Mencari Simpati Menuai Caci




Mencari Simpati Menuai Caci


Mencari Simpati Menuai Caci
Adakalanya seseorang berdusta untuk menaikkan gengsinya di hadapan manusia. Atau ingin menarik simpati orang yang diajaknya bicara. Iapun berusaha memoles kata, menghiasi cengkerama dengan kisah yang hiperbola, dan membumbui cerita dengan data-data dusta tentang dirinya. Tentang aset yang dimilikinya, kepahlawanannya, atau aktifitas palsu yang membuat lawan bicara berdecak kagum terhadapnya.
Hanya orang yang cupet nalar dan berakal dangkal, yang ingin menarik simpati orang dengan jalan mengumbar dusta. Sungguh dia tak pernah belajar dari pengalaman. Bukankah masing-masing kita pernah merasa kecewa berat karena ditipu, merasa jengkel dan betapa merasa bodohnya kita saat kita terbuai oleh kata-kata manis yang menipu. Dan akhirnya kita memutuskan untuk tidak respek kepada si pembohong, dan memberikan stempel buruk terhadapnya. Maka jika kita pernah mengalami peristiwa semisal ini, bagaimana mungkin kita akan menjadikan dusta sebagai cara memperoleh simpati?
Sesaat, terkadang dusta memang bisa menaikkan pamor, menarik simpati pendengar bahkan boleh jadi lawan bicara lantas memutuskan untuk mengiyakan ajakannya. Namun, itu tak akan berlangsung lama. Seperti kata pepatah “sepandai-pandai menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga.” Dan jeda antara dusta dan waktu terbongkarnya, pembohong tak pernah merasakan lega dan tenang di hatinya. Rasa was-was dan bayang-bayang resiko yang ditimbulkan oleh kebohongannya selalu menghantui pikirannya. Dan iapun tahu, bahwa kelak akan terkuak juga, seperti menunggu bom waktu, yang ia tidak tahu kapan akan meledak dan meluluhlantakkan dirinya.
Yang sebenarnya, tidak ada kata yang lebih enak untuk didengar, lebih menenangkan hati bagi pembicara dan lebih mengundang simpati dari kejujuran. Dan tiada kata yang lebih menyakitkan, membuat hati was-was dan mendatangkan kebencian dari kedustaan. Maka benarlah yang disabdakan Nabi n,
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيْبَة
“Sesungguhnya kejujuran itu (membawa) ketenangan, dan kedustaan itu (menyebabkan) kebimbangan.” (HR Tirmidzi, beliau mengatakan “hadits hasan”)
Kejujuran tak akan berkurang kadar kebaikannya, meski kita berada di zaman yang dipenuhi oleh atmosfir kedustaan. Yang menganggap kedustaan sebagai kecerdikan, dan memandang kejujuran sebagai kampungan atau kepolosan. Alangkah indah ungkapan sahabat Umar bin Khathab, “Sungguh, aku direndahkan orang karena kejujuranku, itu lebih aku sukai daripada aku disanjung karena kedustaanku.”
Karena sanjungan semisal itu hanyalah semu dan hanya muncul dari orang-orang yang tidak tahu. Sementara yang pasti, dusta itu kotor dan keji. Ada riwayat yang disebutkan oleh Imam Tirmidzi bahwa, “Jika seorang hamba berdusta, maka malaikat akan menjauh darinya sejauh satu mil lantaran bau busuk yang keluar dari lisannya.” Tirmidzi menyatakan haditsnya hasan, hanya saja Syeikh al-Albani menyatakan sebagai hadits dha’if.

Tidak ada komentar