FASAL TENTANAGSHALAT SUNNAH 2
FASAL TENTANAG
SHALAT SUNNAH 2
(Cabang Masalah).
Disunnahkan bagi seseorang yang dapat memastikan dirinya dapat terbangun sebelum fajar dengan dirinya sendiri atau dibangunkan orang lain untuk mengakhirkan seluru shalat witir – bukan mengakhirkkan tarāwīḥ – dari awal waktu walaupun kehilangan jamā‘ah shalat witir di malam Bulan Ramadhān sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī-Muslim: “Jadikanlah witir sebagai akhir shalat malam kalian semua.” Dan sunnah pula mengakhirkannya dari shalat malam yang dilakukan di malam tersebut. Sedangkan bagi seseorang yang tidak dapat memastikan dapat terbangun, disunahkan untuk mengawalkan mengerjakan shalat witir sebelum tidur dan tidak disunnahkan untuk mengulanginya.13 Jikalau shalat witir setelah tidur, maka kesunnahan tahajjud telah didapat juga dengan shalat witir tersebut,14 dan jika tidak setelah tidur, maka hanya mendapat kesunnahan witir saja, tidak tahajjud. Sebagian pendapat mengatakan bahwa disunnahkan melakukan witir sebelum tidur secara mutlak, lantas bangunan malam dan melaksanakan shalat tahajjud sebab dasar dari ucapan sahabat Abū Hurairah r.a.: “Rasūlullāh s.a.w. memerintahkanku untuk melakukan shalat witir sebelum aku tidur.” HR. Bukhārī-Muslim. Shahabat Abū Bakar r.a. pun melakukan shalat witir sebelum tidur, lantas bangun dan melakukan shalat tahajjud. Sedangkan sahabat ‘Umar r.a. tidur terlebih dahulu sebelum melakukan witir, lantas bangun dan melaksanakan shalat witir dan tahajjud. Akhrinya dua sahabat tersebut melaporkan kepada Nabi s.a.w., lantas Nabi bersabda: “Abū Bakar melakukan hal yang lebih hati-hati, sedang ‘Umar mengandalkan kekuatannya.” Diriwayatkan dari sahabat ‘Utsmān seperti yang dikerjakan oleh sahabat Abū Bakar dan dari sahabat ‘Alī seperti yang dikerjakan sahabat ‘Utsmān. Imām Ghazālī dalam kitab Wasīth-nya mengatakan: Imām Syāfi‘ī memilih apa yang dikerjakan oleh sahabat Abū Bakar r.a. Sedangkan shalat yang dikerjakan oleh para manusia dengan cara duduk setelah witir bukanlah sebagian dari sunnah Nabi seperti yang telah disampaikan oleh Imām al-Jauharī dan Syaikh Zakariyyā. Dan Majmū‘-nya Imām Nawawī berkata: “Jangan tertipu dengan orang yang meyakini kesunnahan shalat tersebut dan mengajak untuk melakukannya sebab kebodohannya.”
14Sebab shalat tahajjud adalah setiap shalat yang dilakukan setelah tidur malam. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 292. Dār-ul-Fikr.
Shalat Dhuḥā
(Disunnahkan shalat Dhuḥā) sebab firman Allah yang artinya: Gunung-gunung bertasbih di waktu sore dan isyrāq. Ibnu ‘Abbās mengatakan: Shalat Isyrāq adalah shalat Dhuḥā. H.R. Bukhārī-Muslim. Diriwayatkan dari Abū Hurairah r.a., beliau berkata: Kekasihku s.a.w. berwasiat tentang tiga hal: Berpuasa tiga hari dari setiap satu bulan, melaksanakan dua shalat dua raka‘at dhuha dan shalat witir sebelum aku tertidur. Imām Abū Dāwūd meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasūlullāh s.a.w. melakukan shalat dhuḥā delapan raka‘at dan melakukan salam setiap dua raka‘atnya. Minimal dari raka‘at shalat dhuḥā adalah dua raka‘at dan maksimalnya adalah delapan raka‘at seperti keterangan dalam kitab Taḥqīq dan Majmū‘ dan ini merupakan pendapat dari mayoritas ‘ulamā’, maka haram hukumnya menambahi dari delapan raka‘at dengan niat shalat dhuḥā. Delapan raka‘at tersebut merupakan jumlah yang paling utama15 atas keterangan dalam kitab Raudhah16 dan kitāb asli dari Raudhah, maka diperbolehkan untuk menambahi dari delapan raka‘at itu dengan niat dhuḥā sampai 12 raka‘at. Disunnahkan untuk melakukan salam dari setiap dua raka‘at. Sedangkan waktunya adalah mulai dari naiknya matahari17 kadar satu tombak sampai bergesernya matahari. Waktu ikhtiyār-nya adalah ketika telah sampai seperempat siang sebab hadits shaḥīḥ dalam hal ini. Jikalau keutamaan mengakhirkan shalat dhuḥā di waktu seperempat siang bertentangan dengan keutamaan mengerjakan shalat dhuḥā di masjid jikalau tidak mengakhirkannya, maka yang lebih utama adalah mengakhirkannya sampai seperempat siang, walaupun tidak dilakukan di masjid, sebab keutamaan yang berhubungan dengan waktu itu lebih utama diprioritaskan dibanding dengan keutamaan yang berhubungan dengan tempat. Disunnahkan untuk membaca surat asy-Syams dan wadh-Dhuḥā. Sunnah pula membaca surat al-Kāfirūn dan al-Ikhlāsh. Menurut pendapat yang aujah bahwa dua raka‘at Isyrāq adalah shalat dhuḥā, berbeda dengan pendapat Imām Ghazālī dan pengikutnya.18
16Miliki Imām Nawawī sedang Aslu Raudhah milik Imām Rāfi‘ī yang bernama kitab ‘Azīz Syaraḥ Wajīz. Kitab Wajīz milik Imām Ghazālī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 294. Dār-ul-Fikr.
17Sebagian pendapat mengatakan waktunya adalah dimulai sejak terbitnya matahari dan waktu makrūhah tidak berpengaruh terhadap shalat dhuḥā sebab shalat dhuḥā memiliki waktu. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 295. Dār-ul-Fikr.
18Yang menyatakan bahwa shalat Isyrāq bukalah shalat dhuḥā namun shalat tersendiri yang habis waktu setelah mencorongnya dan naiknya matahari. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 296. Dār-ul-Fikr.
Shalat Taḥiyyat-ul-Masjid.
(Disunnahkan shalat dua raka‘at taḥiyyat) bagi seorang yang masuk masjid,19 walaupun berulang kali untuk masuk masjid atau tidak ingin duduk di dalamnya, berbeda dengan pendapat Syaikh Nashr yang diikuti oleh Syaikh Zakariyyā dalam Syarḥ Minhāj dan Taḥrīr dengan ucapannya: Jika seseorang yang masuk tersebut menginginkan duduk. Kesunnahan shalat taḥiyyat-ul-masjid tersebut berdasarkan hadits riwayat Bukhārī-Muslim: “Jikalau salah satu di antara kalian masuk masjid, maka janganlah duduk sampai melakukan shalat dua raka‘at." Kesunnahan dua raka‘at taḥiyyat-ul-masjid akan hilang dengan sebab duduk yang lama,20 begitu pula duduk sebentar jika tidak lupa atau tidak bodoh. Menurut pendapat yang aujah, disamakan dengan dua kasus tersebut adalah jikalau seseorang butuh untuk minum, lantas duduk sebentar untuk minum, kemudian mengerjakan shalat taḥiyyat. Tidak hilang kesunnahan dengan berdiri yang lama21 atau berpaling dari shalat tersebut. Bagi orang yang melakukan takbīrat-ul-iḥrām dengan berdiri diperbolehkan untuk menyempurnakannya dengan duduk. Makruh hukumnya meninggalkannya dengan tanpa ‘udzur. Benar makruh, namun jika shalat maktūbah Jum‘at atau yang lainnya, akan segera dikerjakan dan khawatir jika melakukan shalat taḥiyyat-ul-masjid akan kehilangan fadhīlah takbīrat-ul-iḥrām, maka tunggulah jamā‘ah tersebut dengan posisi berdiri. Disunnahkan bagi seseorang yang tidak mungkin untuk melaksanakan shalat taḥiyyat-ul-masjid, walaupun dengan sebab hadats untuk mengucapkan: (سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ…..) sampai selesai22. – Maha Suci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah yang Maha Luhur dan Agung. – sebanyak empat kali – . Dimakruhkan melaksanakan shalat taḥiyyat-ul-masjid bagi khathīb yang masuk pada waktu khuthbah dan bagi seorang yang menginginkan thawāf yang masuk masjid, tidak makruh bagi seorang pengajar berbeda dengan pendapat sebagian ‘ulamā’.23
20Kadar dua raka‘at menurut Imām Kurdī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 296. Dār-ul-Fikr.
21Berbeda dengan Imām Syihāb Ramlī yang menyatakan kesunnahan akan hilang dengan berdiri yang lama. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 296. Dār-ul-Fikr.
22Lafazh ini juga dapat menggantikan dari sujūd tilāwah atau syukur bagi seorang yang tidak mau melakukannya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 297. Dār-ul-Fikr.
23Ya‘ni Imām Zarkasyī dari guru-gurunya yang menyamakan guru dengan khathīb. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 297. Dār-ul-Fikr.
Shalat Istikhārah.
Disunnahkan dua raka‘at istikhārah, iḥrām, thawāf dan wudhū’. Dua raka‘at shalat taḥiyyat dan setelahnya dapat dihasilkan kesunnahannya dengan melaksanakan dua raka‘at atau lebih dari shalat fardhu atau sunnah walaupun tidak berniat mengerjakan shalat-shalat tersebut (24) besertaan shalat yang dikerjakan. Maksudnya tuntutan untuk mengerjakannya gugur dengan hal itu. Sedangkan untuk mendapatkan pahalanya, maka terhenti dengan adanya niat sebab hadits Nabi: Bahwa keabsahan ‘amal-‘amal adalah tergantung kesempurnaan niat. Seperti yang telah disampaikan oleh ‘ulama’ kurun akhir dan guru kita menjadikannya sebagai pedoman. Namun zhāhir dari komentar para sahḥābya‘ni hasilnya pahala dari shalat-shalat tersebut, walaupun tidak berniat besertaan dengan shalat yang dikerjakan, dan itu juga merupakan pendapat dalam Majmū‘. Disunnahkan di raka‘at awal dan shalat sunnah wudhū’ – setelah membaca surat Fātiḥah – untuk membaca ayat25: (وَ لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ) sampai lafazh (رَحِيْمًا), dan di raka‘at kedua ayat26: (وَ مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ) sampai lafazh (رَحِيْمًا).
26 An-Nisā’ ayat: 110.
Shalat Awwābīn.
Sebagian dari pembagian shalat sunnah yang pertama adalah shalat awwābīn27 sebanyak 20 raka‘at di antara shalat Maghrib dan ‘Isyā’. Diriwayatkan pula 6, 4, 2 raka‘at. Dan dua raka‘at ini merupakan minimalnya. Shalat awwābīn juga dapat dihasilkan dengan melakukan shalat-shalat qadhā’ dan selainnya,28 berbeda dengan guru kita. Sebaiknya mengerjakan shalat awwābīn setelah selesai dari dzikir shalat Maghrib.
28Sebab shalat ini sama seperti shalat taḥiyyat masjid. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 299. Dār-ul-Fikr.
Shalat Tasbīḥ.
Dan sebagian lagi adalah shalat sunnah tasbīḥ sebanyak 4 raka‘at dengan satu atau dua salam. Hadits tentang shalat tasbīḥ ini adalah hadits ḥasan sebab banyaknya rawi yang meriwayatkannya. Di dalam shalat tasbīḥ terdapat pahala yang tidak terhingga, oleh sebab itu sebagian ‘ulamā’ muḥaqqiqīn mengatakan: Tidaklah seseorang mendengar dengan keagungan keutamaan shalat tasbīḥ, lantas meninggalkannya kecuali ia adalah orang-orang yang menyepelekan agama. Seseorang yang mengerjakan shalat tasbīḥ mengucapkan di setiap raka‘at dari shalat tersebut 15 lafazh (سُبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ للهِ) sampai akhir 15 kali setelah membaca fātiḥah dan surat-suratan, 10 kali di setiap ruku‘ i‘tidāl, dua sujūd, duduk di antara dua sujūd – setelah dzikir – yang telah diajarkan di dalamnya dan di dalam duduk istirahat. Takbīr berdiri dari dari sujūd dilakukan saat akan duduk istirahat, bukan saat berdiri dari duduk itu. Dzikir-dzikir shalat tasbīḥ di waktu tasyahhud dilakukan sebelum membaca tasyahhud. Diperbolehkan menjadikan posisi 15 tasbīḥ berada sebelum membaca fātiḥah, dan ketika itu maka 10 tasbīḥ duduk istirahat dibaca setelah membaca fātiḥah dan surat. Jikalau seseorang ingat saat melakukan i‘tidāl telah meninggalkan tasbīḥ, maka tidak diperbolehkan untuk kembali ke posisi rukū‘ dan juga tidak diperbolehkan untuk membaca tasbīḥ tersebut di waktu i‘tidāl sebab i‘tidāl adalah rukun pendek, akan tetapi bacalah di waktu sujūd. Disunnahkan untuk tidak meninggalkan shalat tasbīḥ selama satu minggu atau satu bulan.29
Post a Comment