Hukuman bagi Penghina al-Qur’an di Masa Rasulullah SAW....
Hukuman bagi Penghina al-Qur’an di
Masa Rasulullah SAW....
Adalah di zaman Rasulullah saw ada seorang munafik bernama Abi Sarah yang ditugaskan untuk menulis wahyu. Abi Sarah berbalik menjadi murtad dan kafir, kemudian mengumumkan kemurtadannya terhadap Islam dan berbalik pada kelompok orang-orang kafir Quraisy di kota Makkah.
Manakala Abi Sarah ditanya oleh para kafir musyrikin terhadap pengalamannya pernah diminta untuk menuliskan wahyu, dengan bangganya Abi Sarah mengatakan bahwa ternyata Nabi Muhammad itu dapat aku “bodohi”. Ketika dia mengimlakan kepadaku ayat [عزيز حكيم] “Aziizun Hakim” aku justru menuliskan [عليم حكيم] “Alimun Hakim” dan Muhammad mempercayainya begitu saja.
Tentu saja lelucon Abi Sarah yang bermaksud menghinakan al-Qur’an sekaligus mencemooh nabi Muhammad Saw disambut gelak tawa kepuasaan pembenci Islam. Mereka seakan menganggap bahwa Rasulullah gampang dibodohi dan dibohongi hanya oleh seorang bernama Abi Sarah.
Berita kebohongan yang disampaikan oleh Abi Sarah pun telah sampai ke telinga Rasulullah dan para sahabat. Apa yang terjadi kemudian? Apakah berita itu dianggap kabar angin saja? Ternyata tidak! Penghinaan dan penistaan terhadap kalamullah sekaligus Rasulullah Saw memiliki hukum tersendiri di dalam Islam.
Beberapa tahun kemudian, ketika kekuatan umat Islam telah bertambah semakin kuat dan banyak hingga menyebar ke beberapa jazirah di negara Arab, ekspansi selanjutnya adalah menaklukkan kota Makkah yang lebih dikenal dengan istilah Fath Makkah.
Ketika umat Islam telah berhasil menguasai kota Makkah, kaum kafir Quraisy menyerah tanpa syarat. Mereka tunduk atas segala ketentuan serta balasan terhadap permusuhan mereka terhadap kaum muslimin puluhan tahun yang lalu.
Rasulullah Saw memaafkan segala bentuk kekerasan, kekejaman serta permusuhan kafir Quraisy Makkah. Namun, ada satu hal yang tidak terlupakan. Ingatan kaum muslimin terhadap penghinaan serta penistaan Islam yang pernah dilakukan seorang munafik bernama Abi Sarah tidak serta merta hilang begitu saja. Apa tindakan balasan atas penghinaan Abi Sarah terhadap al-Qur’an?
Rasulullah saw dengan tegasnya memerintahkan para pasukan elit untuk mencari Abi Sarah serta beberapa orang yang melakukan penistaan yang sama, seperti Abdullah bin Hilal bin Khatal dan Miqyas bin Shubabah. Rasulullah saw menginstruksikan ketiga orang ini untuk dieksekusi mati sekalipun mereka bergantung di sisi Ka’bah.
Dalam hal menyikapi para penebar fitnah penistaan agama, Islam tidak main-main. Para ulama sepakat bahwa hukuman bagi penghina al-Qur’an, maupun penghina Rasulullah Saw adalah hukuman eksekusi mati. Bahkan banyak para ulama yang menulis khusus kitab-kitab yang berkenaan dengan sanksi hukum bagi penghina al-Qur’an dan penghina Rasulullah Saw.
Diantara kitab yang terkenal adalah karangan Imam as-Subki [683-756 H] yang berjudul “As-Syaif al-Maslul ‘Ala Man Sabb ar-Rasul” [Pedang yang Terhunus atas Pencela Rasul] dan selanjutnya lebih dari 350 tahun berikutnya seorang ahli muhadits Imam Muhammad Hasyim bin Abdul Gafhur [1104-11743 H] juga menulis sebuah kitab yang berjudul “as-Saif al-Jali ‘ala Man Sabb an-Nabi “ [Pedang yang Berkilat Atas Penghina Nabi].
Sikap Para Ulama Terhadap Penghina al-Qur’an
Para Ulama sepakat bahwa memuliakan dan mensucikan al-Quran adalah wajib. Karenanya, siapa saja kaum Muslim yang menghina al-Quran, berarti telah melakukan dosa besar, bahkan telah dinyatakan murtad dari Islam.
Imam an-Nawawi, dalam At-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Qur’an, menyatakan: “Para ulama telah sepakat tentang kewajiban menjaga mushaf al-Quran dan memuliakan-nya. Para ulama Mazhab Syafii berkata, “Jika ada seorang Muslim melemparkan al-Quran ke tempat kotor maka dihukumi kafir (murtad).”
Di antara penyebab kekufuran (murtad) bagi seorang Muslim adalah mencaci-maki dan menghinakan perkara yang diagungkan dalam agama, mencaci-maki Rasulullah saw, mencaci-maki malaikat serta menistakan mushaf al-Quran dan melemparkannya ke tempat yang kotor. Semua itu termasuk penyebab kekufuran (murtad).
Al-Qadhi Iyadh pernah berkata, “Ketahuilah bahwa siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran, atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli Ilmu.” (Asy-Syifa, II/1101).
Dalam kitab Asna al-Mathalib dinyatakan, mazhab Syafii telah menegaskan bahwa orang yang sengaja menghina, baik secara verbal, lisan maupun dalam hati, kitab suci al-Quran atau hadis Nabi saw. dengan melempar mushaf atau kitab hadis di tempat kotor, maka dihukumi murtad.
Dalam kitab Al-Fatawa al-Hindiyyah, mazhab Hanafi menyatakan, bahwa jika seseorang menginjakkan kakinya ke mushaf, dengan maksud menghinanya, maka dinyatakan murtad (kafir).
Dalam Hasyiyah al-‘Adawi, mazhab Maliki menyatakan, meletakkan mushaf di tanah dengan tujuan menghina al-Quran dinyatakan murtad.
Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah dinyatakan, ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang menghina al-Quran, mushaf, satu bagian dari mushaf, atau mengingkari satu huruf darinya, atau mendustakan satu saja hukum atau informasi yang dinyatakannya, atau meragukan isinya, atau berusaha melecehkannya dengan tindakan tertentu, seperti melemparkannya di tempat-tempat kotor, maka dinyatakan kafir (murtad).
Inilah hukum syariah yang disepakati oleh para fukaha dari berbagai mazhab, bahwa hukum menghina al-Quran jelas-jelas haram, apapun bentuknya, baik dengan membakar, merobek, melemparkan ke toilet maupun menafikan isi dan kebenaran ayat dan suratnya.
Jika pelakunya Muslim, maka dengan tindakannya itu dia dinyatakan kafir (murtad). Jika dia non-Muslim, dan menjadi Ahli Dzimmah, maka dia dianggap menodai dzimmah- nya, dan bisa dijatuhi sanksi yang keras oleh negara.
Jika dia non-Muslim dan bukan Ahli Dzimmah, tetapi Mu’ahad, maka tindakannya bisa merusakmu’ahadah-nya, dan negara bisa mengambil tindakan tegas kepadanya dan negaranya. Jika dia non-Muslim Ahli Harb, maka tindakannya itu bisa menjadi alasan bagi negara untuk memaklumkan perang terhadapnya dan negaranya.
Karena itu, sanksinya pun berat. Orang Muslim yang menghina al-Quran akan dibunuh, karena telah dinyatakan murtad. Jika dia non-Muslim Ahli Dzimmah, maka dia harus dikenai ta’zir yang sangat berat, bisa dicabut dzimmah-nya, hingga sanksi hukuman mati.
