Pesan Untuk Para Wali (Wanita)




Pesan Untuk Para Wali (Wanita)


Dalam bangunan rumah tangga, wali mempunyai peranan strategis dan kedudukan yang penting, di tangannyalah tali simpul akad pernikahan yang menjadi gerbang bagi bangunan rumah tangga diikat. Benar, tanpanya akad nikah tidak akan berlangsung, kalau tetap dipaksakan untuk berlangsung, maka akad nikah tersebut tidak sah, karena menurut pendapat yang rajih dalam masalah ini, wali merupakan salah satu syarat sah pernikahan. Dan sebelum itu wali merupakan pembentuk bagi salah satu pilar bangunan rumah tangga, yaitu mempelai wanita alias istri. Dalam naungan wali, seorang gadis ditempa dan dididik untuk -suatu saat kelak- memasuki gerbang pernikahan yang membawanya ke dalam bangunan rumah tangga yang membawanya kepada kebahagiaan dan ketenangan.
Karena wali adalah pemegang tali simpul akad pernikahan di samping sebagai pendidik bagi mempelai wanita, maka di pundaknya tersemat tanggung jawab besar yang wajib dia pikul dan tugas yang tidak ringan yang harus dia emban.
Pertama, membentuk putrinya menjadi wanita shalihah
Hal ini sebagai wujud tanggung jawabnya sebagai pemimpin rumah tangga dalam menjaga keluarga dari api neraka sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Subhanahu waTa’ala, “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”(QS.At-Tahrim: 6)
Dan sebagai pengamalan terhadap sabda Rasulullah shallallaahu ‘laihiwasallam, “Setiap orang dari kalian adalah pemimpin dan setiap orang akan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya…” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar radiyallaahu ‘anhu).
Dengan membentuk putrinya sebagai wanita shalihah, maka dia telah mempermudah jalan bagi putrinya tersebut untuk menemukan jodoh yang shalih sebagai modal dasar bagi bangunan rumah tangga yang bahagia, karena yang baik berjodoh dengan yang baik, yang shalih bertemu dengan yang shalih.
Kedua, menetapkan standar bagi calon menantu
Benar dan harus, wali mesti mempunyai kriteria standar bagi siapa yang akan menjadi suami bagi putrinya, hal ini sebagai realisasi dari tanggung jawabnya sebagai pemimpin, namun jangan mengira bahwa kriteria standar dalam hal ini adalah ketampanan atau kedudukan atau harta dari calon suami, sekali pun semua itu menjadi pertimbangan utama bagi kebanyakan orang di zaman ini. Tidak, bukan semua itu, akan tetapi kriteria standar di sini adalah kriteria yang ditetapkan oleh teladan para wali yaitu Rasulullah shallallaahu ‘laihiwasallam. Apa kriteria itu?
Agama dan akhlak, hanya itu. Jika Anda sebagai wali didatangi oleh seseorang yang berharap menikah dengan putri Anda dan Anda ridha terhadap agama dan akhlaknya, kedua perkara ini telah memenuhi standar Anda, maka tidak ada alasan bagi Anda untuk tidak menerimanya.
Petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘laihiwasallam kepada para wali, “Jika kalian didatangi oleh orang yang telah kamu terima agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia….” (HR. at-Tirmidzi).
Ketiga, mempermudah urusan menikah
Dengan tidak membebani calon menantunya melalui tuntutan-tuntutan materi yang memberatkan. Menikah adalah ibadah, menikah bertujuan menjaga anak-anak muda agar tidak terjerumus ke dalam dosa, maka sudah sepatutnya jika para wali mempermudah urusannya dan meringankan bebannya. Urusan yang sulit dan beban yang berat bisa menjadi penghalang anak-anak muda untuk menikah dan selanjutnya mereka bisa terjerat oleh jaring-jaring dosa yang di zaman ini tersebar di setiap sudut kehidupan, plus bertambahnya gadis-gadis usia menikah yang tertunda pernikahannya dan ujung-ujungnya bernasib menjadi perawan tua.
Membebani calon menantu dengan tuntutan-tuntutan materi tidak ubahnya menjadikan putri sendiri layaknya barang dagangan yang baru akan dilepas dengan harga yang tinggi. Sebenarnya berapa pun materi yang dituntut oleh seorang wali dari calon suami putrinya tidak sebanding dan tidak sepadan. Siapa yang rela melepaskan kehormatannya hanya dengan materi yang terhitung jumlahnya kalau bukan karena Allah Rabbul ‘alamin mensyariatkannya?
Said bin al-Musayyib, sayyid para tabiiin, menorehkan contoh sebagai wali dalam mempermudah urusan pernikahan, dia menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki tidak berharta hanya dengan mahar beberapa dirham saja, padahal sebelumnya putrinya ini telah dilamar oleh khalifah untuk putra mahkotanya, namun Said sebagai wali menolaknya.
Keempat, mencari orang shalih
Jodoh memang di tangan Allah Subhanahu waTa’ala, jika ia datang sendiri dan sesuai dengan kriteria standar maka itulah yang diharapkan, namun terkadang kehidupan tidak selalu seperti yang kita harapkan, dalam kondisi ini bukan merupakan aib atau sesuatu yang memalukan jika Anda sebagai wali berupaya mencarikan jodoh untuk putri Anda dengan cara-cara yang ma’ruf tanpa merendahkan diri dan melanggar tatanan syariat.
Benar, bukan aib dan tidak perlu malu dalam kebenaran dan tujuan mulia, karena hal semacam ini telah dilakukan oleh seorang laki-laki yang jauh lebih baik dan lebih bertakwa kepada Allah Subhanahu waTa’ala daripada Anda, orang ketiga dalam umat ini setelah rasulnya dan shiddiqnya, orang itu adalah Umar bin al-Khatthab radiyallaahu ‘anhu.
Manakala sahabat Khunais bin Hadzafah suami Hafshah binti Umar bin al-Khatthab wafat, Umar radiyallaahu ‘anhu memutuskan untuk mencari suami yang bisa melindungi dan menjaga putrinya. Pilihan Umar radiyallaahu ‘anhu jatuh pada Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallaahu ‘anhu, karena dia mengenalnya sebagai laki-laki yang tenang dan penuh perhitungan yang membuatnya layak untuk Hafshah Dia menemui Abu Bakar radiyallaahu ‘anhu, menyampaikan kepadanya keadaan putrinya yang menjanda. Kemudian secara terbuka dia menawarkannya untuk menikahinya, akan tetapi Abu Bakar tidak menjawab apa pun.
Umar bingung menghadapi sikap Abu Bakar. Dia pergi kepada Usman bin Affan yang baru saja ditinggal wafat oleh istrinya Ruqayah binti Rasulullah shallallaahu ‘laihiwasallam. Umar radiyallaahu ‘anhu berbicara kepadanya dan menawarkan agar dia menikahi putrinya. Usman radiyallaahu ‘anhu meminta waktu kepada Umar radiyallaahu ‘anhu. Kemudian sesudah itu Usman radiyallaahu ‘anhu menjawab, “Aku belum ingin menikah hari ini.” Sikap Abu Bakar dan Usman radiyallaahu ‘anhuma menyesakkan dada Umar radiyallaahu ‘anhu karena keduanya adalah teman-teman yang tidak buta terhadap kedudukannya. Maka Umar pergi kepada Rasulullah shallallaahu ‘laihiwasallam mengadukan apa yang dialaminya.
Nabi shallallaahu ‘laihiwasallam tersenyum dan bersabda, “Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Usman dan Usman akan menikah dengan orang yang lebih baik dari Hafshah.” Rasulullah shallallaahu ‘laihiwasallam melamar Hafshah. Umar sangat berbahagia. Abu Bakar datang memberi ucapan selamat kepada Umar seraya berkata, “Jangan marah kepadaku, karena Rasulullah shallallaahu ‘laihiwasallam telah menyebut Hafshah dan tidak pantas bagiku membuka rahasia beliau. Seandainya beliau tidak menikahinya , maka aku yang menikahinya.”
Kelima, Musyawarah
Jika ada khathib (pelamar) datang kepada Anda wahai wali, jika Anda tidak ridha dan belum sreg dengan agama dan akhlaknya, maka sebagai bentuk tanggung jawab Anda sebagai pemimpin keluarga, hendaknya Anda menjauhkannya dari anak putri Anda, karena ia tidak mendatangkan kebaikan bagi putri Anda.
Namun jika yang hadir beragama dan berakhlak baik, maka jangan langsung menerima sekalipun ikatan akad pernikahan berada di tangan Anda, sebelum Anda bermusyawarah dengan putri Anda, dengarkan pendapatnya dan mintalah kesediaannya, karena bagaimana pun dia mempunyai hak dalam masalah ini, dia yang akan menjalani kehidupannya kelak, bukan termasuk kemaslahatan baginya jika walinya memaksanya untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya.
