FASAL TENTANG SHALAT JENAZAH

FASAL TENTANG
SHALAT JENAZAH



فَصْلٌ : فِي الصَّلَاةِ عَلَى الْمَيِّتِ

وَ شُرِعَت بِالْمَدِيْنَةِ، وَ قِيْلَ هِيَ مِنْ خَصَائِصِ هذِهِ الْأُمَّةِ. (صَلَاةُ الْمَيِّتِ) أَيِ الْمَيِّتِ الْمُسْلِمِ غَيْرِ الشَّهِيْدِ (فَرْضُ كِفَايَةٍ) لِلْإِجْمَاعِ وَ الْأَخْبَارِ، (كَغَسْلِهِ، وَ لَوْ غَرِيْقًا) لِأَنَّا مَأْمُوْرُوْنَ بِغَسْلِهِ، فَلَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنَّا إِلَّا بِفِعْلِنَا، وَ إِنْ شَاهِدْنَا الْمَلَائِكَةَ تَغْسِلُهُ. وَ يَكْفِيْ غَسْلُ كَافِرٍ.

Syarī‘at Shalat Jenazah

Shalat terhadap mayat disyarī‘atkan di Madīnah. Ada yang mengatakan, bahwa shalat ini adalah termasuk kekhususan umat Islam. Menshalati jenazah orang Islam yang bukan mati syahīd hukumnya adalah fardhu kifāyah1 berdasarkan ijma‘ ‘ulamā’2 dan beberapa hadits, sebagaimana hukum memandikannya sekalipun akibat tenggelam di dalam air, sebab kita diperintah memandikannya. Dengan demikian, perintah memandikan belum gugur sebelum kita sendiri yang memandikan, sekalipun kita sendiri menyaksikan bahwa ada malaikat yang memandikan mayat itu.3 Telah cukup memenuhi kewajiban dengan adanya seorang kafir yang memandikannya.4

1Bagi orang yang mengetahui kematiannya dari kerabat atau yang lainnya atau tidak mengetahui, namun karena kecerobohannya seperti yang meninggal adalah tetangganya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 124. Dār-ul-Fikr.
2Selain memandikan mayit sebab madzhab Mālikiyyah menghukumi sunnah memandikan mayit. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 124. Dār-ul-Fikr.
3Berbeda dengan mengkafani dan menguburkannya, maka cukuplah dari malaikat yang melakukan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 124. Dār-ul-Fikr.
4Sebab tujuan dari memandikan adalah hasilnya kebersihan yang telah dapat dicapai dengan orang kafir. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 124. Dār-ul-Fikr.


وَ يَحْصُلُ أَقَلُّهُ (بِتَعْمِيْمِ بَدَنِهِ بِالْمَاءِ) مَرَّةً حَتَّى مَا تَحْتَ قُلْفَةِ الْأَقْلَفِ عَلَى الْأَصَحِّ صَبِيًّا كَانَ الْأَقْلَفُ أَوْ بَالِغًا. قَالَ الْعُبَادِيُّ وَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ: لَا يَجِبُ غَسْلُ مَا تَحْتَهَا. فَعَلَى الْمُرَجَّحِ لَوْ تَعَذَّرَ غَسْلُ مَا تَحْتَ الْقُلْفَةِ بِأَنَّهَا لَا تَتَقَلَّصُ إِلَّا بِجُرْحٍ، يُمَمُّ عَمَّا تَحْتَهَا. كَمَا قَالَهُ شَيْخُنَا، وَ أَقَرَّهُ غَيْرُهُ. وَ أَكْمَلُهُ: تَثْلِيْثُهُ، وَ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ خَلْوَةٍ، وَ قَمِيْصٍ، وَ عَلَى مُرْتَفِعٍ بِمَاءٍ بَارِدٍ إِلَّا لِحَاجَةٍ كَوَسَخٍ وَ بَرْدٍ، فَالْمُسَخَّنُ حِيْنَئِذٍ أَوْلَى. وَ الْمَالِحُ أَوْلَى مِنَ الْعَذْبِ.

Memandikan Mayat

Minimal memandikan mayat itu bisa terwujud dengan cara meratakan air pada tubuh mayat sampai bagian di bawah kulit kepala dzakar bagi mayat yang belum khitan menurut pendapat ashaḥḥ, baik anak itu kecil atau sudah bāligh. Imām al-‘Ubādī dan sebagian ‘ulamā’ Ḥanafiyyah berpendapat: hukumnya tidak wajib membasuh anggota di bawahnya. Berpijak dengan pendapat yang rājiḥ di atas, apabila dirasakan sulit membasuh bagian bawah kulit kepala dzakar tersebut, sebagaimana kulit itu tidak bisa dibuka, kecuali dengan melukainya, maka wajib melakukan tayammum sebagai gantinya.5 Demikianlah menurut pendapat guru kami, yang kemudian ditetapkan oleh lainnya. Yang paling sempurna, adalah menyiramkan air tersebut diulang sebanyak tiga kali. Dalam memandikan mayat hendaknya di tempat yang sepi dan berbaju kurung, di tempat yang lebih tinggi, dengan air dingin, kecuali ada keperluan, misalnya menghilangkan kotoran atau suasana dingin. Maka dalam keadaan seperti ini, mengenakan air panas adalah lebih utama. Sedang menggunakan air yang asin lebih utama dari pada yang tawar.

5Ini adalah pendapat Imām Ibnu Ḥajar, sedangkan Imām Ramlī mengatakan bahwa jika di bawahnya terdapat najisnya, maka tidak boleh ditayammumi, namun langsung dikebumikan tanpa dishalati. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 125. Dār-ul-Fikr.

وَ يُبَادِرُ بِغَسْلِهِ إِذَا تَيَقَّنَ مَوْتُهُ، وَ مَتَى شَكَّ فِيْ مَوْتِهِ وَجَبَ تَأْخِيْرُهُ إِلَى الْيَقِيْنِ، بِتَغَيُّرِ رِيْحٍ وَ نَحْوِهِ. فَذِكْرِهُمُ الْعَلَامَاتُ الْكَثِيْرَةُ لَهُ إِنَّمَا تُفِيْدُ، حَيْثُ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ شَكٌّ. وَ لَوْ خَرَجَ مِنْهُ بَعْدَ الْغُسْلِ نَجَسٌ لَمْ يَنْقُضِ الطُّهْرَ، بَلْ تَجِبُ إِزَالَتُهُ فَقَطْ إِنْ خَرَجَ قَبْلَ التَّكْفِيْنِ، لَا بَعْدَهُ. وَ مَنْ تَعَذَّرَ غُسْلُهُ لِفَقْدِ مَاءٍ أَوْ لِغَيْرِهِ: كَاحْتِرَاقٍ، وَ لَوْ غُسِلَ تَهَرَّى يُمِمُّ وُجُوْبًا.

(Sunnah) segera memandikannya. Jika telah diyakini sudah mati. Apabila masih diragukan akan kematiannya, maka wajib menundanya6 sampai benar-benar diyakini kematiannya, misalnya bau mayat berubah atau lainnya. Karena itu, para fuqahā’ menuturkan tanda-tanda kematian seseorang yang banyak sekali dan dapat berguna bila kematiannya sudah tidak diragukan lagi. Apabila setelah dimandikan mayat mengeluarkan najis,7 maka kesuciannya tidak rusak tapi hanya wajib dihilangkan saja jika keluarnya sebelum dibungkus kafan tidak wajib menghilangkannya bukan jika keluarnya setelah dibungkus kafan. Mayat yang tidak bisa dimandikan karena tidak ada air atau lainnya, misalnya akan rontok, maka wajib ditayammumi.

6Imām ‘Alī Sibramalisī mengataka: Sebaiknya yang wajib diakhirkan adalah menguburkan bukan memandikan dan mengkafani, sebab jika memang ia masih hidup maka hal itu tidaklah masalah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 126. Dār-ul-Fikr.
7Dan jika najis tidak bisa berhenti, maka sah mandinya dan shalatnya sebab mayat tersebut seperti orang beser. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 127. Dār-ul-Fikr.


فَرْعٌ : الرَّجُلُ أَوْلَى بِغُسْلِ الرَّجُلِ، وَ الْمَرْأَةُ أَوْلَى بِغُسْلِ الْمَرْأَةِ، وَ لَهُ غُسْلُ حَلِيْلَةٍ، وَ لِزَوْجَةٍ لَا أَمَةٍ غُسْلُ زَوْجِهَا، وَ لَوْ نَكَحَتْ غَيْرَهُ، بِلَا مَسٍّ، بَلْ بِلَفِّ خِرْقَةٍ عَلَى يَدٍ. فَإِنْ خَالَفَ صَحَّ الْغُسْلُ. فَإِن لَمْ يَحْضَرْ إِلَّا أَجْنَبيٌّ فِي الْمَرْأَةِ أَوْ أَجْنَبِيَّةٌ فِي الرَّجُلِ يُمَمُّ الْمَيِّتُ. نَعَمْ، لَهُمَا غُسْلُ مَنْ لَا يُشْتَهَى مِنْ صَبِيٍّ أَوْ صَبِيَّةٍ، لِحِلِّ نَظَرِ كُلٍّ وَ مَسِّهِ. وَ أَوْلَى الرِّجَالِ بِهِ أَوْلَاهُمْ بِالصَّلَاةِ كَمَا يَأْتِيْ.

(Cabangan Masalah). Orang laki-laki lebih utama untuk memandikan mayat laki-laki, dan perempuan lebih utama untuk memandikan mayat perempuan. Orang laki-laki boleh memandikan mayat yang merupakan ḥalīlah-nya (istri atau wanita amah (hamba perempuan)). Sang istri – bukan amah – , boleh memandikan suaminya, sekalipun ia telah menikah dengan laki-laki lain, tanpa menyentuh mayat itu, akan tetapi tangannya dibungkus dengan kain. Jika menyalahi aturan tersebut, maka mandinya tetap sah.8 Apabila untuk mayat wanita hanya ada laki-laki lain atau untuk laki-laki hanya ada wanita lain,9 maka mayat cukup ditayammumi saja. Memang benar memandikan mayat yang tidak menimbulkan syahwat, baik itu berupa anak laki-laki atau perempuan, lantaran mereka halal memandang juga menyentuhnya. Laki-laki yang lebih utama memandikan mayat adalah laki-laki yang lebih berhak menshalatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti.

8Sebab memakai sarung tangan dan tidak menyentuh hukumnya hanya sunnah baginya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 127. Dār-ul-Fikr.
9Batasan dari tidak ada yang memandikan adalah adanya orang memandikan berada pada tempat yang tidak wajib untuk mencari air di tempat tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 127. Dār-ul-Fikr.


وَ تَكْفِيْنُهُ بِسَاتِرِ عَوْرَةٍ - مُخْتَلِفَةٍ بِالذُّكُوْرَةِ وَ الْأُنُوْثَةِ، دُوْنَ الرِّقِّ وَ الْحُرِّيَةِ، فَيَجِبُ فِي الْمَرْأَةِ وَ لَوْ أَمَةً مَا يَسْتُرُ غَيْرَ الْوَجْهِ وَ الْكَفَّيْنِ. وَ فِي الرَّجُلِ مَا يَسْتُرُ مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَ الرُّكْبَةِ. وَ الْاِكْتِفَاءُ بِسَاتِرِ الْعَوْرَةِ هُوَ مَا صَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِيْ أَكْثَرِ كُتُبِهِ، وَ نَقَلَهُ عَنِ الْأَكْثَرِيْنَ، لِأَنَّهُ حَقٌّ للهِ تَعَالَى. وَ قَالَ آخَرُوْنَ: يَجِبُ سَتْرُ جَمِيْعَ الْبَدَنِ وَ لَوْ رَجُلًا. وَ لِلْغَرِيْمِ مَنْعُ الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ كُلِّ الْبَدَنِ، لَا الزَّائِدِ عَلَى سَاتِرِ الْعَوْرَةِ، لِتَأَكُّدِ أَمْرِهِ، وَ كَوْنِهِ حَقًّا لِلْمَيِّتِ بِالنِّسْبَةِ لِلْغُرَمَاءِ، وَ أَكْمَلُهُ لِلذَّكَرِ ثَلَاثَةٌ يَعُمُّ كُلٌّ مِنْهَا الْبَدَنَ، وَ جَازَ أَنْ يُزَادَ تَحْتَهَا قَمِيْصٌ وَ عِمَامَةٌ، وَ لِلْأُنْثَى إِزَارٌ، فَقَمِيْصٌ، فَخِمَارٌ فَلَفَافَتَانِ.

Mengkafani Mayit

Hukumnya juga fardhu kifāyah membungkus mayat dengan kafan yang dapat menutup auratnya10 yang dapat membedakan antara aurat laki-laki dan perempuan dan tidak usah dibedakan antara mayat budak dengan yang merdeka. Karena itu, wajib untuk mayat wanita – sekalipun budak – kafan yang dapat menutup seluruh tubuh selain wajah dan kedua tapak tangannya, dan untuk mayat laki-laki adalah kafan yang dapat menutupi antara pusat dan lutut. Mencukupkan – sekedar cukup – dengan kafan yang dapat menutup aurat adalah yang dibenarkan oleh Imām an-Nawawī di dalam kebanyakan kitabnya, di mana beliau mengutipnya dari mayoritas ‘ulamā’ sebab yang demikian tersebut merupakan hak Allah s.w.t. ‘Ulamā’-‘ulamā’ lain berkata: Wajib menutup seluruh tubuh mayat, sekalipun laki-laki. Bagi pemiutang boleh melarang pemakaian kafan yang melebihi penutupan seluruh tubuh mayat bukan melarang penutupan yang melebihi menutup aurat11 -, sebab sangat dianjurkan perintah untuk menutup melebihi penutupan aurat dan karena merupakan hak si mayat jika dinisbatkan kepada para pemiutang. Yang paling sempurna kafan untuk laki-laki adalah tiga lapis, yang masing-masing menutup seluruh tubuh dan masih boleh ditambah12 di dalamnya dengan baju kurung dan serban. Untuk wanita adalah kebaya, baju kurung, penutup kepala dan dua lapis kafan.

10Ini adalah pendapat yang lemah, sedangkan yang kuat adalah menutup seluruh badan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 128. Dār-ul-Fikr.
11Baik mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa minimal mengkafani mayat adalah menutupi aurat saja ataupun pendapat yang mengatakan bahwa kewajibannya menutupi seluruh tubuh. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 129. Dār-ul-Fikr.
12Syarat penambahan tersebut bila ahli warisnya semua ahli tabarru’ dan ridha, bila ahli warisnya ada yang berupa anak kecil, orang gila atau mahjūr ‘alaih, maka penambahan tersebut dilarang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 124. Dār-ul-Fikr.


وَ يُكْفَنُ الْمَيِّتُ بِمَا لَهُ لَبْسُهُ حَيًّا، فَيَجُوْزُ حَرِيْرٌ وَمُزَعْفَرٌ لِلْمَرْأَةِ وَ الصَّبِيِّ، مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَ مَحَلُّ تَجْهِيْزِهِ: التَّرْكَةُ، إِلَّا زَوْجَةٌ وَ خَادِمُهَا: فَعَلَى زَوْجٍ غَنِيٍّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُمَا، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ تِرْكَةٌ فَعَلَى مَنْ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ، مِنْ قَرِيْبٍ، وَ سَيِّدٍ، فَعَلَى بَيْتِ الْمَالِ، فَعَلَى مَيَاسِيْرِ الْمُسْلِمِيْنَ.

