Kehidupan Para Nabi di Alam Kubur
Alam Kubur
Kehidupan Para Nabi di Alam Kubur
Satu diantara aqidah (keyakinan) yang harus terpatri dalam jiwa seorang muslim bahwa para nabi hidup di alam kuburnya. Mereka senantiasa diberi keutamaan oleh Allah -Azza wa Jalla-. Di alam kubur, mereka menegakkan sholat. Walaupun aneh kedengaran, tapi itulah yang disampaikan oleh Nabi kita yang mulia, Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-. Masuk akal atau tidak, wajib kita imani!!! Demikianlah wahyu yang datang kepada beliau. Wahyu menjelaskan kepada beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- bahwa para nabi dan rasul diberikan kehidupan khusus di alam kubur, sebagai pemuliaan bagi mereka dari Allah -Azza wa Jalla-.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
الأنبياء – صلوات الله عليهم – أحياء في قبورهم يصلون
الأنبياء – صلوات الله عليهم – أحياء في قبورهم يصلون
“Para nabi adalah –sholawatullahi alaihim- di kuburan mereka, sedang mereka melaksanakan sholat”. [HR. Abu Ya’laa dalam Al-Musnad (no. 3425)Al-Bazzar dalam Al-Bahr Az-Zakhkhor (no. 6391 & 6888), Tamam Ar-Roziy dalam Al-Fawa’id (no. 58), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqo (13/326), Ad-Dailmaiy dalam Musnad Al-Firdaus (no. 403), Ibnu Adi dalam Al-Kamil (2/327) dan Al-Baihaqiy dalam Hayah Al-Anbiya’ (hal. 70 & 72)][1]
Hadits lain yang menjelaskan perkara ini, kisah tentang isra’-nya Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- ke Baitul Maqdis, Palestina. Ketika itu Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melihat Nabi Musa sedang sholat di kuburnya.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الأحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ
مَرَرْتُ عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الأحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ
“Aku melewati Nabi Musa pada malam aku di-isra’-kan di sisi tumpukan kerikil merah, sedang beliau berdiri melaksanakan sholat di dalam kuburnya”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 2375), An-Nasa’iy dalam Sunan-nya (no. 1631-1632), Ahmad dalam Al-Musnad (3/120)]
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
وَقَدْ رَأَيْتُنِى فِى جَمَاعَةٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّى… وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – قَائِمٌ يُصَلِّى… وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – قَائِمٌ يُصَلِّى
وَقَدْ رَأَيْتُنِى فِى جَمَاعَةٍ مِنَ الأَنْبِيَاءِ فَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّى… وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – قَائِمٌ يُصَلِّى… وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – قَائِمٌ يُصَلِّى
“Sungguh aku telah melihat diriku berada dalam kumpulan para nabi. Tiba-tiba ada Nabi Musa yang berdiri sedang sholat…Tiba-tiba ada Nabi Isa –alaihis salam- berdiri sedang sholat… Tiba-tiba ada Nabi Ibrahim –alaihis salam- berdiri sedang sholat “. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 172)]
Inilah sejumlah hadits yang menceritakan kepada kita bahwa para nabi dan rasul melaksanakan sholat di dalam kubur mereka, sebab mereka diberi kehidupan khusus di Alam Barzakh (alam kubur).
Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabiy -rahimahullah- berkata,
“Para nabi adalah hidup di sisi Robb mereka, seperti kehidupan para syuhada’ (orang-orang yang mati syahid) di sisi Robb mereka. Kehidupan mereka tidaklah sama dengan kehidupan orang-orang di dunia dan tidak pula sama dengan kehidupan orang-orang nanti di akhirat. Bahkan (kehidupan mereka) adalah warna lain sebagaimana telah datang (dalam sebagian hadits) bahwa kehidupan para syuhada’, Allah jadikan roh mereka dalam rongga tubuh burung-burung hijau yang bebas di dalam surga dan ia menuju kepada lentera-lentera yang tergantung di bawah Arsy. Jadi, mereka hidup di sisi Robb mereka menurut tinjauan ini sebagaimana yang Allah -Subhanahu wa Ta’ala- kabarkan, sedang jasad mereka (tetap) di kuburan mereka. Perkara-perkara ini lebih besar dibanding akal pikiran manusia, sedang beriman kepada perkara-perkara ini adalah wajib”. [Lihat Tarikh Al-Islam (1/269-270)]
Inilah keimanan yang harus diyakini oleh seorang muslim, apalagi ia adalah Ahlus Sunnah. Sebuah keyakinan yang telah diterangkan dalam Kitabullah.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman dalam menjelaskan perihal kehidupan para syuhada’ di alam kubur,
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [آل عمران/169]
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [آل عمران/169]
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (QS. Ali Imraan : 169)
Lantas bagaimanakah kehidupan mereka? Kehidupan mereka tidaklah sama dengan kehidupan kita yang masih hidup!! Mereka hidup di Alam Barzakh, alam yang lain. Disana mereka mendapat kenikmatan-kenikmatan di sisi Allah.
