TENTANG KESUNNAHAN AB‘ĀDH SHALATDAN PENYEBAB SUJŪD SAHWI
TENTANG KESUNNAHAN AB‘ĀDH SHALAT
DAN PENYEBAB SUJŪD SAHWI
وَ تَجِبُ نِيَّةُ سُجُوْدِ السَّهْوِ بِأَنْ يَقْصِدَهُ عَنِ السَّهْوِ عِنْدَ شُرُوْعِهِ فِيْهِ، (لِتَرْكِ بَعْضٍ) وَاحِدٍ مِنْ اَبْعَاضٍ وَ لَوْ عَمْدًا، فَإِنْ سَجَدَ لِتَرْكِ غَيْرِ بَعْضٍ عَالِمًا عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ. (وَ هُوَ: تَشَهُّدُ أَوَّلٍ)، أَيْ: اَلْوَاجِبُ مِنْهُ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ أَوْ بَعْضِهِ وَ لَوْ كَلِمَةٌ. (وَ قُعُوْدُهُ)، وَ صُوْرَةُ تَرْكِهِ وَحْدَهُ كَقِيَامِ الْقُنُوْتِ، أَنْ لَا يُحْسِنَهُمَا، إِذْ يُسَنُّ أَنْ يَجْلِسَ وَ يَقِفَ بِقَدْرِهِمَا. فَإِذَا تَرَكَ أَحَدَهُمَا سَجَدَ. (وَ قُنُوْتُ رَاتِبٍ)، أَوْ بَعْضُهُ، وَ هُوَ قُنُوْتُ الصُّبْحِ وَ وِتْرِ نِصْفِ رَمَضَانَ دُوْنَ قُنُوْتِ النَّازِلَةِ.
وَ قِيَامُهُ، وَ يَسْجُدُ تَارِكُ الْقُنُوْتِ تَبَعًا لِإِمَامِهِ الْحَنَفِيِّ، أَوْ لِاقْتِدَائِهِ فِيْ صُبْحٍ بِمُصَلِّيْ سُنَّتَهَا عَلَى الْأَوْجَهِ فِيْهِمَا. (وَ صَلَاةٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَهُمَا)، أَيْ بَعْدَ التَّشَهُّدِ الْأَوَّلِ وَ الْقُنُوْتِ. (وَ صَلَاةٌ عَلَى اۤلِ بَعْدَ) تَشَهُّدِ (أَخِيْرٍ وَ قُنُوْتٍ).
وَ صُوْرَةُ السُّجُوْدِ لِتَرْكِ الصَّلَاةِ عَلَى الْأۤلِ فِي التَّشَهُّدِ الْأَخِيْرِ أَنْ يَتَيَقَّنَ تَرْكُ إِمَامِهِ لَهَا بَعْدَ اَنْ سَلَّمَ إِمَامُهُ وَ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ هُوَ، أَوْ بَعْدَ أَنْ سَلَّمَ وَ قَرُبَ الْفَضْلُ. وَ سُمِّيَتْ هٰذِهِ السُّنَنُ أَبْعَاضًا لِقُرْبِهَا بِالْجَبْرِ بِالسُّجُوْدِ مِنَ الْأَرْكَانِ.
وَلِشَكٍّ فِيْهِ، أَيْ فِيْ تَرْكِ بَعْضٍ مِمَّا مَرَّ مُعَيَّنٍ كَالْقُنُوْتِ، هَلْ فَعَلَهُ؟ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ فِعْلِهِ.
(Disunnahan dua sujūd sebelum salam)1 sekalipun telah banyak melakukan kelupaan. Dua sujūd sahwi2 dan duduk di antara keduanya itu seperti halnya sujūd shalat dan duduk di antara keduanya di dalam tiga kewajiban dan kesunnahannya yang telah lewat kejelasannya seperti dzikir di dalamnya. Sebagian pendapat mengatakan: Di dalam dua sujūd sahwi membaca: (سُبْحَانَ مَنْ لَا يَنَامُ وَ لَا يَسْهُوْ) “Maha Suci Allah Dzāt Yang tidak pernah tidur dan lupa” – dan bacaan tersebut lebih pantas dengan keadaan.3 Wajib untuk berniat sujūd sahwi dengan cara menyengaja sujud dari ganti kelupaan saat melaksanakannya. (Sujūd sahwi dilakukan sebab meninggalkan satu sunnah ab‘ādh) dari beberapa kesunahan-kesunahan ab‘ādh walaupun dengan sengaja. Jika seseorang sujūd sahwi sebab selain dari meninggalkan sunnah ab‘ādh serta tahu keharamannya dan dengan sengaja, maka shalatnya batal. (Sunnah ab‘ādh adalah:
1. Tasyahhud awal yang wajib dalam tasyahhud akhir, atau sebagiannya – walaupun satu kalimat4 – ,
2. Duduk tasyahhud awal. Praktek meninggalkan berdiri untuk qunut – adalah dengan kurang membaguskan/menyempurnakan dalam membaca tasyahhud dan doa qunut sebab disunnahkan untuk duduk dan berdiri dengan kadar bacaan keduanya, maka meninggalkan salah satunya disunnahkan untuk sujūd sahwi,
3. Doa qunut ratib atau sebagiannya. Qunut ratib adalah qunut Shubuḥ dan witir pertengahan Ramadhān, bukan qunut karena musibah.5
4. Dan berdiri untuk qunut. Orang yang meninggalkan qunut sebab mengikuti imam madzhab Ḥanafī disunnahkan untuk sujūd sahwi atau mengikuti imam yang melakukan shalat sunnah Shubuḥ menurut pendapat yang aujah di dalam dua permasalahan tersebut.
5. Shalawat kepada Nabi s.a.w. setelah tasyahhud dan qunut (dan shalawat kepada keluarga Nabi s.a.w. setelah) tasyahhud (akhir dan qunut). Praktik sujūd sebab meninggalkan shalawat atas keluarga Nabi s.a.w. di dalam tasyahhud akhir adalah dengan meyakini meninggalkannya imam terhadap shalawat terhadap keluarga Nabi itu, setelah imam melakukan salam dan sebelum dirinya salam atau setelah dirinya salam dan jarak pemisahnya masih sebentar. Kesunnahan ini disebut dengan sunnah ab‘ādh sebab mendekati pada rukun shalat dengan ditambahnya sujūd sahwi.
6. Dan karena ragu di dalamnyaa ya‘ni ragu di dalam meninggalkan sunnah ab‘ādh yang telah ditentukan tadi, seperti; qunut apakah telah melakukannya?, sebab hukum asalnya adalah belum melakukan.
2Dua sujūd sebab lupa, namun penamaan ini hanyalah melihat keumumannya saja sebab dari sujūd sahwi dapat berasal dari kesengajaan seperti keterangan yang akan datang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 228. Dār-ul-Fikr.
3Namun ini terkhusus bila sebabnya adalah lupa, jika disengaja maka yang lebih patut adalah meminta ampun. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 229. Dār-ul-Fikr.
4Seperti huruf wāwu dari lafazh: وَ أَنَّ مُحَمَّدًا . I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 230. Dār-ul-Fikr.
5Tidak disunnahkannya sujūd sahwi sebab meninggalkan (qunut sebab musibah) adalah bahwa qunut tersebut merupakan kesunnahan yang baru di dalam shalat yang hilang kesunnahannya dengan hilangnya musibah yang ada. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 230. Dār-ul-Fikr.
(Jikalau seorang yang shalat sendiri atau imam lupa mengerjakan sunnah ab‘ādh) seperti tasyahhud awal atau doa qunut (dan telah mengerjakan fardhu)6 seperti berdiri atau sujūd, maka tidak diperbolehkan baginya untuk kembali mengerjakan sunnah ab‘ādh tersebut7. (Jika ia kembali) dengan sengaja dan mengetahui keharamannya setelah berdiri tegak atau setelah meletakkan keningnya, (maka shalatnya batal) sebab telah memutus kefardhuan untuk sebuah kesunnahan. (Tidak batal) jika ia kembali untuk kesunnahan itu (sebab tidak tahu) keharamannya, walaupun ia bercampur dengan ‘ulamā’ kita sebab permasalahan ini merupakan sebagian permasalahan yang jarang diketahui oleh orang awam,8 begitu pula sebab lupa bahwa dirinya berada dalam shalat, maka hukum shalatnya tidak batal karena adanya ‘udzur. Wājib untuk kembali saat ia mengerti atau ingat (namun disunnahkan untuk sujūd) sahwi, sebab telah menambahi duduk atau i‘tidāl di selain tempatnya. (Juga tidak batal) jika ia kembali (sebab menjadi ma’mum), maka tidaklah batal shalatnya saat telah berdiri tegak atau sujūd sendiri (dalam keadaan lupa, bahkan wajib) bagi ma’mum yang lupa (untuk kembali) sebab wajibnya mengikuti imam. Jika ia tidak kembali, maka batallah shalatnya jika ia tidak berniat memisahkan diri dari imam. Sedangkan jika ma’mum tersebut menyengaja hal tersebut, maka tidak wajib baginya untuk kembali namun hukumnya sunnah saja, seperti contoh ketika ma’mum rukū‘ sebelum imamnya.9 Jika ma’mum yang lupa tidak tahu keberadaan imam sampai imam berdiri maka jangan kembali. Imām Baghawī mengatakan: Apa yang telah dibaca10 tidak dihitung sebelum berdirinya ma’mum, dan Imām Syaikh Zakariyyā mengikuti pendapat tersebut. Guru kita berkata dalam Syarḥ Minhāj: Dengan perkataan Imām Baghawī itu11 dapat diketahui bahwa ma’mum yang sujūd sebab lupa atau tidak tahu, sedang imamnya dalam posisi qunut maka pekerjaannya tidaklah dianggap, hingga wajib baginya untuk kembali i‘tidāl, walaupun ma’mum berniat memisahkan diri dengan imam. Hal itu disebabkan perkataan para ‘ulamā’ yang menyatakan: Jikalau ma’mum menduga salamnya imam, lantas ia berdiri, lalu ia tahu saat berdiri bahwa imam belum salam, maka wajib baginya untuk kembali duduk untuk dapat berdiri lagi, tidaklah gugur darinya kewajiban untuk duduk dengan berniat memisahkan diri dari imam, walaupun hal itu boleh sebab berdirinya ma’mum tidak dianggap berarti. Oleh karena itu, jikalau ma’mum menyempurnakan shalatnya dengan keadaan tidak mengerti posisi imam, maka apa yang telah dikerjakan tidak berarti, hingga wajib baginya untuk kembali dan sujūd sahwi. Dalam permasalahan ketika ma’mum tidak niat memisahkan diri dari imam jika ma’mum ingat atau tahu, sedang imam berada dalam posisi qunut, maka hukumnya telah jelas bahwa ia wajib kembali. Atau imam berada pada posisi sujūd awal, maka ma’mum wajib untuk kembali ke posisi i‘tidāl dan sujūd bersamaan imam. Atau ingat dan tahunya ma’mum setelah imam berada pada posisi setelah sujūd awal, maka hukum yang jelas adalah ia harus mengikuti imam dan menambah satu raka‘at setelah salam imam. Selesai.
7Sebab adanya hadits yang shaḥīḥ tentang hal tersebut dan sebab telah masuk ke dalam perkara yang fardhu, hingga tidak diperbolehkan untuk memutus guna melaksanakan kesunnahan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 232. Dār-ul-Fikr.
8Sebab permasalahan tersebut merupakan permasalahan yang rumit. Tidak dipandang apakah orang tersebut ceroboh dengan tidak mau belajar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 232. Dār-ul-Fikr.
9Artinya jika sengaja rukū‘ sebelum imam, maka disunnahkan untuk kembali, sedang bila lupa rukū‘ sebelum imam maka tidak diwajibkan dan tidak disunnahkan kembali, namun boleh memilih kembali atau tidak. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 233. Dār-ul-Fikr.
10Ya‘ni dari bacaan fātiḥah kecuali ada kesengajaan untuk berdiri, maka bacaan tetap dihitung. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 233. Dār-ul-Fikr.
11Ya‘ni dari tidak dihitungnya bacaan fātiḥah ma’mum sebelum berdirinya imam. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 233. Dār-ul-Fikr.
وَ خَرَجَ بِقَوْلِيْ: وَ تَلَبَّسَ بِفَرْضٍ، مَا إِذَا لَمْ يَتَلَبَّسْ بِهِ غَيْرُ مَأْمُوْمٍ، فَيَعُوْدُ النَّاسِيْ نَدْبًا قَبْلَ الْاِنْتِصَابِ أَوْ وَضْعِ الْجَبْهَةِ، وَ يَسْجُدُ لِلسَّهْوِ إِنْ قَارَبَ الْقِيَامَ فِيْ صُوْرَةِ تَرْكِ التَّشَهُّدِ، أَوْ بَلَغَ حَدَّ الرُّكُوْعِ فِيْ صُوْرَةِ تَرْكِ الْقُنُوْتِ، وَ لَوْ تَعَمَّدَ غَيْرُ مَأْمُوْمٍ تَرْكَهُ فَعَادَ عَالِمًا عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ إِنْ قَارَبَ أَوْ بَلَغَ مَا مَرَّ، بِخِلَافِ الْمَأْمُوْمِ.
Imām al-Qādhī mengatakan: Sebagian masalah yang tidak terjadi perbedaan pendapat di antara para ‘ulamā’ adalah pernyataan para ‘ulamā’: Jikalau ma’mum mengangkat kepalanya dari sujūd awal sebelum imamnya dengan menduga bahwa imam telah bangkit dari sujūd dan ma’mum tersebut melakukan sujūd kedua dengan menduga bahwa imam telah berada pada sujūd kedua, kemudian jelas setelah itu bahwa imam masih berada pada sujūd pertama, maka duduk dan sujūd kedua dari ma’mum tidaklah dianggap dan wajib bagi ma’mum untuk mengikuti imam. Maksudnya, jikalau ma’mum tidak mengerti hal itu kecuali imam sudah berada pada posisi berdiri atau duduk, maka ma’mum menambah satu raka‘at setelah salam imam. Dikecualikan dengan ucapanku: “Telah mengerjakan kefardhuan” adalah ketika selain ma’mum belum mengerjakan kefardhuan,12 maka sunnah bagi orang yang lupa untuk kembali13 sebelum berdiri tegak atau meletakkan keningnya dan melakukan sujūd sahwi jika posisinya lebih dekat dengan berdiri pada kasus meninggalkan tasyahhud atau telah sampai batasan rukū‘ dalam kasus meninggalkan qunut, jikalau selain ma’mum sengaja meninggalkan qunut, kemudian ia kembali besertaan mengetahui keharaman dan dengan sengaja, maka shalatnya batal jika posisinya lebih dekat atau telah sampai pada hal yang telah disebutkan, berbeda dengan kasus ma’mum.
13Hal itu dilakukan bila seorang imam akhirnya tidak menyebabkan ma’mum bingung seperti dalam masalah sujūd tilāwah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 235. Dār-ul-Fikr.
(Disunnahkan pula sujūd sahwi sebab memindah bacaan yang diperintahkan yang tidak membatalkan ketika dipindah di selain tempatnya)14 – walaupun dalam keadaan lupa – baik bacaan tersebut berupa rukun – seperti fātiḥah, tasyahhud dan sebagian dari salah satu dari keduanya – , atau bukan rukun seperti membaca surat di selain posisi berdiri dan doa qunut yang dikerjakan sebelum rukū‘ atau setelah rukū‘ dalam shalat witir di selain pertengahan kedua bulan Ramadhān, maka sujudlah karena hal itu. Sedangkan memindah perbuatan yang diperintahkan, maka kesengajaannya dapat membatalkan shalat. Dikecualikan dengan ucapanku: “Yang tidak membatalkan” adalah yang membatalkan seperti salam dan takbīrat-ul-iḥrām dengan niat takbīr tersebut. (Dan karena lupanya perkara yang membatalkan kesengajaannya rukun yang pendek, sedikit bicara, makan, dan menambah rukun fi‘lī sebab Nabi s.a.w. shalat zhuhur sebanyak lima kali (ya‘ni lima rakaat) dan sujūd sahwi. Disamakan dengan itu selainnya. Dikecualikan dengan “Hal yang membatalkan kesengajaannya” adalah yang membatalkan kelupaannya juga, seperti ucapan yang banyak, dan hal yang tidak membatalkan lupa dan sengajanya seperti pekerjaan sedikit dan menoleh, maka tidak sunnah sujūd sahwi sebab lupa dan sengajanya.
(Sunnah sujūd sahwi sebab keraguan terhadap shalat yang dikerjakan dan berkemungkinan ada penambahan)15 sebab jikalau shalatnya tambah, maka fungsi sujūd sahwi adalah untuk tambahan tersebut, dan jika tidak bertambah, maka untuk keraguan yang memastikan lemahnya niat. Jikalau seorang ragu; apakah telah shalat tiga raka‘at atau empat – sebagai contoh – maka kerjakanlah satu raka‘at lagi sebab hukum asalnya adalah belum mengerjakan dan melakukan sujūd sahwi, walaupun keraguan tersebut hilang sebelum salam dengan ingatnya hal itu sebelum salam bahwa dirinya telah mengerjakan empat raka‘at sebab untuk keraguan terjadinya penambahan. Orang yang bimbang tidak diperbolehkan untuk kembali mantap dengan pekerjaannya dengan sebuah praduga, ucapan orang lain atau pekerjaannya, walaupun mereka berjumlah banyak selama tidak mencapai jumlah yang mutawātir.16 Sedangkan kasus yang tidak berkemungkinan ada tambahan seperti ragu di raka‘at shalat yang berjumlah empat; apakah telah mengerjakan tiga raka‘at atau empat?, lantas orang itu ingat sebelum berdiri menuju raka‘at yang ke-empat bahwa ia masih mendapat tiga raka‘at, maka tidak sunnah sujūd sahwi sebab apa yang telah dikerjakan besertaan adanya kebimbangan sudah pasti, mesti dikerjakan dengan segala bentuk menuju raka‘at keempat, maka sunnah untuk melakukan sujūd sahwi sebab kebimbangan dalam penambahan saat berdiri menuju raka‘at tersebut.17
16Sekira dapat diketahui dengan jumlah tersebut secara pasti bahwa ia telah melaksanakannya sebab telah adanya keyakinan dengan hal tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 237. Dār-ul-Fikr.
17Kesimpulannya: Bila seseorang ingat di dalam raka‘at yang diragukan sebelum berpindah menuju raka‘at yang lainnya, maka tidak boleh sujūd sahwi. Sedang bila ingatnya setelah menuju raka‘at lain, maka disunnahkan sujūd sahwi. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 238. Dār-ul-Fikr.
(Disunnahkan bagi seorang ma’mum) untuk melakukan dua sujūd sahwi (sebab kelupaan imam) yang suci dan imamnya imam walaupun kelupaan tersebut terjadi sebelum menjadi ma’mum (dan walaupun ma’mum memisahkan diri dengan imam) atau shalatnya imam batal setelah kelupaan terjadi (atau imam meninggalkan) sujūd sahwi. Hal itu dilakukan untuk menambahi kekurangan dari shalatnya imam, maka bagi ma’mum disunnahkan sujūd sahwi setelah salamnya imam. Ketika imam melakukan sujūd, maka wajib bagi seorang ma’mum masbūq dan muwāfiq untuk mengikutinya, walaupun mereka tidak tahu bahwa imam lupa. Jika tidak mengikuti, maka shalatnya batal bila mereka tahu keharamannya dan sengaja. Untuk ma’mum masbūq disunnahkan mengulangi sujūd sahwi di akhir shalatnya. (Tidak karena kelupaan) ma’mum (pada saat masih menjadi ma’mum di belakang imam),18 maka kelupaan tersebut ditanggung oleh imam19 yang suci, bukan yang hadats, dan yang terkena najis tersembunyi. Berbeda dengan kelupaan ma’mum setelah salamnya imam, maka imam tidak dapat menangungnya sebab hukum menjadi ma’mum telah berakhir. Jikalau seorang ma’mum menduga salamnya imam, lantas ma’mum salam, namun ternyata praduganya keliru maka ma’mum wajib salam besertaan dengan imam dan tidak sunnah melakukan sujūd sahwi sebab ma’mum lupa saat masih mengikut imam.
19Hingga seolah-olah ma’mum juga telah mengerjakannya dan pahalanya tidak dikurangi sedikitpun. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 239. Dār-ul-Fikr.
(Cabangan Masalah). Jikalau seorang ma’mum ingat di dalam tasyahhudnya telah meninggalkan rukun selain niat dan takbīrat-ul-iḥrām atau ragu di dalamnya, maka ia harus menambah satu raka‘at setelah salamnya imam dan jangan sujūd sahwi ketika ingat, sebab kelupaan tersebut terjadi saat menjadi ma’mum, berbeda dengan kasus ketika ragu,20 sebab ia telah melakukan penambahan setelah selesai menjadi ma’mum dengan pengiraan. Oleh karena itu, jikalau ma’mum ragu di dalam menemukan shalat dengan imam secara sempurna atau kurang satu raka‘at, maka ma’mum harus menambah satu raka‘at dan melakukan sujūd sahwi sebab adanya keraguan yang menyebabkan sujūd sahwi terjadi setelah selesai menjadi ma’mum juga, kesunnahan sujūd sahwi akan berakhir jikalau dengan sengaja melakukan salam walaupun waktu pemisahnya masih belum lama atau dengan lupa melakukan salam, namun pemisahnya telah lama secara umumnya. Jika seseorang melakukan sujūd sahwi, maka ia kembali ke dalam hukumnya shalat, hingga wajib baginya untuk mengulangi salam. Jika imam kembali ke dalam shalat, maka wajib bagi ma’mum yang lupa untuk kembali pula, jika tidak maka shalatnya batal bila ada unsur kesengajaan dan mengetahui keharamannya.21 Jikalau seorang ma’mum masbūq berdiri untuk menyempurnakan shalatnya, maka wajib baginya untuk kembali sebab mengikuti imam ketika kembali ke dalam shalat.
21Dan selama ma’mum tidak mengetahui kekeliruan imam dalam kembalinya dan selama ma’mum tidak berniat mufāraqah sebelum tertinggal dari imam yang dapat membatalkan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 241. Dār-ul-Fikr.
(Peringatan). Seandainya seorang imam sujūd sahwi setelah selesainya ma’mum muwāfiq22 dari minimalnya tasyahhud,23 maka wajib bagi ma’mum untuk mencocoki/membarengi imam dalam sujūd atau sebelum minimalnya tasyahhud, maka wajib pula bagi ma’mum untuk mengikuti imam lantas setelah itu menyempurnakan tasyahhud.24
23Besertaan shalawat Nabi s.a.w. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 241. Dār-ul-Fikr.
24Berbeda dengan pendapat Ibnu Ḥajar dalam Syaraḥ I‘āb yang mengharuskan untuk menyelesaikan bacaan tasyahhud dan shalawat Nabi. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 241. Dār-ul-Fikr.
(Jikalau timbul keraguan pada diri seseorang setelah melakukan salām) tentang kurangnya syarat atau meninggalkan (fardhu selain niat) dan takbīr (iḥrām, maka hal itu tidak memberi akibat apapun). Jika tidak dihukumi seperti itu, niscaya akan sulit dan memberatkan dan secara lahirpun shalat tersebut telah terlaksana secara sah (shaḥḥ). Sedangkan keraguan terhadap niat dan takbīrat-ul-iḥrām hukumnya dapat berpengaruh menurut pendapat yang mu‘tamad.25 Berbeda dengan ‘ulamā’ yang memperpanjang masalah tersebut hingga tidak membedakannya. Dikecualikan dengan keraguan adalah jikalau seseorang yakin telah meninggalkan fardhu setelah salam, maka wajib untuk meneruskan selama pemisahnya belum lama atau sebelum menginjak najis26 walaupun telah membelakangi qiblat, telah berbicara atau berjalan sedikit. Syaikh Zakariyyā dalam Syarḥ-ur-Raudh mengatakan: Walaupun telah keluar dari masjid. Tolok ukur pemisah yang lama dan sebentar adalah umumnya. Sebagian pendapat mengatakan: Pemisah yang sebentar adalah dengan kadar yang telah dikutip dari Nabi s.a.w. dalam hadits sahabat Dzū-l-Yadain sedang pemisah yan lama adalah melebihi hal itu. Hal yang dikutip dari hadits adalah bahwa Nabi berdiri lantas berjalan lewat pinggir masjid dan Nabi bertanya kepada sahabat Dzū-l-Yadain dan sahabat lainnya. Selesai.
26Jika setelah semua itu, maka wajib untuk mengulangi shalat dari awal, bukan meneruskan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 243. Dār-ul-Fikr.
Imām Rāfi‘ī menghikayatkan sebuah pendapat dari Imām Buwaithī bahwa pemisah yang lama adalah kadar yang melebihi satu raka‘at. Dengan pendapat itu Imām Abū Isḥāq juga berkomentar. Dan dari Abū Hurairah bahwa pemisah yang lama adalah kadar shalat yang dilakukan.
(Kaidah – Qā‘idah). Yaitu: Setiap hal yang diragukan telah berubah dari asalnya, maka hal tersebut dikembalikan terhadap hukum asalnya baik wujūd27 atau tidak wujūdnya28 dan buanglah keraguan. Oleh karena itu para ‘ulamā’ mengatakan: Sesuatu yang diragukan dianggap seperti tidak ada.29
28Seperti yakin tidak suci lantas ragu tentang kesuciannya, maka yang diambil adalah hukum tidak suci sebab itulah yang asal. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 243. Dār-ul-Fikr.
29Dikecualikan dari kaidah tersebut adalah keraguan di dalam meninggalkan rukun shalat selain niat dan takbīrat-ul-iḥrām. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 243. Dār-ul-Fikr.
Post a Comment