Persaksian Palsu, Termasuk Dosa Besar Paling Besar
Persaksian Palsu, Termasuk Dosa Besar Paling Besar
Syahâdat zûr (persaksian palsu) adalah salah satu dari dosa-dosa besar yang paling besar. Oleh karena selayaknya kita memahaminya, mewaspadainya lalu menjauhinya. Allâh Azza wa Jalla telah melarang perkataan dusta, termasuk syahâdat zûr. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۗ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۖ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Demikianlah (perintah Allâh). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allâh, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta. [Al-Hajj/22: 30]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla melarang qauluz zûr (perkataan dusta), termasuk syahâdat zûr (persaksian palsu). Larangan ini digabungkan dengan perintah menjauhi berhala-berhala yang najis itu, yaitu syirik. Ini menunjukkan betapa persaksian palsu itu sangat berbahaya sebagaimana bahaya syirik. Bahkan bahaya persaksian palsu itu bisa menimpa orang lain disamping menimpa pelaku itu sendiri, sedangkan bahaya syirik hanya menimpa pelakunya saja.
Sebagaimana dalam al-Qur’ân, di dalam hadits juga, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan larangan qauluz zûr (perkataan palsu) dengan syirik, antara lain dalam hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ z قَالَ قَالَ النَّبِيُّ n أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلَاثًا قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَجَلَسَ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ قَالَ فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا حَتَّى قُلْنَا لَيْتَهُ سَكَتَ
Dari Abdurrahman bin Abi Bakrah, dari bapaknya Radhiyallah anhu, dia berkata, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perhatikanlah (wahai para shahabat), maukah aku tunjukkan kepada kalian dosa-dosa besar yang paling besar?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya tiga kali. Kemudian para shahabat mengatakan: “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Syirik kepada Allâh dan durhaka kepada kedua orang tua.” Dan beliau duduk, sedangkan sebelumnya beliau bersandar, lalu bersabda, “Perhatikanlah! dan perkataan palsu (perkataan dusta)”, beliau selalu mengulanginya sampai kami berkata, “Seandainya beliau berhenti”. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah berkata, “Lafazh dalam hadits “dan Beliau duduk, sedangkan sebelumnya Beliau bersandar”, menunjukkan bahwa Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan perhatian lebih terhadap masalah ini, sampai Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk padahal sebelumnya Beliau bersandar. Ini menunjukkan adanya penekanan terhadap pengharaman sekaligus menunjukkan keburukannya yang sangat berat. Adapun mengenai penyebab perhatian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap masalah ini dikarenakan perkataan dusta atau persaksian dusta lebih mudah terjadi di tengah masyarakat dan lebih banyak diremehkan. Karena syirik tidak sesuai dengan hati nurani seorang Muslim, durhaka kepada orang tua ditolak oleh naluri, sedangkan (perkataan) dusta faktor pemicunya banyak sekali, seperti: permusuhan, hasad (iri), dan lainnya. Sehingga dibutuhkan perhatian untuk mengganggapnya (sesuatu yang) besar. Namun bukan berarti (dosa) perkataan dusta lebih besar dibandingkan (dosa) syirik yang disebutkan bersamanya, tetapi karena kerusakan dusta menjalar kepada selain orang yang bersaksi, berbeda dengan syirik yang biasanya kerusakannya terbatas (pada pelakunya)”. [Fathul Bâri, 5/263]
MAKNA SYAHADAT ZUR
Al-Hâfizh Ibnu Hajar al-Asqalâni rahimahullah berkata, “At-Thabari berkata, makna dasar dari kata zûr adalah memperbagus sesuatu dan mensifatinya dengan sifat yang berbeda dangan sifat sebenarnya, sehingga yang terbayang oleh pendengarnya sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya. Beliau t juga berkata, ‘Pendapat yang paling benar menurut kami, yang dimaksud dengan zûr adalah pujian secara dusta dari orang yang tidak menyaksikan sesuatu yang dipuji itu. Wallahu a’lam”. [Fathul Bâri, 5/261]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Syahâdat zûr (persaksian palsu) adalah:
Seseorang bersaksi dengan sebuah persaksian yang dia tahu bahwa persaksiannya itu berbeda atau tidak sesuai dengan perkara yang dipersaksikan (tidak sesuai dengan hakekatnya).
Atau seseorang bersaksi dengan sebuah persaksian yang dia tidak tahu, apakah perkara yang dipersaksikan itu sesuai dengan persaksiannya itu tidak sesuai?
Atau seseorang bersaksi dengan sebuah persaksian yang dia tahu bahwa persaksiannya itu sesuai dengan perkara yang dipersaksikan hanya saja dengan sifat yang tidak nyata.
Ketiga jenis persaksian ini adalah haram. Tidak halal bagi seseorang untuk memberikan persaksian selain persaksian yang dia tahu dengan baik. Jika seseorang bersaksi dengan sebuah persaksian yang dia tahu bahwa persaksiannya itu tidak sesuai dengan perkara yang dipersaksikan, misalnya seseorang yang bersaksi bahwa Fulan meminta sesuatu kepada Fulanah, padahal dia tahu bahwa persaksiannya itu dusta, maka ini termasuk syahâdatuz zûr (persaksian palsu). Na’ûdzu billâh.
Atau contoh lainnya, seseorang bersaksi bahwa Fulan itu miskin berhak mendapatkan zakat (bantuan), padahal dia tahu bahwa orang itu kaya.
Dan begitu juga seperti yang dilakukan oleh sebagian orang di hadapan pemerintah, seseorang bersaksi bahwa Si A itu miskin memiliki anggota keluarga berjumlah sekian, padahal dia tahu itu dusta.
Orang yang memberikan persaksian palsu itu menyangka dia telah berbuat sesuatu yang bermanfaat dan berbuat baik kepada saudaranya (yang dipersaksikan), padahal sejatinya dia telah menzhalimi dirinya dan menzhalimi saudaranya. Dia menzhalimi dirinya, karena dia telah berbuat dosa dan telah melakukan salah satu dosa besar. Dia juga menzhalimi saudaranya, karena dia telah memberikan kepada saudaranya sesuatu yang bukan haknya dan membuatnya mengambil harta dengan cara batil”. [Syarah Riyâdhus Shâlihin, Bab: Penjelasan Kerasnya Keharaman Syahadat Zûr]
EMPAT BAHAYA PERSAKSIAN PALSU
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Pemberi kesaksian palsu telah melakukan beberapa dosa-dosa besar:
Pertama: Dusta dan membuat fitnah atau kebohongan.
Kedua : Dia telah berbuat zhalim kepada orang yang ia persaksikan sebagai orang yang salah, sehingga dengan sebab kesaksiannya itu ia telah mengambil atau mengganggu harta, kehormatan atau nyawanya.
Ketiga : Dia telah berbuat zhalim kepada orang yang ia persaksikan sebagai orang yang benar. Yaitu dengan kesaksiannya itu, dia telah memberikan harta haram kepadanya, lalu dia mengambilnya, sehingga dia masuk neraka.
Keempat: Dia telah menghalalkan apa yang diharamkan dan dilindungi oleh Allâh Azza wa Jalla , baik harta, darah atau kehormatan”. [Diringkas dari al-Kabâir, hlm. 79-80, karya imam Adz-Dzahabi]
Kita memohon kepada Allâh Ta’ala keselamatan dari semua keburukan. Aamiin.
Post a Comment