Kafan mayat adalah sesuai dengan jenis kain yang boleh dipakai di waktu hidup. Karena itu, boleh bagi wanita atau anak kecil dikafani dengan kain sutra dan yang dicelup dengan za‘faran, namun hukumnya adalah makrūh. Biaya13 perawatan mayat diambilkan dari harta peninggalan mayat, kecuali yang mati itu istri atau pelayannya, maka pembiayaan ditanggug oleh suami yang kaya yang wajib memberi nafkah kepada mereka. Jika si mayat tidak meninggalkan harta, maka pembiayaannya dibebankan kepada penanggung nafkah, baik itu kerabat atau majikannya. Jika mayat tidak ada penanggung nafkahnya, maka pembiayaan dipikul oleh bait-ul-māl, kemudian jika bait-ul-māl tidak ada, maka orang-orang kaya dari golongan Muslimīn harus menanggungnya.

13Maksud dari biaya ini adalah biaya memandikan, ongkos membeli air, mengkafani, menggali quburan dan membawa mayat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 124. Dār-ul-Fikr.

وَ يَحْرُمُ التَّكْفِيْنُ فِيْ جِلْدٍ إِنْ وُجِدَ غَيْرُهُ، وَ كَذَا الطِّيْنُ، وَ الْحَشِيْشُ، فَإِنْ لَمْ يُوْجَدْ ثَوْبٌ وَجَبَ جِلْدٌ، ثُمَّ حَشِيْشٌ، ثُمَّ طِيْنٌ فِيْمَا اسْتَظْهَرَهُ شَيْخُنَا. وَ يَحْرُمُ كِتَابَةُ شَيْءٍ مِنَ الْقُرْآن وَ اسْمَاءِ اللهِ تَعَالَى عَلَى الْكَفَنِ. وَ لَا بَأْسَ بِكِتَابَتِهِ بِالرِّيْقِ، لِأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ. وَ أَفْتَى ابْنُ الصَّلَاحِ بِحُرْمَةِ سَتْرِ الْجَنَازَةِ بِحَرِيْرٍ وَ لَوِ امْرَأَةً كَمَا يَحْرُمُ تَزْيِيْنُ بَيْتِهَا بِحَرِيْرٍ. وَ خَالَفَهُ الْجَلَالُ الْبُلْقِيْنِيُّ، فَجَوَّزَ الْحَرِيْرَ فِيْهَا وَ فِي الطِّفْلِ، وَ اعْتَمَدَهُ جَمْعٌ، مَعَ أَنَّ الْقِيَاسَ الْأَوَّلَ.

Haram mengkafani mayat dengan kulit,14 bila masih ada yang lainnya. Begitu juga haram memakai lumpur atau rumput. Jika tidak ada pakaian, maka wajib membungkus dengan kulit, kalau tidak ada, maka memakai rumput, kalau tidak ada, maka memakai lumpur, demikian menurut pendapat yang dijelaskan oleh guru kami. Haram menuliskan lafazh-lafazh al-Qur’ān atau nama-nama Allah s.w.t. di atas kafan mayat.15 Kalau ditulis menggunakan air ludah, maka tidaklah menjadi masalah, sebab hal ini tidak akan membekas. Imām Ibnu Shalāḥ memberi fatwā bahwa menutup mayat dengan kain sutra, sekalipun mayat wanita adalah haram sebagaimana halnya seorang wanita menghiasi rumahnya dengan sutra. Pendapat tersebut ditentang oleh Imām Jalāl al-Bulqīnī di mana dia memperbolekan hal itu untuk jenazah wanita dan kanak-kanak.16 Pendapat ini lantas dibuat pegangan oleh segolongan ‘ulamā’ besertaan hukum qiyasnya adalah yang pertama (haram).

14Sebab hal tersebut menghina mayit. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 131. Dār-ul-Fikr.
15Berbeda dengan fatwā dari Imām Ibnu ‘Ujail yang memperbolehkan menulis hal tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 132. Dār-ul-Fikr.
16Hal ini tidak disebut dengan menyia-nyiakan harta, sebab ada tujuannya ya‘ni memuliakan mayit. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 132. Dār-ul-Fikr.