Diantara kenikmatan itu, dijelaskan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits yang shohih. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda saat menafsirkan ayat di atas,
أَرْوَاحُهُمْ فِى جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِى إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمُ اطِّلاَعَةً فَقَالَ هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا قَالُوا أَىَّ شَىْءٍ نَشْتَهِى وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِى أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِى سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى. فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا
أَرْوَاحُهُمْ فِى جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِى إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمُ اطِّلاَعَةً فَقَالَ هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا قَالُوا أَىَّ شَىْءٍ نَشْتَهِى وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِى أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِى سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى. فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا
“Roh mereka (para syuhada’) berada dalam rongga burung-burung yang hijau. Burung-burung itu memiliki lentera-lentera yang tergantung di Arsy, sedang mereka (burung-burung) itu bebas di surga dimana pun mereka kehendaki. Kemudian mereka kembali ke lentera-lentera itu. Lalu Tuhan mereka melihat kepada mereka, seraya berfirman, “Apakah kalian menginginkan sesuatu?” Mereka berkata, “Apa lagi yang kami inginkan, sedang kami bebas di dalam surga, dimanapun kami kehendaki?” Kemudian Allah lakukan hal itu pada mereka sebanyak tiga kali. Tatkala mereka memandang bahwa mereka tak akan dilepaskan dari pertanyaan, maka mereka pun berkata, “Wahai Tuhan-ku, kami ingin agar Engkau mengembalikan roh kami ke jasad kami sehingga kami pun terbunuh lagi di jalan-Mu. Tatkala Allah melihat bahwa mereka tak punya hajat lain, maka mereka dibiarkan”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (no. 1887)]
Para pembaca yang budiman, hidupnya para nabi di alam kubur dengan kehidupan yang khusus, kehidupan yang tidak menyamai kehidupan dunia dan dan tidak pula kehidupan di saat manusia di akhirat yang berawal di Padang Mahsyar, lalu berakhir entah ke surga atau ke neraka, nau’udzu billahi min dzalik.
Jadi, kehidupan mereka bukanlah seperti perihal kehidupan kita di dunia. Sebagian orang salah dalam memahami hadits-hadits tentang kehidupan para nabi di alam kubur!! Mereka menyangka bahwa para nabi hidup di dalam kubur layaknya manusia yang masih hidup di dunia, sehingga mereka mengklaim bahwa para nabi dapat mendengar, melihat, mengabulkan doa, serta dapat keluar dari kubur menuju ke tempat-tempat yang mereka inginkan!!!
Subhanallah, semua ini adalah klaim batil yang tidak didasari oleh dalil dari Al-Kitab dan Sunnah Nabawi. Ia hanyalah pendapat lemah yang dibangun di atas sebuah asumsi yang salah, sebab pengucapnya telah mengucapkan sesuatu yang sifatnya ghaib, tanpa dalil sedikit pun!!
Ketika kaum Yahudi datang kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- untuk bertanya tentang roh, maka beliau terdiam dan tak langsung memberikan jawaban dan rincian tentang roh, karena ia adalah perkara ghaib, yang hanya diketahui oleh Penciptanya. Beliau terdiam sampai turunlah ayat di bawah ini.[2]
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً [الإسراء/85]
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيلاً [الإسراء/85]
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (QS. Al-Israa’ : 85)
Dengan asumsi salah tersebut, sebagian orang terjatuh dalam kesyirikan, sehingga mereka berbondong-bondong datang ke kubur nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan orang-orang sholih dengan sangkaan bahwa mereka dapat melihat, mendengar, membantu, mengabulkan permintaan, memberi syafaat layaknya orang yang masih hidup di dunia.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman dalam membantah asumsi batil itu,
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلا تَحْوِيلاً (56) أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا (57) [الإسراء/56-57]
قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلا تَحْوِيلاً (56) أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا (57) [الإسراء/56-57]
“Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab (siksa) Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Israa’ : 56-57)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rahimahullah- berkata usai membawakan ayat ini,
“Allah –Subhanahu- melarang dari berdoa kepada para malaikat dan nabi-nabi. Walaupun Allah mengabari kita bahwa para malaikat mendoakan kebaikan bagi kita dan memohonkan ampunan. Seiring dengan hal ini, tak boleh bagi kita meminta hal itu dari mereka (para malaikat).
Demikian pula para nabi dan orang sholih. Walaupun mereka (para nabi) hidup dalam kuburnya dan dianggap bahwa mereka mendoakan kebaikan bagi orang-orang yang masih hidup serta sekalipun ada atsar tentang hal itu, maka tak boleh bagi seorang pun untuk meminta dari mereka perkara itu. Tak ada seorang salaf yang pernah melakukan hal itu, karena itu merupakan jalan menuju kesyirikan (menyekutukan) mereka (bersama Allah) serta peribadatan kepada mereka dari selain Allah -Ta’ala-“. [Lihat Qo’idah Jalilah fi At-Tawassul wa Al-Wasilah (hal. 193)]
Ada yang pernah bertanya kepada Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin -rahimahullah- tentang adanya sebagian orang meminta syafaat dari Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam-, setelah wafatnya beliau dengan dalih bahwa para nabi hidup di dalam kubur dan bahwa Nabi Musa telah dilihat oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- dan bahwa kematian beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- bukanlah seperti kematian seluruh manusia. Nah, ini adalah syubhat yang harus dibantah!!
Syaikh Al-Utsaimin -rahimahullah- menjawab,
“Bantahan atas mereka ini gampang. Bantahan bagi mereka, bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mati, tanpa syak, berdasarkan firman Allah -Ta’ala-,
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ [الزمر:30]
إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ [الزمر:30]
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula)”. (QS. Az-Zumar : 30)
Juga berdasarkan firman Allah -Ta’ala-,
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ [آل عمران:144]
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ [آل عمران:144]
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul. Sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)?” (QS. Ali Imraan : 144)
Para sahabat telah sepakat bahwa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mati, dan mereka memandikannya, mengafani dan menguburkan beliau. Nah, apakah mungkin para sahabat sepakat untuk mengubur beliau dalam keadaan hidup-hidup?!! Subhanallah, ini tak mungkin dan orang gila pun tak melakukan hal ini. Kalau begitu, beliau telah mati, tanpa syak!!
Namun disana ada kehidupan lain, yaitu kehidupan barzakh yang ada bagi para syuhada’, sedang para nabi tentunya lebih utama dalam hal ini. Allah -Tabaroka wa Ta’ala- berfirman,
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [آل عمران:169]
وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ [آل عمران:169]
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki”. (QS. Ali Imraan : 169)
Kehidupan di sisi Allah -Azza wa Jalla- bukanlah kehidupan dunia.
فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ… [آل عمران:170]
فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ… [آل عمران:170]
“Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (QS. Ali Imraan : 170)
Inilah kehidupan alam Barzakh, ilmunya ada di sisi Allah. Kita tak mengetahui kaifiatnya. Karena ini, mayat tak butuh di dalamnya kepada udara, air, makanan dan lainnya.
Inilah jawaban bagi mereka yang menyatakan bahwa Rasul -Shallallahu alaihi wa sallam- hidup di dalam kuburnya.
Kita katakan, “Ya, memang beliau hidup, tapi bukanlah (kehidupan beliau di kubur) seperti kehidupan dunia, yang manusia di dalamnya mungkin untuk bekerja, taat, rukuk dan sujud dan seterusnya. Adapun Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melihat Nabi Musa, maka itu juga merupakan penglihatan yang tidak kita ketahui kaifiatnya. Beliau melihatnya sedang sholat di dalam kuburnya. Namun kita tak tak tahu kaifiat hal itu.
Kita sekarang ini biasa melihat dalam mimpi sebagian orang mati, sedang mereka melaksanakan sholat sunnah kepada Allah -Azza wa Jalla-. Terkadang anda melihat bapak dan saudaramu serta seorang diantara kerabatmu dalam mimpi, sedang sholat. Padahal ia telah mati.
Perkara ini adalah perkara ghaib tidak dihukumi seperti hukumnya orang-orang yang hidup”. [Lihat Jalasat wa Fatawa (8/52-53)-Syamilah] Syubhat yang dibantah oleh Syaikh Al-Utsaimin ini merupakan upaya dari sebagian kaum sesat dalam membenarkan kegiatan kemusyrikan mereka berupa istghotsah, dan berdoa kepada Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, orang-orang sholih dan lainnya.
Jauh hari sebelum Syaikh Al-Utsaimin membantah klaim dan syubhat ini, para ulama kita telah membantahnya. Diantaranya, Syaikh Abdul Lathif bin Abdir Rahman bin Hasan Alusy Syaikh -rahimahullah- saat beliau berkata,
“Inti dari klaim ini bahwa para nabi adalah hidup dan bahwa mereka lebih tinggi keadaannya dibanding para syuhada’ setelah mereka mati. Ini memang benar, tak ada keraguan di dalamnya, tak ada perselihan yang dapat diterima di dalamnya. Perkaranya lebih dalam dan tinggi dibandingkan semua itu.
Akan tetapi ini tidaklah menunjukkan tentang kebenaran klaim orang ini (yakni, yang terbantah) bahwa mereka (para nabi) dituju dalam doa, memohon pertolongan, dan memohon bantuan di kala susah. Karena, keutamaan mereka, kehidupan, kemuliaan, kenabian dan kerasulan mereka, tidaklah mengharuskan pengalihan hak Allah (yakni, ibadah) kepada mereka dan tak pula mendudukkan mereka seperti kedudukan Allah -Ta’ala- dalam tujuan dan doa, rasa takut, dan harap. Hal itu juga tidaklah mengharuskan pengalihan diri kepada mereka dengan sesuatu berupa cita-cita dan keinginan yang hanya ada di Tangan Allah. Dari-Nyalah pemberian, pembagian dan pencegahan serta pengaturan”. [Lihat Mishbah Azh-Zhulam (hal. 385-386)] Sebagai kesimpulan, kami akan nukilkan kepada anda ucapan mulia dari Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albaniy -rahimahullah-, saat beliau berkata dalam mengomentari hadits pertama dalam tulisan ini,
“Ketahuilah bahwa kehidupan yang ditetapkan oleh hadits ini bagi para nabi –alaihimush sholatu wassalam-, hanyalah kehidupan di alam barzakh, bukan kehidupan dunia sedikit pun. Karena itulah, wajib mengimani kehidupan ini, tanpa memberikannya berbagai perumpamaan, berusaha menjelaskan kaifiatnya dan menyamakannya dengan sesuatu yang diketahui di dalam kehidupan dunia.
Inilah sikap yang wajib di ambil oleh seorang mukmin dalam perkara ini, yaitu beriman kepada sesuatu yang datang dalam hadits ini, tanpa memberikan tambahan atasnya berupa qiyas (analogi) dan berbagai pemikiran sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian ahli bid’ah yang sebagian mereka diseret oleh perkara ini untuk mengklaim bahwa kehidupan beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam kuburnya adalah kehidupan hakiki. Ia (ahli bid’ah) ini pun berkata, “Beliau makan, minum dan menyetubuhi istrinya!!”
Padahal itu hanyalah kehidupan di alam barzakh, yang tak diketahui hakikatnya, kecuali oleh Allah -Subhanahu wa Ta’ala-“. [Lihat Ash-Shohihah (2/190)]
________________________________________ [1] Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (no. 621)
[2] Sikap ini anda dapat lihat dalam sebuah hadits riwayat Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (no. 4721).
Post a Comment