Krisis moral indikasi krisis akidah

Krisis moral indikasi krisis akidah


الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالهُدَى وَدِيْنِ الحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ المُشْرِكُوْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاإِلهَ إِلا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ …أَمَّا بَعْدُ…..فَيَا عِبَادَ اللهِ ! اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاتمَوُتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Saudara-saudara kaum Muslimin rohimakumullah.

Marilah kita senantiasa meningkatkan kwalitas iman dan taqwa kepada Allah Swt, karena sebaik-baik bekal ketika kita menghadap Allah nanti adalah taqwa.

Jika kita melihat kondisi ummat Islam saat ini khusunya di Indonesia, tergambar dengan jelas betapa merosotnya akhlak sebagian ummat Islam. Dekadensi moral terjadi terutama dikalangan remaja. Sementara pembendungannya masih berlarut-larut dan dengan konsep yang tidak jelas.

Rusaknya moral ummat tidak terlepas dari upaya jahat dari pihak luar ummat islam yang dengan sengaja menebarkan berbagai penyakit moral dan konsepsi agar ummat Islam menjadi lemah dan dan akhirnya akan hancur. Sehingga yang tadinya mayoritas menjadi minoritas dalam kualitas.

Padahal nilai suatu bangsa sangat tergantung dari kualitas akhlak-nya seperti dikemukakan penyair Mesir Syauki Bik “Suatu bangsa sangat ditentukan kualitas akhlak-nya, jika akhlak sudah rusak maka hancurlah bangsa tersebut.”

Hadirin yang berbahagia.

Hampir di semua sektor kehidupan ummat mengalami krisis akhlak. Para pemimpin sibuk dengan urusannya sendiri. Para ulama’ nya mengalami kemerosotan moral sehingga tidak lagi berjuang untuk kepentingan ummat tetapi hanya kepentingan pribadi atau golongan. Para pengusaha dan orang-orang kaya melarikan diri dari tanggung jawab zakat, infaq dan sedekah sehingga kedermawanan menjadi macet dan tidak jarang berinteraksi dengan sistem ribawi serta tidak mempedulikan lagi cara kerja yang haram atau halal. Para siswa dan mahasiswa terlibat banyak kasus pertikaian, narkoba dan kenakalan remaja lainnya.

Kaum wanita muslimah terseret jauh kepada peradaban Barat dengan slogan kebebasan dan emansipasi yang berakibat kepada rusaknya moral mereka, maka tak jarang mereka menjadi sasaran manusia berhidung belang dan tak jarang dijadikan komoditi murahan. Dan berbagai macam lapisan masyarakat muslim termasuk persoalan kaum miskin yang kurang sabar sehingga menjadi obyek garapan pihak lain termasuk seperti bentuk nyatanya pemurtadan semisal kristenisasi.

Hadirin yang berbahagia.

Memang perlu dibedakan antara akhlak dan moral. Karena akhlak lebih didasari oleh faktor yang melibatkan kehendak sang pencipta sementara moral lebih penekanannya pada unsur manusiawinya. Sebagai contoh mengucapkan selamat natal kepada non muslim secara akhlak tidak dibenarkan tetapi secara moral itu biasa-biasa saja.

Akhlak secara teoritis memang indah tapi secara praktek memerlukan kerja keras. Oleh karena itu Allah SWT mengutus Nabi SAW untuk memberi contoh akhlak mulia kepada manusia. Pekerjaan itu dilakukan oleh Nabi SAW sebaik mungkin sehingga mendapat pujian dari Allah SWT “Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang agung “. Bahkan Rasulullah SAW sendiri bersabda

“Aku diutus untuk menyempurnakan Akhlak“.

Lebih dari itu beliau menempatkan muslim yang paling tinggi derajatnya adalah yang paling baik akhlaknya.

“Sesempurna-sempurna iman seseorang mukmin adalah mereka yang paling bagus akhlaknya”

Maka tak heran Aisyah mendiskripsikan Rasulullah SAW sebagai Al Qur`an berjalan ;

“Akhlak Rasulullah SAW adalah Al Qur`an“.

Hadirin yang berbahagia.

Terjadinya dekadensi moral manusia dewasa ini memberikan gambaran bahwa ummat Islam sudah banyak yang menjauhi dan meninggalkan ajaran agamnya. Seseorang tidak akan melakukan terbuatan tercela selama iman masih terpatri dengan kuat di hatinya.

Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang beradab, atau masyarakat yang berakhlaqul karimah dibutuhkan strategi yang efektif antara lain:

1. Pembenahan Sistem Pendidikan.

Tujuan pendidikan nasional sebenarnya telah dirumuskan sangat baik dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Dalam peraturan ini disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Rumusan ini lengkap dan koprehensif, namun ternyata pada praktiknya ditemukan banyak hal yang tidak searah dengan rumusan tersebut.

Dalam rumusan UU Sisdiknas misalnya, telah disebutkan bahwa pendidikan bersifat integral antara aspek keimanan dan ketaqwaan, akhlak, pengetahuan kecakapan, kreatifitas, dan kemandirian. Namun, pada praktiknya masih sangat kental adanya dikotomi ilmu dan sekularisasi ilmu. Ilmu agama dipisah dengan ilmu umum dan ilmu umum tidak dijiwai oleh agama. Pandangan dikotomis ini lebih lanjut diikuti dengan sikap minor terhadap pelajaran agama, yang menyatakan bahwa agama bukanlah ilmu, sebuah pandangan yang mengacu pada konsep filsafat ilmu ala Barat. Sikap minor kemudian diikuti dengan sikap diskriminatif bahwa agama tidak menjadi ukuran untuk menentukan kelulusan siswa. Ini terjadi beberapa waktu lalu ketika ujian nasional menjadi ukuran yang sangat dominan dalam menentukan kelulusan siswa. Saat ini telah dikoreksi namun masih saja diskriminatif.

Lebih jauh lagi masih berkaitan dengan cara pandang yang dikotomis, tanggungjawab untuk menginternalisasikan nilai-nilai agama termasuk akhlaq seolah-olah hanya tanggung jawab guru agama. Implikasinya banyak guru bahkan dosen non mata pelajaran agama menjadi acuh dan masa bodoh terhadap tanggung jawab untuk menginternalisasikan nilai agama dan akhlaq pada anak didik. Bahkan sudah sering terjadi oknum guru atau dosen yang perilakunya tidak patut menjadi teladan dari perspektif agama dan akhlaq. Misalnya, ada dosen yang menjadi tokoh homoseksual tidak dianggap sebagai suatu masalah. Demikian pula ada guru yang terlibat selingkuh, bahkan tertangkap basah, hanya dipindah tugas saja. Lebih dari itu akar masalahnya terletak pada tahap rekruitmen tenaga guru atau dosen yang hampir-hampir (untuk tidak mengatakan sama sekali) tidak mengindahkan aspek akhlaq/agama. Padahal semestinya perhatian terhadap kriteria akhlaq harus sudah dimulai sejak tahapan seleksi calon mahasiswa atau siswa sekolah guru.

Masalah lain yang berkaitan dengan problem pendidikan adalah berkaitan dengan orientasi pendidikan yang lebih dominan mengejar aspek kognitif kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotor. Bahkan pada tahap evaluasipun yang dievaluasi juga hanya aspek kognitif.

Lebih dari itu materi pelajaran agama juga masih berorientasi pada ritual, sementara hal yang paling mendasar yaitu masalah aqidah kurang menjadi penekanan. Bahkan lebih problematis lagi ketika muncul indikasi bahwa beberapa materi pendidikan agama secara terselubung kemasukan misi kepentingan ideologi kaum liberalis pluralis seperti sikap mentolerasi terhadap aliran sesat, menolak penerapan syariah dalam bidang politik, dan sebagainya.

Dalam menyikapi masalah di atas, maka rumusan tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas yang sudah komprehensif perlu ditindaklanjuti dengan perbaikan kurikulum, mekanisme pembelajaran dan sistem evaluasinya. Saat ini Kemendiknas sedang menggarap rencana pembenahan kurikulum. Tapi pembenahan kurikulum saja tidak cukup jika tanpa adanya pembenahan terhadap mekanisme pembelajaran dan sistem evaluasinya, karena kedua hal tersebut juga bermasalah.

Bila dikaitkan dengan Islam, kurikulum pendidikan harus mencakup dua misi, pertama menanamkan pemahaman Islam secara komprehenship agar peserta didik mampu mengetahui ilmu-ilmu Islam sesuai dengan kebutuhannya, sekaligus mempunyai kesadaran untuk mengamalkannya. Misi yang pertama ini berkaitan dengan muatan pendidikan agama yang menjadi pondasi bagi perilaku anak didik. Pendidikan agama tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik lebih-lebih hanya bersifat ritualistik dan disajikan dengan hapalan saja, sehingga hanya menghasilkan seorang islamolog, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku yang islami dengan kata lain membentuk manusia Islamist.