Bagi non-Muslim non-Ahli Dzimmah, maka negara wajib membuat perhitungan dengan negaranya, bahkan bisa dijadikan alasan Khalifah untuk memerangi negaranya, dengan alasan menjaga kehormatan dan kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Disebabkan negara kita menganut paham demokrasi yang berasas pada ketentuan
hukum perundangan-undangan, maka sikap terbaik kita juga harus berdasarkan
ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan pasalUU No.
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (“UU
1/PNPS/1965”). Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyatakan:
“Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan
dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu
agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang
menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Memang kita tidak seharusnya menunjukkan sikap emosional atau kekerasan. Bentuk
kemarahan terhadap para penista agama atau penghina al-Qur’an dapat kita
tunjukkan dari sikap anti-pati untuk tidak memilih pemimpin yang melakukan
penistaan terhadap Islam. Dan ormas Islam harus mengambil sikap tegas
melaporkan keberatan tersebut pada pihak yang berwajib sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku.
Hukum Menghina Islam Menurut Al Qur'an
Ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas
telah menerangkan bahwa orang yang menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah
Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam adalah
orang yang kafir murtad jika sebelumnya ia adalah seorang muslim. Kekafiran
orang tersebut adalah kekafiran yang berat, bahkan lebih berat dari kekafiran
orang kafir asli seperti Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik.
Adapun jika sejak awal ia adalah
orang kafir asli, maka tindakannya menghina, melecehkan dan mencaci maki Allah
Ta’ala, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau agama Islam tersebut
telah menempatkan dirinya sebagai gembong kekafiran dan pemimpin orang kafir.
Di antara dalil dari Al-Qur’an yang menegaskan hal ini adalah:
Pertama firman Allah Ta’ala:
“Jika mereka merusak sumpah
(perjanjian damai)nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian,
maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya
mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya
mereka berhenti.” (QS. At-Taubah [9]: 12)
Dalam ayat yang mulia ini, Allah
menyebut orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam sebagai aimmatul
kufri, yaitu pemimpin-pemimpin orang-orang kafir. Jadi ia bukan sekedar kafir
biasa, namun gembong orang-orang kafir. Tentang hal ini, imam Al-Qurthubi
berkata, “Barangsiapa membatalkan perjanjian damai dan mencerca agama Islam
niscaya ia menjadi pokok dan pemimpin dalam kekafiran, sehingga berdasar ayat
ini ia termasuk jajaran pemimpin orang-orang kafir.” (Al-Jami’ li-Ahkamil
Qur’an, 8/84)
Imam Al-Qurthubi berkata, “Sebagian
ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya membunuh setiap orang yang
mencerca agama Islam karena ia telah kafir. Mencerca (ath-tha’nu) adalah
menyatakan sesuatu yang tidak layak tentang Islam atau menentang dengan
meremehkan sesuatu yang termasuk ajaran Islam, karena telah terbukti dengan
dalil yang qath’i atas kebenaran pokok-pokok ajaran Islam dan kelurusan
cabang-cabang ajaran Islam.
