TENTANG PERKARAYANG MEMBATALKAN SHALAT
TENTANG PERKARA
YANG MEMBATALKAN SHALAT
Shalat fardhu ataupun sunnah hukumnya menjadi batal, bukan puasa dan i‘tikāf1 dengan sebab:
1. Berniat memutusnya atau menggantungkannya dengan hasilnya sesuatu, walaupun sesuatu tersebut mustaḥīl terjadi secara adanya.2
2. Bimbang dalam memutus shalat3. Tidak masalah dengan sebab waswas yang memaksa hati di dalam shalat seperti iman dan selainnya.
3. Melakukan pekerjaan yang banyak secara yakin dari selain jenis pekerjaan shalat, jika hal tersebut dilakukan oleh seseorang yang mengetahui keharamannya atau dari orang bodoh yang tidak ditolerir4 serta pekerjaan tersebut (sambung-menyambung) secara umumnya selain keadaan syiddat-ul-khauf dan shalat sunnah dalam perjalanan. Berbeda bila pekerjaan tersebut hanya sedikit seperti dua langkah walaupun dengan langkah yang lebar sekira tidak meloncat, dan seperti dua pukulan. Benar tidak batal, namun jikalau seseorang berniat melakukan tiga gerakan yang berturut-turut, lantas ia melakukan satu saja atau ia bergegas melakukannya maka shalatnya batal. Berbeda pula dengan pekerjaan banyak yang terpisah-pisah sekira setiap pekerjaan dianggap telah terpisah dengan sebelumnya. Sedangkan batasan Imām Baghawī yang menyatakan bahwa pekerjaan banyak adalah sekira di antara setiap pekerjaan kadar shalat satu raka‘at adalah pendapat yang lemah seperti yang tertuang dalam kitab Majmū‘. (Walaupun) pekerjaan banyak tersebut karena (lupa). Pekerjaan banyak itu seperti (tiga) kali kecapan mengunyah, (tiga langkah yang berturut-turut), walaupun dengan kadar langkah yang diampuni, dan seperti menggerakkan kepala dan kedua tangan walaupun bersamaan.5
2Seperti terbang ke langit, tidak memotongnya pisau dan lain sebagainya. Berbeda dengan perkara yang mustahil secara akal seperti menyatunya dua hal yang bertentangan, maka tidak batal dengan menggantungkan terjadinya hal tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 247. Dār-ul-Fikr.
3Maka shalatnya batal seketika, maksud dari bimbang adalah terjadinya keraguan yang menghilangkan kemantapan nita. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 247. Dār-ul-Fikr.
4Ya‘ni dari orang-orang yang hidup di antara para ‘ulamā’ dan telah lama masuk dalam Islam. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 248. Dār-ul-Fikr.
5Namun, Imām Jamāl Ramlī mengatakan bahwa gerakan yang dianjurkan seperti mengangkat tangan dalam shalat ‘īd hukumnya tidak membatalkan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 249. Dār-ul-Fikr.
Lafazh (الْخَطْوَةُ) dengan membaca fatḥah khā’-nya adalah masdar marrah yang berarti sekali dan dalam bab ini memiliki ma‘na memindah kaki depan atau selainnya. Jika kaki yang lain juga ikut dipindah walaupun tidak bergantian, maka dihitung dua langkah seperti yang menjadi pedoman oleh guru kita dalam Syarḥ Minhāj, namun keputusan guru kita dalam Syarḥ Irsyād dan selainnya adalah bahwa memindah kaki besertaan kaki yang lain sampai sejajar dengan terus-menerus dihitung satu langkah saja. Jika keduanya dipindah secara bergantian, maka dihitung dua langkah tanpa ada perselisihan ‘ulamā’. Jika seseorang ragu di dalam sebuah pekerjaan apakah sedikit atau banyak, maka tidaklah membatalkan. Batal shalat dengan melompat walaupun tidak berbilang.6
(Tidak balat) shalat (dengan gerakan yang ringan)7 walaupun jumlahnya banyak dan berturut-turut, akan tetapi hukumnya makrūh (seperti menggerakkan) satu jari (atau jari-jari) ketika menggaruk atau menghitung tasbih besertaan dengan menetapkan telapak tangan (atau menggerakkan pelupuk mata), bibir, dzakar dan lidah sebab gerakan-gerakan tersebut mengikuti tempat menetapnya seperti gerakan jari-jari. Oleh karena itu, terjadi pembahasan bahwa gerakan lidah jika besertaan berpindah dari tempatnya, maka tiga gerakannya dapat membatalkan. Guru kita berkata: Hal itu masih mungkin benar. Dikecualikan dengan jari-jari adalah telapak tangan, maka menggerakkannya tiga kali berturut-turut membatalkan shalat8 kecuali orang tersebut memiliki penyakit gatal yang secara adat tidak mungkin bersabar untuk tidak menggaruk maka hukumnya tidak batal sebab dharūrat. Guru kita berkata: Dari situ dapat diambil kesimpalan bahwa seseorang yang diuji dengan gerakan dharūrat yang memaksa9 melakukan gerakan yang banyak, maka hukumnya dimaklumi. Menjalankan tangan dan mengembalikan lagi secara beruntut ketika menggaruk dihitung satu kali. Begitu pula mengangkat tangan dari dada dan meletakkannya ke tempat yang akkan digaruk dihitung sekali. Maksudnya, jika salah satu dari mengangkat dan meletakkan yang lain waktunya bersambung, jika tidak maka setiap satunya dihitung satu gerakan atas keterangan yang telah dijelaskan oleh guru kita.
