TENTANG CARASHALAT (RUKUN SHALAT)
TENTANG CARA
SHALAT (RUKUN SHALAT)
(Rukun shalat yang kelima) adalah (rukū‘ dengan membungkuk, sekira dua telapak tangannya) – Dua telapak tangan adalah anggota selain jari-jari tangan ya‘ni dari telapak tangan, maka tidaklah cukup sampainya jari-jari tangan saja – (memperoleh dua lututnya). Jika orang yang shalat menghendaki untuk meletakkan dua telapak tangan tersebut di atas kedua lututnya ketika bentuknya standar.78 Dan ini adalah minimal dari rukū‘. (Disunnahkan) di dalam rukū‘ (untuk meratakan punggung dan leher) dengan cara memanjangkan keduanya sampai menjadi seperti satu papan sebab mengikuti Nabi s.a.w. (Dan memegang dua lututnya besertaan dengan menegakkan dan merenggangkan keduanya (dengan kedua telapak tangannya) beserta membuka dan merenggangkan jari-jari keduanya dengan posisi sedang.79 (Sunnah mengucapkan lafazh: (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَ بِحَمْدِهِ) – Maha Suci Allah Tuhanku yang Maha Agung dan dengan pujian padanya – sebanyak tiga kali), sebab mengikuti Nabi s.a.w. Minimal dari tasbīḥ di dalam rukū‘ dan sujūd adalah satu kali walaupun dengan hanya sejenis ucapan (سُبْحَانَ اللهِ) – Maha Suci Allah – dan maksimalnya adalah sebelas kali. Sunnah bagi orang yang telah disebutkan untuk menambahi doa: (اللهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ ) sampai selesai. Artinya: Ya Allah, karena-Mu, aku rukū‘ dan dengan-Mu aku beriman, dan kepada-Mu aku pasrah, pendengaran, penglihatan, sumsum, tulang, otot, rambut dan kulitku tunduk kepada-Mu, dan seluruh jasadku hanyalah untuk Allah ta‘ālā Tuhan semesta alam. Disunnahkan di dalam rukū‘ dan sujūd untuk berdoa: ( سُبْحَانَكَ اللهُمَّ) sampai selesai. Artinya: Maha Suci Engkau, ya Allah dan dengan pujian kepadamu, ya Allah ampunilah diriku. Jikalau seorang yang shalat menghendaki untuk meringkas tasbīḥ atau dzikir, maka tasbīḥ lebih utama, tiga bacaan tasbīḥ besertaan membaca doa: Ya Allah, karena-Mu, aku sujūd – sampai selesai doa – lebih utama dibanding dengan menambahi tasbīḥ sampai sebelas kali. Dimakruhkan meringkas terhadap minimal rukū‘ dan dimakruhkan pula untuk berlebihan dalam menundukkan kepala dari punggung pada waktu rukū‘. Disunnahkan bagi seorang lelaki untuk merenggangkan dua siku-sikunya dari dua sisi tubuhnya dan menjauhkan perutnya dari dua pahanya saat rukū‘ dan sujūd.80 Sedangkan bagi selain lelaki81 disunnahkan untuk mengumpulkan sebagian anggota dengan anggota yang lain di dalam rukū‘ dan sujūd.
79Agar posisi sebagian jari-jarinya tidak keluar dari arah qiblat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 182 Darul Fikr.
80Kecuali bagi seorang yang shalat dengan telanjang, maka yang lebih baik adalah mengumpulkan anggotanya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 183 Darul Fikr.
81Maksudnya adalah wanita dan khuntsā’, sebab hal itu lebih menutupi bagi keduanya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 183 Darul Fikr.
(Peringatan). Wajib untuk tidak berniat saat turun melakukan rukū‘ selain berniat rukū‘. Jika orang yang shalat turun untuk sujūd tilāwah kemudian saat sampai batasan rukū‘ ia jadikan sebagai rukū‘, maka hal itu tidak mencukupi, bahkan wajib baginya untuk berdiri tegak lantas rukū‘ kembali, seperti halnya82 kasus rukū‘ adalah i‘tidāl, sujūd, duduk di antara dua sujūd. Jika selain ma’mūm merasa ragu, sedang ia berada pada posisi sujūd apakah telah rukū‘? Maka wajib baginya segera untuk berdiri tegak kemudian rukū‘, tidak diperbolehkan baginya untuk berdiri langsung dengan posisi rukū‘.
(Rukun shalat yang keenam) adalah (i‘tidāl) walaupun di dalam shalat sunnah menurut pendapat yang mu‘tamad.83 I‘tidāl dapat terwujud dengan (kembali) setelah rukū‘ (ke posisi semula) dengan cara kembali menuju posisi sebelum rukū‘, baik berdiri ataupun duduk. Jika selain ma’mūm ragu atas kesempurnaan dari i‘tidāl, maka ia wajib (harus) segera kembali, dan jika tidak, maka batallah shalatnya. Sedangkan bagi ma’mūm yang ragu diharuskan baginya untuk menambah satu raka‘at setelah salam imām-nya. Disunnahkan di saat bangkit dari rukū‘ mengucapkan lafazh84: (سَمِعَ الله لِمَنْ حَمِدَهُ) – Semoga Allah menerima pujian dari hamba yang memujinya – dengan suara yang keras bagi imām dan penyampai suara sebab lafazh tersebut merupakan dzikir berpindah rukun. (Disunnahkan pula) mengucapkan (setelah berdiri tegak) untuk i‘tidāl (doa: (رَبَّنا لَكَ الْحَمْدُ) – sampai selesai – Artinya: Ya Tuhanku, bagi-Mu segala pujian yang memenuhi seluruh langit, bumi dan memenuhi segala sesuatu yang Engkau kehendaki setelah itu. Maksudnya setelah langit dan bumi seperti kursi dan ‘arsy. Lafazh (مِلْءُ) dengan i‘rāb rafa‘ adalah sebuah sifat dan dengan i‘rāb nasab adalah tarkīb ḥāl maksudnya sesuatu yang memenuhi dengan mengira-ngirakan pujian tersebut menjadi sebuah jisim. Disunnahkan bagi orang yang telah disebutkan di atas untuk menambah doa: (أَهْلُ الثَّنَاءِ وَ الْمَجْدِ) sampai selesai. Artinya: Wahai ahli pemangku pujian dan keagungan, sebuah hal yang sudah semestinya diucapkan oleh seorang hamba dan kami semua adalah hamba-Mu. Tiada yang mencegah atas apa yang Engkau berikan dan tiadalah pemberian atas apa yang Engkau cegah dan tidaklah sifat kaya memberi manfaat terhadap dzat yang kaya.
84Namun dengan syarat yang telah lalu ya‘ni berniat dzikir saja atau besertaan dengan niat mendengarkan yang lain. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 184 Darul Fikr.