Imam Ibnu Al-Mundzir berkata, “Para
ulama telah berijma’ (bersepakat) bahwa orang yang mencaci maki Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam harus dibunuh. Di antara yang berpendapat demikian
adalah imam Malik (bin Anas), Laits (bin Sa’ad), Ahmad (bin Hambal) dan Ishaq
(bin Rahawaih). Hal itu juga menjadi pendapat imam Syafi’i.” (Al-Jami’
li-Ahkamil Qur’an, 8/82)
Imam Ibnu Katsir berkata, “Makna
firman Allah mereka mencerca agama kalian adalah mereka mencela dan melecehkan
agama kalian. Berdasar firman Allah ini ditetapkan hukuman mati atas setiap
orang yang mencaci maki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau mencerca
agama Islam atau menyebutkan Islam dengan nada melecehkan. Oleh karena itu
Allah kemudian berfirman maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat
dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti, maksudnya mereka kembali dari
kekafiran, penentangan dan kesesatan mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
4/116)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata: “Allah Ta’ala menamakan mereka pemimpin-pemimpin orang-orang kafir
karena mereka mencerca agama Islam…Maka telah tetaplah bahwa setiap orang yang
mencerca agama Islam adalah pemimpin orang-orang kafir. Jika seorang kafir
dzimmi mencerca agama Islam maka ia telah menjadi seorang pemimpin bagi
orang-orang kafir, ia wajib dibunuh berdasar firman Allah Ta’ala “maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu“. (Ash-Sharim Al-Mashlul
‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 17)
Beliau juga mengatakan:
“Sesungguhnya mencaci maki Allah atau mencaci maki Rasul-Nya adalah kekafiran
secara lahir dan batin. Sama saja apakah orang yang mencaci maki itu meyakini
caci makian itu sebenarnya haram diucapkan, atau ia meyakini caci makian itu
boleh diucapkan, maupun caci makian itu keluar sebagai kecerobohan bukan karena
keyakinan. Inilah pendapat para ulama fiqih dan seluruh ahlus sunnah yang menyatakan
bahwa iman adalah ucapan dan perbuatan.” (Ash-Sharim Al-Mashlul ‘ala Syatim
Ar-Rasul, hlm. 512)
Beliau juga mengatakan: “Jika orang
yang mencaci maki (Allah Ta’ala) tersebut adalah seorang muslim maka ia wajib
dihukum bunuh berdasar ijma’ (kesepakatan ulama) karena ia telah menjadi orang
kafir murtad dan ia lebih buruk dari orang kafir asli. Seorang kafir asli
sekalipun akan mengagungkan Rabb dan meyakini agama batil yang ia anut tersebut
bukanlah sebuah olok-olokan dan caci makian kepada Allah Ta’ala.” (Ash-Sharim
Al-Mashlul ‘ala Syatim Ar-Rasul, hlm. 546)
Kedua Firman Allah Ta’ala:
“Dan jika kamu tanyakan kepada
mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab:
“Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah:
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?”
Tidak usah kalian meminta maaf,
karena kalian telah kafir sesudah kalian beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan daripada kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab
golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat
dosa.” (QS. At-Taubah [9]: 65-66)
Tentang sebab turunnya ayat ini,
para ulama tafsir seperti imam Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Ibnu Abi Hatim,
Ibnu Mundzir dan Jalaluddin As-Suyuthi telah meriwayatkan hadits dari lbnu
Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qatadah bahwa dalam perang Tabuk
ada orang yang berkata, “Kita belum pernah melihat orang-orang seperti para
ahli baca Al-Qur`an ini. Mereka adalah orang yang lebih buncit perutnya, lebih
dusta lisannya dan lebih pengecut dalam peperangan.” Para ahli baca Al-Qur’an
yang mereka olok-olok tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat yang ahli baca Al-Qur`an.
Mendengar ucapan itu, Auf bin Malik
berkata: “Bohong kau. Justru kamu adalah orang munafik. Aku akan memberitahukan
ucapanmu ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Auf bin Malik segera menemui
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melaporkan hal tersebut kepada
beliau. Tetapi sebelum ia sampai, wahyu Allah (QS. At-Taubah [9]: 65-66) telah
turun kepada beliau.
Ketika orang yang ucapannya
dilaporkan itu datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau
telah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya. Maka orang itu berkata
kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Sebenarnya kami tadi hanya bersenda-garau
dan mengobrol sebagaimana obrolan orang-orang yang bepergian jauh untuk
menghilangkan kepenatan dalam perjalanan jauh kami.”
Ibnu Umar berkata, “Aku melihat dia
berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sedangkan kedua kakinya tersandung-sandung batu sambil berkata: “Sebenarnya
kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.”
Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam balik bertanya kepadanya: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan
Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Beliau hanya mengatakan hal itu dan tidak
memberikan bantahan lebih panjang lagi. (Jami’ul Bayan fi Ta’wili Ayyil Qur’an,
14/333-335, Tafsir Ibnu Abi Hatim, 6/1829-1830 dan Ad-Durrul Mantsur fit Tafsir
bil Ma’tsur, 4/230-231)
Ayat di atas menegaskan bahwa orang
tersebut menjadi orang kafir murtad, padahal sebelumnya ia seorang muslim yang
beriman, karena ia mengucapan olok-olokan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa salam dan para sahabat. Padahal olok-olokan tersebut menurut pengakuannya
sekedar gurauan dan obrolan biasa sekedar pengusir kepenatan dalam perjalanan
jauh perang Tabuk. Maka bagaimana lagi dengan caci makian, pelecehan dan ejekan
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam secara terang-terangan? Tak diragukan
lagi, hal tersebut merupakan kemurtadan dan kekafiran.
Imam Abu Bakar Al-Jashash Al-Hanafi
berkata, “Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang bercanda dan orang yang serius
itu hukumnya sama saat ia mengucapkan kalimat kekufuran secara terang-terangan
tanpa adanya paksaan (siksaan berat terhadapnya untuk mengucapkannya). Karena
orang-orang munafik tersebut menyatakan bahwa ucapan yang mereka ucapkan
tersebut hanyalah sendau gurau belaka. Maka Allah memberitahukan kepada mereka
bahwa mereka telah kafir dengan sendau gurauan mereka itu.
Diriwayatkan dari Hasan Al-Bashri
dan Qatadah bahwa orang-orang tersebut mengatakan dalam perang Tabuk: “Apakah
orang ini (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam) berharap bisa
menaklukkan istana-istana dan benteng-benteng di negeri Syam? Mustahil,
mustahil.”
Maka Allah memberitahukan bahwa
ucapan tersebut adalah sebuah kekafiran mereka, baik mereka mengucapkannya
dengan bercanda maupun serius. Maka ayat ini menunjukkan kesamaan hukum
(kekafiran) atas orang yang mengucapkan kalimat kekufuran secara
terang-terangan, baik ia bercanda maupun serius. Ayat ini juga menunjukkan
bahwa mengolok-olok ayat-ayat Allah atau sebagian dari syariat (ajaran) agama-Nya
menyebabkan pelakunya kafir.” (Ahkamul Qur’an, 4/348-349)
Dari ayat di atas dan uraian sebab
turunnya ayat tersebut, bisa diketahui bahwa Allah Ta’ala menganggap
olok-olokan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam atau olok-olokan
terhadap generasi sahabat sebagai olok-olokan terhadap Allah Ta’ala dan
ayat-ayat Allah Ta’ala. Hal itu karena Allah Ta’ala dalam banyak ayat Al-Qur’an
telah memuji dan meridhai generasi sahabat (lihat misalnya QS. Al-Fath [48]: 18
dan 29, At-Taubah [9]: 110 dan Al-Hasyr [59]: 8-10).
Mengolok-olok Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam atau generasi sahabat berarti melecehkan,
meremehkan dan mendustakan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut; sekaligus melecehkan, meremehkan
dan mendustakan Allah Ta’ala yang telah menurunkan ayat-ayat tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Ayat ini merupakan dalil yang tegas bahwa mengolok-olok Allah atau
ayat-ayat-Nya atau rasul-Nya adalah perbuatan kekafiran. Sehingga mencaci maki
lebih layak untuk menjadi perbuatan kekafiran. Ayat ini telah menunjukkan bahwa
setiap orang yang melecehkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam,secara
serius maupun bercanda, adalah orang yang telah kafir.” (Majmu’ Fatawa, 7/272)
Ketiga firman Allah Ta’ala:
“Mereka (orang-orang munafik itu)
bersumpah dengan nama Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang
menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan
mereka telah menjadi kafir sesudah Islam.” (QS. At-Taubah [9]: 74)
Para ulama tafsir menyebutkan
sejumlah riwayat tentang sebab turunnya ayat ini. Di antaranya riwayat yang
menyebutkan bahwa ketika pada perang Tabuk banyak ayat Al-Qur’an yang turun
membongkar kebusukan orang-orang munafik dan mencela mereka, maka Julas bin
Suwaid bin Shamit dan Wadi’ah bin Tsabit berkata: “Jika memang Muhammad benar
atas (ayat-ayat Al-Qur’an yang turun mencela) saudara-saudara kita, sementara
saudara-saudara kita adalah para pemimpin dan orang-orang terbak di antara
kita, tentulah kita ini lebih buruk dari seekor keledai.”
