Jangan Mudah Menyebarkan Foto dan Video Korban Bencana dan Tragedi Kemanusiaan!

Jangan Mudah Menyebarkan Foto dan Video Korban Bencana dan Tragedi Kemanusiaan!

  Tragedi jatuhnya crane di Masjidil Haram dan tragedi Mina pada musim haji tahun ini yang memakan ratusan korban jiwa adalah musibah yang sangat memilukan dan cukup mengundang simpati kaum muslimin di seluruh dunia. Tak terkecuali di dunia maya, di mana sangat mudah ditemui foto-foto dan video korban tragedi bertebaran di beranda facebook dan twitter.

Ada satu catatan penting yang nampaknya luput dari perhatian khalayak. Adalah satu fenomena yang marak akhir-akhir ini yaitu mengabadikan dan menyebarkan foto/video korban tragedi kemanusiaan. Fenomena tersebut patut kita kaji bersama secara seksama karena menyangkut kemaslahatan orang banyak. Sudah tentu dalam hal ini kita selalu menyandarkan pada aturan syari’at yang senantiasa memberikan solusi tanpa ada pihak yang dirugikan.

Kecelakaan, maupun bencana alam adalah salah satu bentuk musibah, di mana banyak orang terluka dan meninggal dunia. Demikian Allah Ta’ala menyebut kematian sebagai musibah.

إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الأرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ

“Jika kamu dalam perjalanan di bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian.” (QS. Al Maidah: 106).

Bagaimana seharusnya sikap muslim ketika musibah menimpa kaum muslimin? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memberikan arahan kepada umatnya lewat sebuah hadits:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpaan seorang mukmin dalam kasih sayang terhadap saudaranya ibarat satu tubuh. Apabila salah satu bagian mengerang kesakitan, maka yang lain pun turut merasakan demam dan tidak bisa tidur” (HR. Muslim).

Demikianlah profil setiap muslim, sudah sepantasnya dia selalu menjadi yang terdepan dalam membantu saudaranya yang tertimpa musibah sekuat tenaga. Tentu semua itu harus sesuai dengan cara yang dibenarkan syari’at. Tidak boleh berlebihan, sehingga bisa merugikan dan mengurangi hak-hak saudaranya. Seperti yang dilakukan sebagian saudara kita di atas patut untuk ditinjau ulang. Seolah menjadi hal yang lumrah, banyak di antara kaum muslimin yang latah sehingga begitu mudahnya mengabadikan foto-foto korban meninggal dan luka-luka, lalu disebarkannya di media sosial.

Jika kita perhatikan dengan seksama maka kita dapati perilaku tersebut telah mengusik privasi dan melanggar kehormatan orang lain yang dilarang dalam syari’at. Di antara dalil-dalil yang menunjukkan pelarangannya adalah:

1. Perihal kehormatan seorang muslim

Allah sangat memuliakannya dalam Al Qur’an:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Dan sungguh telah Kami muliakan anak keturunan Adam.” (QS. Al-Isra: 70).

Oleh karenanya, segala hal yang bisa mengakibatkan rusaknya kehormatan seorang muslim dilarang oleh syari’at.

2. Keumuman perintah untuk menutup aib kaum muslimin

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati Hazzal radhiallah ‘anhu sesaat setelah ia menyuruh Ma’iz radhiallahu ‘anhu untuk mengakui perbuatannya (berzina) kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga Ma’iz pun dihukum rajam,

يا هَزَّال، لو سَتَــرْته بردائك، لكان خيرًا لك

“Wahai Hazzal, seandainya tadi kau tutupi aibnya dengan bajumu (tidak kau suruh ia menghadapku), maka itu lebih baik bagimu.” (HR. Malik).

Demikian juga anjuran yang lain,

من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والاخرة

“Barang siapa yang menutup (aib/cacat) seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim).

Kalau saja seorang di antara kita ketika hendak bepergian berusaha menjaga penampilan, berdandan di depan cermin, dan selalu ingin tampil dalam kondisi yang paling baik, maka bagaimana mungkin ia tega memperlihatkan fisik saudaranya yang sudah terbujur kaku dengan kondisi yang tidak enak dipandang?

Bayangkan jika itu terjadi pada diri Anda, apakah Anda rela kondisi Anda saat itu diabadikan, baik foto maupun video lalu diunggah di youtube atau dibagikan di media sosial? Tentu tidak ada yang mau diperlakukan seperti itu.

Jika yang masih hidup saja belum tentu rela difoto tanpa sepengetahuannya, apalagi yang sudah mati? Bagaimana dia mau dimintai izin? Belum lagi jika si mayit ini dalam keadaan tersingkap auratnya, atau rusak fisiknya.

Pernahkah Anda berpikir, bagaimana jika orang tersebut kelak menuntut Anda di hadapan Allah pada hari kiamat? Wahai Rabb kami, tanyalah orang ini kenapa dulu dia mengabadikan fotoku? Kenapa dia sebarkan auratku di hadapan orang banyak? Kenapa dia membuat sedih keluargaku, anak dan istriku?