8Sebagian pendapat mengatakan tidak batal sebab sebagian besar anggota tetap tenang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 251. Dār-ul-Fikr.
9Seperti gerakan gemetar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 251. Dār-ul-Fikr.
4. Berucap secara sengaja walaupun dengan paksaan (dua huruf) yang beruntut10 – seperti yang telah dijelaskan oleh guru kita – selain al-Qur’ān, dzikir11 atau doa12 yang tidak dimaksud dengan itu semua sebagai perantara memahamkan seseorang saja seperti perkataan seorang yang shalat terhadap orang yang meminta idzin masuk rumah: (اُدْخُلُوْهَا بِسَلَامٍ آمِنِيْنَ) – Masuklah kalian semua dengan selamat dan sentosa- . Jika ia berniat dengan bacaan al-Qur’ān atau dzikir saja atau besertaan mengingatkan maka shalat tidak batal. Begitu pula bila dimutlakkan sesuai dengan pendapat segolongan ‘ulamā’ kurun awal, namun pendapat yang berada dalam kitab Taḥqīq dan Ḥaqā’iq13 hukumnya adalah batal dan ini merupakan pendapat yang mu‘tamad. Empat contoh niat ini14 juga berlaku dalam kasus mengingatkan imam dengan Qur’ān atau dzikir, kasus mengeraskan suara dalam takbir berpindah rukun dari imam15 dan penyambung suara. Batal shalat dengan sebab dua huruf (walaupun) dua huruf tersebut muncul (saat berdehem selain alasan bacaan yang wajib) seperti fātiḥah dan setiap bacaan wajib seperti tasyahhud akhir, shalawat Nabi maka tidak batal dengan nampaknya dua huruf saat berdehem sebab alasan bacaan rukun. (Atau) muncul (dari sejenis dehem) seperti batuk, menangis, bersin, dan tertawa. Dikecualikan dengan ucapanku: “Selain alasan bacaan yang wajib” adalah kasus ketika dua huruf tersebut muncul dari berdehem sebab alasan bacaan sunnah seperti bacaan surat-suratan, doa qunut, atau membaca keras surat16 al-fātiḥah. Maka shalat hukumnya batal. Imām Zarkasyī pernah membahas diperbolehkannya berdehem bagi seorang yang berpuasa untuk mengeluarkan lendir dahak yang dapat membatalkan puasa. Guru kita berkata: Mestinya diperbolehkan pula untuk berdehem bagi seorang yang tidak puasa untuk mengeluarkan lendir dahak yang dapat membatalkan shalat dengan turunnya lendir tersebut dari batas luar17 dan tidak mungkin untuk mengeluarkannya kecuali dengan cara berdehem. Jika seorang imam berdehem lantas muncul dari dehem tersebut dua huruf, maka tidak wajib bagi ma’mum untuk berniat memisahkan diri dari imam sebab secara lahir seorang imam tentunya menjaga diri dari perkara yang membatalkan shalat. Benar tidak wajib memisahkan diri, namun jika tingkah imam menandakan tidak ada alasan baginya melakukan hal tersebut, maka wajib untuk memisahkan diri darinya seperti yang telah dibalas oleh Imām Subkī. Jikalau seseorang diuji dengan semacam batuk yang terus-menerus sekira tidak ada waktu yang cukup untuk melaksanakan shalat dengan tanpa batuk yang membatalkan, maka guru kita telah mengatakan bahwa hukumnya dima‘afkan dan tidak wajib untuk mengqadha’ shalatnya jikalau sembuh.
