SYARAT-SYARATBERMA’MŪM II
SYARAT-SYARAT
BERMA’MŪM II
(Cabangan Masalah). Jikalau salah satu dari imām dan ma’mūm berada di bangunan atas dan yang lain di bawah, maka disyaratkan harus tidak adanya penghalang. Tidak disyaratkan melurusinya telapak kaki orang yang berada di atas, dengan kepala orang yang berada di bawah, walaupun keduanya berada di masjid sesuai dengan keterangan yang telah ditunjukkan oleh kitab Raudhah dan Asli-nya dan kitab Majmū‘, berbeda dengan pendapat sekelompok ‘ulamā.16 Dimakruhkan untuk meninggikan salah satu posisi imām atau ma’mūm dengan posisi yang lainnya, tanpa hajat,17 walaupun di dalam masjid.
17Bila ada hajat seperti mengajarkan ma’mūm tatacara shalat, maka tidaklah masalah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 37. Dār-ul-Fikr.
5. Mencocoki imām dalam mengerjakan atau meninggalkan kesunnahan-kesunnahan yang tampak jelas ketidak-setaraannya bila membedainya. Maka batal shalat ma’mūm yang terjadi di antara dirinya dan imām, yang mengalami perbedaan di dalam kesunnahan seperti sujūd tilāwah yang dilakukan imām dan ditinggalkan oleh ma’mūm dengan sengaja dan mengetahui keharamannya, tasyahhud awal yang dilakukan imām dan tinggalkan ma’mūm18 atau imām meninggalkan dan ma’mūm melakukan dengan sengaja dan mengetahui keharamannya, walaupun ma’mūm dapat menyusul imām dalam waktu dekat, sekira imām tidak melakukan duduk istirahat, sebab telah berpindahnya ma’mūm dari kewajiban mengikuti imām dengan melakukan kesunnahan. Sedangkan kesunnahan yang tidak tampak ketidak-setaraannya ketika membedai, maka tidaklah masalah mengerjakan hal tersebut seperti mengerjakan doa qunūt yang ma’mūm masih menemukan sujūd awal dari imām bila ma’mūm mengerjakan doa qunūt tersebut.
Doa qunūt berbeda dengan tasyahhud awal sebab ma’mūm dalam tasyahhud awal ini melakukan duduk yang tidak dilakukan oleh sang imām sedangkan ma’mūm dalam kasus membaca doa qunūt hanya memperpanjang bacaan di tempat imām berada, maka tidaklah terjadi perbedaan yang mencolok. Begitu pula tidak masalah mengerjakan tasyahhud awal jikalau seorang imām duduk istirahat, sebab yang bermasalah itu adalah melakukan duduk yang tidak dilakukan oleh imām. Jika imām tidak melakukan duduk istirahat,19 maka tidaklah diperbolehkan untuk melakukan tasyahhud dan itu membatalkan shalatnya orang yang mengetahui keharamannya dan dilakukan dengan kesengajaan selama tidak berniat memisahkan diri dengan imām. Memisahkan diri dari imām dalam permasalahan ini termasuk kategori ‘udzur, maka hukumnya lebih utama. Jikalau seorang ma’mūm belum selesai membaca tasyahhud serta telah selasainya imām, maka diperbolehkan bagi ma’mūm untuk mengakhirkan diri guna menyelesaikannya, bahkan hal itu disunnahkan bila ma’mūm tahu bahwa dirinya dapat menemukan fātiḥah imām dengan sempurna sebelum rukū‘nya imām, tidak mengakhirkan diri dari imām untuk menyempurnakan bacaan surat, bahkan hukumnya makruh ketika ma’mūm tidak dapat menyusul imām dalam posisi rukū‘.
6. Di antara syarat qudwah selanjutnya adalah tidak tertinggal dari imām dua rukun fi‘lī yang terus-menerus dan sempurna tanpa ada ‘udzur20 serta dengan kesengajaan dan mengetahui keharamannya – walaupun dua rukun tersebut tidaklah panjang -. Jika ma’mūm tertinggal dengan dua rukun, maka shalatnya batal sebab terlihat jelasnya ketidak-setaraan, seperti imām rukū‘ lantas i‘tidāl dan turun melakukan sujūd – maksudnya telah melewati batasan berdiri – sedangkan ma’mūm masih berdiri. Dikecualikan dari dua rukun fi‘lī adalah dua rukun qaulī dan satu rukun qaulī besertaan satu rukun fi‘lī.
7. Tidak tertinggal dari imām dengan sengaja dan mengetahui keharamannya lebih21 dari tiga rukun panjang sebab ‘udzur yang mewajibkan untuk mengakhirkan diri dari imām. Maka tidaklah dihitung sebagai rukun yang panjang i‘tidāl dan duduk di antara dua sujūd. Contoh dari ‘udzur adalah seperti cepatnya imām22 dalam membaca, sedang ma’mūm lambat bacaannya sebab pembawaannya. Bukanlah ‘udzur waswas atau lambatnya gerakan. Dan seperti menunggunya seorang ma’mūm berhentinya bacaan imām agar ia dapat membaca fātiḥah di waktu berhentinya imām tersebut, lantas imām langsung rukū‘ setelah berhenti dari bacaannya. Dan seperti lupanya ma’mūm dari membaca fātiḥah sampai imām rukū‘. Begitu pula keraguan ma’mūm terhadap bacaan fātiḥahnya sebelum rukū‘nya imām. Untuk kasus tertinggal dari imām sebab waswas dengan mengulang-ulang kalimat fātiḥah tanpa ada hal yang mewajibkan, maka bukanlah ‘udzur. Guru kita mengatakan: Sebaiknya bagi seorang yang memiliki waswas yang telah menjadi seperti bawaan – sekira orang yang melihatnya dapat memastikan bahwa orang tersebut tidak mungkin untuk meninggalkannya – dihukumi seperti hukum orang yang lambat gerakannya. Maka wajib bagi ma’mūm dalam permasalahan yang telah disebutkan untuk menyempurnakan fātiḥahnya selama tidak tertinggal tiga rukun panjang.
22Maksudnya cepat adalah bacaan standar sebab pembandingnya adalah ma’mūm yang lambat bacaannya, jika imām benar-benar cepat sekali dengan sekira ma’mūm yang bacaan standar tidak menemukan waktu yang cukup guna menyelesaikan bacaan fātiḥahnya, maka wajib bagi ma’mūm untuk rukū‘ besertaan imām walaupun di seluruh raka‘at. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 40. Dār-ul-Fikr.
Apabila seorang ma’mūm tertinggal sebab ‘udzur lebih dari tiga rukun dengan tidak menyelesaikan bacaan fātiḥah kecuali imām telah terdiri dari sujūd atau telah duduk untuk tasyahhud, maka wajib baginya menyesuaikan diri dengan imām di rukun yang ke-empat ya‘ni berdiri atau duduk tasyahhud dan meninggalkan tartīb shalatnya. Kemudian setelah salām imām, ia wajib menambah kekurangan raka‘atnya. Apabila ma’mūm tersebut tidak menyesuaikan dengan imām dalam rukun yang keempat besertaan dengan mengetahuinya kewajiban mengikuti imām dan tidak berniat memisahkan diri dengan imām, maka shalatnya batal jika ia mengerti dan sengaja melakukannya. Apabila ma’mūm rukū‘ bersama imām dan merasa ragu apakah sudah membaca fātiḥah atau ingat bahwa dia belum membacanya, maka ia tidak boleh kembali berdiri dan setelah imām salām, wajib baginya untuk menambah raka‘atnya. Jika ia kembali dengan mengetahui keharamannya dan sengaja, maka shalatnya batal. Kalau tidak tahu dan tidak sengaja, maka shalatnya tidak batal. Jika ma’mūm telah yakin membaca fātiḥah, namun ia bimbang atas kesempurnaannya, maka hal tersebut tidak membawa pengaruh apapun.
Jikalau seorang ma’mūm masbūq23 menyibukkan diri dengan kesunnahan seperti membaca ta‘awwudz, atau doa iftitāḥ. Masbūq adalah ma’mūm yang tidak mendapatkan dari berdirinya imām waktu yang cukup untuk membaca fātiḥah dengan ukuran bacaan yang standar. Masbūq adalah kebalikan dari ma’mūm muwāfiq. Jikalau ma’mūm merasa ragu apakah mendapat waktu yang cukup untuk membaca fātiḥah?, maka akhirkan diri dari imām untuk menyempurnakan fātiḥah dan ia tidak menemui imām dalam rukū‘. Atau ma’mūm masbūq tersebut tidak tersibukkan dengan sesuatu apapun dengan diam membisu dalam waktu setelah takbīrat-ul-iḥrām dan sebelum membaca fātiḥah, padahal ia tahu bahwa kewajibannya adalah membaca fātiḥah atau terdiam dengan mendengarkan bacaan fātiḥah imām, maka wajib baginya untuk membaca fātiḥah setelah rukū‘nya imām – baik ia mengetahui bahwa dirinya dapat menyusul imām sebelum bangkit dari rukū‘ atau tidak, menurut pendapat yang aujah – kadar huruf kesunnahan yang dibaca sesuai dengan praduganya atau kadar waktu dari diamnya, sebab kecerobohannya dengan berpaling dari kefardhuan menuju selain fardhu.
Dianggap suatu ‘udzur bagi ma’mūm masbūq yang tertinggal karena membaca fātiḥah seukuran bacaan sunnah di atas, seperti hukum orang yang lambat bacaannya sebagaimana yang dikatakan oleh Imām an-Nawawī dan ar-Rāfi‘ī, seperti halnya Imām al-Baghawī, dengan alasan wajib mengakhirkan diri. Maka ia wajib mengakhirkan diri dan akan mendapat satu raka‘at, selagi tidak tertinggal lebih dari tiga rukun shalat. Lain halnya dengan pendapat yang menjadi pedoman dari segolongan ‘ulamā’ Muḥaqqiqūn, bahwa ma’mūm masbūq seperti di atas tidak dianggap ‘udzur, lantaran berbuat sembrono/ceroboh, dengan pindah ke sunnah tersebut. Pendapat ini diputuskan oleh guru kami dalam Syaraḥ Minhāj dan Fatāwā-nya. Kemudian beliau berkata: Bagi orang yang menganggapnya sebagai ‘udzur, maka anggapan tersebut perlu dita’wīli.24 Berpijak dengan pendapat segolongan Muḥaqqiqūn, bagi ma’mūm yang tidak bisa menyusul imām dalam rukū‘, maka ia tidak mendapatkan raka‘at. Ia tidak boleh rukū‘, sebab apa yang dilakukan tidak dianggap, tetapi ia harus mengikuti imām turun untuk sujūd. Kalau tidak mengikuti imām, maka shalatnya menjadi batal, jika hal ini disengaja dan mengerti hukumnya. Lalu beliau meneruskan perkataannya: Pendapat yang mutajjah, bahwa ma’mūm masbūq di atas harus mengakhirkan diri, guna membaca bacaan yang wajib baginya sampai imām sujūd. Kemudian, jika ia dapat menyempurnakan bacaan tersebut, maka ia wajib menyesuaikan diri dengan imām tanpa rukū‘. Kalau tidak menyesuaikan diri, maka shalatnya menjadi batal jika mengetahui keharamannya dan disengaja. Kalau tidak bisa menyempurnakan bacaannya, maka harus mufāraqah atau memisahkan diri dari imām dengan niat. Guru kami dalam kitab Syaraḥ al-Irsyād berkata: Yang lebih dekat dengan kebenaran adalah dari pengutipan nash Imām Syāfi‘ī adalah yang pertama25, dan di sini pula pendapat sebagian besar ‘ulamā’ muta’akhkhirīn.
25Ya‘ni pendapat dari Nawawī dan Rāfi‘ī bahwa hal tersebut termasuk ‘udzur. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 45. Dār-ul-Fikr.
Jika ma’mūm seperti tersebut rukū‘ sebelum membaca fātiḥah, seukuran bacaan sunnah yang telah dibaca, maka shalatnya menjadi batal. Dalam kitab Syaraḥ Minhāj yang diriwayatkan dari sebagian besar Ashḥāb-usy-Syāfi‘ī, bahwa ma’mūm tadi boleh rukū‘ dan gugur baginya sisa fātiḥah. Pendapat inilah yang dipilih, bahkan segolongan ‘ulamā’ muta’akhkhirīn mengunggulkan pendapat ini dan banyak di antara mereka yang mengemukakan dalil alasannya, juga ucapan Imām Rāfi‘ī, Nawawī bertepatan dengan pendapat ini.26 Adapun apabila ma’mūm masbūq tadi tidak mengetahui, bahwa kewajibannya adalah membaca fātiḥah, maka keterlambatan membaca fātiḥah seukuran bacaan sunnah, dianggap ketertinggalan yang ‘udzur, demikian menurut pendapat Imām al-Qādhī Ḥusain. Tidak termasuk ketentuan “masbūq”, jika yang terlambat adalah ma’mūm muwāfiq; maka jika ia tidak bisa menyempurnakan fātiḥah lantaran tersibukkan membaca bacaan sunnah, seperti doa iftitāḥ, sekalipun ia tidak punya perkiraan dapat menyusul imām dalam fātiḥah, maka ia dihukumi seperti ma’mūm yang lambat bacaannya sebagaimana di atas, tanpa ada pertentangan lagi.
Ma’mūm yang mendahului atas imāmnya dengan sengaja dan mengetahui hukumnya, sejauh dua rukun fi‘lī27, sekalipun tidak panjang, adalah dapat membatalkan shalat, sebab hal itu dipandang berselisihan dengan imām yang sudah sangat terlalu. Gambaran ma’mūm mendahului imāmnya dua rukun fi‘lī secara sempurna28, adalah sebagai berikut: Ma’mūm rukū‘, i‘tidāl, lalu turun untuk sujūd misalnya, sedangkan imām masih berdiri atau begini:29 Ma’mūm rukū‘ sebelum imām, dan saat imām akan mengangkat kepala dari rukū‘, ma’mūm melakukan sujūd. Dengan demikian, ma’mūm tidak berkumpul dengan imāmnya dalam perbuatan rukū‘ dan i‘tidāl. Apabila mendahului dua rukun itu karena lupa atau tidak mengerti hukumnya, maka tidak apa-apa, namun dua rukun itu tidak dihitung. Jika tidak mengulangi keduanya dengan imām lantaran lupa atau bodoh, maka setelah imām salām, ia wajib menambah satu raka‘at. Kalau tidak karena lupa dan bodoh, maka ia harus mengulangi shalatnya.
28Contoh ini merupakan pendapat yang menjadi pedoman Syaikh-ul-Islām dan Khathīb asy-Syarbīnī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 46. Dār-ul-Fikr.
29Contoh kedua ini, adalah contoh dari Imām Ibnu Ḥajar dalam Syaraḥ Irsyād dan ‘Ubāb. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 46. Dār-ul-Fikr.
Bagi ma’mūm yang mendahului atas imāmnya sejauh satu rukun fi‘lī secara sempurna,30 dengan disengaja dan mengerti hukumnya, misalnya ma’mūm telah rukū‘ dan bangkit darinya, sedangkan imām masih berdiri, adalah haram hukumnya. Lain halnya ma’mūm tertinggal dari imām satu rukun fi‘lī, maka hukumnya hanya makruh, seperti keterangan yang akan datang. Barang siapa mendahului imāmnya satu rukun, maka baginya sunnah kembali untuk menyesuaikan dengan imāmnya, bila hal ini terjadi karena disengaja, dan bila tidak sengaja, maka baginya boleh memilih kembali dan menetap pada posisinya, bersamaan ma’mūm dengan imām dalam melakukan rukun-rukun fi‘lī atau qaulī selain takbīrat-ul-iḥrām, hukumnya adalah makruh, sebagaimana halnya terlambat satu rukun sampai imām selesai melakukannya, atau mendahului imām dengan memulai suatu rukun. Tiga hal tersebut, jika dilakukan dengan sengaja, maka bisa menghilangkan fadhīlah shalat jamā‘ah.31 Jamā‘ah tetap sah, tapi tidak mendapat pahala jamā‘ah. Karena itu, dosa meninggalkan jamā‘ah32 atau hukum makruh33 meninggalkannya telah gugur. Ucapan segolongan ‘ulamā’: Hilang fadhīlah jamā‘ah itu menetapkan baginya sudah keluar dari mengikuti imām, sehingga ia seperti orang yang shalat sendirian, maka tidak sah shalat Jum‘atnya adalah tidak benar, sebagaimana yang diterangkan oleh Imām az-Zarkasyī dan lainnya. Ketentuan hilang fadhīlah berjamā‘ah ini berlaku pada setiap kemakruhan yang bisa terjadi dalam jamā‘ah saja sekira tidak bisa terjadi di luar jamā‘ah.
31Yang aujah adalah hilangnya fadhīlah jamā‘ah pada sesuatu yang disamai saja, tidak seluruh jamā‘ah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 47. Dār-ul-Fikr.
32Atas pendapat yang mengatakan jamā‘ah hukumnya wājib. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 47. Dār-ul-Fikr.
33Atas ‘ulamā’ yang menyatakan jamā‘ah hukumnya sunnah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 47. Dār-ul-Fikr.
Post a Comment