Dengan pendidikan agama diharapkan peserta didik bisa mengaplikasikan bagaimana etika dan tata cara seorang muslim berhubungan dengan Allah, bagaimana berhubungan dengan sesama manusia dan berhubungan dengan lingkungannya bahkan sampai hal yang praktis –misalnya- bagaimana seorang muslim berlalu lintas.

Berkaitan dengan misi yang pertama, pendidikan agama dan etika seharusnya bukan semata-mata tanggung jawab guru agama, tetapi menjadi tanggung jawab semua guru. Setiap guru bertanggung jawab menginternalilasikan nilai-nilai agama kepada peserta didik. Hal ini tidak berati bahwa semua guru harus mengajarkan materi agama, tetapi semua guru harus bisa menjadi contoh bagaimana menjadi seorang beragama yang baik. Dengan demikian rekruitmen tenaga guru termasuk dosen, harus memperhatikan aspek moral dan kepribadiannya. Orang yang moralnya bermasalah seperti guru atau dosen yang homoseksual tidak patut diangkat menjadi guru atau dosen. Demikian pula guru yang kedapatan melakukan perbuatan asusila seperti berzina atau selingkuh harus dipecat, tidak cukup dipindah kerja. Dalam kaitannya dengan ini, proses seleksi akan sangat baik apabila dimulai sejak dini yaitu pada tahapan seleksi calon siswa atau mahasiswa sekolah yang mencetak calon guru.

Yang Kedua, misi pendidikan adalah memberikan bekal kepada peserta didik agar nantinya dapat berkiprah dalam kehidupan masyarakat yang nyata, serta survive menghadapi tantangan kehidupan melalui cara-cara yang benar. Dalam hal yang kedua ini pembelajaran tentang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berdiri sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan kesadaran bahwa dalam penerapannya harus memperhatikan kaidah-kaidah norma yang benar. Dengan demikian, ilmu yang diajarkan bukanlah ilmu yang sekular liberal, tetapi ilmu yang dijiwai oleh semangat yang menjunjung tinggi akhlaqul karimah, dan ilmu yang dijiwai nilai-nilai agama.

Evaluasi keberhasilan pendidikan harus dinilai secara komprehensif antara aspek pembentukan manusia yang bertaqwa dan berakhlaq dengan aspek pembentukan manusia yang berilmu, cakap, kreatif, dan mandiri. Dengan demikian ukuran keberhasilannya tidak hanya dilihat dari nilai matematika, IPA, IPS dan Bahasa Indonesia saja, tetapi juga akhlaq dan perilakunya. Maka anak didik yang kedapatan hamil di luar nikah jelas-jelas tidak dapat diluluskan sekalipun nilai matematika, IPA dan IPS nya seratus.

Saat ini memang ada upaya untuk membangun opini bahwa sekolah-sekolah yang memberikan sanksi kepada anak didiknya yang kedapatan hamil di luar nikah dituduh melakukan pelanggaran HAM. Opini seperti ini sengaja diciptakan oleh agen-agen liberalis, karena itu tidak boleh dibiarkan dan harus dilawan dengan mendudukkan konsep HAM secara benar yang tidak berbenturan dengan nilai-nilai agama, moral dan etika.

2. Menggalakkan Pendidikan Non Formal di Masyarakat.

Pendidikan non formal seperti Taman Pendidikan al-Qur’an, Madrasah Diniyah, dan Majelis Ta’lim perlu digalakkan. Khususnya Majelis Ta’lim, dalam Undang-Undang RI Tahun 2003 nomor 20 Bab VI pasal 26 ayat 4 secara eksplisit menyebutkan Majelis Taklim sebagai bagian dari pendidikan non formal. Hal ini menunjukkan bahwa Majelis Taklim merupakan salah satu bagian penting dari sistem pendidikan nasional. Penyelenggaraan Majelis Ta’lim selama ini dilakukan dengan melaksanakan kegiatan ceramah umum atau pengajian Islam. Kegiatan ini banyak dilakukan di Masjid, Musholla atau juga di kantor-kantor, baik kantor pemerintah maupun swasta dan di tempat lain. Selama ini materi kajian di Majelis Ta’lim masih cenderung berorientasi tentang ritual dan belum terkurikulum. Ke depan materi kajian Majelis Ta’lim perlu dikurikulumkan sehingga lebih terarah dan lebih efektif. Materi Majelis Ta’lim perlu juga diorientasikan untuk membentengi umat dari faham-faham yang salah, menumbuhkan kepekaan masyarakat terhadap fenomena kemungkaran, memberikan motivasi kepada masyarakat untuk mampu melakukan pencegahan terhadap kemungkaran yang ada di sekelilingnya dan membentengi keluarganaya sendiri dari pengaruh-pengaruh yang merusak.