Mendengar ucapan kedua orang itu,
sahabat Amir bin Qais berkata, “Tentu saja, demi Allah, Muhammad itu orang yang
berkata benar dan ucapannya dibenarkan, dan sungguh engkau ini lebih buruk dari
seekor keledai.”
Amir bin Qais lalu melaporkan ucapan
kedua orang itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Julas bin Suwaid
segera mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan bersumpah dengan nama
Allah bahwa Amir telah berbohong. Amir pun balas bersumpah bahwa Julas telah
benar-benar telah mengucapkan ucapan yang dilaporkan tersebut. Amir berdoa, “Ya
Allah, turunkanlah sebuah wahyu kepada nabi-Mu.” Ternyata Allah kemudian
menurunkan ayat tersebut.
Riwayat lain menyebutkan bahwa ayat
ini turun berkenaan dengan Abdullah bin Ubay bin Salul yang mengatakan,
“Perumpamaan kita dengan Muhammad tidak lain seperti perkataan “Gemukkanlah
anjingmu, niscaya ia akan memakanmu!” Jika kita telah kembali ke Madinah,
niscaya orang yang mulia di antara kita (yaitu kelompok kita) akan mengusir
orang yang hina (Muhammad dan para sahabatnya).”
Perkataan ini didengar oleh sebagian
sahabat dan dilaporkan kepada kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Maka
Abdullah bin Ubay bin Salul tergopoh-gopoh mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
salam dan bersumpah tidak mengucapkan ucapan tersebut. Maka turunlah ayat
tersebut. (Fathul Qadir, 2/436 dan Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 8/206)
Riwayat manapun yang lebih kuat,
semuanya menunjukkan bahwa orang-orang tersebut divonis kafir murtad setelah
beriman, disebabkan ucapan mereka yang bernada olok-olokan dan merendahkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa salam. Hal ini menunjukkan bahwa caci makian dan
pelecehan secara terang-terangan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam
lebih berat kekafirannya, sehingga menjadikan pelakunya kafir murtad setelah
beriman.
Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
berkata, “Maksud dari firman Allah Sesungguhnya mereka telah mengucapkan
perkataan kekafiran” adalah perkataan-perkataan (olok-olokan) yang disebutkan
dalam beragam riwayat tadi. Adapun maksud dari firman Allah “dan mereka telah
menjadi kafir sesudah Islam” adalah mereka menjadi kafir dengan ucapan tersebut
setelah sebelumnya mereka menampakkan keislaman, jika sebelumnya dalam hati
mereka kafir. Maknanya, mereka melakukan perkara yang menyebabkan kekafiran
mereka, jika keislaman mereka dianggap sah.” (Fathul Qadir, 2/436).
Imam Al-Qurthubi berkata: “Imam
Al-Qusyairi menyatakan: “Makna dari perkataan kekafiran adalah mencaci maki
Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan mencerca agama Islam. Adapun makna dari
“dan mereka telah menjadi kafir sesudah Islam” adalah mereka menjadi kafir
setelah mereka dianggap sebagai orang-orang Islam.” (Al-Jami’ li-Ahkamil
Qur’an, 8/206)
Imam Muhammad Anwar Syah Al-Kasymiri
berkata: “Kesimpulannya barangsiapa mengucapkan ucapan kekafiran baik secara
sendau gurau maupun bermain-main, niscaya ia telah kafir menurut semua ulama,
tanpa mempertimbangkan keyakinan dia. Hal ini seperti telah ditegaskan dalam
kitab Al-Fatawa Al-Khaniyah dan Raddul Mukhtar.” (Ikfarul Mulhidin fi
Dharuriyatid Dien, hlm. 59)
Keempat firman Allah Ta’ala:
“Dan sungguh Allah telah menurunkan
kepada kamu wahyu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat
Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah
kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.
Karena sesungguhnya kalau kamu tetap duduk bersama mereka, tentulah kamu serupa
dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang
kafir di dalam neraka Jahanam.” (QS. An-Nisa’ [4]: 140)
Ayat ini menunjukkan kekafiran orang
yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Ta’ala dan juga menunjukkan kekafiran orang
yang duduk-duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Allah,
mendengarkan dan mendiamkan saja olok-olokan mereka tersebut. Ayat ini memvonis
orang yang duduk bersama dan mendengarkan olok-olokan tersebut sebagai orang
kafir, meskipun ia tidak ikut mengolok-olok. Tentu saja orang yang mencaci maki
dan melecehkan Allah, ayat-ayat-Nya, rasul-Nya atau ajaran agama-Nya lebih
jelas lagi kekafirannya.
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu
Syaikh berkata, “Makna ayat ini adalah sesuai zhahirnya. Yaitu, jika seseorang
mendengarkan ayat-ayat Allah dikufuri dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang
kafir), lalu ia duduk-duduk bersama orang-orang kafir yang mengolok-olok
tersebut padahal ia tidak dipaksa untuk duduk mendengarkan (melalui siksaan
yang berat) dan ia pun tidak melakukan pengingkaran serta tidak beranjak
meninggalkan mereka sampai mereka membicarakan urusan lainnya; niscaya ia telah
kafir seperti orang-orang kafir tersebut. Meskipun ia tidak melakukan seperti
perbuatan mereka, karena sikapnya (duduk, diam dan mendengarkan) tersebut
mengandung makna ridha dengan kekafiran, sementara ridha dengan kekafiran
merupakan sebuah kekafiran.
Jika ia mengklaim bahwa ia
membencinya dengan hatinya, niscaya klaim tersebut tidak bisa diterima, karena
penilaian didasarkan kepada aspek lahiriah dirinya. Sementara ia telah
menampakkan kekafiran, sehingga ia pun menjadi orang kafir.” (Majmu’atut
Tauhid, hlm. 48)
Imam Al-Qurthubi berkata:
“Barangsiapa tidak menjauhi mereka, berarti ia rela dengan perbuatan mereka.
Sementara rela dengan kekafiran merupakan sebuah kekafiran. Maka barangsiapa
duduk dalams ebuah majlis kemaksiatan dan ia tidak mengingkari perbuatan
mereka, niscaya dosanya sama dengan dosa mereka. Jika ia tidak mampu
mengingkari mereka, maka ia selayaknya beranjak pergi agar tidak termasuk dalam
golongan yang terkena ayat ini.” (Al-Jami’ fi Ahkamil Qur’an, 5/418)
Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami
Asy-Syafi’i dalam kitabnya, Al-I’lam bi-Qawathi’il Islam pada bahasan kekufuran
yang disepakati oleh para ulama, mengutip dari kitab para ulama madzhab Hanafi
yang menyebutkan: “Barangsiapa mengucapkan ucapan kekafiran, maka ia telah
kafir. Setiap orang yang menganggap baik ucapa kekafiran tersebut atau rela
dengannya juga telah kafir.”
Ibnu Hajar Al-Haitsami Asy-Syafi’i
juga mengutip dari kitab Al-Bahr bahwa seseorang yang secara sukarela
mengucapkan ucapan kekafiran sementara hatinya masih meyakini keimanan, maka
status dirinya adalah ia telah kafir dan di sisi Allah ia bukanlah orang yang
beriman. Demikian pula disebutkan dalam Fatawa Qadhi Khan, Al-Fatawa
Al-Hindiyah dan Jami’ul Fushulain.” (Ikfarul Mulhidin fi Dharuriyatid Dien,
hlm. 59)
Wallahu A'lam
Post a Comment