TENTANG ADZĀN DAN IQĀMAH
TENTANG
ADZĀN DAN IQĀMAH
Pengertian Adzān dan Iqāmah.
Adzān dan iqāmah1 secara bahasa adalah pemberitahuan sedang secara syara‘ adalah lafazh-lafazh yang telah masyhur dalam adzān dan iqāmah. Dasar disyarī‘atkannya adzān dan iqāmah adalah ijma‘ ‘ulamā’ yang didahului oleh mimpi2 sahabat ‘Abdullāh bin Zaid yang telah masyhur di dalam musyāwarah membahas cara mengumpulkan manusia. Mimpi tersebut seperti yang termaktub dalam kitab Sunan Abī Dāwūd sebagai berikut: Dari ‘Abdullāh, dia berkata: Ketika Nabi s.a.w. memerintahkan memukul lonceng untuk mengumpulkan manusia guna menunaikan ‘ibādah shalat, seorang lelaki yang membawa lonceng di tangannya berputar mengelilingiku sedang diriku tengah tertidur, kemudian saya bertanya: Wahai hamba Allah, apakah lonceng tersebut engkau jual? Dia menjawab: Akan engkau gunakan untuk apa?. Saya pun menjawab: Akan saya gunakan untuk memanggil manusia melaksanakan shalat. Dia berkata: Apakah engkau tidak ingin aku beritahu sebuah cara yang lebih baik dari itu? Lantas aku berkata padanya: Ya aku ingin tahu. Dia berkata: Ucapkanlah: (اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ،) sampai akhir adzān. Kemudian lelaki tersebut pergi tidak jauh dariku dan berkata: Ketika akan didirikan shalat ucapkanlah: (اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ،) sampai akhir iqāmah. Ketika Shubuḥ menjelang aku mendatangi Nabi s.a.w. lantas aku ceritakan mimpiku tersebut, Nabi pun menjawab: Sungguh mimpi tersebut adalah mimpi yang benar. In syā’ Allāh, beranjaklah bersama Bilāl,3 lantas ajarkan padanya apa yang engkau impikan supaya ia melakukan adzān dengan mimpimu itu, sungguh Bilāl memiliki suara yang lebih keras dibanding engkau. Kemudian aku beranjak bersama Bilāl, lantas aku ajarkan adzān kepada Bilāl, hingga Bilāl melakukan adzān. Sahabat ‘Umar pun mendengar suara adzān tersebut sedang beliau berada di rumahnya, lantas beliau keluar sambil menyambar selendangnya dan berkata: Demi dzāt yang telah mengutus engkau ya Rasūlullāh, Sungguh aku telah bermimpi seperti yang diimpikan oleh ‘Abdullāh, Nabi pun bersabda: Segala puji bagi Allah. Sebagian pendapat mengatakan bahwa lebih dari sepuluh sahabat yang bermimpi tentang adzān tersebut.
2Dan sesuai dengan wahyu yang diturunkan pada Nabi s.a.w., tidak hanya mimpi saja, I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 266. Dār-ul-Fikr.
3Setelah wafatnya Nabi, sahabat Bilal tidak melakukan adzan lagi, selain satu kali untuk sahabat ‘Umar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 266. Dār-ul-Fikr.
Adzān juga disunnahkan selain untuk shalat seperti dikumandangkan di telinga orang yang sedang mengalami kesusahan4, telinga orang yang kesurupan, telinga orang yang marah, telinga orang yang jelek budi pekertinya ya‘ni dari manusia atau hewan, saat tenggelam dan saat diganggu jinn. Adzān dan iqāmah juga disunnahkan dikumandangkan di dua telinga anak yang dilahirkan5 dan di belakang orang yang bepergian.
5Agar apa yang didengar pertama kali adalah dzikir. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 266. Dār-ul-Fikr.
Adzān dan iqāmah hukumnya adalah sunnah kifāyah. Kesunnahannya dapat dihasilkan oleh sebagian orang saja. Kesunnahan ini sebab hadits yang diriwayatkan oleh Bukhārī-Muslim: Ketika waktu shalat telah tiba, maka adzānlah salah satu di antara kalian. Kesunnahan Adzān diperuntukkan bagi seorang lelaki walaupun anak kecil, orang yang shalat sendiri walaupun telah mendengar adzān dari selain dirinya menurut pendapat yang mu‘tamad, berbeda dengan keterangan dalam Syarḥu Muslim.6 Benar disunnahkan adzān walaupun telah mendengar adzān dari orang lain, namun jika ia mendengar adzān jamā‘ah dan ia menghendaki untuk shalat bersamanya, maka tidak disunnahkan untuk adzān menurut pendapat yang aujah. Sunnah adzān diperuntukkan bagi shalat lima waktu walaupun shalat qadhā’, bukan selainnya seperti shalat sunnah, shalat janazah, dan shalat yang dinadzari. Jikalau seseorang ingin meringkas dengan mengerjakan salah satunya sebab waktu shalat hampir habis, maka mengumandangkan adzān lebih utama dibanding dengan iqāmah.
Disunnahkan untuk melakukan adzān yang pertama saja dari shalat-shalat yang beruntut seperti shalat-shalat qadhā’, dua shalat jama‘, shalat qadhā’ dan shalat adā’ yang telah masuk waktunya sebelum melakukan adzān7. Disunnahkan untuk melakukan iqāmah untuk setiap satu dari shalat-shalat tersebut, sebab mengikuti Nabi s.a.w. Disunnahkan melakukan iqāmah dengan pelan bagi seorang wanita8 dan khuntsā. Jikalau mereka para wanita, beradzān dengan pelan untuk para wanita pula, maka hukumnya tidak dimakruhkan atau dengan keras, maka hukumnya haram.9
8Bagi dirinya sendiri atau untuk jamā‘ah wanita tidak untuk lelaki dan khuntsā’. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 270. Dār-ul-Fikr
9Keharaman tersebut bila di situ terdapat lelaki lain yang mendengar menurut Syaraḥ Raudh, Tuḥfah dan Mughni, sedangkan menurut Bujairamī hukumnya haram secara mutlak.
Shalat sunnah yang dianjurkan jamā‘ah seperti shalat ‘īd, tarāwīḥ, witir di bulan Ramadhān yang disendirikan pelaksanaannya dengan tarāwīḥ dan shalat gerhana, untuk memanggil dengan panggilan: (الصَّلَاة جَامِعَة ) – Hadirlah kalian semua untuk melaksanakan shalat. Lafazh: (الصَّلَاة) dibaca nashab sebagai susunan ighrā’ dan dengan dibaca rafa‘ sebagai mubtada’. Lafazh: (جَامِعَة) dengan dibaca nashab sebagai tarkīb ḥāl, dan dibaca rafa‘ sebagai khabar dari lafazh yang telah disebutkan. Mencukupi pula lafazh: (الصَّلَاةُ، الصَّلَاةُ) dan lafazh: (هَلُمُّوْا إِلَى الصَّلَاةِ) Kemarilah kalian semua untuk melaksanakan shalat. Dimakruhkan dengan lafazh: (حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ). Sebaiknya panggilan-panggilan tersebut hukumnya disunnahkan saat masuknya waktu shalat dan ketika akan shalat, supaya menjadi pengganti dari adzān dan iqāmah. Dikecualikan dari perkataanku: “Yang dianjurkan jamā‘ah” adalah yang tidak dianjurkan jamā‘ah dan shalat sunnah yang dilaksanakan sendiri. Dan dengan perkataanku: “Shalat sunnah” adalah shalat yang dinadzari dan shalat janāzah.
Syarat Adzān dan Iqāmah
Disyaratkan di dalam adzān dan iqāmah untuk:
1. Tartīb dengan tartīb yang telah diketahui sebab mengikuti Nabi s.a.w. Jikalau seseorang membaliknya – walaupun lupa – , maka hukumnya tidak sah dan baginya diperbolehkan untuk meneruskan dengan urutan dari keduanya. Jikalau sebagian dari keduanya ditinggalkan, maka lafazh yang ditinggalkan tersebut dikerjakan lagi.10 besertaan dengan mengulangi lafazh setelahnya.
2. Terus-menerus.11 di antara kalimat-kalimat adzān dan iqāmah. Benar, harus terus-menerus, namun tidak masalah sedikit bicara dan diam, walaupun dengan sengaja. Disunnahkan untuk memuji Allah dengan pelan saat bersin, sunnah untuk mengakhirkan menjawab salam dan mendoakan orang yang bersin sampai selesainya adzan.
3. Dengan suara keras jika beradzān atau iqāmah untuk jamā‘ah, maka wajib untuk memperdengarkan satu orang dari jamā‘ah tersebut terhadap seluruh kalimat adzān dan iqāmah. Sedangkan bagi orang yang beradzān dan iqāmah untuk diri sendiri, maka cukup dengan terdengar oleh dirinya sendiri..12
4. Masuknya waktu bagi selain adzān Shubuḥ sebab adzān berfungsi untuk memberi informasi masuknya waktu, maka tidak diperbolehkan dan tidak sah sebelum masuknya waktu shalat.13 Sedangkan adzān Shubuḥ hukumnya sah dimulai dari pertengahan malam.
11Maka tidak diperbolehkan untuk memisah di antara kalimat-kalimat adzān dan iqāmah dengan pemisah yang lama, sebab hal itu akan merusak susunan keduanya. Disyaratkan pula di dalam iqamah tidak adanya pemisah yang lama – secara umumnya – dengan shalat yang akan dilaksanakan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 272. Dār-ul-Fikr.
12Sebab tujuannya adalah dzikir bukan pembertitahuan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 273. Dār-ul-Fikr.
13Hukumnya termasuk dosa kecil, bukan dosa besar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 1 hal. 273. Dār-ul-Fikr.
(Disunnahkan untuk membaca tatswīb) bagi orang yang melaksanakan dua adzān Shubuḥ.14 Tatswīb adalah mengucapkan (الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ) dua kali setelah lafazh (الْحَيْعَلَتَيْنِ). Sunnah pula mengucapkan tatswīb bagi orang yang adzān shalat Shubuḥ qadhā’ dan makruh selain shalat Shubuḥ. (Sunnah untuk membaca tarjī‘) dengan cara mengulangi dua kalimat syahadat – dua kali – secara pelan, sekira terdengar orang yang ada di dekatnya – secara umumnya – sebelum membaca keras dua kalimat syahadat tersebut, sebab mengikuti Nabi s.a.w. dan sah adzān tanpa tarjī‘. (Sunnah untuk meletakkan dua jari penunjukya di dua lubang telinga) di waktu adzān, bukan iqāmah sebab hal itu lebih mengumpulkan terhadap suara. Guru kita berkata: Kesunnahan tersebut jika seseorang menginginkan mengeraskan suara, jikalau salah satu tangan sulit digunakan, maka menggunakan tangan yang lain atau sulit menggunakan jari penunjuknya, maka menggunakan jari yang lainnya dari jari-jari tangan.
Post a Comment