SYARAT-SYARATBERMA’MŪM III
SYARAT-SYARAT
BERMA’MŪM III
Kesunnahan Bagi Ma’mūm.
Yang sunnah bagi ma’mūm adalah mengakhirkan diri dari permulaan imām, dan mendahului sebelum berakhirnya pekerjaan imām. Yang lebih sempurna dari ini adalah mengakhirkan permulaan pekerjaan ma’mūm setelah selesainya semua gerakan-gerakan imām, dan ma’mūm jangan mulai melakukan, sehingga nyata-nyata imām telah pindah pada rukun selanjutnya.34 Karena itu, ma’mūm tidak perlu membungkuk dahulu untuk rukū‘ atau sujūd sampai imām telah sempurna rukū‘ atau meletakkan keningnya pada tempat sujūd. Apabila ma’mūm membarengi imām dalam melakukan takbīrat-ul-iḥrām, atau telah nyata, bahwa imām ber-takbīrat-ul-iḥrām setelah ma’mūm, maka shalat ma’mūm tidak sah. Tidaklah mengapa dengan adanya bacaan takbīr imām secara pelan untuk takbīr yang kedua, jika para ma’mūm tidak mengerti hal itu. Tidak mengapa pula, jika ma’mūm bersamaan salām imām, mendahului membaca fātiḥah atau tasyahhud imām, misalnya ma’mūm telah selesai, sedang imām belum memulai. Ini semua tidak menjadi masalah. Dikatakan oleh sebagian ‘ulamā’: Ma’mūm wajib mengulangi bersama perbuatan imām atau sesudahnya, yang terakhir ini adalah lebih utama. Berpijak dengan pendapat ini, jika ma’mūm tidak mengulanginya, maka batallah shalatnya. Memperhatikan perselisihan seperti ini hukumnya adalah sunnah35 sebagaimana halnya sunnah mengakhirkan seluruh bacaan fātiḥahnya dari fātiḥah imām, sekalipun pada kedua raka‘at shalat sirriyyah, jika memang ma’mūm menyangka bahwa imāmnya membaca surat. Apabila ia yakin, bahwa imām hanya membaca fātiḥah saja, maka bagi ma’mūm wajib membaca fātiḥah bersama imām.
35Menurut Imām Ḥanafī hal itu tidak batal sedang menurut Syāfi‘ī itu membatalkan. (pen.)
Tidak Sah Berma’mūm Kepada Imām yang Batal Shalatnya
Tidak sah berma’mūm dengan orang yang telah diyakini batal shalatnya, sebagaimana imām melakukan perkara yang membatalkan shalat, menurut keyakinan ma’mūm. Umpama seseorang bermadzhab Syāfi‘ī berma’mūm pada imām yang bermadzhab Ḥanafī yang memegang kemaluannya.36 Tidak batal bila orang madzhab Ḥanafī berbekam37 karena yang dipandang dari segi keyakinan orang yang berma’mūm, sebab imām yang seperti itu adalah hadats, menurut ma’mūm yang bermadzhab Syāfi‘ī, sebab memegang kemaluan, sebaliknya tidak batal sebab berbekam. Maka, menghubungkan shalat ma’mūm dengan imām menjadi sulit, sebab menurut ma’mūm, imām tidak dalam shalat. Apabila seorang ma’mūm bermadzhab Syāfi‘ī merasa ragu terhadap imām yang berlainan madzhab, tentang perbuatan-perbuatan wajib menurut ma’mūm, maka tidak akan mempengaruhi keabsahan shalat, sebab untuk tetap berbaik sangka dalam menjaga perselisihan. Karena itu, tidak menjadi masalah dengan adanya ketidak-yakinan tentang kewajiban tersebut.
37Menurut Ḥanafī berbekam membatalkan wudhū’ sedang Syāfi‘ī tidak membatalkan. (pen.)
(Cabang Masalah). Apabila imām berdiri lagi untuk raka‘at tambahan misalnya raka‘at kelima sekalipun karena lupa, maka bagi ma’mūm tidak boleh mengikutinya38, walaupun ia berstatus ma’mūm masbūq, atau ia sangsi atau rakaatnya. Akan tetapi, ma’mūm tersebut memisahkan diri dan salām atau menunggu imām,39 menurut pendapat yang mu‘tamad.40
39Dalam tasyahhudnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 50. Dār-ul-Fikr.
40Sedangkan perbandingan dari pendapat mu‘tamad ini adalah tidak boleh menunggu seperti yang telah disampaikan oleh Imām Ibnu Ḥajar dalam Fatāwā-nya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 51. Dār-ul-Fikr.
9. Tidak sah berma‘mūm dengan orang yang berstatus menjadi ma’mūm, sekalipun hanya diragukan adanya menjadi ma’mūm yang sekalipun jelas berstatus menjadi imām. Tidak termasuk dalam ketentuan “orang yang berstatus menjadi ma’mūm”, apabila orang itu telah berakhir menjadi ma’mūm. Misalnya ma’mūm masbūq yang berdiri setelah imām salām, lantas ada orang lain berma’mūm dengannya, maka shalat orang ini adalah sah. Atau para ma’mūm masbūq berdiri dan sebagian berma’mūm kepada sebagian yang lain, maka ini pun sah menurut pendapat yang mu‘tamad, tetapi hukumnya makruh.
10. Tidak sah qāri’41 berma‘mūm kepada imām yang ummī. Ummī yaitu orang yang merusak bacaan seluruh fātiḥah-nya42 atau sebagiannya walaupun satu huruf, dengan tidak mampu secara keseluruhan, atau tidak bisa membaca yang sesuai makhraj atau tasydīd, sekalipun hal itu karena ia sudah tidak mungkin untuk belajar, atau walaupun ma’mūm tidak mengerti atas keadaannya imāmnya. Demikian itu, karena ia tidak bisa menanggung bacaan fātiḥah ma’mūm, jika ia menemuinya dalam keadaan rukū‘. Sah bagi ma’mūm yang qāri’ ber-ma’mūm kepada imām yang disangka seorang yang ummī, kecuali imām tersebut pada shalat jamā‘ah jahriyyah43 tidak mau membaca dengan suara keras. Untuk itu, ia wajib mufāraqah dengannya. Jika ia masih terus berma’mūm dalam keadaan tidak mengetahui status imāmnya hingga salām, maka wajib mengulangi shalatnya, selagi tidak tampak jelas kalau imāmnya adalah qāri’. Masalah ketidak-absahan berma’mūm kepada ummī adalah jika tidak sama-sama ummī-nya antara imām dan ma’mūm dalam huruf fātiḥah yang tidak mereka mampui. Misal, ma’mūmnya yang dapat membaca dengan baik, atau salah satu pihak dapat membaca dengan baik terhadap huruf-huruf yang pihak lainnya tidak bisa.44
42Berbeda dengan bacaan tasyahhud, maka seorang yang qāri’ boleh berma’mūm pada seorang yang ummī. Perbedaannya: Tugas imām adalah menanggung fātiḥah seorang ma’mūm bukan tasyahhud seperti yang dijelaskan oleh Imām Ramlī walaupun pendapat ini tidak dianggap kurang tepat oleh Imām Barmawī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 51. Dār-ul-Fikr.
43Berbeda dengan shalat yang siriyyah, maka tidak wajib mengulangi shalatnya dan tidak wajib pula untuk meneliti keadaan imāmnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 52. Dār-ul-Fikr.
44Seperti imām dapat bagus mengucapkan huruf sīn, sedang ma’mūm tidak, dan seperti ma’mūm bagus mengucapkan makhraj rā’, sedang imām tidak, dst. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 51. Dār-ul-Fikr.
Termasuk ummī adalah “Aratta”, yaitu orang yang meng-idghāmkan huruf di selain tempatnya besertaan mengganti huruf tersebut.45 Juga “Altsagh”, yaitu orang yang mengganti huruf dengan huruf lain.46 Orang-orang tersebut jika ada kemampuan untuk belajar, tapi mereka tidak mau belajar, maka shalatnya tidak sah. Kalau tidak mungkin, maka shalatnya sah saja, sebagaimana sah pula imām ma’mūm sama-sama ummī. Makruh berma’mūm kepada imām yang selalu mengulang huruf tā’47 dan fā’48 dan juga dengan imām lahn49 yang tidak sampai mengubah ma‘na,50 misalnya membaca dhammah pada (هَاءِ)-nya lafazh (للهِ) atau membaca fatḥah (دَالٍ)-nya lafazh (نَعْبُدُ). Apabila lahn itu sampai mengubah ma‘na dalam fātiḥah, seperti membaca kasrah atau dhammah pada tā’-nya lafazh (أَنْعَمْتَ), maka shalat orang yang mampu untuk belajar, tapi tidak mau belajar adalah batal. Sebab yang dibaca itu bukan Qur’ān lagi. Benar hal itu membatalkan, namun jika waktu shalat telah mendesak, maka ia tetap wajib shalat demi menghormati waktu, dan nanti ia wajib mengulanginya, sebab kecerobohannya. Guru kami berkata: Yang jelas, orang yang lahn tersebut tidak boleh membaca kalimat tersebut, sebab apa yang dibaca pasti bukan Qur’ān lagi, sedang keabsahan shalat tidak digantungkan terhadap kalimat itu, bahkan kesengajaan membaca dengan lahn sekalipun kejadian yang seperti ini juga dapat membatalkan shalat.
46Baik besertaan dengan meng-idghām-kan atau tidak. Altsagh lebih umum dibanding dengan Arrat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 52. Dār-ul-Fikr.
47Dalam fātiḥah dan selainnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 53. Dār-ul-Fikr.
48Dalam tasyahhud saja sebab huruf fā’ tidak terdapat fā’-nya.
49Lahn secara bahasa adalah keliru dalam membaca i‘rāb-nya, sedangkan dalam bab ini yang dimaksud adalah kekeliruan dalam membaca i‘rāb-nya, baik kekeliruan di akhir, di tengah dan di awal lafazh dan juga mencakup terhadap penggantian huruf. Bujairamī ‘Alā Thullāb juz 1 hal. 308 al-Maktabah Islāmiyyah.
50Maksud dari merubah ma‘na adalah berpindahnya ma‘na ke ma‘na yang lain seperti membaca dhammah dari lafazh (أَنْعَمْتَ) dan meng-kasrah-nya atau menjadi tidak berma‘na sama sekali. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 53. Dār-ul-Fikr.
Kalau lahn itu terjadi bukan pada fātiḥah, maka shalatnya tetap sah, begitu juga berma’mūm dengannya kecuali sebenarnya ia mampu membaca secara benar, mengetahui hukum serta sengaja melakukannya sebab berarti ia berkata berupa ucapan lain. Apabila shalat menjadi batal lantaran lahn pada selain fātiḥah ini, maka batal pula berma’mūm dengannya. Namun, menurut Imām al-Māwardī, yang batal hanyalah bagi ma’mūm yang mengerti keadaannya. Imām as-Subkī memilih pendapat yang sesuai dengan pendapat Imām al-Ḥaramain: Bagi orang seperti di atas, tidak boleh membaca selain fātiḥah, sebab ia nanti akan mengucapkan perkataan yang bukan Qur’ān, yaitu perbuatan yang membatalkan shalat tanpa ada darurat, secara mutlak.
Apabila berma’mūm pada seseorang yang dikira berhak menjadi imām, tetapi ternyata tidak, misalnya dikira qāri’, bukan ma’mūm, orang laki-laki atau berakal sehat, tetapi ternyata mereka adalah ummī, berma’mūm, wanita, atau orang gila, maka ia wajib mengulangi shalatnya. Demikian ini, karena kelalaian tidak mau meneliti dahulu. Tidak wajib mengulanginya bagi orang yang berma’mūm kepada imām yang dikira suci, tetapi ternyata menanggung hadats – sekalipun hadats besar – , atau membawa najis yang samar, sekalipun hal itu terjadi pada shalat Jum‘at, bila telah melebihi 40 orang. Sekalipun sang imām mengerti akan hadats dan najis pada dirinya, sebab tiada kelalaian pada ma’mūm, karena tiada tanda akan najis dan hadats yang dapat diketahuinya. Dari sini, maka bagi ma’mūm tetap mendapat fadhīlah jamā‘ah. Apabila imām yang dikira suci tersebut menanggung najis51 yang lahir (kelihatan), maka ma’mūm wajib mengulangi shalat, karena kelalaiannya. Najis lahir adalah najis yang terdapat di luar baju, sekalipun antara imām dan ma’mūm terdapat penghalang. Pendapat yang aujah dalam membatasi najis lahir, adalah najis yang apabila ma’mūm mau memperhatikan benar-benar, maka akan melihatnya. Sedangkan najis yang samar, adalah sebaliknya. Imām an-Nawawī dalam kitab at-Taḥqīq membenarkan untuk tidak wajib mengulangi shalat secara mutlak.52 Sah orang yang sehat berma’mūm pada imām yang beser kencing, madzi atau kentut. Orang yang berdiri sah berma’mūm pada imām yang shalat duduk, orang yang berwudhū’ pada imām yang tayammum yang tidak wajib mengulangi shalatnya.53
52Baik imām najisnya terlihat atau tidak. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 55. Dār-ul-Fikr.
53Berbeda bagi seorang yang tayammum yang wajib mengulangi shalatnya seperti seseorang yang bertayammum di tempat yang umumnya banyak airnya, maka tidak sah berma’mūm padanya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 56. Dār-ul-Fikr.
Makruh Berma’mūm Kepada Imām yang Fāsiq dan Berbuat Bid‘ah.
Makruh berma’mūm pada imām yang fāsiq dan yang berbuat bid‘ah,54 misalnya orang Rāfidhī, sekalipun tidak terdapat imām selainnya. Hal ini jika memang tidak khawatir terjadi fitnah kalau tidak berma’mūm dengan mereka. Ada yang mengatakan: Berma’mūm dengan mereka hukumnya tidak sah. Makruh juga berma’mūm pada imām yang waswas55 dan orang yang belum khitan. Tidak makruh berma’mūm pada anak hasil zina, tetapi hal ini menyelisihi keutamaan. Imām as-Subkī dan pengikutnya memilih bahwa berma’mūm pada imām-imām tersebut, tidak makruh lagi, jika memang hanya mereka saja yang ditemukan. Bahkan jamā‘ah dalam keadaan seperti itu, adalah lebih utama daripada shalat sendirian. Guru kami memutuskan tidak hilangnya hukum makruh dalam keadaan tersebut, bahkan yang lebih utama adalah shalat sendirian. Yang aujah bagiku56 adalah apa yang dikatakan oleh Imām as-Subkī r.a.
55Perbedaan bimbang dan waswas adalah bahwa bimbang memiliki tanda seperti tidak mau memakai baju yang secara adatnya terkena najis, sedang waswas adalah menghukumi tanpa sebuah pertanda. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 56. Dār-ul-Fikr.
56Menurut pengarang Fatḥ-ul-Mu‘īn (pen.)
‘Udzur-‘udzur Berjamā‘ah
(Penutup). ‘Udzur57 jamā‘ah, begitu juga shalat Jum‘at58 adalah:
1. Hujan yang sampai membasahi pakaian, berdasarkan sebuah hadits shaḥīḥ bahwa Nabi s.a.w. memerintahkan agar melakukan shalat di rumah masing-masing di waktu hujan yang sampai membasahi bagian bawah sandal. Lain halnya jika hujan tidak sampai membasahinya. Memang benar, namun tetesan air dari atap-atap rumah di tepi jalan, sekalipun tidak sampai membasahinya, adalah dianggap suatu ‘udzur, lantaran kemungkinan besar air najis atau kotor.
2. Jalan berlumpur yang sulit menghindari terkenanya lumpur tersebut ketika berjalan atau tergelincir.
3. Amat panas, sekalipun menemukan naungan untuk berjalan.
4. Amat dingin.
5. Amat gelap di malam hari.
6. Sakit parah, sekalipun dengan kadar sakit yang belum boleh duduk dalam melakukan shalat fardhu. Tidak termasuk ‘udzur sedikit pusing kepala.
7. Menahan hadats, baik itu air kencing, berak atau kentut. Maka, makruhlah shalat dengan menahan hadats, sekalipun khawatir tertinggal jamā‘ah bila memenuhi hadatsnya terlebih dulu, sebagaimana yang diterangkan oleh segolongan ‘ulamā’. Tidak diperbolehkan memutus shalat fardhu saat hadats terjadinya hadats di tengah-tengah melakukan shalat itu.59 Masalah menahan hadats termasuk ‘udzur, jika waktu shalat masih longgar, kira-kira bila digunakan untuk mengosongkan diri dari hadats, masih cukup waktu untuk shalat dengan sempurna. Kalau waktu sudah sempit, maka haram menunda shalat sebab itu.
8. Tidak menemukan pakaian yang pantas, sekalipun menemukan penutup aurat.
9. Berangkatnya teman-temannya bepergian bagi orang yang akan bepergian yang mubāḥ,60 sekalipun ia aman sebab beratnya kegelisahan dalam perjalanannya.
10. Takut terhadap orang zhālim bagi orang yang berhak untuk dilindungi,61 baik yang dikhawatirkan itu berupa harga diri, jiwa ataupun harta.
11. Takut akan ditahan oleh pihak yang menghutangi bagi orang yang berhutang yang belum dapat membayar.
12. Merawat orang yang sakit, sekalipun bukan sanak kerabatnya yang tidak ada orang yang merawatnya atau sanak kerabatnya sakit keras atau tidak sakit keras, tapi merasa gembira atas rawatannya.
13. Sangat mengantuk62 pada waktu menunggu jamā‘ah.
14. Sangat lapar dan dahaga.
15. Buta, jika tidak ada penuntun jalan yang mau digaji dengan harga umum, sekalipun dapat berjalan dengan menggunakan tongkat.
58Yang mungkin terjadi dalam shalat Jum‘at seperti keterangan dalam shalat Jum‘at nanti. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 57. Dār-ul-Fikr.
59Kecuali ditakutkan akan menyebabkan sakit yang sampai diperbolehkan melakukan tayammum dengan sebab menahan hadats tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 58. Dār-ul-Fikr.
60Walaupun perjalanan tidak jauh dan walaupun sekedar tamasya, bukan hanya sekedar melihat-lihat daerah lain. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 59. Dār-ul-Fikr.
61Bukan kafir ḥarbī, murtad, zina muḥshan dan orang yang meninggalkan shalat, maka ketakutan terhadap mereka semua tidak termasuk ‘udzur. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 59. Dār-ul-Fikr.
62Maksudnya adalah tidak mampu menahan kantuk dalam shalat, bukan hanya sekedar mengantuk. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 59. Dār-ul-Fikr.
(Peringatan). Semua ‘udzur di atas dapat menghapus kemakruhan meninggalkan jamā‘ah, sekira dihukumi sunnah, dan menghilangkan dosanya sekira dihukumi wajib berjamā‘ah. Dan tidak bisa mendapat fadhīlah jamā‘ah, sebagaimana yang dikatakan oleh Imām an-Nawawī dalam al-Majmū‘. Selain Imām an-Nawawī memilih pendapat sebagaimana pendapat golongan ‘ulamā’ mutaqaddimīn, bahwa fadhīlah jamā‘ah tetap didapatkan, jika bermaksud melakukan jamā‘ah andaikan tidak ada ‘udzur.63 Imām an-Nawawī dalam kitab al-Majmū‘ berkata: Sunnah bagi orang yang meninggalkan Jum‘at tanpa ‘udzur agar bersedekah satu dinar atau setengah dinar, sebagaimana yang diterangkan hadits Abū Dāwūd dan lainnya.
Post a Comment