(Dan) disunnahkan (membaca doa qunut dalam shalat Shubuḥ), maksudnya di waktu i‘tidāl raka‘at shalat Shubuḥ yang kedua setelah membaca dzikir yang telah biasa dibaca menurut pendapat aujah. Doa tersebut adalah sampai pada lafazh (مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ)85 (dan) di dalam i‘tidāl raka‘at akhir (shalat witir separuh akhir dari bulan Ramadhān), sebab mengikuti Nabi s.a.w. Dimakruhkan melakukan qunut pada pertengahan awal Ramadhān, seperti dimakruhkannya qunut di pertengahan bulan lain di tahun yang ada. (Disunnahkan pula di shalat-shalat fardhu yang lain) dari shalat lima waktu di saat i‘tidāl raka‘at terakhir – walaupun bagi ma’mūm masbūq yang telah melakukan doa qunut bersama imām, (karena bencana yang menimpa)86 terhadap orang-orang muslim walaupun satu orang namun bermanfaat untuk umum seperti orang ‘ālim yang ditawan atau seorang yang pemberani. Semua itu sebab mengikuti Nabi s.a.w. Baik bencana tersebut terjadi sebab ketakutan walaupun dari musuh dari kalangan umat muslim atau kelaparan dan wabah penyakit. Dikecualikan dari (dengan shalat fardhu) adalah shalat sunnah – walaupun shalat hari raya – dan shalat yang dinadzari, maka tidak disunnahkan qunut di dua shalat tersebut. (Tata caranya doa qunut adalah dengan mengangkat kedua tangannya) sejajar dengan dua pundaknya walaupun saat memuji Allah seperti doa-doa lain, sebab mengikuti Nabi s.a.w. Jikalau seorang berdoa untuk menghasilkan sesuatu seperti menolak bencana di sisa umurnya, maka bagian dalam telapak tangannya diarahkan ke langit, atau untuk menghilangkan bencana, maka bagian luar dari telapak tangan diarahkan ke langit. Dimakruhkan untuk mengangkat tangan87 bagi seorang khathīb saat berdoa. (Dengan doa: (اللهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ) – sampai akhir doa) – Artinya: Ya Allah, berilah petunjuk padaku besertaan dengan orang yang telah Engkau beri petunjuk dan berilah kesehatan diriku besertaan dengan orang yang telah Engkau beri kesehatan, kasihanilah diriku besertaan dengan orang-orang yang telah Engkau kasihi, – supaya diriku masuk dalam golongan orang tersebut – berilah keberkahan pada diriku terhadap apa yang telah Engkau berikan, jagalah diriku dari sesuatu jelek yang Engkau taqdirkan, maka sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang membuat hukum dan tiada hukum bagi-Mu, dan sesungguhnya tidaklah hina orang-orang yang Engkau kasihi dan tidaklah mulia orang-orang yang Engkau musuhi. Bertambah keberkahan-Mu wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau, maka bagi-Mu segala puji atas segala hal yang telah Engkau putuskan, aku meminta ampun dan bertaubat kepada-Mu. Disunnahkan di akhir qunut untuk membaca shalawat dan salam kepada Nabi s.a.w. dan keluarganya,88 dan tidak disunnahkan di awal doa qunut.
86Walaupun bukan daerahnya yang terkena musibah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 185 Darul Fikr.
87Tidak disunnahkan mengusap wajah setelah selesai dari doa qunut, bahkan segolongan ‘ulamā’ menghukumi makruh mengusap dada. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 186 Darul Fikr.
88Jika doa qunut dari Nabi digabung dengan doa qunut sahabat ‘Umar, maka akhirnya adalah akhir keduanya bukan di tengah-tengah dari keduanya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 187 Darul Fikr.
Disunnahkan bagi orang yang telah lalu untuk menambahi doa qunut yang digunakan sahabat ‘Umar r.a. di dalam shalat Shubuḥ ya‘ni: (اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ) – sampai akhir – . Artinya: Ya Allah sesungguhnya kami meminta pertolongan, meminta ampun dan meminta petunjuk kepada-Mu, kami beriman dan pasrah kepada-Mu, kami memuji-Mu dengan seluruh kebagusan, kami bersyukur dan tidak mengkufuri-Mu, kami melepaskan dan meninggalkan orang yang mendurhakai-Mu. Ya Allah, hanya kepada-Mu kami menyembah, bagi-Mu, kami shalat dan sujud, kepada-Mu kami melangkah dan bersegera dengan mengharapkan rahmat-Mu dan kami takut akan siksa-Mu. Sesungguhnya siksamu yang pedih terhadap orang-orang kafir akan terjadi. Ketika doa qunut Shubuḥ yang telah disebutkan pertama kali adalah doa dari Nabi s.a.w., maka doa qunut tersebut didahulukan dari doa yang terakhir ini. Oleh karena itu, jika ingin berdoa dengan salah satunya saja, maka pakailah hanya doa yang awal. Kalimat-kalimat doa qunut tidaklah tertentu, maka mencukupi sebagai pengganti doa qunut ayat yang mencakup doa jika berniat menjadikannya doa qunut.89 Seperti ayat dari akhir surat al-Baqarah.90 Begitu pula cukup dengan murni sebuah doa91 walaupun doa yang tidak diajarkan oleh Nabi s.a.w. Guru kita berkata: Pendapat yang dapat dipertimbangkan adalah bahwa qunut sebab bencana yang menimpa menggunakan doa qunut shalat Shubuḥ lantas diakhiri dengan meminta dihilangkan bencana tersebut. (Sunnah bagi imām untuk mengeraskan suara dengan doa qunut) walaupun di dalam shalat yang disunnahkan melirihkan bacaan, bukan bagi seorang ma’mūm yang tidak mendengar doa qunut imām dan bukan bagi seorang yang shalat sendiri, maka keduanya sunnah melirihkan bacaan doa qunut secara mutlak. (Dan sunnah membaca amin) dengan keras (bagi seorang ma’mūm) yang mendengar bacaan qunut imāmnya karena doa darinya. Sebagian dari doa adalah shalawat Nabi s.a.w., maka ma’mūm membaca amin sebab bacaan shalawat tersebut menurut pendapat yang aujah. Sedangkan pujian – ya‘ni lafazh (فَإِنَّكَ تَقْضِيْ) – sampai selesai – dibaca dengan pelan. Adapun ma’mūm yang tidak mendengar bacaan doa qunut imām atau mendengar suara yang tidak dapat difahami, maka ma’mūm tersebut mambaca doa qunut dengan pelan.
90Ya‘ni: رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَ لِإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَ لَا تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ (59: 10)
91Yang berkaitan dengan dunia atau akhirat. Berbeda dengan pendapat Imām al-Adra’ī yang tidak mencukupkan dengan murni sebuah doa apalagi sekedar masalah dunia bahkan wajib untuk berisikan tentang pengagungan dan pujian. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 188 Darul Fikr.
(Dimakruhkan bagi seorang imām mengkhususkan doa qunut untuk dirinya sendiri) sebab ada larangan dari hal itu, maka imam mengucapkan dengan doa: (اهْدِنَا) – berilah petunjuk pada kami – dan lafazh yang disambung dengan lafazh tersebut dengan menggunakan bentuk jama‘.92 Larangan tersebut memberi pengertian bahwa seluruh doa hukumnya juga seperti itu,93 namun hal itu diarahkan kepada doa yang tidak diajarkan dari Nabi s.a.w. sebab Nabi ketika menjadi imām berdoa dengan bentuk mufrad sangatlah banyak. Sebagian ‘ulamā’ ahli hadits mengatakan bahwa doa-doa Nabi seluruhnya memakai bentuk mufrad, oleh karenanya sebagian ‘ulamā’ menentukan bentuk jama‘ pada doa qunut.
93Selain doa qunut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 189 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang ketujuh) adalah (sujūd dua kali)94) di setiap satu raka‘at (di selain sesuatu yang dibawa)95 oleh orang yang shalat (walaupun sesuatu itu bergerak dengan gerakannya), meskipun semacam ranjang yang bergerak dengan gerakannya sebab ranjang itu bukan sesuatu yang dibawa, maka tidaklah masalah sujūd di atasnya seperti ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang tidak bergerak dengan gerakannya semisal dari ujung selendang yang panjang. Dikecualikan dengan ucapankanku – di atas selain sesuatu yang dibawa – adalah permasalahan ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang bergerak dengan gerakannya seperti ujung serban, maka sujūdnya tidaklah sah. Jika seseorang sujūd di atasnya, maka shalatnya batal bila hal tersebut disengaja dan ia mengetahui keharamannya, dan jika tidak maka harus mengulangi sujūdnya.96 Sah sujūd di atas tangan orang lain97 dan di atas semacam sapu tangan yang berada di atas tangannya sebab sapu tangan tersebut dihukumi sesuatu yang telah terpisah. Jikalau seseorang sujūd di atas sesuatu, kemudian sesuatu itu melekat di keningnya, maka sujūdnya sah dan wajib untuk menghilangkannya untuk sujūd yang kedua kali. (Sujūd tersebut haruslah besertaan dengan menyungkur) dengan cara mengangkat pantat dan sekitarnya dengan posisi lebih tinggi dari kepalanya dan dua pundaknya sebab mengikuti Nabi s.a.w. Jika seseorang justru membalik posisi tersebut atau sejajar, maka hukumnya tidak mencukupi. Benar tidak mencukupi, namun jika ia memiliki penyakit yang tidak mungkin untuk sujūd kecuali dengan cara seperti itu maka hukumnya mencukupi, (dan dengan meletakkan sebagian keningnya besertaan terbuka).98 Jika kening tersebut terdapat penghalang seperti perban, maka sujūd tersebut tidaklah sah kecuali jika penghalang itu disebabkan karena luka dan sulit untuk menghilangkannya dengan kesulitan yang luar biasa, maka hukumnya sah. (besertaan pula dengan menekan) keningnya saja pada tempat shalat dengan cara menggunakan berat kepalanya, berbeda dengan pendapat dari Imām al-Ḥaramain.99 (Dan) meletakkan sebagian (dua lututnya), sebagian (batin kedua telapak tangannya) ya‘ni dari telapak tangan dan batin jari-jari, (sebagian batin jari-jari dua telapak kaki) bukan selain itu seperti tepi jari, ujung jari dan bagian luar dari keduanya. Jika jari-jari dua telapak kaki terpotong, namun masih mampu untuk meletakkan sesuatu dari dua telapak kaki, maka hukumnya tidaklah wajib,100 seperti yang telah disampaikan oleh dua guru kita; Imām Nawawī dan Imām Rāfi‘ī. Tidak wajib untuk menekan terhadap anggota-anggota ini selain kening, namun hukumnya sunnah saja seperti tidak wajibnya membuka anggota sujūd selain dua lutut.101
95Seperti debu yang menempel pada kening sekira mencegah menyentuhnya seluruh kening terhadap tempat sujud. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 191 Darul Fikr.