3. Larangan untuk menyebarluaskan segala hal yang menyangkut pribadi seorang muslim yang tidak ingin diketahui oleh publik.

Dalam istilah Bahasa arab disebut tajassus alias memata-matai dan mencari-mencari kesalahan orang lain. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَجَسَّسُوا

“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (QS. Al Hujurat: 12).

Dalam hadits yang statusnya marfu’ sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan:

وَلا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ

“Janganlah kalian mencari-cari aurat (aib) kaum muslimin” (HR. Abu Dawud).

Mengabadikan foto tanpa sepengetahuan yang difoto termasuk dalam larangan tajassus, di mana orang merasa tidak aman karena privasinya terganggu.

Alasan lain menyebarkan foto korban

Sebagian orang beralasan kurang bisa mengambil pelajaran dari sebuah tragedi kecuali setelah melihat langsung para korban. Benarkah separah ini sampai kita tidak bisa membayangkan orang mati kecuali dengan melihat tayangan mayat korban tewas dan luka-luka?

Kaidah dalam syari’at mengatakan:

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

“Mencegah mafsadah didahulukan daripada meraih maslahat”.

Oleh karenanya, mencegah rusaknya hak privasi dan kehormatan korban lebih didahulukan daripada memberikan pelajaran bagi orang lain dengan menyebarkan foto-foto korban.

Dan maslahat apa yang hendak diraih jika dilakukan dengan cara yang tidak dibenarkan syari’at. Itu namanya takalluf, berlebih-lebihan. Kecuali dalam kondisi-kondisi darurat yang menuntut hal itu, seperti dokumentasi oleh pihak berwajib guna penyelidikan. Dan sekali lagi, itu pun bukan konsumsi publik.

Berkaitan dengan hak keluarga korban

Wahai saudaraku, orang yang Anda foto atau yang Anda share fotonya, ia punya anak, istri, dan keluarga. Ia memiliki orang-orang yang sangat mencintainya, pun orang-orang yang membencinya. Sementara orang tersebut sudah mati. Tidakkah Kau berpikir apa akibatnya? Siapa yang mengizinkan Anda untuk mengabadikan fotonya?

Tidak lain hal itu justru semakin menambah kesedihan orang-orang yang mencintainya, seperti anak, istri, dan orang tuanya. Apalagi jika korban dalam kondisi yang mengenaskan, berlumuran darah, atau tidak lagi utuh fisiknya, lalu terlanjur disebar di media sosial. Bukankah suatu saat foto-foto itu bisa membangkitkan kembali kesedihan yang telah lama terkubur, dan membuat luka lama yang sudah terobati kembali menganga?

Sebagai ahli waris, keluarga korban adalah pihak yang paling berhak dengan hak-hak yang berkaitan dengan korban. Mereka pun berhak menuntut pihak-pihak yang menyebarkan gambar korban tanpa izin.

Tidakkah kita belajar dari pengalaman salah satu saluran TV nasional beberapa waktu lalu yang akhirnya meminta maaf secara terbuka karena telah menayangkan jasad korban jatuhnya pesawat? Artinya, dalam norma kemasyarakatan pun hal itu tidak bisa diterima, karena tayangan tersebut menyakiti keluarga korban di mana kehormatan keluarganya diusik sedemikian jauh.

Masih banyak pintu kebaikan untuk menunjukkan kepedulian kita kepada para korban yang tentu selaras dengan syari’at, yaitu dengan bertakziah kepada keluarganya bagi yang dekat, atau mengulurkan bantuan, dan mendoakan bagi yang jauh. Kalau pun hendak mengabarkan kondisi tragedi di lapangan dengan gambar, hendaknya sebisa mungkin menghindarkan segala sesuatu yang menakut-nakuti dan membuat sedih kaum muslimin, baik dengan tidak memperlihatkan para korban, atau menyamarkan foto sehingga identitasnya tidak dikenali secara utuh. Itu pun jika kebutuhan mendesak untuk itu.

Tidakkah tragedi-tragedi kecelakaan dan bencana sudah terjadi sejak zaman dahulu sebelum ramainya foto dan video? Apakah para pendahulu kita menganjurkan untuk datang ke tempat kejadian hanya untuk mengambil pelajaran? Sedarurat itukah untuk memberi pelajaran kepada umat hanya bisa dengan menampilkan foto-foto korban?

Sungguh syari’at Islam mengajarkan kita untuk selalu menjaga kehormatan orang yang sudah mati sebagaimana ketika masih hidup. Di mana kita diperintahkan untuk menampakkan yang baik-baik dah menutup aib si mayyit. Bahkan orang yang memandikan jenazah pun tidak boleh menceritakan apa yang ia lihat jika itu buruk.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar