Islam memberikan apresiasi yang tinggi kepada sosok ibu, hal ini terbaca dari perintah berbuat baik dan berbakti kepada kedua orang tua di mana salah satunya adalah ibu dan ibu lebih dikedepankan dalam kebaikan kepada kedua orang tua, terbukti Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam mengulang jawaban kepada laki-laki yang bertanya, siapa yang paling berhak mendapatkan perlakuan baiknya? “Ibumu” sebanyak tiga kali, baru pada kali keempat beliau menjawab, ”Bapakmu”. Sisi lain yang membuktikan bahwa Islam menghargai ibu adalah apa yang penulis paparkan di bawah ini.
Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Said al-Khudri berkata, para wanita datang kepada Nabi shallallohu 'alaihi wasallam, mereka berkata, “Ya Rasulullah, kaum laki-laki lebih banyak mengambil waktumu daripada kami, sisihkanlah satu hari dari dirimu untuk kami.” Maka Nabi shallallohu 'alaihi wasallam menjanjikan satu hari pertemuan, beliau memerintahkan dan menasihati mereka, di antara yang beliau sabdakan kepada mereka, “Tidak ada seorang wanita dari kalian yang ditinggal wafat oleh tiga orang anaknya kecuali hal itu merupakan perlindungan baginya dari api neraka.” Seorang wanita berkata, “Dan dua anak?” Beliau menjawab, “Dan dua anak.” Dalam riwayat Abu Hurairah, “Tiga anak yang belum mencapai usia baligh.”
Penjelasan hadits
“Tidak ada seorang wanita dari kalian.” Ini adalah sabda Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam yang beliau tujukan kepada kaum wanita yang hadir di majlis yang diadakan oleh mereka dengan Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam sebagai pembicara setelah sebelumnya telah terjadi kesepakatan. Sudah barang tentu sabda ini bukan khusus untuk yang hadir semata, namun ia untuk mereka dan para wanita yang hadir sesudah mereka.
“Yang ditinggal wafat oleh tiga orang anaknya.” Yakni anaknya meninggal semasa ibu masih hidup, anak mendahului ibu berpulang ke hadirat Allah. Dan kata, “Anak.” mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. Namun anak di sini adalah anak yang wafat dalam usia belum mencapai dewasa, anak yang meninggal dalam usia dia sebagai anak. Di samping itu jumlah anak yang meninggal adalah tiga dan setelah ditawar oleh seorang wanita yang hadir, jumlahnya berkurang menjadi dua.
“Kecuali hal itu merupakan perlindungan baginya dari api neraka.” Yang dimaksud dengan hal itu adalah apa yang disebutkan sebelumnya, yaitu empat perkara. Pertama, terjadinya wafat anak bagi seorang ibu. Kedua, wafat terjadi dalam hidup ibu. Ketiga, anak ibu yang wafat adalah dua. Keempat, dua anak yang wafat ini masih berusia anak-anak. Jika empat perkara ini terpenuhi maka terwujudlah janji yang terucap oleh Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam yaitu terlindunginya ibu dari api neraka.
Seorang wanita berkata, “Dan dua anak?” Beliau menjawab, “Dan dua anak.” Para wanita patut berterima kasih kepada wanita ini, karena keberaniannya menawar dan tawarannya diterima. Sepertinya yang membuat wanita ini berkata demikian adalah kenyataan bahwa angka tiga adalah banyak, bilangan itu tidak mudah terwujud, yang lebih dekat dan mungkin adalah angka dua.
Anak bagi ibu adalah belahan jiwa dan buah hati, tidak ada yang lebih berarti, tidak ada yang lebih bernilai dalam kehidupan ibu melebihi anak, seorang ibu rela kehilangan apa yang dia miliki, mengorbankan apa yang mungkin dikorbankan demi anak. Seandainya ibu diminta memilih menjadi wanita termiskin di dunia dengan anak di sisinya atau menjadi wanita terkaya dengan anak yang diambil oleh yang Mahakuasa, niscaya dia akan memilih yang pertama. Anak adalah kebahagiaan bagi ibu. Perginya anak adalah duka mendalam bagi ibu, lebih-lebih anak yang masih kecil.
Tidak mengherankan karena untuk bisa menghadirkan anak ke dunia ibu harus menjalani empat penderitaan besar yang tidak bisa dia bagi kepada orang lain sekalipun dia adalah orang yang paling dekat kepadanya, suaminya. Mengandung selama sembilan bulan dalam keadaan wahnan ala wahnin, kelemahan di atas kelemahan, kelemahan seorang wanita ditambah dengan kelemahan kehamilan. Selama sembilan bulan dia membawa ke mana pun dan di mana pun. Selama itu keberadaan anak ini benar-benar membatasi segala aktifitasnya. Namun ibu menjalaninya dengan hati yang lapang dan jiwa yang tersenyum, justru di sanalah kebahagian terpancar.
Setelah melewati masa sembilan bulan, tiba masa untuk melahirkan. Sebuah proses berat lagi menyakitkan bagi seorang ibu dengan nyawa sebagai taruhannya. Maka sebagai wujud penghargaan kepada ibu yang melahirkan, Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam memberi gelar syahadah (wafat dengan pahala sebagai syahid) kepada wanita yang wafat dalam masa melahirkan ini. Selesai melahirkan tugas dan beban baru yang tidak bisa dikatakan ringan langsung tersemat di pundak ibu, dia harus memberi makan kepada anaknya melalui ASI selama dua tahun yang disambung dengan makanan lainnya plus mengasuh dan merawatnya.
Maka lumrah jika Allah mengambil buah hati darinya, dia akan bersedih dengan kesedihan yang sangat mendalam, lebih-lebih jika yang diambil oleh Allah tidak seorang melainkan dua orang dan dua orang ini masih berusia anak-anak, dalam masa ini keterkaitan hati ibu kepadanya masih sangat kuat, jalinan emosi antara anak dengan ibu masih sangat melekat erat, lalu tiba-tiba anaknya pergi dengan kehendak Ilahi Rabbi, bisa dibayangkan bagaimana sedihnya hati ibu. Di sini Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam menghibur ibu yang mengalami ujian berat ini dengan menjanjikan perlindungan dan keterjagaan dari api neraka. Terjaga dan terlindungi dari api neraka berarti sebaliknya, meraih surga, sebab hanya dengan ini perlindungan dari api neraka terwujud.
Ada tambahan satu syarat lagi, syarat ini bersifat mendasar, ia merupakan syarat umum yaitu sabar. Mengapa? Sebab wafatnya anak adalah sebuah musibah bagi kedua orang tuanya khususnya ibu dan sebuah musibah akan berakibat baik, di dunia dan di akhirat, jika ia disikapi dan dihadapi dengan sabar. Berbeda perkaranya jika seorang ibu ditinggal wafat anaknya, sekalipun dua atau lebih, lalu dia meratap, berteriak histeris, meraung-raung, memukul pipi, merobek baju dan menyerukan seruan-seruan jahiliyah, ibu sepertinya ini menurut hemat penulis tidak meraih janji yang diucapkan oleh Rasulullah shallallohu 'alaihi wasallam di dalam hadits. Wallahu a'lam.
Post a Comment