11Wajib adanya dzikir haruslah tidak dengan yang diharamkan seperti dzikir dari lafazh yang tidak diketahui ma‘nanya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 252. Dār-ul-Fikr.
12Wajib adanya doa tidak berupa doa yang tidak diharamkan pula seperti berdoa yang membahayakan orang lain tanpa hak, maka shalat dapat batal dengan doa tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 252. Dār-ul-Fikr.
13Kedua kitab ini adalah milik Imām Nawawī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 252. Dār-ul-Fikr.
14Ya‘ni berniat mengingatkan saja, tujuan dzikir atau qirā’ah saja, tujuan keduanya sekaligus, dan tujuan mutlak. Untuk yang pertama hukumnya batal tanpa khilaf, yang kedua dan ketiga sah tanya khilaf, dan terjadi perbedaan untuk yang terakhir. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 252. Dār-ul-Fikr.
15Imām Khathīb asy-Syirbinī mencukupkan berniat dzikir di awal takbir dari seluruh shalatnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 252. Dār-ul-Fikr.
16Namun yang unggul dalam kitab muhimmat-nya diperbolehkan berdehem untuk mengeraskan dzikir berpindah rukun ketika dibutuhkan untuk memperdengarkan ma’mum. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 253. Dār-ul-Fikr.
17Ya‘ni makhraj hā’, atau makhraj khā’ menurut sebagian pendapat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 254. Dār-ul-Fikr.
(Atau) berucap (satu huruf yang memahamkan) seperti lafazh18 (فِ) dan (عِ) dan (قِ) atau huruf yang dibaca panjang sebab huruf yang dibaca panjang secara hakikatnya dua huruf. Shalat tidaklah batal dengan berucap dengan bahasa ‘Arab,19 berma‘na ibadah yang harus diucapkan seperti nadzar dan memerdekakan budak, semisal ucapan: “Saya nadzar pada Zaid seribu atau saya memerdekakan Fulan. Tidak sama dengan masalah nadzar mengucapkan niat puasa atau i‘tikaf sebab niat tersebut tidak harus diucapkan, maka hal itu tidak dibutuhkan. Dan tidak batal dengan berucap doa20 yang diperbolehkan walaupun berdoa untuk orang lain dengan tanpa menggantungkan dan tanpa mengkhithābi makhlūq, maka batal shalat dengan ucapan ibadah dan doa ketika digantungkan seperti contoh: Jika Allah menyembuhkan sakitku, maka aku akan memerdekakan budak atau doa: Ya Allah, ampunilah dosaku jika Engkau berkehendak. Begitu pula ketika ada unsur mengkhithābi kepada makhlūq selain Nabi s.a.w. walaupun saat mendengar namanya disebut menurut pendapat yang awjah. Contoh: Aku bernadzar kepadamu sekian, dan contoh: Semoga Allah mengsihimu, – walaupun untuk mayit – . Disunnahkan bagi seorang yang shalat yang disalami untuk menjawabnya dengan isyarat tangan atau kepala walaupun ia dapat berucap, lantas setelah selesai shalat ia menjawab dengan menggunakan ucapan. Diperbolehkan menjawab salam dengan ucapan (عَلَيْهِ السَّلَامُ) seperti mendoakan orang yang bersin dengan doa: (رَحِمَهُ اللهِ). Diperbolehkan bagi seorang yang tidak berada dalam shalat untuk menjawab salam akhir shalat, dari orang yang shalat.21 Sunnah bagi seorang yang bersin di dalam shalat untuk memuji Allah dan memperdengarkan pujian tersebut pada dirinya sendiri.
19Jika selain bahasa ‘Arab, maka hukumnya batal jika bukan terjemah dari doa yang diajarkan dari Nabi atau terjemah dari doa Nabi, namun pandai bahasa ‘Arab. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 255. Dār-ul-Fikr.
20Dengan bahasa ‘Arab dan doa yang diperbolehkan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 255. Dār-ul-Fikr.
21Tidak diwajibkannya menjawab salām dari orang yang shalat adalah sebab tujuan salām shalat ya‘ni untuk mengakhiri shalat bukan salām mendoakan yang wajib dijawab dan sebab di saat salam tujuannya hanya untuk dikhususkan kepada Allah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 256. Dār-ul-Fikr.
(Shalat tidaklah batal dengan sebab sedikit semacam berdehem22 secara umumnya (sebab tidak mampu) menahannya (dan) tidak batal pula dengan sedikit (ucapan)23 secara umumnya seperti dua dan tiga kalimat. Guru kita berkata: Batasan kalimat dalam bab ini adalah dengan umumnya (besertaan lupa) bahwa dirinya di dalam shalat dengan gambaran orang tersebut tidak ingat bahwa ia di dalam shalat. Sebab Nabi s.a.w. saat dalam dari dua raka‘at, beliau berkata sedikit dengan meyakini telah usainya shalat dan para jama‘ah menjawab ucapan Nabi dengan menduga telah disalinnya kewajiban shalat empat raka‘at menjadi dua raka‘at, lantas Nabi dan para sahabat meneruskan shalat. Jikalau ada seseorang yang menduga batalnya shalat dengan ucapan yang sedikit saat lupa lantas ia berucap banyak, maka ia tidak diampuni. Dikecualikan dengan sedikitnya dehem sebab tidak mampu menahan, dan ucapan yang sedikit sebab lupa adalah banyaknya dua hal itu, maka shalat hukumnya batal walaupun saat tidak mampu menahan, lupa dan selainnya. (Atau) besertaan (mendahuluinya lidah) terhadap ucapan (atau) besertaan (tidak tahu terhadap keharaman) berucap dalam shalat meskipun orang yang shalat tersebut bergaul di antara orang-orang muslim (atau jauh dari ‘ulamā’24. Maksudnya jauh dari orang yang mengerti dalam permasalahan itu. Jikalau seseorang salām dengan lupa lantas ia berkata sedikit dengan sengaja atau tidak tahu keharaman hal yang telah dilakukan besertaan dengan mengertinya keharaman jenis ucapan atau tidak tahu adanya dehem membatalkan shalat besertaan mengerti keharaman berbicara, maka shalat hukumnya tidak batal sebab samarnya permasalahan tersebut bagi orang-orang awam.
23Ya‘ni enam kalimat ke bawah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 257. Dār-ul-Fikr.
24Batasan jauh dari ‘ulamā’ adalah dengan tidak ditemukannya biaya yang wajib untuk dikeluarkan dalam ibadah haji yang dapat menyampaikan ke tempat tersebut. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 257. Dār-ul-Fikr.
5. Setiap perkara yang membatalkan puasa yang masuk ke dalam lubang tubuh)25 – walaupun hanya sedikit – dan lupa makan dengan kadar yang banyak walaupun tidak membatalkan puasa.26 Jikalau seseorang menelan dahak yang turun dari kepalanya menuju batas zhahir dari mulutnya atau menelan ludah yang terkena najis berupa sejenis darah gusinya atau air ludah berubah menjadi warna merah dengan semacam kinang, maka shalatnya batal.27 Sedangkan makan sedikit secara umumnya – sedikit ini tidak dibatasi dengan semisal biji – dari orang yang lupa atau bodoh yang dima‘afkan, dan dari orang yang terpaksa seperti mengalirnya air dahak menuju batasan zhahir dan tidak mampu untuk dikeluarkan atau air ludah yang mengalir besertaan makanan yang menyelip disela giginya dan tidak mampu untuk membedakan dan mengeluarkannya, maka hukumnya tidak masalah sebab adanya ‘udzur.
26Perbedaannya sebab shalat adalah tempat untuk mengingat, shalat itu sendiri berbeda dengan puasa. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 259. Dār-ul-Fikr.
27Imām ‘Alī Sibramalisī justru memilih tidak batalnya hal tersebut seperti warna hitam bekas kopi sebab jika hanya sekedar warna atau rasa tidaklah masalah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 259. Dār-ul-Fikr.