Dari Ibnu Abbas radiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan anak gadis dimintai pendapatnya dan izinnya adalah diamnya.”
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Zadul Ma’ad V/88-89, “Konsekuensi dari ketetapan ini adalah bahwa anak gadis yang sudah dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah kecuali dengan kerelaannya. Ini adalah pendapat jumhur salaf, madzhab Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Pendapat inilah yang kami yakini kebenarannya di sisi Allah Subhanahu waTa’ala, kami tidak memegang selainnya. Pendapat inilah yang selaras dengan hukum Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, perintah dan larangan beliau, selaras dengan kaidah-kaidah syariat dan kemaslahatan umat.”
Jika wali memaksa menikahkannya dengan orang yang tidak disukainya, maka ia berhak mengadukan gugatan pembatalan kepada pihak yang berwenang.
Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radiyallaah ‘anhu bahwa seorang gadis perawan datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, dia menceritakan bahwa bapaknya menikahkannya sementara dia tidak suka, maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam memberinya pilihan. Syaikh Syuaib dan Abdul Qadir al-Arnauth dalam Tahqiq Zad al-Ma’ad berkata, “Sanadnya shahih.”
Keenam, Jangan Menghalangi
Jika khathib beragama dan berakhlak baik, anak gadis sudah sepakat menerima, maka tidak ada hak bagi wali untuk menghalang-halanginya.
Allah Subhanahu waTa’ala berfirman,artinya, “Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 232).
Dalam Sunan at-Tirmidzi dari Ma’qil bin Yasar bahwa dia menikahkan saudara perempuannya dengan seorang laki-laki dari kaum muslimin pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dia bersama suaminya untuk beberapa waktu, kemudian suaminya mentalaknya dan tidak merujuknya sampai iddahnya habis, lalu suaminya berminat kembali kepadanya dan dia juga berminat, lalu suaminya melamarnya bersama para pelamar. Ma’qil berkata, “Dasar orang tidak berterima kasih, aku telah memuliakanmu dan menikahkanmu dengannya lalu kamu mentalaknya. Demi Allah kamu tidak akan kembali kepadanya selama-lamanya.”
Namun akhirnya Ma’qil merubah sikapnya, dia mengizinkan setelah Allah Subhanahu waTa’ala menurunkan ayat di atas sebagai bentuk ketaatan kepadaNya.
Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya.” (HR. Muslim).
Syaikh Shafiyur Rahman al-Mubarakfuri dalam Ithaf al-Kiram berkata, “Seandainya wali hendak menikahkan anaknya yang janda, tetapi ia menolak, maka dia tidak dipaksa. Dan jika dia berkehendak menikah tetapi walinya menolak, maka walinya dipaksa, jika wali tetap menolak, maka hakim menikahkannya dan hak wali gugur.”
Ketujuh, Kontrol dan Kendali
Pada saat Anda berketetapan untuk mengabulkan permintaan pelamar karena dia menurut Anda telah memenuhi kriteria secara syar’i, dan sudah bermusyawarah dengan putri Anda dan dia pun hanya diam sebagai tanda mengiyakan atau mungkin lebih, seperti senyum-senyum sebagai ekspresi hatinya yang berbunga atau mengekspresikan persetujuannya lewat kata-kata, maka hendaknya Anda tetap memegang kontrol dan kendali, karena Anda sebagai penanggung jawab dalam hal ini. Jangan lupa bahwa diterimanya sebuah lamaran oleh wali dengan persetujuan putrinya belum menjadikan pelamar sebagai suami sah bagi putri Anda, dia masih berstatus orang asing sehingga hukum-hukum orang asing terhadap anak perempuan masih berlaku.
Jika sebelum khitbah atau lamaran keduanya belum boleh berdua-duan, apalagi tidur berdua, belum boleh pergi berdua berboncengan motor atau jalan bareng, belum boleh berjabat tangan, belum boleh duduk berdua merapat, maka semua itu tetap belum boleh sekali pun sudah ada khitbah yang diterima sampai “Ankahtuka…” dengan “Qabiltu…” terjadi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Dari sini kita mengetahui kekeliruan dan kesalahan para wali di saat mereka melepas kontrol dan kendali bagi putrinya dan memberi lampu hijau kepada pelamar, sehingga keduanya bebas leluasa untuk melakukan apa yang biasa dilakukan oleh anak-anak muda berlainan jenis. Pergi berdua di malam Ahad entah ke mana dan baru pulang larut malam atau mungkin sampai pagi. Jalan-jalan berdua sambil bergandengan tangan atau berboncengan, atau bahkan lebih dari itu wali mengizinkan pelamar untuk menginap di kamar anak perempuannya dengan alasan ringan, “Kan sudah mau jadi suami istri.”
Ingat!!! Baru mau dan masih belum, bagaimana pun tetap tidak sama. Seandainya keduanya benar-benar menikah, dan itu pun mereka telah mengawali kehidupan rumah tangga yang mulia dengan rentetan penyimpangan, bagaimana jika keduanya benar-benar tidak menikah? Siapa yang lebih besar kerugiannya? Putri Anda bukan? Jelas, karena dia sudah diobok-obok oleh orang yang bukan apa-apa bagi dia.
Kedelapan, Waspada Syirik
Apa hubungan antara syirik dengan pernikahan? Jika kesepakatan menikah telah diambil oleh kedua calon mempelai berikut keluarga masing-masing, maka langkah selanjutnya adalah menentukan dan menetapkan hari H, waktu akad pernikahan berikut walimahnya. Di sinilah dosa besar yang berbahaya ini bisa muncul dan menjerat calon mempelai dan keluarganya, dalam bentuk keyakinan yang masih dipegang kuat-kuat terhadap hari baik dan hari sial, bulan baik dan bulan sial dengan merujuk kepada hitung-hitungan hari dan tanggal lahir kedua calon pengantin.
Karena kedua calon pengantin lahir di hari anu tanggal anu dan tahun anu, maka menurut perhitungan abrakadabra hari baik, tanggal baik dan bulan baik keduanya untuk menikah adalah hari anu… dan bulan anu… Sedangkan hari anu dan bulan anu patut dihindari. Jika keduanya menikah di hari, tanggal dan bulan baik, maka akan begini…begini dan begini, sebaliknya adalah sebaliknya.
Dahulu sebelum Islam orang-orang merasa yakin bahwa bulan Shafar, adalah bulan sial, sehingga mereka tidak menggelar hajatan di bulan itu, karena keyakinan yang sudah mendarah daging bahwa siapa yang menggelar hajatan di bulan itu pasti akan ditimpa musibah. Selanjutnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hadir untuk mengentaskan manusia dari penghambaan kepada hamba dan membawa mereka menjadi hamba Tuhan para hamba, Allah Subhanahu waTa’ala . Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menanggalkan keyakinan khurafat tersebut, “Wa la Shafar.” Maksudnya tidak ada kesialan di bulan tersebut atau bulan Shafar tidak membawa kesialan seperti yang kalian yakini. Kebenaran sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ini dibuktikan sendiri oleh Ummul Mukminin Aisyah yang berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak menikahiku kecuali di bulan Shafar dan beliau tidak mengawali rumah tangganya denganku kecuali di bulan Shafar.” Walhasil, rumah tangga Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan Aisyah adalah rumah tangga paling indah, paling berbahagia, paling… dan paling paling lainnya.
Kesembilan, Jangan Menjual
Maksud saya Anda sebagai wali jangan menjual anak perempuan Anda dengan menetapkan mahar yang mahal lagi tinggi ditambah dengan syarat-syarat materi atas pelamar dengan harapan akan ikut kecipratan. Memang akad nikah dengan mahar plus bukan menjual, namun jika mahar dipatok sedemikian tinggi, lebih-lebih jika dengan tambahan sana-sini, bukankah ia sulit dibedakan dengan menjual, lebih-lebih jika wali memang mengharapkan sebagian darinya atau seluruhnya?
Mematok mahar tinggi ditambah dengan plus yang harus dipikul oleh pelamar, semua itu hanya akan mengurangi keberkahan pernikahan, membuat anak gadis menurun berkahnya, karena di antara tanda keberkahan seorang wanita adalah mudahnya ia untuk dinikahi yang salah satu indikasinya adalah ringannya mahar.
Benar, mahar memang tidak berbatas, namun tetap saja memudahkan pernikahan dengan meringankan bebannya adalah sesuatu yang dianjurkan, sebaliknya menaikkan atau bermahal-mahal dalam urusan mahar tidak disukai, ia mirip dengan menjual. Semoga Anda tidak demikian. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar