Gambaran Peristiwa Hari Kiamat dalam Islam, Kajian al-Quran dan Sunnah Nabi SAW

Gambaran Peristiwa Hari Kiamat dalam Islam, Kajian al-Quran dan Sunnah Nabi SAW

Ada dua hal pokok berkaitan dengan keimanan yang mengambil tempat tidak sedikit dalam ayat-ayat Al-Quran. Pertama adalah uraian serta pembuktian tentang keesaan Allah swt dan kedua adalah uraian dan pembuktian tentang hari akhir.
Al-Quran dan hadis Nabi saw tidak jarang menyebut kedua hal itu saja untuk mewakili rukun-rukun iman lainnya.Demikian terlihat bahwa keimanan kepada Allah berkaitan erat dengan keimanan kepada hari kemudian. Memang keimanan kepada Allah tidak sempurna kecuali dengan keimanan kepada hari akhir.
Hal ini disebabkan keimanan kepada Allah menuntut amal perbuatan, sedangkan amal perbuatan baru sempurna motivasinya dengan keyakinan tentang adanya hari kemudian. Karena kesempurnaan ganjaran dan balasannya hanya ditemukan di hari kemudian nanti.
Istilah kiamat menempati posisi penting dalam al-Qur’an. Hal ini terlihat dari pemberian nama-nama surat yang jika dibandingkan dengan konteks-konteks lainnya, hanya konteks Kiamat saja yang disebutkan dalam sepuluh surat, yaitu: al-Waqi’ah, al-Haqah, al-Qiyamah, al-Naba’ (berita besar), al-Takwir (menggulung), al-Infithar (terbelah), al-Ghasyiah (peristiwa yang dahsyat), al-Zilzalah (kegoncangan), dan al-Qari’ah.
Di samping surat-surat ini, ada beberapa surat ang tidak secara langsung bermakna Hari Kiamat, tetapi sebagian besar isinya mengenai Hari Kiamat, seperti surat Yasin.[1]
Persoalan Kiamat juga tidak terlepas dari nabi Muhammad saw yang turut menggambarkannya melalui hadis-hadis futuristik yang bagaimanapun perlu disikapi dengan bijaksana.
Hadis-hadis yang begitu populer di kalangan umat Islam belakangan ini tampaknya kurang begitu populer di kalangan sahabat Nabi saw. Begitu penting dan dahsyatnya informasi yang terkandung di dalamnya, hanya segelintir saja sahabat yang meriwayatkan hadis-hadis tersebut, padahal seharusnya informasi penting semacam ini diketahui para sahabat secara merata, dengan indikasi mutawatir. Karena, meskipun di kalangan para sahabat hadis yang mengandung informasi “ramalan” itu tidak mutawatir, tetapi pada generasi berikutnya diriwayatkan secara mutawatir.
Terlepas dari tawatur tidaknya riwayat tersebut, terdapat sanad shahih yang membawa informasi tersebut, sehingga cukup alasan mempercayai hadis-hadis yang sulit dijangkai akal itu.[2]
Begitu pula dengan hadis yang menggambarkan Hari Kiamat, dengan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan hadis-hadis futuristik yang lain  tentunya menuntut kita untuk menentukan sikap, apakah masih perlu diperdebatkan? Atau cukup dengan sikap tawaquf. Semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan bagi siapapun yang membacanya.