6. Menambah rukun fi‘li dengan sengaja selain mengikuti imam seperti menambah rukū‘ dan sujūd walaupun tidak sampai tuma’ninah. Sebagian hal yang membatalkan shalat seperti yang telah dikatakan oleh guru kita adalah membungkuknya orang yang duduk sampai keningnya melurusi tempat yang berada di depan dua lututnya, walaupun untuk mendapatkan kesunnahan duduk tawarruk, atau duduk iftirāsy sebab perkara yang membatalkan tidak diampuni sebab perkara sunnah28. Tidak masalah duduk sebentar dengan kadar duduk istirahat sebelum sujūd, setelah sujūd tilāwah dan setelah salamnya imam masbūq di selain tempat tasyahhudnya. Sedangkan terjadinya tambahan dengan sebab lupa atau sebab bodoh yang dimaklumi, maka tidaklah masalah seperti halnya kasus menambahi sunnah semacam mengangkat dua tangan di selain tempatnya atau menambah rukun qaulī atau fi‘lī sebab mengikuti imam seperti halnya rukū‘ dan sujūd sebelum imamnya kemudian kembali lagi.
7. Meyakini atau menduga satu fardhu tertentu dari kefardhuan shalat (sebagai kesunnahan) sebab bermainnya seorang yang shalat, bukan jika seorang yang awam29 meyakini kesunnahan pekerjaan shalat sebagai kefardhuan atau ia tahu bahwa di dalam shalat terdapat kefardhuan dan kesunnahan, sedang ia tidak mampu untuk membedakan di antara keduanya dan tidak ada penyengajaan terhadap satu fardhu tertentu sebagai kesunnahan. Tidak batal pula dengan meyakini seluruh yang ada dalam shalat sebagai kefardhuan.
(Peringatan). Sebagian dari perkara yang membatalkan shalat lagi adalah hadats walaupun tanpa penyengajaan, bertemu najis yang tidak dima‘fu30 kecuali langsung dihilangkan seketika,31 terbukanya aurat kecuali terbuka oleh angin lantas langsung ditutup seketika. Meninggalkan rukun dengan sengaja, ragu terhadap niat atau syarat dari niat besertaan lewatnya satu rukun qaulī, fi‘lī atau waktu yang lama. Sebagian rukun qaulī seperti seluruh rukun qaulī besertaan dengan lamanya waktu32 keraguan atau waktu yang singkat, namun tidak mengulangi lafazh yang dibaca saat ragu.
31Caranya bila najis basah adalah dengan melepas bajunya dan bila kering adalah dengan membuang najisnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 262. Dār-ul-Fikr.
32Imam Syarqawi mengatakan bahwa lama waktu dibatasi dengan memuatnya waktu tersebut untuk melakukan satu rukun dan yang sebentar adalah yang tidak cukup melakukan satu rukun seperti keraguan yang langsung hilang. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 262. Dār-ul-Fikr.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang diberi kabar oleh orang yang adil riwayat33 bahwa dirinya terkena najis atau terbukanya aurat yang membatalkan, maka wajib untuk menerima ucapannya atau kabar tentang ucapan yang membatalkan, maka tidak harus menerimanya.34
34Perbedaan ucapan dan najis adalah bahwa ucapan merupakan pekarjaan sendiri yang tidak perlu pertimbangan orang lain. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 256. Dār-ul-Fikr.
(Disunnahkan bagi seorang yang shalat sendirian yang melihat jamā‘ah) sedang dilaksanakan (untuk merubah shalat fardhu) yang adā’ bukan qadhā’ menjadi shalat sunnah)35 mutlak (dan salam setelah mendapat dua raka‘at) ketika belum berdiri menuju raka‘at yang ketiga, lantas masuk ke dalam jamā‘ah. Benar sunnah merubah shalatnya menjadi sunnah dan salām dari dua raka‘at, namun jika ia takut habisnya jamā‘ah jika menyempurnakan dua raka‘at, maka disunnahkan untuk memutus shalat dan mengawali shalat dengan jamā‘ah – hal ini telah disampaikan dalam kitab Majmū‘– . Imām Bulqīnī telah membahas bahwa diperbolehkan untuk langsung salām walaupun dari satu raka‘at. Jika orang tersebut telah beranjak menuju raka‘at yang ketiga, maka baginya sunnah untuk menyempurnakannya jika tidak khawatir habisnya jamā‘ah, kemudian masuk ke dalam jamā‘ah tersebut.
Post a Comment