Sunnah ab’adh menurut madzhab Syafi’i adalah sunnah dalam sholat yang dapat ditutupi dengan sujud sahwi. Sunnah ab’adh tersebut adalah qunut dalam sholat subuh atau dalam sholat witir pada setengah bulan ramadhan yang akhir dan tasyahud awal.
Dinamakan dengan sunnah ab’adh (ab’adh secara bahasa maknanya adalah bagian – bagian) karena ketika diganti ataupun ditutupi dengan sujud sahwi, yang diganti tersebut menyerupai bagian dari rukun sholat secara hakiki. Adapun sunnah – sunnah sholat selain sunnah ab’adh dinamakan dengan sunnah haiat yang tidak ditutupi dengan sujud sahwi bila lupa tidak mengerjakannya dan tidak disyariatkan untuk menggantinya dengan sujud sahwi.
Perbedaan antara sunnah ab’adh dan sunnah haiat menurut madzhab Syafi’i adalah: 1. Bahwasanya sunnah ab’adh ditutupi dengan sujud sahwi sementara sunnah haiat tidak karena tidak adanya dalil mengenainya.
2. Bahwasanya sunnah ab’adh adalah sunnah yang berdiri sendiri dan tidak mengikuti yang lainnya. Hal ini berbeda dengan sunnah haiat. Sunnah haiat tidak berdiri sendiri, namun sunnah ini mengikuti rukun – rukun sholat. Seperti doa – doa dalam sujud, ruku’, duduk di antara dua sujud dsb yang mengikuti rukun sujud, ruku’, dst.
3. Tempat dilaksanakannya sunnah ab’adh adalah khusus untuk melaksanakan sunnah ab’adh tersebut dan tidak berada dalam tempat yang sama dengan rukun ataupun sunnah yang lainnya. Berbeda dengan sunnah haiat yang tidak memiliki tempat yang khusus namun dikerjakan pada rukun – rukun sholat sebagaimana poin dua di atas.
4. Sunnah ab’adh tidak diseru untuk dikerjakan di luar sholat kecuali sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat tasyahud awal. Hal ini berbeda dengan sunnah haiat, bacaan takbir, tasbih, dan dzikir – dzikir yang lainnya juga diseru untuk dikerjakan di luar sholat.
Menurut madzhab Syafi’i, makruh hukumnya meninggalkan sunnah ab’adh dengan sengaja meskipun demikian hal itu tidak membatalkan sholatnya. Disunnahkan untuk sujud sahwi ketika meninggalkan sunnah ab’adh tersebut sebagaimana meninggalkan sunnah tersebut karena lupa menurut pendapat yang kuat. Hal ini karena kekurangan karena meninggalkan sunnah ab’adh itu juga terdapat pada keduanya (meninggalkan sunnah ab’adh dengan sengaja dan karena lupa). Akan tetapi kekurangan karena meninggalkannya dengan sengaja lebih banyak, maka menutupinya dengan sujud sahwi lebih dibutuhkan. Pendapat yang marjuh (lemah) menurut para ulama’ mazhab Syafi’i adalah pendapat yang menyatakan bahwa bila meninggalkan sunnah ab’adh dengan sengaja maka tidak perlu sujud sahwi karena dia sengaja meninggalkan sunah itu pada dirinya. Berbeda dengan orang yang lupa, yang dia memiliki udzur. Sehingga layak jika dia disyariatkan untuk menutupinya (dengan sujud sahwi).
Sunnah ab’adh itu di antaranya adalah:
1. Tasyahud Awal. Sunnahnya tasyahud awal mengikuti hadits – hadits yang shahih antara lain:
Dari ‘Abdullah Ibnu Buhainah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata;
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ مِنْ اثْنَتَيْنِ مِنْ الظُّهْرِ لَمْ يَجْلِسْ بَيْنَهُمَا فَلَمَّا قَضَى صَلَاتَهُ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ بَعْدَ ذَلِكَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dari dua raka’at shalat Zhuhur dan tidak duduk diantaranya. Setelah Beliau menyelesaikan shalatnya, Beliau sujud dua kali lalu memberi salam setelah itu”. HR. Bukhari.
2. Qunut dalam sholat subuh dan pada sholat witir pada pertengahan terakhir bulan ramadhan.
Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau berkata: “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ pada raka’at kedua sholat subhh beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa dengan doa ini:
” اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنِّي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ ، إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، تَبَارَكَتْ وَتَعَالَيْتَ ” .
“ Ya Allah berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang pernah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berikanlah berkah terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau telah takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan hukum, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina. Mahasuci Engkau, Yang Mahatinggi.”
Dari Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada beberapa kalimat yang aku ucapkan ketika melakukan witir.. Ibnu Hawwas berkata; ketika melakukan qunut witir yaitu:
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
“Ya Allah berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang pernah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berikanlah berkah terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejelekan apa yang Engkau telah takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan hukum, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Mahasuci Engkau, wahai Rabb kami Yang Mahatinggi.” HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi. At-Tirmidzi berkata hadits ini hadits hasan shahih, kami tidak mengetahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut sholat witir yang lebih hasan daripada hadits ini.
Menurut riwayat Abu Dawud:
أَنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ أَمَّهُمْ يَعْنِي فِي رَمَضَانَ وَكَانَ يَقْنُتُ فِي النِّصْفِ الْآخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“bahwa Ubai bin Ka’b mengimami mereka pada bulan ramadhan dan dia qunut pada pertengahan terakhir bulan Ramadhan.”
Dalam hal ini, perbuatan sahabat adalah hujah apabila tidak ada yang mengingkarinya.
Wallahu ‘alam bi as-shawab.
Rujukan:
– al-Bugha, Dr. Musthafa Diib. At-Tadzhib fii Adillat Matan al-Ghayah wa at-Taqrib.
– Al-Mausu’ah al-Fiqh al-Kuwaitiyah.
Post a Comment