Hadis tentang gambaran hari kiamat

Karena banyaknya hadis yang memberikan informasi mengenai gambaran Hari Kiamat, penulis membatasinya pada hadis yang melukiskan kondisi manusia pada saat itu dalam keadaan berkeringat, bahkan ditegaskan air keringat yang keluar mampu menenggelamkan mereka sampai batas telinga. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya: [3]
حَدَّثَنِي عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَعْرَقُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَذْهَبَ عَرَقُهُمْ فِي الْأَرْضِ سَبْعِينَ ذِرَاعًا وَيُلْجِمُهُمْ حَتَّى يَبْلُغَ آذَانَهُمْ (رواه البخاري)
Artinya: Rasulullah saw pernah bersabda: “Pada hari kiamat manusia akan berkeringat sampai-sampai keringat mereka mengalir sebanyak tujuh puluh hasta, dan menenggelamkan mereka hingga mencapai telinga mereka.” (H.R. al-Bukhari)
Setelah dilakukan proses takhrij berkenaan dengan hadis tadi, dapat kita jumpai bahwa ternyata ada hadis lain yang bernada sama dengan hadis di atas. Hadis-hadis tersebut dapat dilacak didalam kitab:
H.R. Muslim, Shahih Muslim, no. 5107.[4]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ ثَوْرٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِينَ بَاعًا وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ أَوْ إِلَى آذَانِهِمْ يَشُكُّ ثَوْرٌ أَيَّهُمَا قَالَ
H.R. Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, no. 9058.[5]
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ عَنْ ثَوْرٍ عَنْ أَبِي الْغَيْثِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْعَرَقَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيَذْهَبُ فِي الْأَرْضِ سَبْعِينَ بَاعًا وَإِنَّهُ لَيَبْلُغُ إِلَى أَفْوَاهِ النَّاسِ أَوْ إِلَى آنَافِهِمْ شَكَّ ثَوْرٌ بِأَيِّهِمَا قَالَ
Dari penelusuran hadis melalui proses takhrij dapat diketahui bahwa hadis tersebut merupakan hadis ahad gharib karena hanya diriwayatkan oleh Ab Hurairah saja, namun demikian, ternyata hadis ini juga digambarkan dengan redaksi lain yang kesemuanya mendeskripsikan kejadian yang sama, di antaranya:
2. H.R. al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, no. 2345.[7]
حَدَّثَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ أَخْبَرَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ حَدَّثَنِي سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنَا الْمِقْدَادُ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتْ الشَّمْسُ مِنْ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُونَ قِيدَ مِيلٍ أَوْ اثْنَيْنِ قَالَ سُلَيْمٌ لَا أَدْرِي أَيَّ الْمِيلَيْنِ عَنَى أَمَسَافَةُ الْأَرْضِ أَمْ الْمِيلُ الَّذِي تُكْتَحَلُ بِهِ الْعَيْنُ قَالَ فَتَصْهَرُهُمْ الشَّمْسُ فَيَكُونُونَ فِي الْعَرَقِ بِقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ فَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى عَقِبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى حِقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْجَامًا فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُشِيرُ بِيَدِهِ إِلَى فِيهِ أَيْ يُلْجِمُهُ إِلْجَامًا قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَابْنِ عُمَرَ
3. H.R. Ahmad, Musnad Ahmad bin Hanbal, no. 22696.[8]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ حَدَّثَنِي سُلَيْمُ بْنُ عَامِرٍ حَدَّثَنِي الْمِقْدَادُ صَاحِبُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ أُدْنِيَتْ الشَّمْسُ مِنْ الْعِبَادِ حَتَّى تَكُونَ قِيدَ مِيلٍ أَوْ مِيلَيْنِ قَالَ فَتَصْهَرُهُمْ الشَّمْسُ فَيَكُونُونَ فِي الْعَرَقِ كَقَدْرِ أَعْمَالِهِمْ مِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى عَقِبَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى رُكْبَتِهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يَأْخُذُهُ إِلَى حَقْوَيْهِ وَمِنْهُمْ مَنْ يُلْجِمُهُ إِلْجَامًا

Gambaran peristiwa Hari kiamat dalam Islam

Secara leksikal, kiamat (qiyamah) berarti bangkit. Dinamakan demikian karena memang pada saat itu manusia akan dibangkitkan kembali dari kuburnya untuk kemudian menghadap Sang Maha Kuasa, Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan, Allah swt.[9]
Lebih spesifik lagi, al-Qur’an menggambarkan kedahsyatannya dengan menyebutkan bahwa Hari Kiamat merupakan “Hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.” (Q.S. al-Infithar: 19).
Di dalam al-Qur’an, banyak ayat yang menggambarkan betapa hebat dan dahsyatnya peristiwa Kiamat yang secara umum melukiskan kehancuran seluruh kosmos secara total, bukan kehancuran pada bagian tertentu saja.
Peristiwa Kiamat, berdasarkan al-Qur’an, dimulai dengan peniupan sangkakala yang pertama. Peniupan ini mengakibatkan matinya semua makhluk -kecuali bagi yang dikehendaki oleh Allah- dan hancurnya alam semesta secara keseluruhan.
Al-Ghazali, dalam hal ini, menganggap bahwa yang dikehendaki oleh Allah untuk tetap hidup pada saat itu adalah malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan Izrail. Ada jarak waktu antara peniupan sangkakala yang pertama dan kedua, al-Ghazali menyatakan bahwa jeda antara keduanya adalah selama 40 trahun.
Kemudian setelah terjadi kehancuran total malaikat Israfil meniupkan sangkakala yang kedua untuk membangkitkan manusia, Allah swt akan memerintahkan malaikat Izrail untuk mencabut nyawa secara berturut-turut: malaikat Jibril, Mikail, Israfil, dan dirinya sendiri (Izrail).
Pada saat manusia menunggu terjadinys Putusan Pengadilan, ketika itulah semua makhluk benar-benar menyadari kelengahannya selama di dunia, karena saat itu merupakan hari ketika manusia mempertanggungjawabkan amal yang telah diperbuat selama di dunia.[10] Dan semua itu akan mendapatkan balasan yang setimpal.
Sebagaimana difirmankan Allah: Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya.dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Q.S. al-Zilzalah: 7-8)

Penjelasan Lengkap Hadits tentang Hari Kiamat

Ibnu Hajar dalam karyanya Fath al-Bari menyatakan bahwa selain memiliki syahid yang memiliki redaksi serupa, ternyata hadis tersebut juga memiliki variasi redaksi yang beragam. Dan ketiak menghimpun semua itu, beliau menyimpulkan bahwa term al-nas di sana memberikan penegasan hanya kepada orang kafir saja.
Di dalam kitabnya tersebut, beliau secara terang-terangan mengutip hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi yang menyatakan bahwa orang yang akan tenggelam dalam keringatnya sendiri adalah orang kafir, beliau menambahkan bahwa hari itu (Kiamat) akan terasa sangat berat sampai-sampai orang kafir tenggelam dalam keringatnya sendiri, sedangkan orang-orang mukmin duduk di atas kursi yang terbuat dari emas dan mereka dinaungi oleh amal yang telah diperbuat padahal saat itu matahari berada di atas kepala manusia. Namun beliau memberikan catatan bahwa sebenarnya kondisi mereka nanti tidaklah sama, masing-masing berbeda sesuai dengan amal perbuatannya.
Yang secara jelas disebutkan dalam hadis lain yang menggambarkan bahwa setiap orang akan mendapatkan perlakuan sesuai dengan amalnya. Adapun redaksinya diungkapkan dengan menyebutkan perbedaan batas kedalaman setiap orang ketika keringat terus mengalir, dan hal tersebut dapat dijadikan ukuran akan amal seseorang.
Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata bahwa secara tersurat hadis tersebut memang diperuntukkan bagi semua manusia tanpa terkecuali, akan tetapi ternyata ada hadis-hadis lain yang menunjukkan adanya pengkhususan terhadap sebagian besar orang saja.
Sedangkan dzira’ dapat dipahami seperti pada umumnya, namun ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah ukuran dzira’ malaikat, dan jika memang demikian maka tidak dapat dibayangkan betapa besarnya ketakutan pada hari tersebut, hari ketika api mengelilingi tanah, matahari mendekat kira-kira satu mil, dan hari di mana ketakutan tidak dapat disembunyikan lagi sehingga dapat dibayangkan betapa panasnya pada saat itu sampai keringatpun bercucuran hingga mencapai 70 hasta, padahal setiap orang hanya memiliki ruang sebesar telapak kakinya saja.
Jika memang setiap orang mendapatkan perlakuan berbeda, lantas bagaimana dengan gambaran di atas beserta keaneka ragaman orang yang berada di sana? Beliau menegaskan bahwa ini memang merupakan perkara yang tidak dapat dicerna akal dengan mudah dan hanya menuntut pengimanan.[11]
Dengan jawaban lain, Ibnu al-Malik menyatakan bahwa bolen jadi Allah mengatur ketinggian tempat berpijak setiap orang, atau kalau pun tidak bisa saja Allah swt menahan keringat manusia sesuai dengan amalnya agar tidak mengenai yang lain sebagaimana Allah menahan laju ombak ketika nabi Musa menyebrangi lautan.
Pendapat ini juga diamini oleh al-Qariy dengan pernyataannya bahwa dua orang yang dikubur berdampingan, yang satu mendapatkan adzab, sedangkan yang lainnya mendapatkan nikmat maka tidak satu pun dari mereka merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.[12]
Hal semacam ini dapat diterima mengingat peristiwa tersebut merupakan bagian dari hal-hal gaib yajng juga wajib diimani, sehingga barang siapa yang memilih untuk bertawaqquf ketika dihadapkan dengan hadis ini maka sebenarnya ia telah menyesali perbuatannya dan merasa rendah diri di hadapan-Nya. karena di sisi lain berita semacam ini juga berfungsi untuk memperingatkan manusia akan pastinya Hari Kiamat.[13]

Syafa’at pada Hari Kiamat

Al-qur’an menginformasikan bahwa pada saat terjadinya Pengadilan, tidak seorang pun di antara manusia yang dapat mengelak dan menyembunyikan sesuatu dari pemeriksaan Allah swt. Mulut manusia ditutup, dan yang menjadi saksi atas perbuatan mereka adalah anggota badan mereka sendiri.[14]
Al-Ghazali meyakini bahwa Allah dapat saja memalingkan seseorang yang akan meninggal dunia yang semula adalah orang mukmin menjadi orang yang sesat, demikian pula sebaliknya, Allah dapat pula memalingkan manusia yang semula sesat menjadi mukmin. Jika Allah menghendaki agar hambanya mendapatkan petunjuk (hidayah)-Nya dan agar semakin kokoh imannya, maka akan datang suatu rahmat dari sisi-Nya.
Syafaat tersebut bagi al-Ghazali, akan dikabulkan oleh Allah dan para nabi, para ulama, dan orang-orang saleh. Bahkan setiap orang yang berperilaku baik dapat memberikan syafaat kepada istri, kerabat, dan teman-temannya.
Di sisi lain, Fazlur Rahman mengakui bahwa Hari Kebangkitan dan Hari Perhitungan menduduki tema sentral dalam dalam takdir Tuhan atas manusia, dan pada saat yang sama ia jugamengatakan bahwa nasib kehidupan seseorang di akhirat sangat bergantung pada perbuatannya di dunia dalam rentang masa kelahiran dan kematian.
Implikasinya, manusia sendirilah yang akan menentukan perjalanannya kelak di Hari Kebangkitan sekalipun sesungguhnya sudah berada dalam takdir dan pengetahuan Tuhan. Karena sesungguhnya manusialah yang merupakan pencipta nasibnya sendiri baik di masa kini maupun masa datang, lanjut Rahman.
Sehingga, dari sinilah Rahman menolak gagasan syafaat serta pertaubatan ketika sekarat karena pada saat itutelah tertutup baginya untuk beramal saleh, berbeda dengan al-Ghazali yang justru menegaskan hal sebaliknya.
Berangkat dari firman Allah swt yang berbunyi: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi syafa’at, dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang zalim. (Q.S. al-Baqarah: 254)
Rahman menyatakan bahwa ayat ini menunjukan adanya kesesuaian bahwa rahmat Allah memang tidak terbatas. Akan tetapi ternyata dalam beberapa hadis disebutkan bahwa syafaat para nabi kepada kaumnya yang berdosa, terutama syafaat nabi Muhammad saw, dapat diberikan.
Ketidak setujuan Rahman dapat dimaklumi, mengingat beliau menganggap tidak ada satu pun yang dapat menolong manusia di dalam ketidak berdayaan dan kesendiriannya di Hari Kiamat nanti dan adanya anggapan bahwa keyakinan terhadap hadis syafaat justru malah akan mengendurkan keketatan niai moral dengan munculnya sifat tasahhul.[15]
Akan tetapi seharusnya Rahman dapat memperlakukan hadis-hadis tersebut secara proporsional tidak mengesampingkan kenyataan bahwa hadis-hadis tersebut juga patut dipertimbangkan sebagai hujjah penggambaran luasnya rahmat Allah swt.
Dari pemaparan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang pantas digaris bawahi;
Pertama, peristiwa datangnya Hari Kiamat dengan jelas telah dipastikan di dalam al-Qur’an dan digambarkan lebih lanjut melalui hadis-hadis Nabi saw;
Kedua, apresiasi yang diberikan oleh para ulama berkenaan dengan hadis-hadis futuristik bukanlah sebuah kemutlakan yang harus diikuti, namun paling tidak ada secercah harapan yang dapat meningkatkan keimanan kita;
Ketiga, kesulitan dan kesusahan yang tergambar dari hadis-hadis tersebut merupakan gambaran yang lebih mudah dicerna oleh akal, pun demikian secara substansi sama sekali tidak mengurangi bukti akan Kemaha Kuasaan Allah swt atas segala sesuatu -syafaat merupakan salahnya- dan pembalasan dilakukan sesuai dengan amal perbuatan masing-masing;
Keempat, mungkin lebih bijak jika tawaquf merupakan alternatif yang patut dipilih, meskipun kita sadari bahwa tema-tema futuristik ternyata juga mampu memberikan rangsangan hebat terhadap akal, karena dengan demikian kita mengekui kelemahan dan kekurangan kita. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar