Keutamaan Bulan Muharram
Keutamaan
Bulan Muharram
Segala puji milik Allah
Rabb semesta alam, semoga shalawat dan salam selalu terlimpahkan kepada Nabi
kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, kepada para kerabat dan para
shahabat beliau seluruhnya, wa ba’du;
Sesungguhnya bulan Allah
bulan al Muharram adalah bulan yang agung dan penuh berkah, ia adalah bulan
yang pertama dalam setahun dan salah satu dari bulan-bulan suci yang mana Allah
berfirman tentangnya:
Artinya: “Sesungguhnya
bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di
waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu dalam
bulan yang empat itu…” (QS. at Taubah: 36)
Diriwayatkan dari Abu
Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
Artinya: “Satu tahun ada
12 bulan darinya ada 4 bulan suci: 3 bulan secara berurutan Dzulqa’dah,
Dzulhijjah, Muharram dan bulan Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan bulan
Sya’ban”. Hadits riwayat Bukhari, no.2958.
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
Dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya. Dan firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka
janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
Maksudnya adalah jangan
berbuat zhalim di bulan-bulan yang suci ini karena berbuat zhalim di dalamnya
lebih ditekankan dan lebih ditegaskan akan dosa dari bulan-bulan lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka
janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
“Maksudnya jangan
berbuat zhalim di setiap bulan darinya, tetapi dikhususkan darinya 4 bulan maka
Allah menjadikannya (4 bulan tadi) suci, mengagungkan kehormatan-kehormatannya
dan menjadikan dosa di dalamnya berlipat dan amal shalih pahalanya di dalamnya
lebih besar (dibanding dengan bulan-bulan lainnya).
Qatadah rahimahullah
berkata ketika menafsirkan ayat;
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya berbuat
zhalim di bulan-bulan suci lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat
zhalim di selainnya, walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya merupakan dosa
besar tetapi Allah Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai dengan
kehendaknya”.
Beliau juga berkata:
“Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari makhluqnya; seperti Ia memilih para
malaikat sebagai utusan dan memilih dari manusia sebagai rasul, memilih dari
firman-Nya untuk mengingat-Nya, memilih bumi dijadikan sebagai masjid-masjid,
memilih dari bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari
hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka
agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya
beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi
orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir Ibnu
katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).
Keutamaan memperbanyak
puasa sunnah pada waktu bulan Muharram
Diriwayatkan dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ
اللَّهِ الْمُحَرَّمُ.
(رواه
مسلم:1982)
Artinya: “Puasa yang
paling utama setelah puasa bulan Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan
Muharram.” (Hadits riwayat Muslim, no. 1982)
Sabda beliau: ”
شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah Ta’ala sebagai
penggandengan pengagungan, Al Qari rahimahullah berkata: “Bahwa maksudnya
adalah seluruh hari pada bulan Muharram.”
Tetapi telah shahih
riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan, maka hadits ini dianggap
sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa pada bulan Muharram bukan untuk
berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah benar riwayat
bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memperbanyak puasa pada
bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan
bulan Muharram kecuali pada akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa
tersebut… (lihat kitab Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih
Muslim)
Allah memilih sesuatu
dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat
Al ‘Izz Bin Abdus Salam
rahimahullah berkata: “Dan pengutamaan antara tempat dan zaman, ada dua macam,
yang pertama: berdasarkan dunia… dan yang kedua: pengutamaan berdasarkan agama,
hal ini kembali kepada bahwa Allah Ta’ala memberikan kemurahan di dalamnya
kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala orang-orang yang mengerjakannya,
seperti pengutamaan pahala puasa Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan
demikian pula hari ‘Asyura-‘… maka kemuliaan di dalamnya kembali kepada
kemurahan dan kebaikan Allah ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab
Qawa’idul Ahkam 1/37)
‘Asyura-‘ ditilik dari
sejarah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
قَالَ: قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى
الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ
صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ
فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ
. (رواه البخاري:1865)
Artinya: “Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam telah sampai di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang
Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura-‘, maka beliau bertanya: “Ada apa dengan hari
ini?”, mereka menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah
menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada
hari itu”, Nabipun bersabda: “Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa
daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin ) untuk
berpuasa”. (Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865)
Maksud sabda beliau: هَذَا
يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ
مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا
فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Ini adalah
hari yang agung, Allah Ta’ala telah menyelamatkan pada hari ini Nabi Musa
‘alaihissalam dan kaumnya dan menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi
Musapun ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun
berpuasa pada hari ini.”
Dan di riwayatkan oleh
Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ
عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
berpuasa karenanya sebagai tanda syukur.”uArtinya: “Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal
(Nabi Nuh ‘alaihissalam)diatas bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia
sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh
‘alaihissalam dan Musa
Hadits : “وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan
untuk berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari rahimahullah juga
terdapat lafadz:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا
. (رواه البخاري)
Artinya: “Maka Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada para shahabatnya: “Kalian
lebih berhak untuk mengikuti Nabi Musa ‘alaihissalam daripada mereka”. (Hadits
riwayat Bukhari)
Dan berpuasa pada hari
‘Asyura-‘ telah dikenal dari mulai zaman jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Sesungguhnya orang-orang jahiliyah
senantiasa berpuasa pada hari itu…”,
Al Qurthuby rahimahullah
berkata: “Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam puasanya kepada
ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Dan telah
shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah sebelum hijrah ke Madinah, ketika
beliau hijrah ke kota Madinah beliau mendapatkan orang-orang Yahudi
memperingatinya lalu beliau bertanya kepada mereka tentang sebab dan merekapun
menjawabnya sebagaimana yang sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelisihi mereka di
dalam peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam
hadits Abu Musa ‘alaihissalam, beliau bersabda:
Artinya: “Hari ‘Asyura-‘
dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian
berpuasa pada hari itu”.
Di dalam riwayat Imam
Muslim rahimahullah:
Artinya: “Hari ‘Asyura-‘
adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya”.
Di dalam riwayat yang
lain milik beliau juga:
Artinya: “Penduduk
Khaibar (dan mereka pada waktu itu orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari
‘asyura-‘ dan selalu menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi
wanita-wanita mereka dengan emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada hari itu”.
(Hadits riwayat Muslim)
Dan yang terlihat dari
perintah untuk berpuasa adalah keinginan untuk menyelisihi orang-orang Yahudi
sehingga berpuasa ketika mereka berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa
(di dalamnya-pent). (diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam
kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari)
Keutamaan Berpuasa Hari
‘Asyura-‘
Artinya: “Dari Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Tidak pernah Aku melihat Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam begitu bersemangat puasa pada suatu hari,
ia utamakan dari yang lainnya kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-‘ dan bulan
ini yakni bulan Ramadhan”. (Hadits riwayat Bukhari, no. 1867)
Dan Makna “yataharra” adalah
bertekad untuk berpuasa pada hari itu agar mendapatkan ganjarannya dan
bersemangat untuk mengerjakannya.
Dan Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
Artinya: “Berpuasa pada
hari ‘Asyura-‘ aku berharap kepada Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang
sebelumnya”. (Hadits riwayat Muslim,no.1976)
Ini adalah dari
kemuliaan Allah bagi kita dengan Ia berikan kepada kita berpuasa satu hari
sebagai penghapusan dosa-dosa selama satu tahun penuh, dan Allah Ta’ala Maha
mempunyai kemuliaan yang sangat agung.
Hari apakah hari
‘Asyura-‘?
An Nawawi rahimahullah
berkata: “Kata ‘Asyura-‘ dan Tasu’a-‘ adalah dua nama yang dipanjangkan, inilah
yang masyhur di kitab-kitab bahasa. Para shahabat kami berkata: ” ‘Asyura-‘
adalah hari ke sepuluh dari bulan al Muharram dan Tasu’a-‘ adalah hari
kesembilan darinya… begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah maksud yang
terlihat jelas dari beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak lafadznya, dan
dialah yang dikenal oleh para ahli bahasa. (lihat kitab Majmu’ karya an Nawawi)
Ia adalah istilah yang
ada dalam Islam tidak dikenal zaman jahiliyah. (lihat kitab Kasysyaful Qina’
juz:2, puasa muharram ).
Ibnu Qudamah
rahimahullah berkata: ” ‘Asyura-‘ adalah hari kesepuluh dari bulan Al Muharram,
dan ini adalah pendapat Sa’id Bin Musayyib dan Hasan rahimahumallah,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata:
Artinya: “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura-‘ hari
kesepuluh dari bulan Muharram”. Hadits riwayat Tirmidzi, beliau berkata:
“Hadits ini hasan shahih”.
Dianjurkan puasa Tasu’a-‘ dan ‘Asyura-‘
Dianjurkan puasa Tasu’a-‘ dan ‘Asyura-‘
Artinya: “Abdullah Bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-‘ dan memerintahkan
(umatnya) untuk berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan
orang-orang Yahudi dan Nashrani, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Apabila datang tahun depan, jika Allah menghendaki maka kita akan
berpuasa pada hari kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas) radhiyallahu
‘anhuma berkata: “Dan tidaklah datang tahun depan hingga datangnya wafat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”. (Hadits riwayat Muslim, no. 1916)
Imam Syafi’ie
rahimahullah , para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang
lainnya berkata: “Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh
keduanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari
kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Dengan penjelasan diatas
maka berpuasa pada hari ‘Asyura-‘ ada beberapa tingkatan: “Yang paling rendah
adalah berpuasa 1 hari (kesepuluh saja), diatasnya berpuasa pada hari
kesembilan bersamanya dan tiap kali memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram
maka itu yang lebih utama dan lebih baik.
Hikmat dari penganjuran
berpuasa pada hari Tasu’a-‘
An Nawawi rahimahullah
berkata: “Para ulama dari sahabat kami dan yang lainnya menyebutkan hikmah di
dalam penganjuran puasa hari Tasu’a-‘, ada beberapa macam:
·
Yang pertama: bahwa
maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika mereka hanya
mencukupkan hanya hari kesepuluh.
·
Yang kedua: bahwa maksud
darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-‘ dengan berpuasa (pada hari
sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa pada hari jum’at secara
sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al Khaththabi dan yang lainnya.
·
Yang ketiga: benar-benar
menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh, karena ditakutkan awal bulan
terlalu kecil atau terjadi kesalahan (dalam penglihatan awal bulan-pent), maka
hari kesembilan di dalam jumlah sebenarnya hari kesepuluh ketika itu.
·
Dan jawaban yang paling
kuat adalah menyelisihi ahli kitab, Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang untuk menyerupakan diri
dengan ahli Kitab di dalam hadits-hadits yang banyak, seperti sabda beliau:
·
Artinya: “Sungguh jika aku masih hidup pada
tahun depan maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan.”
(Lihat kitab al-Fatawa al-Kubra juz 6, saddudz dzra-I’ al Mufdiyah)
Hukum berpuasa hari
‘Asyura-‘ saja:
Syaikhul Islam
rahimahullah berkata: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-‘ sebagai penghapus dosa
selama 1 tahun dan tidak dimakruhkan untuk mengkhususkannya dengan berpuasa…
(al Fatawa al Kubra juz 5). Dan di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar
al Haitamy rahimahullah disebutkan: dan hari ‘Asyura-‘ tidak mengapa berpuasa
pada hari itu saja… (lihat juz3, bab puasa sunnah).
Boleh berpuasa pada hari
‘Asyura-‘ walaupun hari itu hari Sabtu atau Jum’at
Telah ada riwayat
tentang larangan berpuasa pada hari Jum’at secara tersendiri dan larangan
tentang berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, tetapi hilang
kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari ini dengan menggambungkan satu
hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan dengan kebiasaan yang
disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1 hari atau berpuasa sebagai
nadzar atau puasa qadha-‘ atau puasa yang dianjurkan oleh agama seperti puasa
hari Arafah dan hari ‘Asyura-‘… (lihat kitab Tuhfatul Muhtaj, juz 3 bab puasa
sunnah dan kitab Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa hari Sabtu).
Al Bauhuti rahimahullah
berkata: “Dan dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari Sabtu disebabkan oleh
hadits Abdullah Bin Busyr dari saudara perempuannya:
Artinya: “Dan janganlah
kalian berpuasa hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian”. Hadits
riwayat Ahmad dengan sanad yang baik dan Imam hakim, beliau berkata: “Hadits
ini berdasarkan syarat shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia adalah hari yang
dimuliakan oleh orang-orang Yahudi, karena pengkhususan berpuasa pada hari itu
saja ada persamaan dengan mereka… ( kecuali apabila bertepatan ) hari Jum’at
atau hari Sabtu ( biasanya) seperti bertepatan dengan hari Arafah atau hari
‘Asyura-‘ dan merupakan kebiasaannya berpuasa pada kedua hari itu maka tidak
dimakruhkan, karena suatu adat mempunyai pengaruh di dalam hal tersebut”.
(Lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz2, bab Puasa sunnah)
Apakah yang harus
dikerjakan apabila hilal (awal bulan) belum jelas??
Imam Ahmad rahimahullah
berkata: “Dan Jika awal bulan masih samar maka ia berpuasa tiga hari, dan
sesungguhnya ia kerjakan demikian agar ia yakin pada hari kesembilan dan
kesepuluhnya ( kitab al Mughni karya Ibnu qudamah juz 3, shiyam – shiyam bulan
‘Asyura-‘)
Barang siapa yang belum
mengetahui masuk awal bulan Muharram dan ia ingin berhati-hati untuk hari
kesepuluh maka hendaklah ia menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari sebagaimana
kaidah yang dikenal kemudian ia bepuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Dan
barang siapa yang menginginkan berhati-hati pada hari kesembilannnya juga maka
ia berpuasa pada hari kedelapan dan kesembilan dan kesepuluh ( kalau seandainya
Dzulhijjah sebenarnya kurang (dari 30) maka ia telah mendapatkan hari kesembilan
dan kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa berpuasa pada hari ‘Asyura-‘
dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak diperintahkan untuk
benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana mereka diperintahkan untuk
benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan Syawwal.
Puasa hari ‘Asyura-‘,
menghapuskan apa??
An Nawawi rahimahullah
berkata: “Menghapuskan dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah menghapuskan
dosa-dosa sipelakunya seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”. beliau rahimahullah
berkata juga: “Puasa hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun dan puasa
‘Asyura-‘ sebagai penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan “amin” nya
bertepatan dengan para malaikat maka akan diampunkan baginya dosa-dosanya yang
telah… tiap dari perkara yang disebutkan ini bisa digunakan untuk penghapus
dosa, apabila ia mendapatkan sesuatu yang bisa ia hapuskan dari dosa-dosa kecil
maka ia menghapusnya dan apabila tidak mendapatkan dosa-dosa kecil atau besar
maka dituliskan dengan sebabnya berupa kebaikan-kebaikan, dan diangkat untuknya
beberapa derajat dengan sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan satu dosa besar
atau beberapa dosa besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil maka kita
harapkan ia bisa meringankan dosa besar”. (lihat kitab al Majmu’ Syarah
Muhadzdzab, juz 6, puasa hari Arafah)
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci,
shalat, berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-‘ hanya
untuk dosa-dosa kecil saja. (lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5 ).
Jangan terpesona dengan
pahala puasa!
Beberapa orang terpesona
dengan menyandarkan pahala puasa hari ‘Asyura-‘ atau hari Arafah, sampai-sampai
sebagian dari mereka berkata: “Puasa hari ‘Asyura-‘ menghapuskan seluruh
dosa-dosa dalam satu tahun itu, dan tersisa puasa hari Arafah bonus di dalam
pahala.”
ridhai di sepanjang harinya, maka orang ini
selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak menoleh kepada apa yang
diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang penggunjing, pendusta dan pengadu
domba serta selain daripada itu yang berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal
demikian itu adalah benar-benar penipuan. (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah,
juz 31, ghurur)UIbnul Qayyim rahimahullah berkata: “Orang yang terperdaya ini
tidak menyadari bahwa puasa bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih
agung dan lebih tinggi dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-‘ dan ia
(shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara
keduanya apabila ia menghindari dosa-dosa besar. Puasa Ramadhan ke puasa
Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi untuk menghilangkan
dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya penjauhan akan dosa-dosa
besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara ini berkekuatan untuk menghapuskan
dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang yang terlena ada yang mengira bahwa
keta’atannya lebih banyak dari perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak
menghisab dirinya akan kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan
dosa-dosanya, sedangkan apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia
akan menghapalnya dan menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan
lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali, kemudian ia menggunjing
kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia berbicara dengan sesuatu
yang tidak Allah
Berpuasa hari ‘Asyura-‘
dalam keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan
Para Ahli Fiqh berbeda
pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah sebelum mengqadha-‘ puasa
Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum
mengqadha-‘ puasa Ramadhan tanpa ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak
wajib dengan segera dan madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan
berpuasa dengan kemakruhan dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad
Dasuqy berkata: “Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai
tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa sebagai
(kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan dari puasa wajib
itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti puasa ‘Asyura-‘, puasa tanggal 9
dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang lebih utama. Dan Madzhab Hanbali
berpendapat akan keharaman puasa sunnah sebelum mengqadha-‘ puasa Ramadhan dan
tidak sahnya berpuasa sunnah waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk
mengqadha-‘. Dan diharuskan untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai
ia selesai mengqadha-‘nya (lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah juz 28:puasa
sunnah)
Maka dari itu hendaklah
seorang muslim bersegera mengqadha-‘ setelah bulan Ramadhan agar
memungkinkannya untuk mengerjakan puasa Arafah Dan ‘Asyura-‘ tanpa ada
kesulitan, dan apabila ia berpuasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-‘ dengan niat
dari malam hari mengqadha-‘ maka hal yang demikian itu telah mencukupi di dalam
pengqadha-‘an puasa yang wajib.