3. Menggalakkan Kegiatan Da’wah dan Penanggulangan Munkarat

Dengan model pendekatan 3 (tiga) kriteria dakwah, yaitu dakwah billisan, bil hal, dan bil qolam. Namun untuk mengatasi problem sekarang, selain da’wah bil lisan, maka da’wah bil hal harus lebih ditingkatkan, karena ruang lingkup da’wah bil hal pada dasarnya adalah menyangkut semua persoalan yang berhubungan dengan pemecahan kebutuhan pokok (basis needs) orang-seorang atau masyarakat, terutama yang menyangkut peningkatan kesejahteraannya. Da’wah bil hal, antara lain meliputi pengembangan kehidupan dan penghidupan masyarakat, dalam rangka peningkatan taraf hidup yang lebih baik, sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. Karena itu harus ada upaya-upaya:

a. Mencerdaskan kehidupan masyarakat.

b. Memperbaiki kehidupan ekonomi.

c. Meningkatkan kualitas kemampuan dalam menghadapi tantangan zaman.

d. Memberi arah orientasi yang mengintegrasikan iman dan taqwa kepada Allah SWT, dengan kemampuan integritas sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia ini.

4. Pemberdayaan Peran Pesantren.

Pesantren merupakan tempat untuk pendalaman ajaran agama (ber-tafaqquh fi al-din) dan sekaligus lembaga perjuangan. Peran ini harus tetap dipertahankan. Ketika pesantren tergoda dan merubah fungsinya tidak menyelenggarakan pendidikan untuk ber-tafaqquh fi al-din atau menurunkan tensinya sebagai lembaga pendidikan ber-tafaqquh fi al-din hanya karena menuruti pasar, justru semakin melenyapkan jati diri pesantren itu sendiri. Pesantren harus tetap berperan sebagai penyeleksi berbagai budaya maupun pemikiran yang masuk, baik yang bersifat lokal seperti aliran-lairan sempalan maupun yang bersifat global seperti fenomena liberalisme. Untuk itu, para santri di samping dibekali dengan kemampuan untuk menyerap pemikiran para ulama terdahulu melalui kitab-kitab klasik, juga perlu dibekali kemampuan lebih untuk peka, cermat dan kritis membaca berbagai fenomena budaya, ide, dan pemikiran yang berkembang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan sekaligus secara sitimatis mampu memberikan jawabannya. Misalnya, ketika mencermati sebuah tayangan iklan di televisi para santri seharusnya mempunyai kepekaan bahwa ternyata ada tayangan iklan yang secara tidak langsung menyusupkan faham sekular bahkan ateis. Contoh, sebuah iklan produk air minum dalam kemasan menyebutkan bahwa air yang diproduksi adalah merupakan kebaikan alam. Kata ‘kebaikan alam” sebenarnya merupakan kata yang bernuansa sekular bahkan ateis. Kenapa si pembuat iklan tidak mengatakan dengan kalimat ‘kebaikan Tuhan’ atau lebih eksplisit kebaikan Allah, atau karunia Allah. Penyebutan kata ‘kebaikan alam’ berarti menafikan eksistensi Tuhan yang berada di balik eksistensi alam semesta.

5. Pentingnya Sinkronisasi Kerangka Berfikir Keagamaan dan Kebangsaan.

Saat ini memang ada kecenderungan yang ingin dibangun oleh beberapa fihak yaitu sikap yang alergi pada agama (khususnya Islam) yang bisa diistilahkan dengan sikap islamophobia. Sikap ini tercermin dari sikap anti-syari’ah dan sengaja diopinikan bahwa perjuangan syari’ah itu primordial dan sektarian. Maka ketika ada ide untuk melarang pornografi lewat Undang-undang, dituduhlah itu sebagai primordial dan sektarian. Lebih jauh lagi, saat ini ada yang sengaja menghubung-hubungkan antara syari’ah dan terorisme. Celakanya, banyak orang Islam sendiri yang terpengaruh. Padahal orang Islam seharusnya yakin ketika syari’ah itu diadopsi sebagai aturan, akan membawa pada kebaikan. Munculnya berbagai carut marut adalah karena orang Islamnya banyak yang menjauh dari syari’at. Hal ini adalah janji Allah Swt. Misalnya dalam Surat al-A’raf [7]: 96 Allah berfirman:

وَلَوْ أنَّ أَهْلَ الْقُرى أمَنُوْاوَاتَّقَوْالَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكتٍ مِنَ السَّمَاء وَاْلاَرْضِ وَلكِنْ كَذَّبُوْافَاَخَذْنَا هُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Jikalau sekitarnya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.

Demikian pula firman Allah Swt Surat al-Isra’ [17] ayat 16:

وَاِذَااَرَدْنَااَنْ نُهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَامُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنهَا تَدْمِيْرًا

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.

Berangkat dari pemikiran di atas, yang perlu dilakukan bukan justru menjauh dari agama tetapi bagaimana melakukan sinkronisasi antara pemikiran kebangsaan dan keagamaan. Akan sangat problematis ketika penduduk Indonesia yang mayoritas Islam kemudian dipola dengan cara islamophobia. Dalam hal ini, Ijtima Ulama MUI II di Gontor Ponorogo, 26 Mei 2006 telah mengeluarkan keputusan perlunya sinkronisasi antara kerangka berfikir kebangsaan dan keagamaan (Islam). Agama seharusnya dijadikan sebagai sumber inspirasi dan kaidah penuntun di dalam kehidupan berbangsa dan benegara, bukan malah dijauhkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Keputusan Ijtima Ulama MUI II ini dipertegas lagi dengan keputusan Ijtima Ulama MUI III di Padang Panjang, 26 Januari 2009 yang menyatakan bahwa Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara merupakan ideologi terbuka. Dalam rangka mewujudkan amanah dasar negara dan konstitusi, maka agama harus dijadikan sumber hukum, sumber inspirasi, dan kaidah penuntun dalam sistem kehidupan berbangsa dan berbegara, sehingga tidak terjadi benturan antara kerangka berfikir keagamaan dan kerangka befikir kebangsaan. []

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ وَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الُمْسِلِمْينَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ فَيَا فَوْزَ المُسْتَغْفِرِيْنَ وَيَا نَجَاةَ التَّائِبِيْنَ

Khutbah Ke 2

اَلْحَمْدُلِلّهِ حَمْدًاكَثِيْرًاكَمَااَمَرَ. وَاَشْهَدُاَنْ لاَاِلهَ اِلاَّللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ. اِرْغَامًالِمَنْ جَحَدَبِهِ وَكَفَرَ. وَاَشْهَدُاَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ سَيِّدُاْلاِنْسِ وَالْبَشَرِ. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِهِ وَصَحْبِهِ مَااتَّصَلَتْ عَيْنٌ بِنَظَرٍ وَاُذُنٌ بِخَبَرٍ اَمَّا بَعْدُ : فَيَااَ يُّهَاالنَّاسُ !! اِتَّقُوااللهَ تَعَالىَ. وَذَرُوالْفَوَاحِشَ مَاظَهَرَوَمَابَطَنْ. وَحَافِظُوْاعَلىَ الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ. وَاعْلَمُوْااَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَفِيْهِ بِنَفْسِهِ. وَثَنَّى بِمَلاَئِكَةِ قُدْسِهِ. فَقَالَ تَعَالىَ وَلَمْ يَزَلْ قَائِلاًعَلِيْمًا: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىْ يَاَ يُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْاصَلُّوْاعَلَيْهِ وَسَلِّمُوْاتَسْلِيْمًا. اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ. كَمَاصَلَّيْتَ عَلىَ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ وَعَلىَ اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ. فىَ الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌمَجِيْدٌ اَللّهُمَّ اغْفِرْلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ بِرَحْمَتِكَ يَاوَاهِبَ الْعَطِيَّاتِ. اَللّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّاالْغَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالرِّبَا وَالزِّنَا وَالزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ. وَسُوْءَالْفِتَنِ مَاظَهَرَمِنْهَا وَمَابَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَاخَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِبَلاَدِالْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَارَبَّ الْعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا لا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً، إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الخَاسِرِيْنَ رَبَّنَااَتِنَافِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Tidak ada komentar