وَ دَفْنُهُ فِيْ حُفْرَةٍ تَمْنَعُ - بَعْدَ طَمِّهَا (رَائِحَةً) أَيْ ظُهُوْرُهَا، (وَ سَبُعًا) أَيْ نَبْشُهُ لَهَا، فَيَأْكُلَ الْمَيِّتَ. وَ خَرَجَ بِحُفْرَةٍ: وَضْعُهُ بِوَجْهِ الْأَرْضِ وَ يُبْنَى عَلَيْهِ مَا يَمْنَعُ ذَيْنِكَ، حَيْثُ لَمْ يَتَعَذَّرِ الْحَفْرُ. نَعَمْ، مَنْ مَاتَ بِسَفِيْنَةٍ وَ تَعَذَّرَ الْبَرُّ جَازَ إِلْقَاؤُهُ فِي الْبَحْرِ، وَ تَثْقِيْلُهُ لِيَرْسُبَ، وَ إِلَّا فَلَا. وَ بِتَمْنَعُ ذَيْنِكَ مَا يَمْنَعُ أَحَدُهُمَا كَأَنِ اعْتَادَتْ سِبَاعُ ذلِكَ الْمَحَلِّ الْحَفْرَ عَنْ مَوْتَاهُ فَيَجِبُ بِنَاءُ الْقَبْرِ، بِحَيْثُ يَمْنَعُ وُصُوْلَهَا إِلَيْهِ. وَ أَكْمَلُهُ قَبْرٌ وَاسِعٌ عُمُقِ أَرْبَعَةِ أَذْرُعٍ وَ نِصْفٍ بِذِرَاعِ الْيَدِ. وَ يَجِبُ اضْطِجَاعُهُ لِلْقِبْلَةِ. وَ يُنْدَبُ الْإِفْضَاءُ بِخَدِّهِ الْأَيْمَنِ بَعْدَ تَنْحِيَةِ الْكَفْنِ عَنْهُ إِلَى نَحْوِ تُرَابٍ، مُبَالَغَةً فِي الْاِسْتِكَانَةِ وَ الذُّلِّ، وَ رَفْعُ رَأْسِهِ بِنَحْوِ لَبِنَةٍ. وَ كُرِهَ صُنْدُوْقٌ إِلَّا لِنَحْوِ نَدَاوَةٍ فَيَجِبُ.

Menguburkan Mayit

(Fardhu kifāyah) mengubur mayat di dalam lubang yang setelah ditimbuni tanah kembali, sehingga bau mayat tidak tampak, serta aman dari binatang buas yang akan memakannya. Tidak masuk dalam ketentuan “di dalam lubang” jika mayat diletakkan di atas tanah,17 kemudian dibangun sedemikian rupa di atasnya, sehingga bau mayat tidak tampak lagi dan aman dari pembongkaran binatang buas selagi penggalian lubang tidak mendapat kesulitan. Memang benar, tapi orang yang mati di atas perahu dan sulit untuk menemukan daratan, maka boleh melemparkan ke laut dan diberi beban agar dapat tenggelam. Jika tidak sukar, maka mayat tidak boleh dilemparkan ke laut. Dan dikecualikan dengan ucapanku: “Dapat mencegah dua hal tersebut” adalah dapat mencegah salah satunya saja seperti kebiasaan binatang buas di tempat tersebut menggali maqam mayat yang ada maka wajib untuk membangunnya sekira dapat mencegah sampainya binatang tersebut. Kesempurnaan18 dalam mengubur mayat adalah maqam yang luas dengan dalam 4 ½ Hasta tangan. Wajib untuk memiringkan mayit ke arah qiblat.19 Sunnah untuk meletakkan pipi mayat yang kanan pada semacam tanah setelah melepas kain kafan agar terasa rendah diri dan hina. Sunnah untuk meninggikan kepalanya dengan semacam bantalan tanah. Makruh untuk mengubur mayat di dalam peti, kecuali tanahnya basah maka wajib untuk menaruh dalam peti.

17Sebab hal itu tidak dinamakan dengan menguburkan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 132. Dār-ul-Fikr.
18Sebaiknya kadarnya adalah sekira cukup untuk orang yang menurun mayat dan mayat tersebut, tidak lebih dari itu. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 132. Dār-ul-Fikr.
19Dengan menggunakan sisi tubuh sebelah kanan. Hal itu dilakukan sebab untuk menempatkan posisinya seperti posisi orang yang shalat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 133. Dār-ul-Fikr.


وَ يَحْرُمُ دَفْنُهُ بِلَا شَيْءٍ يَمْنَعُ وُقُوْعَ التُّرَابِ عَلَيْهِ وَ يَحْرُمُ دَفْنُ اثْنَيْنِ مِنْ جِنْسَيْنِ بِقَبْرٍ، إِنْ لَمْ يَكُنْ بَيْنَهُمَا مَحْرَمِيَّةٌ، أَوْ زَوْجِيَّةٌ، وَ مَعَ أَحَدِهِمَا كُرِهَ كَجَمْعِ مُتحِدَيْ جِنْسٍ فِيْهِ بِلَا حَاجَةٍ. وَ يَحْرُمُ أَيْضًا: إِدْخَالُ مَيِّتٍ عَلَى آخَرَ، وَ إِنِ اتَّحَدَا جِنْسًا، قَبْلَ بَلَاءِ جَمِيْعِهِ، وَ يَرْجَعُ فِيْهِ لِأَهْلِ الْخُبْرَةِ بِالْأَرْضِ. وَ لَوْ وُجِدَ بَعْضُ عَظْمِهِ قَبْلَ تَمَامِ الْحَفْرِ وَجَبَ رَدُّ تُرَابِهِ، أَوْ بَعْدَهُ فَلَا. وَ يَجُوْزُ الدَّفْنُ مَعَهُ، وَ لَا يُكْرَهُ الدَّفْنُ لَيْلًا خِلَافًا لِلْحَسَنِ الْبَصَرِيِّ وَ النَّهَارُ أَفْضَلُ لِلدَّفْنِ مِنْهُ وَ يُرْفَعُ الْقَبْرُ قَدْرَ شِبْرٍ نَدْبًا، وَ تَسْطِيْحُهُ أَوْلَى مِنْ تَسْنِيْمِهِ. وَ يُنْدَبُ لِمَنْ عَلَى شَفِيْرِ الْقَبْرِ أَنْ يُحْثِيَ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ بِيَدَيْهِ قَائِلًا مَعَ الْأُوْلىَ: {مِنْهَا خلَقْنَاكُمْ}. وَ مَعَ الثَّانِيَةِ: {وَ فِيْهَا نُعِيْدُكُمْ}. وَ مَعَ الثَّالِثَةِ: {وَ مِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى}.

Haram mengubur mayat tanpa sesuatu yang dapat mencegah longsornya tanah pada mayat. Haram mengubur dua mayat yang berlainan jenis kelamin dalam satu lubang kubur, jika antara keduanya tiada hubungan mahram atau suami istri. Jika masih ada hubungan mahram atau suami-istri, maka hukumnya adalah makrūh sebagaimana halnya dengan mengumpulkan dua mayat yang tunggal jenis tanpa ada hajat yang mengharuskan.20 Haram juga mengubur mayat pada lubang kubur yang sudah ditempati mayat lain sekalipun tunggal jenisnya, selama mayat lama belum lebur keseluruhannya.21 Untuk mengetahui leburnya adalah diserahkan kepada orang yang ahli tentang tanah. Jika ada sepotong tulang mayat yang lama ditemukan sebelum selesai penggalian kubur untuk mayat baru, maka wajib menimbunkan tanah kembali. Jika penemuannya setelah selesai penggalian, maka tidak wajib menimbun kembali, dan boleh dikubur bersama dengannya. Tidaklah makrūh mengubur mayat di malam hari, lain halnya dengan pendapat Imām al-Ḥasan al-Bashrī. Sedang di siang hari lebih utama dari pada malam hari. Sunnah meninggikan kuburan kira-kira satu jengkal, sedangkan meratakan tanah lebih utama dari pada membuat gundukan di atasnya. Sunnah bagi orang yang mengubur mayat yang berada di pinggir kubur untuk menaburkan debu sebanyak tiga kali.22 Untuk taburan pertama ucapkan: (مِنْهَا خلَقْنَاكُمْ) taburan kedua membaca: (وَ فِيْهَا نُعِيْدُكُمْ) dan untuk ketiga kali mengucapkan: (وَ مِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى).

20Berbeda dengan pendapat Imām Ramlī yang mengatakan bahwa hukumnya haram secara mutlak, baik satu jenis atau tidak baik ada hubungan mahram atau tidak sebab alasannya adalah agar tidak menyakiti mayit, bukan karena syahwat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 134. Dār-ul-Fikr.
21Jika telah lebur, maka hukumnya boleh, kecuali maqām yang telah terkenal sebagai wali. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 134. Dār-ul-Fikr.
22Agar mayit tersebut tidak di ‘adzāb dalam qubur tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 135. Dār-ul-Fikr.


مُهِمَّةٌ : يُسَنُّ وَضْعُ جَرِيْدَةِ خَضْرَاءَ عَلَى الْقَبْرِ، لِلِاتِّبَاعِ، وَ لِأَنَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُ بِبَرَكَةِ تَسْبِيْحِهَا. وَ قِيْسَ بِهَا مَا اُعْتِيْدَ مِنْ طَرْحِ نَحْوِ الرَّيْحَانِ الرَّطِبِ. وَ يَحْرُمُ أَخْذُ شَيْءٍ مِنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا لِمَا فِيْ أَخْذِ الْأُوْلَى مِنْ تَفْوِيْتِ حَظِّ الْمَيِّتِ الْمَأْثُوْرِ عَنْهُ، وَ فِي الثَّانِيَةِ مِنْ تَفْوِيْتِ حَقِّ الْمَيِّتِ بِاِرْتِيَاحِ الْمَلَائِكَةِ النَّازِلِيْنَ لِذلِكَ. قَالَهُ شَيْخَانَا ابْنِ حَجَرٍ وَ زِيَادٍ.

(Penting). Sunnah hukumnya meletakkan pelepah kurma yang masih segar23 – sebagai tindak mengikuti Nabi s.a.w. – karena berkat tasbih pelepah tersebut, siksa orang yang berada dalam kubur diperingan. Disamakan dengan pelepah kurma adalah hal yang telah dibiasakan yaitu menaburkan semacam bunga yang segar. Haram mengambil pelepah kurma atau bunga seperti yang tersebut di atas sebelum kering karena pengambilan pelepah kurma dapat memutuskan bagian mayat sebagaimana yang telah sampai dari Nabi s.a.w. Sedang mengambil bunga yang masih basah dapat memutuskan hak mayat dengan perginya para malaikat yang turun untuk mencium bunga tersebut. Demikianlah yang dikatakan oleh guru kami, Ibnu Ḥajar dan Ibnu Ziyād.24

23Sedangkan hukum menaman tanaman di atas qubur dan menyiramnya, maka jika hal tersebut sampai membahayakan seperti sampainya akar tumbuhan tersebut kepada mayit, maka hukumnya haram. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 3 hal. 198. Dār-ul-Fikr.
24Imām Ibnu Qāsim memilah hukumnya: Bila jumlahnya sedikit, maka haram untuk mengambilnya dan jika jumlahnya banyak, maka tidaklah mengapa. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 136. Dār-ul-Fikr.


وَ كُرِهَ بِنَاءٌ لَهُ - أَيْ لِلْقَبْرِ، (أَوْ عَلَيْهِ) لِصِحَّةِ النَّهْيِ عَنْهُ بِلَا حَاجَةٍ، كَخَوْفِ نَبْشٍ، أَوْ حَفْرِ سَبُعٍ أَوْ هَدْمِ سَيْلٍ. وَ مَحَلُّ كَرَاهَةِ الْبِنَاءِ، إِذَا كَانَ بِمُلْكِهِ، فَإِنْ كَانَ بِنَاءُ نَفْسِ الْقَبْرِ بِغَيْرِ حَاجَةٍ مِمَّا مَرَّ، أَوْ نَحْوِ قُبَّةٍ عَلَيْهِ بِمُسَبِّلَةٍ، وَ هِيَ مَا اعْتَادَ أَهْلُ الْبَلَدِ الدَّفْنَ فِيْهَا، عُرِفَ أَصْلُهَا وَ مُسْبِلُهَا أَمْ لَا، أَوْ مَوْقُوْفَةٍ، حَرُمَ، وَ هُدِمَ وُجُوْبًا، لِأَنَّهُ يَتَأَبَّدُ بَعْدَ انْمِحَاقِ الْمَيِّتِ، فَفِيْهِ تَضْيِيْقٌ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ بِمَا لَا غَرَضَ فِيْهِ.

Makrūh membangun kubur, baik untuk liang kubur atau di sekelilingnya – karena ada hadits shaḥīḥ yang melarangnya – , tanpa ada hajat semisal khawatir terbongkar, penggalian binatang buas atau hanyut oleh air. Hukum makrūh tersebut jika pembangunan kubur di tanah miliknya sendiri. Apabila membangun tanpa keperluan seperti di atas kubur di tanah milik penduduk daerah yang memang disediakan untuk penguburan mayat, baik pemilik semula diketahui atau tidak, atau dilakukan di atas kuburan wakaf, maka hukumnya adalah haram dan wajib dibongkar sebab bangunan yang seperti itu akan menjadi permanen setelah mayat membusuk dan hal tersebut akan menyempitkan orang-orang Islam tanpa ada tujuan di dalamnya.



تنبيه - وإذا هدم، ترد الحجارة المخرجة إلى أهلها إن عرفوا، أو يخلى بينهما، وإلا فمال ضائع، وحكمه معروف - كما قاله بعض أصحابنا - وقال شيخنا الزمزمي: إذا بلي الميت وأعرض ورثته عن الحجارة، جاز الدفن مع بقائها، إذا جرت العادة بالاعراض عنها، كما في السنابل.

(Peringatan) Jika bangunan tersebut dibongkar, maka batu-batunya harus dikembalikan kepada ahli waris jika bisa diketahui atau ditingalkan saja. Jika ahli warisnya tidak diketahui maka batu-batu tersebut dihukumi sebagai harta yang tersia-sia / yang hukumnya telah maklum25 seperti pendapat dari sebagian Ashhabusy Syafi'i. Guru kami, Az-Zamzami berkata: Jika mayat (dalam kasus di atas) telah busuk, serta ahli warisnya membiarkan batu - batu itu, maka boleh mengubur mayat lain beserta tetapnya batu - batunya, jika memang sudah berlaku adatistiadat tidak mempedulikan batu-batu seperti itu hal ini sama halnya masalah mengambil sisa-sisa padi yang tertinggal di sawah.

25Yakni diserahkan pada baitul mal yang muntadim dan jika tidak muntadim maka diserahkan pada orang shalih muslimin. Ianah Thalibin juz 2 Hal. 136 Darl Fikr.

و - كره (وطئ عليه) أي على قبر مسلم، ولو مهدرا قبل بلاء (إلا لضرورة)، كأن لم يصل لقبر ميته بدونه، وكذا ما يريد زيارته ولو غير قريب. وجزم شرح مسلم - كآخرين - بحرمة القعود عليه والوطئ، لخبر فيه يرده أن المراد بالجلوس عليه جلوسه لقضاء الحاجة، كما بينته رواية أخرى. (ونبش) وجوبا قبر من دفن بلا طهارة (لغسل) أو تيمم. نعم، إن تغير ولو بنتن، حرم. ولاجل مال غير، كأن دفن في ثوب مغصوب، أو أرض مغصوبة، إن طلب المالك، ووجد ما يكفن أو يدفن فيه، وإلا لم يجز النبش أو سقط فيه متمول وإن لم يطلبه مالكه، لا للتكفين إن دفن بلا كفن، ولا للصلاة بعد إهالة التراب عليه.

Makruh menginjak makam orang muslim - sekalipun mayat itu tadi adalah orang yang halal dibunuh - sebelum mayat membusuk kecuali karena darurat, misalnya kalau tidak menginjaknya maka seseorang tidak bisa mengubur mayat yang lain begitu juga makam yang kan diziarahi sekalipun bukan kerabatny . Mengenai keputusan yang ada dalam kitab Syarah Muslim sebagaimana pendapat fukaha yang lain, bahwa duduk di atas kubur hukumnya adalah haram dengan dalih hadits yang menerangkan semacam ini ditolak dengan argumen bahwa yang dimaksud dengan "duduk di atasnya" adalah duduk untuk berak atau kencing sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat lain. Mayat yang dikubur dalam keadaan belum suci, maka wajib dibongkar guna dimandikan atau ditayamumi. Namun, jika mayat tersebut sudah berubah walaupun berbau busuk maka hukumnya haram membongkarnya.26 Demikian juga wajib dibongkar karena ada harta orang lain yang ikut terkubur, misalnya mayat dibungkus dengan pakaian hasil ghasab, atau mayat dikubur di tanah ghasab jika kedua pemilik menuntutnya, juga masih ada pakaian untuk membungkus dan tanah untuk menguburnya. jika tidak sedemikian rupa, maka pembongkaran tidak boleh dilakukan. Contohnya lagi Ada harta berharga yang jatuh ke dalam kubur, sekalipun pemilik tidak menuntutnya.27 Tidak boleh dibongkar jika untuk sekadar membungkus mayat, jika mayat dikubur sebelum dibungkus.28 Dan tidak boleh dibongkar untuk menyalatinya setelah ditimbun tanah.29

26Sebab hal tersebut mencoreng kehormatan mayit, Ianah Thalibin juz 2 Hal. 138 Darl Fikr.
27Sebab hal tersebut menyia-nyiakan harta. Ianah Thalibin juz 2 Hal. 138 Darl Fikr.
28Sebab tujuannya mengkafani mayit adalah menutupi tubuh mayit dan itu telah dicukupi dengan tanah yang menutupinya. Ianah Thalibin juz 2 Hal. 139 Darl Fikr.
29Sebab kewajiban menyolati mayit telah dapat gugur dengan dishalati disamping quburan tersebut. Ianah Thalibin juz 2 Hal. 139 Darl Fikr.


ولا تدفن امرأة - ماتت (في بطنها جنين حتى يتحقق موته)، أي الجنين. ويجب شق جوفها والنبش له إن رجي حياته بقول القوابل، لبلوغه ستة أشهر فأكثر، فإن لم يرج حياته حرم الشق، لكن يؤخر الدفن حتى يموت - كما ذكر - وما قيل إنه يوضع على بطنها شئ ليموت غلط فاحش. (ووري) أي ستر بخرقة (سقط ودفن) وجوبا، كطفل كافر نطق بالشهادتين، ولا يجب غسلهما، بل يجوز. وخرج بالسقط العلقة والمضغة، فيدفنان ندبا من غير ستر. ولو انفصل بعد أربعة أشهر غسل، وكفن، ودفن وجوبا. (فإن اختلج) أو استهل بعد انفصاله (صلي عليه) وجوبا.

Mayat wanita yang hamil tidak boleh dikubur sehingga benar- benar telah jelas bahwa anak yang ada dalam kandungannya telah mati. Wajib melakukan pembedahan kandungan dan pembongkaran kubur jika menurut ahli kandungan bayi tersebut bisa diharapkan untuk hidup karena telah berumur 6 bulan. Jika sudah tidak bisa diharapkan akan hidupnya, maka pembedahan itu hukumnya haram. Namun penguburan harus ditunda sampai nyata kandungan telah mati, seperti dijelaskan di atas.Tentang pendapat yang mengatakan, bahwa agar dibebankan sesuatu pada perut mayat wanita yang hamil supaya bayinya mati, adalah pendapat yang benar-benar sala . Bayi yang gugur dalam kandungan sebelum masanya wajib dibungkus memakai kain dan dikubur sebagaimana halnya dengan anak orang kafir yang telah dapat mengucapkan dua Syahadat. Keduanya tidak wajib dimandikan, namun boleh dilakukan. Tidak termasuk pengertian "siqth", jika yang keluar berupa gumpalan darah atau daging maka sunah dikubur tanpa dibungkus. Jika bayi seperti yang tersebutkan di atas lahir setelah kandungan berumur 4 bulan, maka wajib dimandikan, dibungkus dan dikubur. Apabila setelah lahir bayi itu bisa bergerak-gerak atau bersuara, maka Wajib pula dishalati.30

30Kesimpulannya sepeti yan telah disebutkan dalam nihayah bahwa bayi yang lahir sebelum waktunya atau As-siqth ada beberapa keadaan . Pertama : bila tidak tampak bentuk manusia maka tidak wajib apapun namun sunah membungkusnya dan menguburnya. Kedua : jika telah tampak bentuk manusia namun tidak ada tanda-tanda kehidupan maka wajib semuanya kecuali menyalati. Ketiga : Jika telah tampak bentuk manusia dan ada tanda kehidupan maka hukumnya seperti orang dewasa. Ianah Thalibin juz 2 Hal. 140 Darl Fikr.

Tidak ada komentar