Bid’ah-bid’ah pada hari
‘Asyura-‘
Syeikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah ditanya tentang perbuatan yang dikerjakan manusia pada
hari ‘Asyura-‘ seperti bercelak, mandi, memakai pacar, saling bersalaman,
memasak biji-bijian dan memperlihatkan kesenangan serta yang lainnya… Apakah
yang demikian itu ada dasarnya atau tidak?
Dijawab: “Segala puji
milik Allah Rabb semesta alam, tidak ada di dalam hal ini satu riwayat hadits
shahihpun dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari para
shahabatnya, tidak dianjurkan pula oleh satupun dari para Imam yang empat akan
hal tersebut, tidak pula dari selain mereka dan para pengarang kitab-kitab
mu’tabar (terpandang) juga tidak meriwayatkan sesuatupun dalam hal ini dan
tidak dari riwayat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para
shahabat, juga dari tabi’in, tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga dari
hadits yang lemah. Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah
meriwayatkan dalam perkara ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka
riwayatkan bahwa; “Barangsiapa yang bercelak pada hari ‘Asyura-‘ maka ia tidak
akan pedih matanya pada tahun itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari
‘Asyura-‘ maka ia tidak akan sakit pada tahun itu” dan yang semisal dengan itu…
dan bahkan mereka telah meriwayatkan sebuah hadits palsu mendustakan Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bahwasanya barang siapa yang bermurah
atas keluarganya pada hari ‘Asyura-‘ maka Allah Akan melapangkan rizqinya
sepanjang tahun”. Dan seluruh riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah bohong.
Kemudian beliau
rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah terjadi pada awal mula
umat ini berupa kekacauan-kekacauan, kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain
radhiyallahu ‘anhuma serta apa yang dikerjakan oleh beberapa kelompok
disebabkan hal itu, beliau juga berkata: “Lalu timbullah kelompok yang bodoh
dan zhalim, baik itu kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang
berlebihan yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok
tersebut menjadikan hari ‘Asyura-‘ sebagai hari berkabung, kesedihan dan
ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu syi’ar-syi’ar
orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan kantong-kantong baju,
dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan mensenandungkan
kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan riwayat-riwayat yang di dalamnya
terdapat penuh dengan kebohongan. Dan tidak ada kejujuran di dalam peringatan
ini kecuali saling berganti tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan
perperangan, menyebarkan fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang
demikian itu untuk mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan
dan bahaya mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih
di dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok, baik
itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan Ahlu Bait
radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan kerusakan dengan
kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan dengan kejelekan, bid’ah
dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar palsu di dalam syi’ar-syi’ar
kebahagian dan kesenangan pada hari ‘Asyura-‘ seperti bercelak dan memakai
pacar, dan banyak memberikan nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan
tidak seperti biasanya dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan
pada hari-hari raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok
kedua-pent) menjadikan hari ‘Asyura-‘ sebagai musim hari raya dan kesenangan
sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-‘ sebagai hari
kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan dan keduanya
telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah…(al Fatawa al Kubra milik
Ibnu Taimiyah rahimahullah ).
Ibnu Hajj rahimahullah
menyebutkan termasuk dari perbuatan-perbuatan bid’ah hari ‘Asyura-‘ adalah
sengaja mengeluarkan zakat di dalamnya baik itu diakhirkan atau di majukan
(dari waktu asalnya) dan mengkhususannya dengan menyembelih ayam dan juga para
wanita memakai pacar. (al Madkhal juz 1, hari ‘Asyura-‘).
Kita memohon kepada
Allah agar termasuk dari orang-orang yang berpegang teguh dengan sunnah nabinya
yang mulia, dan semoga kita di hidupkan di atas agama Islam, diwafatkan di atas
keimanan, semoga Allah memberikan kita taufik untuk mengerjakan apa yang Dia
cintai dan ridhai. Dan kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk bisa
mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya, mengerjakan ibadah kepada-Nya dengan baik,
menerima (amal ibadah) dari kita dan menjadikan kita termasuk orang-orang yang
bertakwa dan merahmati kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
dan kepada para keluarga serta seluruh shahabat beliau.
و الله أعلم
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
و الحمد لله رب العالمين
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
و الحمد لله رب العالمين
Post a Comment