96Sebab benda tersebut akhirnya seperti bagian darinya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 190 Darul Fikr.
97Sebab tangan orang lain bukanlah hal yang di bawa. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 191 Darul Fikr.
98Perbedaan dengan anggota selain kening yang diperbolehkan untuk dibuka adalah sebab mudahnya membuka kening, bukan yang lainnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
99Yang menyatakan tidak wajibnya menekan kening tersebut, sebab hal tersebut lebih mendekatkan ke arah sifat tawadhu‘. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
100Sebab hilangnya tempat kewajiban. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
101Seperti halnya disunnahkan untuk membuka anggota sujūd selain dua lutut. Sedang membuka lutut hukumnya makruh, sebab berpotensi membuka aurat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
(Disunnahkan) di dalam sujūd (untuk meletakkan hidung), bahkan sangat dianjurkan sebab adanya keterangan dari hadits yang shaḥīḥ.102 Oleh karenanya, kewajiban hal itu dipilih sebagian ‘ulamā’. Disunnahkan untuk awal kalinya meletakkan dua lutut yang terpisah dengan jarak satu kilan (jengkal – JW) disusul dengan meletakkan dua telapak tangan sejajar dengan pundak sedang dua lengannya diangkat dari tanah dan membentangkan jari-jari tangan dengan posisi saling berhimpitan, kemudian disusul dengan meletakkan kening dan hidung bersamaan,103 merenggangkan dua telapak kaki dengan jarak satu kilan dan menegakkan keduanya dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah qiblat. Sunnah untuk memperlihatkan kedua jari-jari kaki dari sela-sela pucuk kain penutup bawah.104 Disunnahkan untuk membuka kedua matanya saat sujūd seperti yang telah disampaikan oleh Ibnu ‘Abd-is-Salām dan telah diakui oleh Imām Zarkasyī. Dimakruhkan untuk menyimpang dari tartib yang telah disebutkan105 dan tidak meletakkan hidung. (Sunnah mengucapkan: (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَ بِحَمْدِهِ) – Maha Suci Allah. Tuhanku dan dengan pujian pada-Nya – sebanyak tiga kali), saat sujūd sebab mengikuti Nabi s.a.w. Sunnah menambahkan doa bagi orang yang telah lalu: (اللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ) – sampai akhir – Ya Allah, untuk-Mu, aku sujūd, dengan-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku pasrah, jasadku sujūd kepada dzāt yang menciptakannya, membentuk rupa, memberi pendengaran dan penglihatan padanya dengan daya dan kekuatannya. Bertambah keberkahan Allah sebagai sebagus-bagusnya pencipta. Disunnahkan untuk memperbanyak membaca doa pada waktu sujūd. Sebagian doa yang telah diajarkan Nabi s.a.w. adalah doa: (اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ) – Ya Allah, sesungguhnya aku meminta perlindungan dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dengan pengampunan-Mu. Dari siksa-Mu, dan aku meminta perlindungan dengan-Mu dari murka-Mu, tiadalah terhitung pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji atas dzāt-Mu, ya Allah ampunilah seluruh dosaku, kecil dan besarnya dosa awal dan akhirnya, dan yang tampak jelas dan samar. Imām Nawawī dalam kitab Raudhah-nya berkata: Memanjangkan sujūd lebih utama dibanding dengan memanjangkan rukū‘.
103Berbeda dengan Imam Ghazali yang menyatakan boleh mendahulukan salah satu dari keduanya sebab dua anggota tersebut seperti satu anggota. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 193 Darul Fikr.
104Selain bagi wanita dan khuntsā’, sebab hal tersebut membatalkan shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 193 Darul Fikr.
105Berbeda dengan madzhab Mālikiyyah yang mendahulukan dua tangannya, lantas disusul dua lututnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 193 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang kedelapan) adalah (duduk di antara dua sujūd) walaupun di dalam shalat sunnah menurut pendapat yang mu‘tamad.106 Wajib untuk tidak berniat ketika bangun dari sujūd selain untuk duduk. Jika seseorang yang shalat bangun dari sujūd sebab tersentak dari semacam sengatan kalajengking, maka wajib untuk mengulang sujūdnya. Tidak masalah untuk selalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah sampai sujūd yang kedua sesuai dengan kesepakatan ‘ulamā’, berbeda bagi ‘ulamā’ yang mengira batalnya shalat (Tidak diperbolehkan memanjangkannya dan juga tidak memanjangkan i‘tidāl),107 sebab keduanya bukanlah sebuah tujuan, namun keduanya disyarī‘atkan sebagai pemisah, maka keduanya pendek waktunya. Jika salah satu dari keduanya dipanjangkan melebihi dari dzikir yang dianjurkan di dalamnya ya‘ni kadar membaca al-Fātiḥah di dalam masalah i‘tidāl dan dengan kadar minimal tasyahhud dalam kasus duduk di antara dua sujūd disertai kesengajaan dan mengetahui keharamannya, maka shalatnya batal.108
107Sebagian pendapat yang dipelopori oleh Imām Nawawī mengatakan hukumnya tidak masalah sebab dua rukun tersebut termasuk rukun yang panjang. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 195 Darul Fikr.
108Kecuali di saat dianjurkan memanjangkan i‘tidāl seperti di raka‘at terakhir, maka tidaklah masalah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
(Disunnahkan dalam) duduk di antara dua sujūd (dan) di dalam (tasyahhud awal), duduk istirahat dan begitu pula ia dalam tasyahhud akhir – jika tasyahhud itu diiring-iringi setelahnya dengan sujūd sahwi –109 (untuk duduk iftirāsy) dengan cara duduk di atas mata kaki kiri sekira bagian luarnya menempel tanah, (dengan meletakkan dua telapak tangannya) di atas dua paha dekat dengan dua lutut sekira jari-jari tangan sejajar dengannya, dengan posisi jari-jari terbentang serta (sambil mengucapkan (رَبِّ اغْفِرْ لِيْ،) – wahai Tuhan ampunilah diriku – sampai selesai) kesempurnaan doanya: Tambahlah: kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rizki diriku, berilah petunjuk padaku dan sehatkanlah diriku. Kesunnahan ini sebab mengikuti Nabi s.a.w. Dimakruhkan untuk membaca (اِغْفِرْ لِيْ) – ampunilah diriku – sebanyak tiga kali. (Dan) disunnahkan (duduk istirahat)110 dengan kadar duduk di antara dua sujūd,111 sebab mengikuti Nabi s.a.w., walaupun di dalam shalat sunnah dan walaupun imam meninggalkannya berbeda dengan pendapat guru kita,112 (karena untuk berdiri) dari sujūd selain sujūd tilāwah. Disunnahkan ketika bangun dari sujūd dan duduk untuk berpegangan dengan batin dua telapak tangan.113
110Duduk sebentar untuk istirahat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 195 Darul Fikr.
111Jika melebihi kadar yang membatalkan tasyahhud awal, maka shalatnya batal menurut Imām Ibnu Ḥajar. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 196 Darul Fikr.
112Yang menyatakan: Hukumnya makruh untuk melakukan duduk istirahat sedang imam tidak, bahkan haram bila sampai menghilangkan kesempatan membaca sebagian surat al-Fatihah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 196 Darul Fikr.
113Sebab hal tersebut lebih menolong untuk berdiri dan lebih tawadhu’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 196 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang kesembilan) adalah (thuma’nīnah di setiap) rukū‘, dua sujūd, duduk di antara dua sujūd dan i‘tidāl, walaupun keduanya di dalam shalat sunnah, berbeda dengan pendapat yang tertera dalam kitab al-Anwār.114 Batasan dari thuma’nīnah adalah diamnya anggota sekira rukun yang dituju terpisah dengan rukun yang ditinggalkan.
(Rukun shalat yang kesepuluh) adalah (tasyahhud akhir. Minimalnya) adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imām Syāfi‘ī dan Imām Tirmidzī (yakni: (التَّحِيَّاتُ للهِ) – segala penghormatan bagi Allah – sampai selesai), kesempurnaannya: Salam sejahtera, rahmat dan barakah-Nya semoga tercurahkan padamu wahai Nabi, salam bagi kita semua dan hamba-Nya yang shalih, aku bersaksi tiada Tuhan selian Allah dan sesunggguhnya Muḥammad adalah utusan Allah. Disunnahkan bagi setiap orang yang shalat untuk menambahkan lafazh: (الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ) – yang diberkahi, shalat-shalat, ‘amal-‘amal shāliḥ – menambahkan lafazh: (أَشْهِدُ) yang kedua dan mema‘rifahkan lafazh (السَّلَامِ) di dua tempat. Tidak sunnah membaca basmalah sebelum tasyahhud.115 Dilarang mengganti lafazh dari minimal tasyahhud ini walaupun dengan lafazh yang semakna, seperti lafazh (النَّبِيِّ) diganti dengan (الرَّسُوْلِ) dan sebaliknya, lafazh (مُحَمَّدٍ) diganti dengan (أَحْمَدَ) dan selainnya. Cukup mengucapkan (وَ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ) – sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah – , Tidak lafazh (أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُهُ). Dalam tasyahhud ini wajib untuk menjaga tasydīd-tasydīd yang ada, tidak mengganti satu huruf dengan huruf yang lain dan terus-menerus.116 Tidak wajib untuk tartib jika hal itu tidak sampai merusak ma‘na. Jikalau seorang menampakkan (النُّوْنَ) yang semestinya di-idghām-kan dengan (اللَّامِ) dalam (أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ) maka dapat membatalkan shalat sebab ia telah meninggalkan satu tasydīd dari tasyahhud. Seperti kasus jikalau meninggalkan meng-idghām-kan (دَالِ) lafazh (مُحَمَّدٍ) pada (رَاءِ) lafazh (رَاءِ رَسُوْلِ اللهِ). Diperbolehkan di dalam lafazh (النَّبِيِّ) menggunakan ḥamzah dan tasydīd.
116Sekira di antara kalimat-kalimatnya tidak terpisah dengan kadar pemisah melebihi dari berhenti mengambil nafas. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 199 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang kesebelas) adalah (membaca shalawat pada Nabi)117 s.a.w., (setelah tasyahhud akhir). Tidaklah cukup membaca sebelumnya.118 (Minimalnya adalah: (اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ) – Ya Allah berikanlah rahmat kepada Nabi disertai dengan pengagungan – atau menggunakan lafazh (صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ), atau (عَلَى رَسُوْلِهِ) atau (عَلَى النَّبِيِّ) bukan lafazh (أَحْمَدَ). (Disunnahkan di dalam) tasyahhud akhir – sebagian pendapat menghukumi wajib –119 (untuk bershalawat kepada keluarganya Nabi) maka kesunnahan shalawat kepada keluarga Nabi akan didapat dengan menambahkan lafazh (وَ آلِهِ) besertaan minimal shalawat. Tidak sunnah menambahi pada tasyahhud awal menurut pendapt yang ashaḥḥ sebab tasyahhud awal dikerjakan secara cepat, dan satu pendapat mengatakan bahwa membaca shalawat pada keluarga Nabi termasuk memindah rukun yang berakibat membatalkan shalat. Sedang perbandingan dari pendapat yang ashaḥḥ ini lebih dipilih sebab beberapa hadits yang shaḥīḥ tentang disunnahkannya hak itu. (Disunnahkan untuk menyempurnakan bacaan tasyahhud) akhir ya‘ni: (اللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ) – sampai akhir – . Ya Allah, berikanlah rahmat kepada Muḥammad dan keluarganya seperti Engkau memberi rahmat kepada Ibrāhīm dan keluarganya, barakahilah Muḥammad dan keluarganya seperti Engkau telah memberi barakah terhadap Ibrāhīm dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau adalah Dzāt yang terpuji dan agung. Lafazh salam telah disebutkan sebelumnya di dalam shalawat ini menyendirikan lafazh shalawat darinya.120. Tidak masalah menambahi lafazh (سَيِّدِنَا) sebelum lafazh (مُحَمَّدٍ). (Disunnahkan di dalam tasyahhud akhir untuk berdoa) setelah membaca itu semua. Sedangkan tasyahhud awal hukumnya makruh untuk membaca doa sebab tasyahhud awal dikerjakan dengan cepat kecuali ma’mūm telah selesai membaca tasyahhud sebelum imāmnya, maka saat itulah diperbolehkan berdoa. Berdoa dengan doa yang telah diajarkan Nabi s.a.w. itu lebih utama dan yang paling dianjurkan adalah doa yang telah ditetapkan oleh sebagian ‘ulamā’ ya‘ni: (اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ) – Ya Allah, sesungguhnya aku meminta perlindungan dari-Mu dari siksa kubur, dari siksa neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian,121 fitnah al-Masīḥ-ud-Dajjāl. Dimakruhkan untuk meninggalkan doa tersebut. Sebagian doa lagi adalah: (اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ) – Ya Allah, ampunilah dosaku yang telah lewat dan dosaku yang akhir, dosa yang aku sembunyikan dan yang tampak, dosa yang melampaui batas, dan dosa yang Engkau lebih tahu daripada diriku. Engkaulah Maha Awwal dan Maha Akhir, tiada tuhan selain Engkau. Dua Hadits di atas adalah hadits riwayat Muslim. Sebagian lagi adalah: (اللّهُمَّ إِنِيْ ظَلَمْتُ) – Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang zhalim terhadap diriku dengan kezhaliman yang besar dan banyak. Tiadalah yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah dosaku dengang pengampunan dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Hadits riwayat Bukhārī. Disunnahkan bagi imām untuk mengurangi doa dari kadar minimal bacaan tasyahhud dan shalawat Nabi s.a.w. Guru kita berkata: Dimakruhkan membaca shalawat Nabi s.a.w. setelah membaca doa-doa tasyahhud.
118Sebab keharusan tartib di antara tasyahhud dan shalawat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 200 Darul Fikr.
119Ya‘ni dari qaul qadīm Imām Syāfi‘ī. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 201 Darul Fikr.
120Akhirnya hukumnya tidak makruh, sebab menyendirikan lafazh shalawat dengan salam hukumnya makruh. (pen.)
121Imam Qulyubi menyatakan: Fitnah kehidupan dengan dunia dan syahwat, sedang fitnah kematian dengan saat akan meninggal atau fitnah qubur seperti pertanyaan dua malaikat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 202 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang kedua belas) adalah (duduk untuk membaca tasyahhud dan shalawat Nabi) begitu pula untuk salam. (Disunnahkan duduk tawarruk) di dalam tasyahhud akhir122 ya‘ni duduk yang diiring-iringi dengan salam, maka tidak disunnahkan untuk duduk tawarruk bagi ma’mūm masbūq di dalam tasyahhudnya imām yang akhir dan juga tidak sunnah bagi seseorang yang akan sujud sahwi.123 Duduk tawarruk seperti halnya duduk iftirāsy namun kaki kirinya dikeluarkan dari arah kaki kanannya dan pantatnya ditempelkan di tanah. (Sunnah untuk meletakkan dua lengannya di dalam) dua (tasyahhudnya di atas ujung lututnya) sekira ujung jari-jarinya sejajar dengan ujung lutut (dengan membentangkan jari-jari kirinya) besertaan dengan merapatkannya (dan mengepalkan) jari-jari (tangan kanannya kecuali jari penunjuk). Lafazh (الْمُسَبِّحَةَ) dengan membaca kasrah huruf (الْبَاءِ)-nya memiliki ma‘na jari yang berada di samping ibu jari – maka lepaskanlah jari penunjuk tersebut. (Dan) disunnahkan (untuk mengangkat jari penunjuk)124 dengan agak condong (ketika) sampai ucapan ḥamzah (lafazh (إِلَّا اللهَ)) sebab mengikuti Nabi s.a.w. (Sunnah melanggengkannya), maka jangan meletakkannya namun biarkan jari tersebut terangkat sampai berdiri125 atau salām. Yang lebih utama adalah dengan menggenggam ibu jari di samping jari penunjuk dengan cara meletakkan ujung ibu jari di bawah jari penunjuk di atas pinggir telapak tangan seperti orang yang membentuk angka 53. Jikalau seorang yang shalat meletakkan telapak tangan kanan di selain lutut,126 maka baginya disunnahkan untuk memberi isyārah dengan jari penunjuknya pada saat sampai lafazh (إِلَّا اللهَ), tidak sunnah mengangkat jari penunjuk ketika sampai pada lafazh itu di luar shalat. (Disunnahkan untuk melihat jari penunjuk) maksudnya hanya melihat jari itu saat jari diangkat walaupun tertutup dengan semacam lengan baju seperti yang telah diungkapkan oleh guru kita.
123Sebab tasyahhudnya tidak diiring-iringi salam bahkan sunnah baginya adalah duduk iftirāsy. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 203 Darul Fikr.
124Kesunnahan ini bersifat ta‘abbudi yang tidak dapat disamakan dengan permasalahan lainnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 203 Darul Fikr.
125Maksudnya sampai akan berdiri. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 204 Darul Fikr.
126Maksudnya selain dekat dengan lutut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 204 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang ketiga belas) adalah (salām pertama minimalnya adalah ucapan (السَّلَامُ عَلَيْكُمْ) – Salām bagi kalian semua – ) sebab mengikuti Nabi s.a.w.127 Dimakruhkan dengan lafazh (عَلَيْكُمُ السَّلَامُ), tidak cukup dengan lafazh (سَلَامٌ عَلَيْكُمْ) dengan menakirahkan lafazh (سَلَامٌ) dan juga tidak dengan lafazh (سَلَامُ اللّهِ) atau lafazh (سَلَامِيْ عَلَيْكُمْ) bahkan lafazh tersebut membatalkan shalat jika disengaja dan menggetahui keharamannya seperti keterangan di dalam kitab Irsyād milik guru kita. (Disunnahkan) salām (yang kedua)128 walaupun imām meninggalkannya. Haram melakukan salām yang kedua jika setelah salam yang awal terjadi sebuah hal yang menafikan keabsahan shalat seperti hadats, keluarnya waktu jum‘at dan adanya penutup aurat bagi seorang yang shalat telanjang. (Disunnahkan) untuk membarengkan setiap satu dari dua salām besertaan dengan (lafazh (رَحْمَةُ اللهِ) ) tanpa menambahi lafazh (وَ بَرَكَاتُهُ) menurut pendapat yang telah dikutip selain dalam shalat janazah, namun pendapat yang dipilih justru menghukumi sunnah menambahi lafazh (وَ بَرَكَاتُهُ) sebab adanya hadits dari beberapa rawi, (dan) besertaan (dengan menoleh di saat dua salām tersebut) sampai pipi kanan terlihat pada salām pertama dan pipi kiri pada salām kedua.
128Salām kedua adalah termasuk dari mulḥiqat shalat atau tābi‘u shalat, bukan termasuk dari shalat menurut pendapat yang mu’tamad. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 206 Darul Fikr.
(Peringatan). Disunnahkan bagi setiap imām, ma’mūm dan orang yang shalat sendiri untuk berniat memberi salām dengan salām pertama terhadap orang yang menoleh padanya dari arah kanan, dan dengan salām kedua terhadap orang yang menoleh dari arah kirinya, ya‘ni dari malaikat, manusia dan jinn yang mu’min.129 Dan dengan salām manapun terhadap orang yang berada di belakang dan depannya, namun dengan salām pertama lebih baik. Bagi ma’mūm disunnahkan untuk berniat mengembalikan salām terhadap imām dengan salām manapun jika ma’mūm berada di belakangnya, dengan salām kedua jika berada di samping kanannya, dan dengan salām pertama jika berada di samping kirinya. Disunnahkan bagi sebagian ma’mūm untuk berniat mengembalikan salām terhadap sebagian ma’mūm yang lain, maka sebagian ma’mūm itu berniat mengembalikan salām terhadap orang yang berada di samping kanannya dengan salām kedua, dengan salam pertama terhadap orang yang berada di samping kirinya, dan dengan salām manapun terhadap orang yang berada di arah belakang dan depannya, namun yang lebih utama dengan salām pertama.130
130Disyaratkan menurut Imām Ibnu Qāsim besertaan dengan niat memberi salām atau mengembalikan salām pada ma’mūm yang lain untuk berniat salām shalat, jika tidak maka shalatnya batal. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 207 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan untuk berniat keluar dari shalat dengan salām pertama131 sebab menghindari perbedaan ‘ulamā’ yang mewajibknnya.132 Sunnah mempercepat bacaan salām, mengawali salām dengan menghadap qiblat,133 mengakhiri salām besertaan sempurnanya menoleh dan sunnah bagi ma’mūm untuk melakukan salām setelah dua salām imāmnya.134
132Ya‘ni Imām Ibnu Suraij dan lainnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 207 Darul Fikr.
133Menghadapkan wajahnya, untuk menghadapkan dada hukumnya wajib. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 208 Darul Fikr.
134Jika malah bersamaan dengan imām, maka hukumnya boleh, namun makruh, yang dapat menhilangkan pahala jamā‘ah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 208 Darul Fikr.
(Rukun shalat yang keempat belas adalah tartib) di antara rukun-rukun yang telah disebut sebelumnya.135 Maka jika ada kesengajaan merusak tartib dengan mendahulukan rukun fi‘lī seperti sujūd sebelum rukū‘ maka batallah shalatnya. Sedangkan mendahulukan rukun qaulī hukumnya tidaklah masalah kecuali salām. Tartib di antara sunnah seperti surat-suratan setelah membaca al-Fātiḥah, doa sebelum bacaan tasyahhud dan shalawat merupakan syarat untuk mendapatkan kesunnahannya. (Jikalau selain ma’mūm lupa) di dalam tartib (dengan meninggalkan satu rukun) seperti sujūd sebelum rukū‘ atau rukū‘ sebelum membaca a-Fātiḥah, maka apa yang telah dikerjakan tiada gunanya136 sampai ia mengerjakan terhadap rukun yang ditinggal. Jika ia ingat sebelum sampai rukun yang sama dengan yang ditinggal, maka baginya harus mengerjakan rukun yang ditinggal dan jika tidak semacam itu, maka keterangannya akan dijelaskan nanti. (Atau selain ma’mūm ragu) di dalam rukun, apakah telah mengerjakannya atau belum, seperti keraguan orang yang rukū‘, apakah telah membaca al-Fātiḥah?, atau keraguan orang yang sujūd, apakah telah rukū‘ atau i‘tidāl?, (maka wajib baginya untuk segera mengerjakan rukun yang diragukan jika keraguan tersebut sebelum mengerjakan rukun yang menyamai) terhadap rukun yang diragukan dari raka‘at lain. (Jika ia tidak ingat) sampai mengerjakan terhadap rukun yang diragukan dalam raka‘at lain (maka hal tersebut mencukupi baginya)137 dari rukun yang ditinggalkan dan rukun yang berada di antara keduanya tidak berarti. Ini semua jika ia tahu persis bentuk rukun yang ditinggal dan tempatnya, jika ia tidak tahu dan ia menduga niat dan takbīrat-ul-iḥrām, maka shalatnya batal. – Dalam bab ini tidak disyaratkan harus adanya pemisah yang lama dan juga tidak lewatnya satu rukun – , atau ia menduga salām, maka baginya harus salām walaupun waktu pemisahnya telah lama menurut pendapat yang aujah, atau menduga selain dari keduanya, maka ambillah yang lebih hati-hati dan teruskan atas apa yang telah dikerjakan,138 (setelah itu penuhilah kekurangan) sisa shalat. Benar bila telah sampai rukun yang sama mencukupi dari rukun yang ditinggal namun jika rukun yang sama tersebut bukan dari bagian shalat seperti sujūd tilāwah, maka hukumnya tidak mencukupi. Sedangkan ma’mūm yang mengetahui atau ragu sebelum rukū‘nya dan setelah rukū‘nya imām bahwa dirinya meninggalkan al-Fātiḥah, maka bacalah al-Fātiḥah tersebut dan kejarlah imām. Bila hal itu terjadi setelah rukū‘nya dan rukū‘ imām, maka tidak diperbolehkan baginya untuk kembali berdiri untuk membaca al-Fātiḥah namun ikutilah imām dan shalatlah satu raka‘at setelah salām imām.
136Sebab dikerjakan di selain tempatnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 208 Darul Fikr.
137Artinya mencukupi adalah tidak perlu kembali pada rukun yang ditinggal, namun teruskan shalat dan di akhir shalat ditambah satu raka‘at bila ingat setelah satu raka‘at dan seterusnya. (pen.)
138Contoh: jika ia berada pada posisi sujūd sedang yang tertinggal adalah al-Fātiḥah maka berdirilah dan baca al-Fātiḥah, setelah itu rukū‘ dan sujūd dan seterusnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 210 Darul Fikr.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan masuk mengerjakan shalat dengan semangat sebab Allah s.w.t. mencela terhadap orang yang meninggalkan hal itu dalam firman-Nya yang artinya: “Dan ketika orang-orang munāfiq mengerjakan shalat, maka mereka mengerjakan dengan bermalas-malasan.” Lafazh (الْكَسَلُ) dalam firman Allah di atas berma‘na tidak semangat dan malas. (Dan mengosongkan hati) dari berbagai macam urusan139 sebab hal itu lebih mendekatkan terhadap khusyū‘. (Disunnahkan di dalam) seluruh shalat (untuk khusyū‘ dengan hatinya) dengan cara tidak menghadirkan selain hal yang sedang dijalani walaupun urusan akhirat.140 (Khusyū‘ dengan anggota tubuhnya) dengan cara tidak bermain dengan salah satu anggota itu. Kesunnahan itu karena pujian Allah s.w.t. terhadap pelakunya di dalam Kitāb-Nya yang mulia yang artinya: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman ya‘ni orang-orang yang khusyū‘ di dalam shalatnya,” dan sebab hilangnya pahala sebab tiadanya khusyū‘ seperti yang telah ditunjukkan hadits-hadits Nabi s.a.w. yang shaḥīḥ, dan sebab adanya satu pendapat yang dipilih sekelompok ‘ulamā’ bahwa khusyū‘ merupakan syarat sah shalat. Sebagian hal yang dapat menghasilkan khusyū‘ adalah membayangkan bahwa dirinya berada di sisi raja diraja yang mengetahui perkara yang samar dan paling samar sedang berbisik kepadanya, dan membayangkan bahwa Allah tampak jelas dengan memaksa terhadap orang yang meninggalkan khusyū‘ sebab hak ketuhanannya tidak dipenuhi hingga shalatnya tidak diterima. Sayyid al-Quthb al-‘Ārif Billāh Muḥammad al-Bakriyyī r.a. mengatakan bahwa sebagian hal yang dapat mewariskan kekhusyū‘an adalah memanjangkan rukū‘ dan sujūd. (Disunnahkan untuk merenungkan ma‘na-ma‘na bacaan al-Qur’ān).141 Allah berfirman yang artinya: “Apakah mereka semua tidak merenungkan ma‘na al-Qur’an.” Dan dengan hal itu, maka sempurnalah tujuan dari khusyū‘ (dan) merenungkan (ma‘na dzikir) disamakan dengan bacaan al-Qur’ān. (Sunnah untuk tidak memalingkan pandangan dari tempat sujūdnya) sebab hal itu lebih mendekatkan terhadap khusyū‘ walaupun orang buta – dan walaupun di depan Ka‘bah, di kegelapan atau dalam shalat janazah. Benar sunnah untuk selalu melihat tempat sujūdnya, namun disunnahkan untuk hanya melihat jari telunjuk saat jari tersebut diangkat dalam tasyahhud akhir sebab adanya hadits yang shaḥīḥ. Tidak dimakruhkan untuk memejamkan kedua matanya142 jika tidak ditakutkan bahaya.
140Sebab hal itu muncul dari godaan syaithan seperti yang telah diungkapkan oleh Imām Ghazālī dalam Iḥyā’-nya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 210 Darul Fikr.
141Secara global saja, tidak terperinci. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 213 Darul Fikr.
142Sebab tidak ada larangan tentang hal tersebut. Terkadang memejamkan mata menjadi wajib bila barisan yang ada di depannya telanjang dan terkadang sunnah seperti di depannya terdapat gambar-gambar yang dapat mengganggu konsentrasinya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 214 Darul Fikr.
(Fā’idah). Dimakruhkan bagi seorang yang shalat, lelaki maupun yang lainnya meninggalkan sesuatu dari kesunnahan shalat. Guru kita berkata: Keumuman hal tersebut masih perlu dipertimbangkan sedang pendapat yang tepat adalah mengkhususkan kemakruhan itu terhadap sesuatu yang terdapat larangan untuk meninggalkan143 atau perbedaan dalam kewajibannya.144
144Seperti membaca shalawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahhud akhir. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 214 Darul Fikr.
(Disunnahkan berdzikir dan berdoa dengan pelan setelah shalat).145 Maksudnya disunnahkan untuk melakukan keduanya dengan pelan bagi seorang yang shalat sendiri, ma’mūm dan imām yang tidak ingin mengajarkan ma’mūm yang hadir dan juga tidak ingin bacaan amin dari ma’mūm sebab mendengar doa dari sang imām. Dalam dzikir dan doa ini terdapat beberapa hadits yang banyak yang telah saya sebutkan sebagian darinya dalam kitabku yang bernama Irsyād-ul-‘Ibād, maka carilah kitab tersebut sebab kitab itu sangat penting. Imām Tirmidzī meriwayatkan dari Abū Umāmah yang berkata: Rasūl s.a.w. ditanya: Doa manakah yang lebih cepat dikabulkan? Rasūl menjawab: Doa di tengah malam dan setelah shalat fardhu Dua guru kita Imām Bukhārī (dan) Muslim meriwayatkan dari Abū Mūsā yang berkata: Kami bersama Nabi s.a.w., lalu sesampainya kami di dekat jurang, maka kami membaca tahlīl dan bertakbīr dan suara-suara kami sangat lantang, lantas Rasūl s.a.w. bersabda: Wahai manusia, kasihanilah diri kalian, sungguh kalian tidak berdoa terhadap Dzāt yang tuli dan Dzāt yang tidak hadir. Sesungguhnya Allah adalah Maha Bijaksana, Maha Mendengar dan Maha Dekat. Hadits itu dijadikan dasar oleh Imām Baihaqī dan selainnya untuk melirihkan suara terhadap dzikir dan doa. Imām Syāfi‘ī menyatakan dalam kitab al-Umm: Saya memilih bagi seorang imām dan ma’mūm untuk berdzikir kepada Allah setelah salām dari shalat dan melirihkan terhadap dzikir kecuali ia menjadi imām yang menghendaki untuk mengajari ma’mūm, maka imām mengeraskan suaranya sampai imām melihat bahwa ma’mūm telah mengikutinya lantas imām melirihkan suaranya, sesungguhnya Allah telah berfirman yang artinya: Janganlah kalian mengeraskan doa kalian dan janganlah melirihkannya. Maksudnya adalah doa,146 janganlah kamu mengeraskan doa sampai terdengar orang lain dan jangan melirihkannya sampai tidak terdengar olehmu. – selesai – Maqālah Imām Syāfi‘ī.
146Sesuai dengan qaul dari dewi ‘Ā’isyah, sedangkan menurut Ibnu ‘Abbās maksud dari shalat adalah bacaan yang ada di dalamnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 217 Darul Fikr.
(Fā’idah) Guru kita berkata: Terlalu keras dalam berdzikir dan berdoa di dalam masjid sekira mengganggu terhadap orang yang shalat sebaiknya hukumnya haram.
(Cabangan Masalah). Disunnahkan untuk mengawali doa dengan memuji Allah dan shalawat atas Nabi s.a.w. dan mengakhiri dengan keduanya dan dengan amin. Sunnah membaca amin bagi ma’mūm yang mendengar doa sang imām walaupun ma’mūm hafal dengan doa tersebut. Sunnah mengangkat kedua tangan yang suci147 sejajar dengan kedua pundaknya, mengusap wajah dengan keduanya setelah berdoa, menghadap qiblat saat berdzikir dan doa, jika shalat sendiri atau menjadi seorang ma’mūm. Sedangkan imam, jika tidak beranjak dari tempat shalatnya, maka yang lebih utama baginya adalah menjadikan sisi tubuh sebelah kanannya menghadap ma’mūm dan sisi kirinya menghadap qiblat.148 Guru kita berkata: Walaupun pada waktu berdoa. Beranjaknya imām tidak menghilangkan kesunnahan dari dzikir baginya setelah itu149 sebab imām dapat mengerjakan dzikir tersebut di tempat yang dituju. Dzikir tidak hilang kesunnahannya dengan melakukan shalat rawātib, sedang yang hilang hanyalah kesempurnaannya, bukan selain itu.150 Komentar dari para ‘ulamā’ memberikan pemahaman bahwa pahala dzikir dapat didapat walaupun tidak mengerti ma‘nanya. Imām Asnawī membuat penyamaan hukum dalam masalah ini dan penyamaan ini tidak akan terjadi dalam kasus membaca al-Qur’ān sebab al-Qur’ān memang difungsikan untuk dibuat ibadah bagi pembacanya walaupun tidak mengerti ma‘nanya berbeda dengan masalah dzikir yang diharuskan mengetahui ma‘nanya, walaupun dari satu sisi.151 – Selesai.
148Hal itu dilakukan bila ma’mumnya bukanlah wanita. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 217 Darul Fikr.
149Maksud dari setelah adalah tidak berbicara selain dengan doa dan dzikir walaupun ia berdiri dan berpindah ke tempat yang lain. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 218 Darul Fikr.
150Selama tidak terlalu lama hingga tidak disebut doa dan dzikir setelah shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 218 Darul Fikr.
151Seperti mengerti bahwa tasbīḥ dan taḥmīd dan selainnya berma‘na mengagungkan Allah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 210 Darul Fikr.
Disunnahkan untuk berpindah tempat karena melaksanakan shalat fardhu ataupun shalat sunnah dari tempat shalatnya supaya tempat tersebut menjadi saksi baginya sekira tidak menghilangkan fadhīlah semacam shaf awal. Jika tidak mau berpindah tempat, maka pisahlah dengan menggunakan ucapan manusia.152 Shalat sunnah di rumah bagi selain orang yang i‘tikāf lebih utama – dibanding dilaksanakan di masjid – jika tidak khawatir habisnya waktu atau mengabaikannya, kecuali shalat yang disunnahkan untuk berada di awal waktu di hari Jum‘at,153 yang disunnahkan berjamā‘ah atau shalat yang Nabi s.a.w. laksanakan di masjid seperti shalat Dhuḥā. Disunnahkan berpindahnya ma’mūm setelah berpindahnya imām.
153Maksudnya adalah sunnah Qabliyyah Jum‘at. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 220 Darul Fikr.
(Disunnahkan) bagi seorang yang shalat (untuk menghadap sejenis dinding) atau tiang ya‘ni dari setiap perkara yang tampak dengan tinggi 2/3 hasta lebih, dan jarak antara dinding dengan tumit orang shalat 3 hasta ke bahwa. Lantas jika tidak mampu dari sejenis dinding, maka dengan sejenis tongkat yang ditancapkan seperti perkakas. Jika tidak menemukannya, maka disunnahkan membentangkan tempat shalat seperti sajadah, lantas jika tidak mampu maka menggaris di depannya dengan panjang dan lebar 3 hasta. Menggaris dengan memanjang ini lebih utama dibanding melebar sebab hadits yang diriwayatkan oleh Abū Dāwūd: Ketika salah satu di antara kalian shalat, maka jadikanlah di depan wajah kalian sesuatu, jika tidak ditemukan, maka tegakkanlah tongkat, jika ia tidak membawa tongkat, maka garislah, kemudian tidak akan membahayakan sesuatu yang melintas di depannya. Disamakan dengan garis adalah tempat shalat, dan ia lebih didahulukan dari pada garis sebab tempat shalat seperti sajadah tersebut lebih jelas dari yang dikehendaki.154 Tartib yang telah disebutkan adalah pendapat yang mu‘tamad, berbeda dengan pendapat dari pemahaman komentar Imām Ibn-ul-Muqrī.155 Jika seseorang beralih dari penggunaan tingkat teratas menuju tingkat sebawahnya besertaan mampu untuk tingkat teratas tersebut, maka penggunaan itu dianggap seperti tidak ada.156 Disunnahkan untuk tidak menjadikan sutrah atau penghalang tepat di depan wajahnya, namun jadikanlah di samping kanan atau kirinya. Setiap barisan merupakan sutrah bagi orang yang berada di belakangnya jika jaraknya dekat. Imām Baghawī menyatakan: Sutrah-nya imām adalah sutrah-nya ma’mūm yang ada di belakangnya. – Selesai – .
155Yang tidak mensyaratkan harus tartib. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 221 Darul Fikr.
156Maka tidak akan didapatkan kesunnahan membuat sutrah dan tidak haram lewat di depannya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 221 Darul Fikr.
Jikalau terjadi pertentangan di antara sutrah dengan dekat terhadap imām atau dengan barisan awal maka manakah yang harus didahulukan? Guru kita mengatakan: Semuanya masih mungkin benar dan kejelasan komentar para ‘ulamā’ yang lebih mendahulukan barisan awal di masjid Nabi s.a.w., walaupun barisan awal itu berada di luar masjid yang ditertentukan dengan berlipat pahalanya menyimpulkan lebih didahulukannya semacam barisan awal. – Selesai – .
Ketika seseorang shalat dengan sesuatu dari sutrah tersebut, maka disunnahkan baginya untuk mencegah orang yang lewat di antara dirinya dan sutrah yang memenuhi persyaratan,157 dan orang tersebut telah ceroboh dengan lewat di depan orang yang shalat sebab dirinya adalah orang mukallaf.158 Haram untuk lewat di antara orang yang shalat dan sutrah-nya saat disunnahkan baginya untuk menolak yang lewat159 walaupun tidak menemukan jalan selama ia tidak ceroboh dengan shalat di jalan atau berada di barisan padahal masih ada tempat kosong di barisan lain atau di depannya. Maka bagi seorang yang masuk boleh untuk menerobos barisan walaupun sangat banyak sampai ia menutup tempat kosong tersebut.
158Ini merupakan pendapat dari Ibnu Ḥajar dalam Tuḥfah sedang Imām Ramlī mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara orang mukallaf atau tidak, maka diperbolehkan menolak setiap orang yang lewat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 222 Darul Fikr.
159Ibnu Qāsim membatasi hukum haram tersebut bila hal tersebut menyakitkan, namun bila ringan saja dan secara adatnya dima‘afkan, maka tidaklah haram. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 222 Darul Fikr.
(Dimakruhkan) di dalam shalat (menolehkan) wajah160 tanpa ada hajat, sebagian pendapat menghukumi haram dan pendapat tersebut dipilih sebab ada sebuah hadits yang shaḥīḥ: Allah akan selalu memperhatikan terhadap hamba-Nya di tempat shalat – maksudnya dengan rahmat dan ridha-Nya. – selama hamba tersebut tidak menoleh, maka jika hamba tersebut menoleh, maka Allah-pun akan berpaling dari hamba tersebut. Tidak dimakruhkan bila ada hajat seperti tidak dimakruhkannya sekedar lirikan mata.161 (Makruh melihat semacam langit)162 ya‘ni dari setiap hal yang dapat melupakan seperti baju yang bergambar sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imām Bukhārī: “Bagaimana keadaan para kaum yang mengangkat pandangan matanya ke langit saat shalat!” lantas Rasūl s.a.w. mempertajam sabdanya itu sampai Rasūl bersabda: “Sebaiknya mereka menghentikan hal itu atau ingin disambar matanya.” Oleh karena itu, dimakruhkan juga baju yang bergaris-garis di depannya atau yang digunakan untuk shalat sebab hal itu dapat mengganggu kekhusyū‘an.
161Sebab lirikan mata bukanlah menoleh. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 223 Darul Fikr.
162Sedangkan melihat langit di selain shalat seperti pada saat berdoa, maka hukumnya boleh menurut mayoritas ‘ulamā’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 223 Darul Fikr.
(Makruh meludah) di dalam shalat begitu pula di luar shalat (ke arah depan), walaupun orang yang berada di luar shalat tidak menghadap qiblat seperti yang telah dimutlakkan oleh Imām Nawawī (dan ke arah kanan) bukan arah kiri163 sebab hadits yang diriwayatkan oleh dua guru kita Imām Bukhārī (dan) Muslim: Ketika salah satu di antara kalian berada dalam shalat, maka sungguh ia adalah orang yang sedang berbisik dengan Tuhannya yang Maha Mulia dan Agung, maka janganlah meludah ke arah depan atau kanannya, namun ke arah kiri atau di bawah telapak kaki kiri atau pada baju dari sisi kirinya. Meludah pada baju dari arah kirinya lebih utama. Guru kita berkata: Tidak jauh dari kebenaran dalam menjaga malaikat yang berada di arah kanannya, bukan malaikat arah kiri sebab untuk memperlihatkan kemuliaan malaikat yang awal. Jika manusia hanya berada di arah kirinya, maka meludahlah ke arah kanan ketika tidak mungkin untuk menundukkan kepala dan meludah tidak ke arah kanan dan tidak ke arah kiri. Diharamkannya meludah di masjid hanyalah terjadi jika bentuk ludah itu masih ada, bukan bila telah larut di dalam semacam air berkumur, dan ketika mengenai bagian dari masjid bukan langit-langitnya. Praduga keharaman meludah pada langit-langit masjid walaupun tidak mengenai bagian dari masjid sangat jauh dari kebenaran yang tidak berarti. Tidak haram meludah pada debu164 yang tidak masuk dalam pewakafan masjid, sebagian pendapat menyatakan: Tidak haram pada tikar masjid, namun hal itu haram dari sisi mengotori masjid seperti yang telah jelas. – Selesai – . Wajib ‘ain hukumnya untuk mengeluarkan najis dari masjid dengan segera bagi orang yang mengetahui najis tersebut walaupun telah ada petugas khusus yang digaji untuk membersihkan najis seperti komentar para ‘ulamā’. Haram kencing di dalam masjid walaupun di dalam semacam wadah,165 memasukkan sandal yang terkena najis yang tidak aman dari mengenai masjid, melempar semacam kutu yang mati166 dan membunuh kutu di tanah masjid walaupun darahnya sedikit. Sedangkan melempar kutu atau menguburnya dalam keadaan hidup di dalam masjid dalam Fatāwā Nawawī hukumnya halal, sedang dalam kitab Jawāhir hukumnya haram. Keharaman ini juga telah dijelaskan oleh Imām Yūnus. Dimakruhkan untuk tusuk jarum dan bekam di dalam masjid dengan menggunakan wadah,167 mengeraskan suara, melakukan transaksi semacam berdagang dan melakukan pertukangan di dalamnya.
164Kecuali masih menyisakan bentuk atau bekas ludah tersebut dan jamā‘ah terganggu dengan ludah tersebut walaupun hanya sekedar mengenai baju atau yang lainnya, maka hukumnya haram. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 225 Darul Fikr.
165Sebab hal itu melecehkan masjid dan terkadang dapat mengenai masjid. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 225 Darul Fikr.
166Sebab dengan demikian kutu tersebut menjadi bangkai dan hukumnya najis. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 225 Darul Fikr.
167Perbedaan bekam yang darahnya ditampung dalam wadah dan kencing dalam wadah pula adalah bahwa hukum darah lebih ringan dibanding dengan air kencing. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 225 Darul Fikr.
(Di waktu shalat makruh hukumnya membuka penutup kepala dan pundak), memakai selendang walaupun dari atas baju kurung. Imām Ghazālī mengatakan dalam kitab Iḥyā’-nya: Jangan mengembalikan selendang ketika jatuh.168 Maksudnya ketika tidak ada ‘udzur. Seperti halnya selendang adalah serban dan sejenisnya. (Dimakruhkan shalatnya seseorang yang menahan hadats) seperti kencing, berak dan kentut sebab hadits Nabi yang akan dipaparkan nanti dan sebab hal itu dapat mengganggu kekhusyū‘an bahkan sebagian ‘ulamā’ mengatakan jika kekhusyū‘an hilang sebab menahan hadats, maka shalatnya batal. Disunnahkan untuk mengosongkan dirinya dari hadats sebelum melaksanakan shalat walaupun kehilangan shalat jamā‘ah. Tidak diperkenankan keluar dari shalat fardhu169 jika hadats tersebut tiba-tiba terasa akan keluar dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat jika waktu shalat hampir habis. Tolok-ukur dimakruhkannya hal itu adalah adanya hadats sebelum takbīrat-ul-iḥrām dan sebaiknya disamakan dengan waktu itu adalah jikalau hadats tersebut ada sebelum takbīrat-ul-iḥrām kemudian hilang dan secara adat hadats tersebut diketahui akan kembali lagi di waktu shalat. Dimakruhkan shalat di hadapan makanan dan minuman yang disukai sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imām Muslim: Tidaklah sempurna shalat di hadapan makanan, dan tidaklah sempurna shalat sedang orang yang shalat menahan dua hadats. Maksudnya kencing dan berak.
169Selama tidak ada dugaan terjadinya bahaya yang memperbolehkan tayammum bila ditahan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 226 Darul Fikr.
(Dimakruhkan) shalat di tengah jalan ramai bukan jalan di hutan,170 di tempat menarik pajak, (di pemakaman). Jika tidak jelas telah digali, baik shalat menghadap maqam, di atasnya atau di sampingnya seperti yang telah dijelaskan dalam al-Umm. Haram shalat di pemakaman Nabi atau semacam wali untuk mencari barakah atau mengagungkan. Imām Zain-ud-Dīn al-‘Irāqī membahas tentang tidak dimakruhkannya shalat di masjid yang di sekitarnya dibangun pemakaman setelah berdirinya masjid, di bumi yang dighashab, namun hukumnya sah tanpa pahala seperti sahnya shalat menggunakan baju ghashaban, begitu pula jika masih ragu kerelaan dengan adanya pertanda. Dalam kitab al-Jailī disebutkan: Jikalau waktu shalat hampir habis sedang dirinya masih berada di tanah yang dighashab, maka baginya harus takbīrat-ul-iḥrām dengan berjalan, dan ini diunggulkan oleh Imām Ghazālī. Guru kita berkata: Yang lebih unggul adalah tidak diperbolehkan shalat dengan cara shalat syiddat-ul-khauf dan wajib baginya untuk meninggalkan shalat sampai ia keluar dari tempat ghashaban tersebut seperti halnya diperbolehkan untuk meninggalkan shalat untuk menyelamatkan harta jikalau harta tersebut diambil darinya bahkan meninggalkan shalat di tanah yang dighasab lebih utama.
Post a Comment