yang akan
menaklukan mereka dengan bala tentaranya lalu menyatukan mereka didalam panji
tauhid. Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
"Sungguh
Kostantinopel pasti akan dapat ditaklukan, dan sebaik-baik pemimpin pada saat
itu ialah yang memimpin pasukan ke sana, dan sebaik-baik pasukan adalah pasukan
tersebut". [8]
Mendengar
hal itu maka sang Sulthan kecil merasa optimis dan bertekad dengan mengumpulkan
segalanya untuk menjadi orang yang mampu menaklukan negeri tersebut, dan menjadi
orang yang dikabarkan dalam hadits yang mendapat kabar gembira dari Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Manakala datang waktunya, dan dirinya telah diangkat
menjadi Khalifah maka dirinya bergegas untuk mengadakan perundingan dengan
pembesar Kostantinopel supaya mereka menyerah tanpa bersyarat. Ketika benar hal
itu dilakukan, mereka langsung menolaknya, tidak rela menyerahkan kota mereka
kepada kaum muslimin.
Maka
Muhammad Fatih sang khalifah dengan penuh optimis berkata, "Baik, tidak
lama lagi disana ada dua pilihan untukku, aku memiliki singgasananya atau lahat
untuk jenazahku". Kemudian khalifah Muhammad
al-Fatih mengepung Kostantinopel selama lima puluh satu hari. Selang waktu itu
sesekali terjadi beberapa pertempuran yang sangat sengit sampai akhirnya kota
benteng tersebut yang dulunya enggan untuk tunduk, berhasil jatuh ditangan sang
pemuda pemberani yang usainya pada saat
itu baru dua puluh tiga tahun.
Diantara
kisah lain, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muqri Abdullah bin Ahmad bin Sa'id,
beliau mengatakan, "Aku pernah sakit keras, dulu ketika di Damaskus. Maka
Ibnu Taimiyah datang menjengukku, lalu beliau duduk disampingku, sedang
kondisiku saat itu sangat berat menahan sakit, beliau lantas mendo'akan diriku
lalu berkata, "Akan datang kesembuhan'. Tidak selang sampai berdiri,
tiba-tiba kesembuhan menyapaku, seketika itu aku diberi kesembuhan". [9]
Faidah sikap optimis dan
baik sangka kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla:
Pertama:
Membawa kebahagian dan kesenangan di dalam hati. Sebaliknya akan menghilangkan
kesedihan dan kegundahan. Dan semua perkara ini diajarkan oleh agama kita.
Dijelaskan dalam sebuah
hadits yang dikeluarkan oleh Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,
beliau berkata, "Bahwa Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ
الْهَمِّ وَالْحَزَنِ » [أخرجه البخاري]
"Ya Allah, aku berlindung kepada -Mu dari kegundahan dalam
hati dan kesedihan".
HR Bukhari no: 2893.
Kedua:
Dengannya akan menguatkan kemauan, mendorong meraih
cita-cita dan menumbuhkan kesungguhan dalam berkarya. Allah Shubhanahu wa ta'ala berfirman:
﴿ وَقُلِ ٱعۡمَلُواْ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ ١٠٥﴾ [ التوبة: 105]
"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul -Nya
serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu". (QS
at-Taubah: 105).
Dibawakan
oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,
"Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « الْمُؤْمِنُ الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ
إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا
يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ
تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا. وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ
وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ » [أخرجه مسلم]
"Mukmin yang kuat lebih baik dan dicintai oleh
Allah dari pada mukmin yang lemah. Dan pada keduanya ada kebaikan. Berusahalah
untuk mencari apa yang memberi manfaat padamu, lalu mintalah tolong kepada
Allah jangan loyo. Dan jika engkau terkena musibah jangan berkata, 'Kalau
seandainya aku begitu tentu tidak akan begini'. Namun, katakan, "Apa yang
Allah takdirkan pasti terjadi. Sesungguhnya ucapan 'seandainya' akan membuka
tipu daya setan". HR Muslim no: 2664.
Ketiga:
Mengikuti sunah Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam, dimana beliau sangat menganjurkan untuk bersikap
optimis.
Akhirnya
kita ucapkan segala puji bagi Allah Shubhanahu
wa ta’alla Rabb semesta alam. Shalawat serta salam semoga
Allah Shubhanahu wa
ta’alla curahkan kepada Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
kepada keluarga beliau serta para sahabatnya.
[8] . Penggalan hadits yang dibawakan oleh Syaikh
Syamsudin. Yang dijadikan sebagai dalil akan keutamaan pasukan yang menaklukan
Kostantinopel adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah dari ayahnya Ahmad
bin Hanbal didalam kitab Zawaid Musnad 31/287 no: 18957. dari haditsnya Bisyr
al-Khats'ami radhiyallahu 'anhu. Dan hadits ini dinilai lemah oleh sebagian
pakar hadits. Adapun tentang keutamaan orang yang menaklukan kota Kostantinopel
maka telah tetap beritanya sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits shahih
yang lainnya.
Post a Comment