Ilmu I’rab Al-Qur’an
Ulumul Qur'an
Ilmu I’rab Al-Qur’an
A. Pengertian
Kata i’rab berasa dari bahasa arab yang mempunyai arti perubahan sedangkan menurut professor doktor sarjana ahli nahwu yaitu perubahan yang terjadi pada ahir kata yang di sebabkan oleh perbedaan amil yang masuk, baik berupa lafadz atau taqdirnya. Sedangkan bina’ itu merupakan kebalikan dari i’rab yang masing-masing keduanya memiliki karekteristik yang sangat berbeda-beda.
Kata i’rab berasa dari bahasa arab yang mempunyai arti perubahan sedangkan menurut professor doktor sarjana ahli nahwu yaitu perubahan yang terjadi pada ahir kata yang di sebabkan oleh perbedaan amil yang masuk, baik berupa lafadz atau taqdirnya. Sedangkan bina’ itu merupakan kebalikan dari i’rab yang masing-masing keduanya memiliki karekteristik yang sangat berbeda-beda.
Sedangkan i’rab menurut ulama ahli nahwu yang sebagian di ungkapkan dalam kitab al-jurumiyah yaitu :
الإعراب هو تغيير اواخرالكلم لاختلاف العوامل الداخلة عليها لفظا او تقديرا
“i’rab adalah perubahan beberapa ahirnya kalimat yang di sebabkan oleh berbeda-bedanya amil yang masuk pada kalimat tersebut baik secara lafadz atau kira-kira.”
الإعراب هو تغيير اواخرالكلم لاختلاف العوامل الداخلة عليها لفظا او تقديرا
“i’rab adalah perubahan beberapa ahirnya kalimat yang di sebabkan oleh berbeda-bedanya amil yang masuk pada kalimat tersebut baik secara lafadz atau kira-kira.”
B. I’rab Perspektif Metodologis Praktis
Secara operasional, ada beberapa langkah yang harus di perhatikan di dalam meng i’rab, di antaranya: pertama, yang merupakan langkah awal dan harus di lalui adalah memahami makna ayat yang hendak di i’rab, apakah lafadz tersebut itu mufrad atapun murokab (sendiri atau tersusun). Oleh karena itu, tidak di perbolehkan meng i’rab fawatihus suwar, jika hal itu di masukkan ke dalam teks-teks yang mutasyabih, yaitu teks-teks yang maknanya hanya di ketahui oleh Allah semata.
Secara operasional, ada beberapa langkah yang harus di perhatikan di dalam meng i’rab, di antaranya: pertama, yang merupakan langkah awal dan harus di lalui adalah memahami makna ayat yang hendak di i’rab, apakah lafadz tersebut itu mufrad atapun murokab (sendiri atau tersusun). Oleh karena itu, tidak di perbolehkan meng i’rab fawatihus suwar, jika hal itu di masukkan ke dalam teks-teks yang mutasyabih, yaitu teks-teks yang maknanya hanya di ketahui oleh Allah semata.
Dalam meng i’rab di samping harus memperhatikan segi-segi lafadz secara lahiriyah, juga tidak di perbolehkan mengesampingkan nilai aspek-aspek maknawiyah. Kesalahan dalam meng i’rab itu kebanyakan karena terabaikannya aspek-aspek maknawi, dan hanya memperhatikan aspek lahn semata.
Menurut Ibn Hisyam bahwa banyaknya ulama generasi awal yang tergelincir di dalam kekeliruan semata di sebabkan karena ketika meng i’rab al-Qur’an yang di perhatikan hanya aspek-aspek dhahirnya lafadz dan tidak memperhatikan sama sekali aspek maknanya. seperti yang terjadi pada QS. Hud: 87:
“mereka berkata: "Hai Syu'aib, Apakah sembahyangmu menyuruh kamu agar Kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak Kami atau melarang Kami memperbuat apa yang Kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat Penyantun lagi berakal."
Mereka meng ‘athaf kan lafadz an naf’ala kepada an natruka merupakan sesuatu kekeliruan (al-bathil), sebab agama tidak memerihtahkan kepada mereka untuk memperlakukan harta dengan sesuka hati mereka. Yang bener adalah lafadz an naf’ala di ‘athaf kan kepada lafadz ma, yang menjadi objek (ma’mul) bagi lafadz natruka. Dengan demikian,maksutnya adlah bahwa agama memerintahkan untuk tidak memperlakukan harta dengan sesuka hati.kekeliruan seperti itu di sebabkan lafadz an dan fi’il terulang dua kali, dan dan antara keduanya terdapat huruf ‘athaf .
Kedua, memperhatikan ketepatan gramatika bahasa arab. Kadang-kadang seseorang yang meng i’rab hanya memperhatikan kelayakan (wajhan sholihan), dan tidak memperhatikan ketepatan aspek gramatikalnya,dimana yang demikian bisa sangat menyebabkan kesalahan.
Seperti dalam QS.al-Najm/53:51: wathamuda fama abqho (dan kaum thamud, maka tidak ada seorang pun yang di tinggal kannya hidup.lafadz thamuda pada ayat tersebut di anggap sebagai maf’ul muqaddam (objek yang di dahulukan). hal yang demikian merupakan suatu kekeliruan yang sangat fatal, sebab perkara yang jatuh setelah ma nafiah, itu tidak beramal pada kalimat sebelumnya.yang bener adalah bahwa lafadz thamuda di ‘ataf kan kepada lafadz ‘adan yang terdapat pada QS.an-Najm/53:50: وأنه أهلك عادا الأولى , sehingga ayat tersebut bila di tulis kembali berbunya sebagai berikut: وأهلك ثمودا .
Contoh senada seperti di atas dapat di jumpai dalam QS.alAhzab/33:61: ملعونين أينما ثقفوا أخذوا وقتلواتقتيلا (dalam keadaan terla’nat,di mana saja mereka jumpai, mereka di tangkap dan di bunuh dengan sehebat-hebatnya.(QS.al-Ahzab/33:61). Lafadz mal’unina pada ayat di atas, jika di jadikan sebagai hal dari lafadz thuqifu dan lafadz ukhidzu, merupakan sesuatu kekeliruan.yang benar adalah bahwa lafadz tersebut di baca ashab karena celaan (al-dzam).
Ketiga, menghindari dari perkara-perkara yang terlalu jauh dari aturan yang baku (konvensional), aspek-aspek yang lemah, dan bahasa-bahasa yang menyimpang (al-syadzah), dan mengambil suatu yang dekat dengan aturan konvensional, kuat lagi fasih.manakala yang tampak hanya aspek yang jauh, maka yang demikian sebagai sesuatu yang darurat dan hendaklah di tinggalkan. Dan jka di paksakan, maka akan mendapati banyak kesulitan. Namun jika hal itu di maksudkan untuk melatih siswa,maka sebaiknya tidak menggunakan lafadz-lafadz yang ada dalam al-Qur’an.sebab aplikasi i’rab pada sl-Qur’an harus di dasarkan pada kenyakinan bahwa yang di lakukanya sebagai suatu kebenaran.se andainya di dalamnya tidak terdapat aturan yang baku, maka hendaklah di kemukakan aspek-aspek yang paling memunkinkan dan jangan sampai terjadi kesalahan. Oleh karenanya, suatu kekeliruan jika sampai ada orang yang mengatakan bahwa berhenti (waqof) pada lafadz junaha atau ‘alaihi sebagai ighra’,sebab igra’ al ghoib, meng igra’ orang ketiga adalah dhaif. Adapun ayat yang di maksud tersebut adalah QS. Al-Baqarah:158:
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.”
Sesuatu kekeliruan pula, jika ada orang yang mengatakan bahwa lafadz ahsan dalam QS.al-An’am/6:154 di baca dengan rafa’, ahsanu, lalu huruf wawu di buang dan keberadaanya di gantikan dengan dhommah, sebab ayat tersebut dalam kategori sya’ir. Yang bener adalah bahwa lafadz ahsan berkedudukan sebagai khabar dari mubtada’ yang dibuang, yang takdirnya adalah huwa ahsan. Adapun ayat yang di maksud tersebut adalah: QS. Al-An’am:154
“kemudian Kami telah memberikan Al kitab (Taurat) kepada Musa untuk menyempurnakan (nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, dan untuk menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat, agar mereka beriman (bahwa) mereka akan menemui Tuhan mereka.”
Demikian juga firman allah pada ayat QS. Al-Ahzab: 33 sebagai berikut:
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
“dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”
Suatu kekeliruan juga bila lafadz ahl al-bait pada ayat di baca fathah (manshub) sebab memiliki kekhususan karena berada setelah kata ganti orang kedua (dhamir al-mutakallim). Yang bener adalah lafadz tersebut sebagai munada’.
Keempat, hendaklah memperhatikan semua yang di kandung oleh suatu lafadz dari beberapa aspek yang tampak (dhahir). Sebagai contoh firmannya Allah: ربك الأعلى (sucikanlah tuhanmu yang maha tinggi” (QS. Al-A’la’/87:1). Lafadz al-a’la pada ayat di atas, di lihat dari kedudukannya memiliki dua kemungkinan, yaitu sebagai sifat dari lafadz rabb, atau sebagai sifat dari lafadz ism.
Post a Comment